1 November 2020
Penulis —  mastershinden

Pengalaman Hidupku Bersama Mama dan Tante Lia

Part 8: Permainan Terakhir

“Mas, dipanggil bapak di luar”, Asih mengagetkanku.

Hmm mau apalagi lelaki tua itu pikirku.

“Sini sampeyan duduk di depan saya”, perintah Pak Simo.

“Ada apa pak?”, tanyaku tak acuh.

“Bagaimana, kamu suka tidak menyetubuhi ibu dan bule sampeyan?”, dia bertanya balik.

“Nggg… suka pak” jawabku malu-malu.

“Haha dasar anak durhaka. Begini, saya punya penglihatan sampeyan punya masa depan cerah dengan ibu dan bule sampeyan. Sampeyan bisa punya keluarga yang bahagia dan punya banyak anak. Tapi kebahagiaan itu ada kuncinya. Saya ingin menurunkan sedikit ilmu saya kepada sampeyan”, kata Pak Simo.

Aku agak terkejut medengar perkataannya, karena aku akan berkeluarga dengan ibu dan tanteku sendiri, dalam artian sebagai suami istri. Dan aku penasaran kira-kira apa ya kunci kebahagiaan itu.

“Sampeyan mau?” tawarnya sebelum aku sempat menjawab.

“Mau pak”, aku tak bisa menolaknya.

“Baiklah begini. Apa yang saya ajarkan ini hanya sedikit ilmu untuk memuasi wanita. Sekarang sampeyan ambil BH mama dan tante sampeyan”, perintahnya.

“Tapi pak, kalau saya sedang ingin tidak punya anak, bagaimana pak?”, tanyaku.

“Gampang, sampeyan tinggal berpuasa sehari penuh sebelum melakukan ritual. Sekarang cepat, ambilkan saja BH mereka!”, perintah Pak Simo tak sabar.

“Baik pak,” kataku.

Aku segera masuk ke dalam dan mengambil BH mama dan Tante Lia yang memang diberikan padaku semalam oleh Bu Sekar. Seingatku BH Tante Lia adalah yang berwarna hitam, berarti BH mama yang berwarna ungu. Setelah itu aku langsung menemui Pak Simo di luar.

“Ini pak”, tanganku tadinya ingin menyerahkan kedua penutup payudara itu kepada Pak Simo.

“Sampeyan pegang saja”, kata Pak Simo. Aku tidak jadi mengulurkan tanganku

“Lalu pak?”, tanyaku penasaran.

“Pakai ini”, kata Pak Simo seraya memberikanku dua buah cincin emas.

“Cincin siapa ini pak??”, kataku sambil memakainya.

“Hahaha anak bodoh, masa tidak tahu. Itu cincin kawin dua lonte itu tau! Hahaha”, hardiknya.

Ah baru tersadar aku, pantas saja aku tidak melihat cincin di tangan mama dan tanteku. Memang biasanya cincin tersebut melingkar di jari manis kiri mereka.

Kemudian Pak Simo memberikan aku selembar kertas kecil dan berkata, “Sekarang sampean baca mantra ini lalu kocok kontol sampeyan pake BH-BH lonte itu sambil membayangkan wajah mereka!”

Kertas tersebut berisikan kalimat-kalimat pendek dalam bahasa jawa. Untung saja ditulis dalam alfabet latin, bukan aksara jawa atau huruf arab gundul.

“Tapi pak?”, tanyaku ragu.

“Sudah lakukan saja”, Pak Simo memaksa.

Akhirnya aku duduk ditempat tadi. Kubaca perlahan mantra itu dengan terbata-bata karena isinya sama sekali baru buat ku. Selesai itu, aku mulai meremas kedua BH itu. Busanya tebal-tebal. Kemudian tanganku menjepit penisku dengan cup BH mama terlebih dahulu. BH tante kutempelkan ke hidung untuk kuendus endus baunya.

Mmmppff baunya seperti bau keringat bercampur parfum Tante Lia dan masih sedikit tercium wangi sabun cuci. Ahhh penisku dijepit oleh busa di cup BH mama yang cukup tebal. Rasanya nyaman dan hangat. Sensasinya sungguh berbeda jika dibandingkan ketika dijepit langsung oleh payudara mama. Kuyakin setelah keluar dari sini mama dan tante tidak memerlukan BH yang ada busanya, mengingat ukuran payudara mereka yang sudah dibuat oversize oleh Bu Sekar semalam.

Tetapi entah kenapa aku sulit membayangkan wajah keduanya. Akhirnya, sambil mengocok penisku, aku berjalan masuk ke gubuk mendekati mama dan Tante Lia di dipan. Aku kini masturbasi di depan mereka. Mama yang menyadari kehadiranku hanya menangis melihat anak kandungnya masturbasi dengan membayangkan ibunya bahkan di depan dirinya.

Aku duduk di dipan itu. “Bagaimana pak?”, tanyaku tanpa mengalihkan mata dari dua wanita telanjang yang terkapar di depan.

“Bagus… Sekarang kita praktekan ilmu sampeyan…”, jawabnya santai sembari menghembuskan asap rokok. Aku tak bergairah bertanya lebih lanjut, tetapi di dalam hati aku ingin kembali menggarap dua wanita di depanku.

Sesuatu yang aneh terjadi padaku, dimana penisku yang sudah berkali-kali ejakulasi kini berdiri terus dan membesar. Ritual jepitan BH mama dan Tante Lia seolah-olah membuat darahku kembali berkumpul di organ kejantananku itu, sampai sekian lama kurasakan kembali siap tempur. Urat-uratnya juga seperti mau keluar.

Kalau dilihat-lihat dari besar dan panjangnya penisku ini tidak seperti saat ngaceng seperti biasanya, sangat besar dan panjang, bahkan tidak sesuai dengan proporsional tubuhku. Dari dalam tubuhku seperti ada api yang berkobar-kobar, yang menunggu untuk dilampiaskan kepada wanita-wanita sedarahku itu.

“Hahaha liat kontol sampeyan, makin besar toh… Hati-hati makenya, bisa-bisa punya banyak anak nanti hahaha”, katanya.

Ia melanjutkan, “Tenang, efeknya hanya sehari semalam dan cuma mempan ke orang yang cincin kawin dan BH nya kamu ambil hahaha”.

Aku diam saja mendengar perkataannya. Matahari di luar sudah terbenam. Angin malam mulai berdesir memasuki gubuk. Suasana setelah hujan menambah dinginnya malam itu. Cocok untuk sebuah pesta seks seperti yang akan ku lakukan.

“Bune, Asih… dang rene”, panggil Pak Simo kepada istri dan anaknya yang sama misterius dengan bapaknya. Asih dan ibunya masuk dalam keadaan bugil. Mereka berdua segera mendekatiku, menciumi wajahku dan mengelus-elus penisku bergantian dengan jari jemari masing-masing serta mengarahkan tanganku hinggap di payudara mereka.

Ibunda Asih kemudian merunduk, sudah bisa ditebak kalau sasarannya adalah penisku yang sekarang perkasa itu.. Pak Simo bangkit berdiri, mendekati mama dan tante yang masih setengah sadar karena kelelahan. Ia melorotkan kembali celana yang ia pakai. Meremas-remas keras pantat indah mereka masing-masing dan menyuruh mereka kembali menungging kali ini menyamping mengikuti lebar dipan.

Dengan terpaksa dan sambil menagis mama dan Tante Lia mengikuti perintah Pak Simo. Mereka tampak sudah mengerti buat apa melawan kalai ujung-ujungnya akan tetap dipaksa untuk memenuhi nafsu dari kedua laki-laki digubuk ini. Lalu dengan isyarat ia menyuruh Asih dan istrinya juga menungging di dipan yang sama, sehingga ada empat wanita telanjang di satu dipan.

”Kali ini, kita akan menggilir empat perempuan ini. Saya di depan, sampeyan di belakang, terus muter, paham?”, ujarnya.

Aku mengangguk.

“Silahkan yang mana dulu yang sampeyan pilih”, ujarnya lagi.

Aku memilih Asih yang posisinya paling pinggir kiri dari arahku. Kemudian dari belakang kusetubuhi anak gadis Pak Simo itu, dan bapaknya di sisi depan dipan dengan setengah paksa memasukkan penisnya ke vagina Tante Lia yang posisinya di pinggir kanan. Sekitar 3 menit kemudian aku berpindah ke Bu Sekar, penisku yang berlumur cairan vagina anaknya langsung dikulum dengan rakus.

Dan kini kembali penisku menyetubuhi mama dari belakang, sementara istri Pak Simo melayani penis suaminya yang sedang memenuhi vaginanya. Bergeser lagi aku dioral Tante Lia. Dengan terpaksa tante mengulum penisku yang diselimuti lendir kemaluan kakak perempuannya itu. Kini kemaluan Pak Simo yang berlumur cairan vagina ibunya Asih sedang dilumat Asih, Aku menjadi tak yakin tentang status hubungan mereka, benarkan antara ayah dan anak?

Peduli setan. Yang jelas permainan ini sangat nikmat. Bayangan kami yang sedang menyetubuhi wanita-wanita ini meliuk-liuk indah di dinding. Kini ganti aku menyetubuhi Tante Lia dari belakang dengan beringas, sementara Pak Simo mengauli Asih dari belakang. Terus kami berputar berlawanan dengan arah jarum jam sampai barangkali masing-masing perempuan mengalami 20 puluhan kali dioral dan dientot dari belakang, tak lupa juga kami menggauli lubang-lubang anus mereka, sampai akhirnya aku tak mampu menahan laju orgasmeku lagi, kali ini wanita beruntung yang menampung spermaku adalah Tante Lia.

Sangat banyak sperma yang kuhasilkan, sama banyaknya seperti Pak Simo. Sementara Pak Simo… Sekali lagi dengan pabrik spermanya, menyirami tubuh empat wanita sensual penuh nafsu itu dengan semburan air mani yang banyak sekali. Akupun belum puas karena masih dibawah pengaruh ilmu yang diajarkan Pak Simo padaku.

Malam itu terasa amat panjang. Seharusnya ini adalah purnama terakhir sehingga kami besok pagi bisa pulang. Entah bagaimana kehidupanku nanti jikalau mama dan Tante Lia hamil, terlebih jika anak yang dikandung mereka adalah anakku.

Bu Sekar pergi ke belakang diikuti oleh Asih sedangkan Asih mengikuti, masih dalam keadaan telanjang walau berselimutkan kain batik lusuh. Hujan telah reda. Tapi birahiku belum mereda, aku kini berbaring menerawang di antara Mama dan Tante Lia yang tengah mendengkur halus. Setelah persetubuhan tadi, keduanya langsung tidur kelelahan.

Entah sudah berapa liter sperma yang masuk ke dalam tubuh mereka melalui lubang-lubang mereka, belum lagi sperma yang hanya membasahi tubuh seksi mereka. Dan entah setan dari mana, kembali kusetubuhi mama dan tante yang tertidur lelap itu sampai habis spermaku. Baru kemudian aku tertidur pulas di antara tubuh telanjang mama dan Tante Lia.

Petualanganku terjebak di hutan dan terdampar di gubuk mesum ini memang sudah berakhir, namun kisah kami belum lah selesai. Tentu saja setelah keluar dari hutan ini kami harus melanjutkan hidup di kehidupan nyata. Ceritanya akan kukisahkan nanti.

To be continued…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu