2 November 2020
Penulis —  Neena

Diario Segreto

Seperti waktu disetubuhi oleh Walter, kali ini pun aku memiliki keinginan yang sama. Bahwa aku ingin terasa sangat memuaskan bagi Ivan. Sehingga ketika Ivan mulai berani mencium bibirku, dengan sepenuh gairah kusambut ciumannyha itu dengan lumatan yang sangat bergairah.

Pada saat itu pula aku mulai menggoyang pinggulku dengan goyangan yang seolah membentuk angka 8. Memutar - mutar dan meliuk - liuk. Terkadang juga kuhempaskan pantatku ke kasur, sehingga dengan sendirinya kelentitku bergesekan dengan penis Ivan.

Aku ingin jadi perempuan yang memuaskan Ivan, sekaligus memuaskan diriku sendiri. Bahwa dengan goyangan ini liang memekku seolah membesot - besot dan meremas - remas penis Ivan, yang dengan sendirinya menimbulkan kenikmatan bagi Ivan mau pun bagi diriku sendiri. Bahwa gesekan antara penis Ivan dengan dinding liang memekku semakin kencang rasanya.

Lalu aku tidak peduli lagi bahwa Ivan itu sudah menjadi anak buahku, yang harfus selalu menghormatiku… ya… aku sudah melupakan status itu. Ivan telah berubah menjadi lelaki yang benar - benar memuaskan, karena penisnya sangat gagah, kekuatannya pun bisa diandalkan.

Bahwa setelah aku mencapai orgasme lagi, penis Ivan tetap tangguh mengentot liang kewanitaanku.

Karuan saja rintihan - rintihan histerisku berlontaran begitu saja dari mulutku yang sudah lupa daratan ini. Rintihan - rintihan di luar kesadaranku, yang berlontaran begitu saja secara spontan, karena aku sudah lupa segalanya. Yang kuingat cuma satu, bahwa penis Ivan ini luar biasa nikmatnya…

“Vaaaan… oooo… oooooh… Vaaan… kontolmu ini luar biasa enaknya Vaaaaan… entot terus Vaaaan… entot teruuuusssssss… entoooooootttt… iyaaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… aaaaaa… aaaaah Vaaaaan… ini enak sekali Vaaaan… entot teruuuusssssssss… entoooot Vaaaan…

Lalu terasa penis Ivan semakin gencar menggenjot liang kenikmatanku. Membuatku semakin merem - melek dalam indah dan nikmatnya permainan surgawi ini.

Sementara keringat Ivan mulai bercucuran, bercampur aduk dengan keringatku. Dan ketika Ivan berbisik terengah, “Pam… aku… aku sudah mau ngecrot… lepasin di luar?”

Kusahut, “Di dalam… aja. Aku juga udah… mau lepas lagi. Ayo barengin Vaaan…”

Lalu Ivan semakin gencar mengentotku, yang kusambut dengan semakin menggilanya juga goyangan pinggulku.

Lalu kami seperti sepasang manusia yang kerasukan. Ivan mencengkram sepasang bahuku kuat - kuat, aku pun menjambak dan meremas - remas rambut Ivan.

Kdetika aku tiba di puncak kenikmatanku, terasa liang memekku berkedut - kedut kencang. Pada saat yang sama, penis Ivan pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan air maninya di dalam liang sanggamaku.

Croooootttttttt… crottt… crooootttttttt… crottcrott… croooootttt… croooootttt… crooootttt…!

Ivan mengelojot, lalu terkulai di atas perutku.

Setelah Ivan mencabut penis lemasnya dari liang kemaluanku, kucubit perutnya sambil berkata, “Akhirnya kontolmu bisa ngerasain memekku juga ya?”

“Heheheee… iya… terima kasih Pam,” sahut Ivan tersipu.

“Tapi ingat… tugas utamamu adalah menggauli mamaku sesering mungkin. Karea mamaku gede nafsunya. Selain daripada itu, aku ingin agar mamaku benar - benar melupakan mantan pacarku yang geblek itu.”

“Iya Pam. Jangan takut, aku akan menggauli mama Pam sesering mungkin.”

“Kalau dibandingkan, enak mana memek mamaku dengan memekku? Ayo jawab sejujurnya.”

“Lain - lain enaknya Pam. Jadi kalau harus dibanding - bandingkan, aku harus jawab sama saja enaknya. Karena wanita setengah baya seperti mama Pam itu seolah sudah tiba di phase puber kedua. Makanya beliau berusaha untuk menciptakan kepuasan bagi lelaki yang menggaulinya.”

Begitulah… pada saat aku sedang bersama Boy di dalam hotel ini, semuanya itu masih lekat dengan ingatanku.

Bahwa sebelum Boy “dekat” denganku, aku sempat merasakan digauli oleh Walter dan Ivan. Tapi hanya satu kali. Tidak lebih.

Dan setelah aku merasakan begini dekatnya dengan Boy, aku bertekad untuk menolak lelaki mana pun yang mau menggauliku. Karena aku ingin mencurahkan perasaan sayangku buat Boy seorang (di samping Papie).

Namun beberapa hari kemudian, ketika Boy sedang kuliah, pagi - pagi sekali aku mendapat telepon dari suamiku :

“Hallo Papie… kok baru nelepon sekarang sih. sedang di mana Papie sekarang?”

“Sedang di Jerman, Sayang. Mungkin besok akan ke Swedia dan Denmark, lewat darat aja. Ohya… aku punya berita penting nih. Bobby dan Kent sedang menuju ke rumah sekarang.”

“Haaaa? Bobby yang kuliah di Kanada dan Kent yang kuliah di Amerika itu?”

“Betul. Kebetulan kuliah dan skripsi mereka sudah selesai. Bahkan sudah pada diwisuda. Selanjutnya, entah mereka akan bekerja di Amerika atau mau membantu perusahaanku di Indonesia. Entahlah. Yang jelas mereka ingin liburan dulu dan mau memotret - motret beberapa candi di pulau Jawa. Entah untuk apa mereka mau motret candi - candi bersejarah itu.

“Orang Indonesia kok harus pake guide di negaranya sendiri Pap?”

“Heheheee… mereka itu hanya hafal dua kota. Jakarta dan Bandung. Mereka belum pernah menginjak Jateng dan Jatim. Tapi kota - kota besar di luar negeri sudah banyak yang hafal, seperti Tokyo, Beijing, Shanghai, Hongkong dan beberapa kota di Benua Amerika. Makanya jadilah guide buat mereka ya Sayang.

“Kapan mereka datang ke rumah?”

“Mungkin beberapa jam lagi juga tiba di rumah. Ohya… aku sudah izinkan kalau mereka menginginkan sesuatu darimu, seperti yang Boy inginkan itu. Oke aku mau meeting dulu, yha Sayang. Take care and see you… !”

Klik, telepon ditutup. Membuatku bingung sendiri.

Apa maksud suamiku dengan kalimat*“… aku sudah izinkan kalau mereka menginginkan sesuatu darimu, seperti yang Boy inginkan itu”*… Apakah aku harus memperlakukan mereka seperti perlakuanku terhadap Boy?

Tadi aku mau menanyakan hal itu. Tapi Papie keburu menutup teleponnya. Sehingga aku tak sempat menanyakannya, apa maksud dengan “seperti yang Boy inginkan” itu?

Aaaah… entahlah.

Yang jelas, kedua anak tiriku itu tiba sejam setelah aku menerima telepon dari suamiku.

Baik Bobby mau pun Kent menjabat tanganku dengan hangat. Lalu mencium sepasang pipiku dengan hangat. Benar - benar mencium pipi, bukan sekedar merapatkan pipi mereka ke pipiku.

Dan yang jelas, mereka ganteng - ganteng. Terutama Kent yang bertubuh tinggi semampai itu. Dan aku merasa harus beradaptasi dengan mereka, agar kehadiranku di rumah yang mirip istana ini, diterima oleh semua pihak.

Setelah ngobrol beberapa saat, Bobby berkata, “Sekarang Mamie bisa temani kami makan siang di luar kan?”

“Boleh, “aku mengangguk, “Tapi mamie mau ganti baju dulu ya.”

“Iya Mam,” sahut Bobby dan Kent hampir serempak. Lalu mereka saling pandang ketika aku mau masuk ke dalam kamarku.

Aku hanya berdandan sebentar. Mengenakan gaun terusan berwarna orange, dengan motif bintik - bintik putih secara sporadis. Tanpa mengenakan make up lagi, karena aku sudah bermake up sebelum kedua anak tiriku itu datang. Lalu kuambil tas kecilku dan keluar dari kamarku.

“Sudah siap Mam?” sambut Bobby di ruang keluarga.

“Sudah,” sahutku sambil mengangguk.

Kemudian Bobby mengajakku ke teras depan dan tampak Kent sudah memanaskan mobil double cabin-nya yang berwarna military green. Aku sudah dikasih tau kalau mobil double cabin itu punya Kent, sementara punya Bobby sebuah sedan built up Eropa, yang harganya jauh lebih mahal daripada sedanku.

Aku masuk ke dalam double cabin itu, di belakang Kent. Sedangkan Bobby duduk di samping kiriku.

“Mau makan di mana kita sekarang Bob?” tanya Kent di belakang setirnya.

“Nyari yang sejuk aja udaranya. Kita kan terbiasa hidup di hawa dingin, jadi terasa panas di kampung halaman sendiri,” sahut Bob.

“Mau ke luar kota?”

“Why not. Sudah cukup lama kita tidak menikmati udara sejuk di sana.”

Aku diam saja tidak ikut bicara. Tapi aku mulai degdegan, karena lengan kiri Bobby melingkari pinggangku.

Bahkan Bobby lalu berbisik ke dekat telinga kiriku, “Mamie udah ditelepon sama Papie?”

Aku cuma mengangguk tanpa bersuara.

“Papie menugaskan kami berdua untuk mengisi kesepian Mamie, sekaligus untuk membuat Mamie happy.”

Meski Bobby menyampaikan ucapannya dalam bentuk bisikan, tampaknya Kent sudah menduga apa yang Bobby katakan di belakangnya. karena Kent berkata di belakang setirnya, “Pada dasarnya Papie takut kalau kami main - main sama perempuan nakal, yang beresiko bisa terkontaminasi penyakit kotor. Karena itu Papie hanya mengijinkan kami dengan Mamie saja.

Akhirnya Bobby juga bicara tanpa berbisik - bisik seperti tadi. “Tadinya kami tidak tertarik pada saran Papie itu. Tapi setelah melihat Mamie yang begini cantiknya, kami langsung setuju. Mamie juga tidak berkeberatan kan?”

“Gak tau masih bingung. Masa mamie harus melayani kalian berdua sekaligus?”

“Kita akan bergiliran menggauli Mamie. Bukan mau mengeroyok Mamie. Santai aja Mam… kami akan melakukannya dengan smooth, karena biar bagaimana pun Mamie ini ibu sambung kami,” kata Bobby yang dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku.

“Iya Mam, “sela Kent, “Kami bukan hanya mau melampiaskan nafsu. Kami juga akan berusaha untuk membuat Mamie happy…!”

Aku terdiam. Tapi apakah sebenarnya batinku menolak untuk menerima kehadiran mereka di dalam diriku? Tidak. Sejujurnya harus kuakui, bahwa kehadiran mereka menimbulkan fantasi tersendiri di dalam benakku. Karena aku memang sudah diijinkan oleh suamiku untuk menggauliku…

“Kalau dipikir - pikir Papie hebat juga ya,” kata Kent di belakang setirnya, “papie bisa mendapatkan istri yang usianya tidak jauh beda dengan kita… sangat cantik pula.”

“Iya,” sahut Bobby, Begitu melihat pertama kali pun aku langsung jatuh hati kepada Mamie kita ini Kent.”

“Sama, aku juga begitu,” kata Kent.

“Mamie sendiri gimana?” tanya Bobby sambil mempererat dekapannya di pinggangku, lalu merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.

“Hihihiiii… yaaaa gimana ya? Seneng sih seneng tapi sambil bingung. Karena kalian juga tau posisi mamie kan?”

“Lupakan posisi itu Mam. Mendingan kita senang - senang aja, mumpung kami masih di Indonesia,” kata Bobby sambil memegang tangan kiriku, lalu dicuminya dengan hangat.

Tak lama kemudian, Kent membelokkan mobilnya ke pekarangan sebuah restoran yang berada di luar kota, sekitar 15 kilometer di utara kotaku.

Di dalam restoran itu, Kent duduk di sebelah kiriku, sementara Bobby duduk di sebelah kananku.

Tampak banyak juga orang bule yang sedang makan siang di restoran ini. Sementara AC restoran ini terasa sangat dingin. Mungkin untuk menyesuaikan diri dengan bule -bule yang biasa tour ke daerah sejuk ini.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu