2 November 2020
Penulis —  Neena

Diario Segreto

Dengan sejujurnya aku mengakui, bahwa gesekan demi gesekan yang terjadi antara liang kewanitaanku dengan tongkat kejantanan Walter, terasa nikmat. Nikmat sekali.

Inilah perselingkuhan pertamaku di belakang Papie (karena pada saat itu aku belum ngapa - ngapain dengan Boy).

Semuanya ini tidak kukehendaki awalnya. Kalau aku berniat selingkuh, mungkin sejak tadi siang pun akan kurenggut Ivan ke dalam dekapanku. Tapi aku tidak melakukan apa - apa dengan Ivan, kecuali memegang penisnya saja.

Begitu juga dengan Walter ini. Bermimpi pun tidak pernah, lalu tahu - tahu aku sudah dihimpit dan dientot oleh mantu tiriku ini.

Dan sebagai seorang wanita yang banyak kelemahannya ini, aku tidak bisa menolak lagi. Karena Walter keburu menggerayangi kemaluanku, keburu menjilati memekku pula. Mana mungkin aku punya kekuatan untuk menolak kehadiran penisnya di dalam liang kewanitaanku?

Akhirnya aku bertekad untuk menikmatinya saja, karena sudah kepalangan basah. Itulah sebabnya aku berusaha membuat Walter puas sepuas - puasnya. Bahkan aku seolah ingin bersaing dengan Cinthia yang lebih tua dariku itu. Ingin agar Walter menganggapku jauh lebih memuaskan daripada istrinya.

Karena itu goyangan pinggulku makin lama makin binal. Goyangan ini selain untuk memuaskan Walter, juga untuk memuasi diriku sendiri. Karena dengan goyangan ini, kelentitku terus - terusan bergesekan dengan badan penis Walter. Dan ini luar biasa nikmatnya…!

Akibatnya, aku mulai merasa berada di detik - detik krusial. Detik - detik menuju puncak orgasmeku.

Karena itu aku terengah - engah mendesis, “Sssss… Wal… Walter… Walterrrrr… aku… aku udah mau orgasme… Walter… Walter… Walter… !”

Walter pun menjawab terengah, “Iiii… iya Mam… aku… aku juga… udahg… ma… mau ejakulasi… ki… kita barengin ya Maaaaaaaam…”

Lalu kami seperti sepasang manusia yang tengah kerasukan. Walter meremas sepasang toketku dengan kencangnya. Tapi aku tidak kesakitan, karena liang memekku sedang menggeliat dan mengedut - ngedutg di puncak orgasmeku.

Aku pun meremas - remas rfambut pirang Walter sampai acak - acakan.

Pada detik - detik inilah moncong penis Walter memuntahkan lendir hangatnya berulang - ulang… crooooottttttttt… crot… crot… crooootttttt… crolttttt… crooootttt… crooootttt…!

Gila… banyak sekali air mani yang dimuntahkan oleh moncong penis Walter ini…! Terasa sampai membludak dari mulut memekku, mengalir ke arah anusku.

Walter terkapar lunglai di atas perutku. Tapi beberapa detik kemjudian ia mencabut penis lemasnya dari liang memekku.

Aku pun cepat bangun, karena merasa liang memekku kebanjiran air mani Walter. Bergegas aku masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan memekku dengan air hangat shower, sekalian menyabuninya sampai bersih.

Lalu aku mengambil sebutir pil kontrasepsi dari kotak obat - obatan yang tergantung di dinding kamar mandi. Kuambil pula segelas plastik air mineral, untuk bantu menelan pil itu.

Ya, aku harus waspada. jangan sampai aku hamil yang gak jelas. Apalagi Waltewr kebule - bulean begitu. Bagaimana kalau aku hamil lalu melahirkan anak yang bule seperti Walter?

Jangan sampai terjadi hal seperti itu. Hal yang akan merugikan diriku sendiri itu.

Walter mengajakku menengok istrinya di rumah sakit bersalin, sebagai wakil dari Papie.

Aku pun setuju. Sedikitnya untuk mengurangi perasaan bersalahku karena telah membiarkan suami Cinthia menyetubuhiku tadi.

Cinthia tampak senang sekali melihat kedatanganku bersama suaminya. Pada waktu cipika - cipiki dengan Cinthia yang perutnya masih buncit itu, kudengar Cinthia berbisik, “Doakan aku lancar melahirkannya ya Mam.”

“Iya… mamie ikut mendoakanmu Cin. Semoga kelahirannya berjalan lancar. Mau melahirkan biasa atau mau dicesar?” tanyaku.

“Mau melahirkan secara normal aja Mam. Mungkin aku akan melahirkan nanti malam atau besok pagi.”

Aku cuma mengangguk - angguk perlahan.

“Nanti Mamie menyusul ya. Biar aku punya adik dari Mamie,” kata Cinthia.

“Kayaknya masih jauh Cin. Papie kan sudah tua. Mungkin bibitnya juga sudah jarang.”

“Sabar ya Mam. Lagian Mamie kan sudah punya anak lima orang. Aku salah satu anak Mamie,” ucap Cinthia dilanjutkan ciumannya di pipiku.

Aku cuma tersenyum sambil mengangguk.

Begitu baiknya sikap Cinthia padaku, membuatku malu sendiri.

O, seandainya dia tahu bahwa aku baru disetubuhi oleh suaminya, apakah dia masih tetap akan sebaik itu sikapnya padaku?

Ada perasaan bersalah yang sangat mendalam di hatiku. Karena aku merasa telah mencuri suami Cinthia, walau pun bukan atas kehendakku pada awalnya.

Seharusnya Walter pun punya perasaan bersalah seperti yang kurasakan ini. Tapi Walter sangat pandai menyembunyikan segala yang pernah terjadi denganku tadi. Walter bersikap biasa - biasa saja. Bahkan kelihatan lebih mesra sikapnya kepada Cinthia.

Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Ivan sudah kukasih libur dua hari. Hari Sabtu dan hari Minggu.

Sedangkan aku pun istirahat saja di rumah, tidak menikmati week end di luar rumah.

Hari Senin… pagi - pagi sekali Ivan sudah datang. Lalu duduk di pos satpam, sambil ngobrol dengan teman - temannya. Satpam yang bertugas menjaga rumahku ada enam orang. Tapi dibagi menjadi dua shift, masing - masing shift terdiri dari tiga orang.

Pintu kamarku ada dua. Yang satu menuju ke ruang keluarga, yang satunya lagi menuju ke teras depan. Karena itu aku bisa melihat Ivan ketika dia baru datang tadi.

Aku baru selesai mandi dan baru mau berdandan, karena ingin menengok rumah lama yang sudah ditinggalkan itu.

Ketika masih mengenakan kimono, aku mengambil kunci mobilku dan keluar lewat pintu yang menuju teras depan itu.

Ivan yang sedang duduk di pos satpam, melihat kemunculanku di teras depan. Lalu kulambaikan tanganku ke arahnya. Ivan pun bergegas menghampiriku.

“Kita mau keluar. Panasin dulu mobilnya Van,” kataku sambil menyerahkan kunci mobilku.

“Siap Bu Boss,” sahut Ivan yang bersikap formal di rumahku. Mungkin agar tidak ada hal yang mencurigakan teman - temannya semasa masih jadi satpam.

Aku pun kembali ke dalam kamarku. Dan berdandan serapi mungkin.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu