1 November 2020
Penulis —  mastershinden

Pengalaman Hidupku Bersama Mama dan Tante Lia

POV MAMA

Ditinggal suami untuk selamanya memang menyedihkan sekali. Aku kehilangan teman bercerita, tempat berlindung, dan juga tempat mengadu kasih. Tapi aku harus kuat dan tegar. Aku harus menggantikan peran suamiku sebagai kepala keluarga. Anakku, Rendy, mau memasuki umur remaja. Ia masih berumur 11 tahun.

Hingga bulan ke empat kematian suamiku, aku masih dirundung kesedihan. Baik itu di kantor atau di jalan atau sedang di rumah, aku kadang-kadang masih menangis. Tapi setiap aku ingat anakku yang tampan dan manis, kesedihanku langsung hilang. Dia lah motivasi hidupku.

Adikku Lia kerap kali datang di akhir pekan ke rumahku untuk menghiburku untuk sekedar mendengarkan keluh kesahku. Bahkan, ketika di hari kerja, dia sering membantu pekerjaan rumah seperti menyapu dan mencuci saat aku sedang sibuk bekerja di kantor sehingga sangat meringankan bebanku sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah.

Maklum, waktu itu rumahnya masih dekat dengan rumahku, sama-sama di daerah Tebet juga, sebelum ia pindah ke rumahnya yang sekarang. Jadi gampanglah kalau ia mau datang ke rumahku, tinggal naik ojek atau bawa mobil sendiri tidak sampai 15 menit. Sebenarnya aku tidak enak juga, dia kan adikku, bukan pembantu.

Tapi karena kami memang akrab sejak kecil, dia ikhlas melakukannya. Saat itu ia sudah empat tahun menikah dengan salah satu bawahanku di kantor, Ifan. Bahkan adikku kenal dengan Ifan ketika adikku ini kebetulan sedang menjemputku di kantor. Waktu itu Ifan merupakan karyawan pindahan dari kantor cabang di daerah.

Setelah itu sepertinya mereka sering berkomunikasi dan akhirnya menikah. Aku juga merasa beruntung punya adik ipar seperti Ifan yang sangat pengertian bahwa istrinya lebih banyak berada di rumahku untuk mengurus urusan rumahku dibandingkan mengurus rumahnya sendiri. Anya dan Nadia, anak mereka, masih berumur tiga dan satu tahun.

Pada suatu hari, aku memutuskan untuk izin dari kantor karena aku merasa tidak fit. Sebenarnya aku hanya banyak pikiran sih karena aku masih merasa tidak bisa menanggung beban ini sendirian. Hiduku rasanya sangat berat tanpa hadirnya suamiku di dalam hidupku. Tak ada tempat bercerita keluh kesah tentang kehidupan, tempat saling menyalurkan kasih sayang, dan pemberi semangat utamaku.

Secara finansial sih aku memang masih mampu menanggungnya, namun secara perasaan, aku tak sanggup. Dan seperti biasa, adikku, Lia, datang ke rumahku. Hanya saja kali ini kedua anaknya tidak ikut karena dititipkan ke ibu kami alias nenek mereka. Dan seperti biasa pula, aku mencurahkan isi hatiku kepada adikku tersayang ini.

Yah, mulai masalah lelahnya berjuang sendiri untuk menghidupi anak semata wayangku, Rendy, hingga masalah pekerjaan di kantor. Kami biasanya saling bercerita sambil lesehan saja di depan televisi di kamarku. Sering ia berkelakar agar aku menikah lagi, tapi kukatakan padanya bahwa aku belum bisa move on.

Lagipula sangat melelahkan jika harus memulai semuanya dari awal. Aku malas jika harus mengulang fase pendekatan, pacaran, pernikahan, dan berkeluarga dengan segala perintilan, tetek bengek, dan drama-dramanya. Buang-buang waktu! Meski demikian aku tak menampik bahwa aku membutuhkan belaian kasih sayang yang mampu menyegarkan dahaga seksualku.

Sudah empat bulan aku tidak berhubungan badan, libido ini pasti sudah terkumpul banyak di tubuhku. Di usiaku yang masih 35 tahun ini hubungan ranjang suami istri harusnya masih cukup hot. Aku pun suka iri melihat suami istri yang semumuran denganku, pasti mereka bisa berhubungan badan saling memuaskan nafsu seksualnya hampir tiap malam.

Memang ada saja orang yang mendekatiku setelah aku menjanda, dari atasanku hingga bawahan di kantorku, mulai dari yang sudah beristri, duda, dan masih jomblo, dari yang daun muda hingga tau bangka, klien-klien perusahaanku, hingga orang yang tak kukenal siapa dan dari mana tapi tau nomor hp ku atau facebookku.

Maklum aku kerja di perusahaan asuransi dan diwajibkan untuk menjaga penampilan serta memiliki jaringan pertemanan dan klien yang cukup luas. Tapi aku masih berusaha berpikiran waras untuk menolak ajakan mereka. Sejujurnya aku lebih tertarik dengan yang lebih muda dariku, sekitar 25 tahun kebawah hehehehe.

Aku suka terperangah sendiri jika melihat anak muda tampan di kantor atau di jalanan yang memakai setelan baju kantoran, ugh keren sekali! Untukku tidak atletis tidak apa-apa, asal jangan gendut. Mungkin karena dalam ilusi yang di dalam otakku, aku menganggap aku ini masih muda, cantik, dan seksi (Ah, ngayal aja kamu Linda!

(Oke, kembali ke momen dimana aku sedang curhat dengan adikku)

Hingga kemudian saat itu, aku meletakkan kepalaku di paha adikku, dan ia mulai mengelus-elus rambutku. “Aku sayang kamu, makasih ya, mau nemenin aku”, kataku berbisik sambil sedikit terisak.

Mendengar hal itu, spontan ia menurunkan wajahnya dan melihat mataku yang sudah berlinang air mata. Refleks, ia sedikit menunduk untuk mencium pipiku untuk menenangkanku, dan tak disangka aku menyambutnya dengan reaksi lain. Aku duduk di sampingnya dan kubalas kecupannya dengan ciuman lembut dari pipi hingga ke telinganya, dan di sana aku menjilat ke dalam lubang telinganya yang membuatnya semakin kegelian dan nafsuku sendiri tiba-tiba saja naik.

“Oh.. mbak…”, desahnya “Lampiaskan saja nafsu mbak sama Lia, mbak udah lama ga ML kan.”.

Aku semakin liar menjilati bagian tengkuknya dan memberi gigitan-gigitan kecil yang rupanya disukai olehnya. Ketika kusadari bahwa kemejaku telah terlepas, aku merasa tertantang, dan aku membalas melepaskan T-shirt yang ia kenakan. Ketika ia menunduk dan menjilati puting susuku yang rupanya telah mengeras, aku menggelinjang.

“Mbak suka?”, tanyanya

“Yah..”, kujawab malu-malu, mengakui.

Ia kembali mempermainkan lidahnya, dan aku sendiri mengusap punggungnya yang telanjang dengan kukuku, kurasakan nafasnya panas di perutku, menjilat dan mengecup. Aku memeluknya erat-erat, dan mengajaknya rebah di peraduan, lantas kutarik tubuhnya sehingga ia berada dalam posisi telentang, kami melepaskan BH masing-masing, lalu kubelai payudaranya yang kencang dan begitu indah, lantas kukecup pelan-pelan sambil lidahku terjulur, mengisap kemudian membelai sementara jemariku bermain di pahanya yang tidak tertutup.

Ketika aku meraba ke pangkal pahanya yang masih setengah tertutup roknya tadi, sudah terasa begitu basah oleh cairan yang menandakan adikku benar-benar sedang bergairah. Aku sendiri terus menggelinjang karena remasannya di payudaraku, tapi karena banyaknya libido yang terakumulasi di dalam tubuhku, kali ini aku ingin lebih agresif dan dominan dari pada dia, jadi dengan agresif kubelai lembut rambut kemaluannya, dan kusentuh klitorisnya dengan jemariku hingga jemariku basah dengan cairan yang ada di liang senggamanya kemudian kuusap klitorisnya, dengan lembut dan pelan, sementara ia mendesah dan kemudian meremas rambutku kuat-kuat.

“Oh.. Yeahh.. Ukkhh, ahh, terus, teruss mbak, ahh”, celoteh adikku dengan ributnya. Aku terus mengusap klitoris adikku, dan tiba-tiba kurasakan tubuhnya mengejang kuat-kuat, jemarinya meremas punggungku, lantas ia merebah lemas. Aku memandang ke wajahnya yang bersimbah keringat.

“Sudah Lia?” tanyaku genit. Ia mengangguk kecil dan tersenyum.

“Thanks yah udah nemenin mbakmu ini”, aku mengedik. Tapi kalau aku sih sebenarnya belum puas, belum. Libido masih banyak tersisa, lagipula aku belum diapa-apain apalagi mendapat orgasme. Kukeringkan jemariku sekaligus kemaluan adikku, kemudian aku turun, kumasukkan kepalaku ke dalam roknya, dan menciumi pahanya.

“Ohh.. teruskan terus.. yeah.. enak mbak… terus.. ”, erang adikku. Aku tak peduli dengan erangan itu, aku mendesakkan kepalaku di antara kedua pahanya dan sementara aku mulai menjilati selangkangan dan pahanya, kulepaskan risleting rok adikku, dan menariknya turun. Aku juga melepaskan sendiri celana bahan khas kantoran longgar berwarna hitam yang tengah kupakai.

Dan jadilah kami dua perempuan kakak-beradik ini telanjang bulat di atas kasurku. Sejujurnya mungkin sudah dua puluhan tahun (wow lama juga) aku tidak melihat tubuh telanjang adikku ini, mungkin terakhir ya sebelum masa remaja dulu. Begitupun aku, ini pertama kalinya aku telanjang bulat di depan adikku setelah puluhan tahun.

Aku ingat dulu kami pernah mandi bersama layaknya anak kecil kakak-beradik lainnya. Tidak ada nafsu sama sekali waktu itu. Kali ini, perpaduan antara libido yang tinggi, haus kasih sayang dan seks, serta tubuhnya yang indah membuatku nafsuku naik berkali-kali lipat hingga ubun-ubun. Sejenak menatap tubuh telanjang adikku, aku melanjutkan aksiku di selangkanganya.

Aku semakin membenamkan wajahku di selangkangannya. Sebelumnya aku tidak pernah sedekat ini dengan vagina seseorang, paling-paling hanya meraba kepunyaanku. Namun sekarang vagina adikku tepat berada di depan wajahku, hanya beberapa milimeter saja. Kemudian lidahku dengan telaten menilati setiap centi bibir senggamanya.

Rasanya asin gurih namun bau pesing nikmat. Dalam batinku, oh mungkin begini apa yang dirasakan suamiku dulu saat menjilati kemaluanku. Rambut kemaluannya cukup mengganggu tetapi memberikan sensasi tersendiri. Jemariku kuperbantukan untuk menusuk-nusuk lubang kemaluannya, sementara lidahku telah sampai di klitorisnya.

Dengan ngos-ngosan adikku menawarkan agar gantian, “Huf… huff… Nghhh gantian mbak… mbak pasti kepengen banget dari tadi kan?”

Aku hanya cengar-cengir untuk menjawab pertanyaannya. Gantian aku yang rebah dia yang ada diselangkanganku. Namun sebelum itu ia sempatkan untuk mencium bibirku terlebih dahulu dan payudaraku. Tak lama, ia langsung menghajar vaginaku. Permainannya lebih liar dari yang aku lakukan, mungkin ia mengerti bahwa aku sudah lama tidak begini.

Suara kecipak peraduan antara lidah dan bibirnya dengan bibir kemaluanku yang basah menimbulkan suasana erotis di siang menuju sore itu. Seperti balas dendam, Lia memasukkan jarinya ke dalam lubang senggamaku, mungkin hingga dua jarinya masuk ke dalam. Ia mengocok dan memaju mundurkan jarinya dengan sangat cepat, begitu cepat hingga suara kecipak dari dalam vaginaku begitu kencang.

Dari mulutku aku meracau, “Ahhhghhh enak… enak… Lia… Ohhhh yeahhh enakk…”. Mataku merem melek merasakan kenikmatan service dari adikku ini. TV kami biarkan menyala agar suaranya menyamarkan desahan yang keluar dari mulut kami.

Kepala adikku juga semakin terbenam di selangkanganku karena kombinasi gerakan pinggulku yang melenting naik dengan kakiku yang melingkari pada pundaknya sehingga menekan kepalanya tetap di bagian intimku. Clep, clep, clep, clep… dan… Splashhh… Aku orgasme dengan dahsyat. Pinggulku melengkung ke atas seiring dengan lenguhan panjangku.

Lia naik dan menindih tubuhku. Kami berciuman kembali, tangan saling meremas bergantian antara payudara dan vagina kami, berpelukan erat, bergumul, ndusel-ndusel, tak lupa leher dan telinga disikat habis oleh bibir kami. Kubanting tubuhnya hingga rebah di sampingku dan melanjutkan ciuman dan rabaan kami.

Aku ambil payudaraku sendiri, kugesekkan putting payudaraku ke putting payudaranya. Kami hanya tertawa-tawa dan tersenyum saja selama permainan berlangsung, tentunya diiringi oleh desahan dan rintihan nafsu dari mulut kami. Benar-benar gila kami waktu itu. Kami juga bergantian posisi, kadang aku yang di atas, kadang aku yang dibawah.

Sungguh berbeda sensasi bercinta sesama jenis apalagi dengan adikku sendiri. Aku tahu hubungan yang tak seharusnya terjadi ini adalah dosa tapi mau bagaimana lagi, aku sudah nafsu sekali. Kurasa Lia juga berpikir bahwa tidak ada salahnya memberikan suatu kenikmatan kepada kakaknya yang sedang bersedih ini.

Bosan hanya saling memeluk dan berciuman, kemudian bangkit, aku memutar badanku, dan naik ke atas wajah Lia, sehingga kemaluanku berada tepat di atas wajah adikku yang masih rebah di kasur. Aku menungging hinga wajahku berada diselangkangan Lia. Ya, kami berada di posisi 69, namun agak aneh kupikir karena ini dilakukan sesama perempuan.

Ia mengerti dan segera kami saling menjilat, pantat serta pinggul kami terus berputar diiringi desahan-desahan yang makin menggila. Aku terus menjilati klitorisnya, dan kadang kala kukulum lembut, serta kuberi gigitan kecil sehingga adikku sering berteriak keenakan, begitu pula dengan dia yang melakukan hal yang sama kepadaku.

Kurasakan jemarinya ikut bekerja mengelusi pantatku dan kurasakan ia meremas pantatku kuat-kuat, pinggulnya berputar kian hebat dan kadang ia mendorong pantatnya ke atas agar seakin menempel pada mulutku. Variasi lainnya yang dimainkan adikku, kadang payudaraku yang berada di bagian perut Lia, bagian putingnya dipelintir dengan jari-jarinya.

Tiba-tiba, bunyi ringtone HP adikku menyala, tanda ada panggilan masuk. HP itu tepat berada disamping kami. Aku menghentikan permainanku sebentar agar Lia bisa mengangkat telfon itu. Tapi adikku ragu karena yang menelfonnya adalah suaminya, Ifan.

“Duh ngapain sih Mas Ifan nelfon. Mbak, Lia angkat gak nih?”

“Nghhh.. angkat aja Li. Kita kerjain suamimu aja gimana?”

“Kerjain gimana?”

“Udah angkat aja dulu”, perintahku.

Akhirnya Lia pun mengangkat telfonnya.

“Assalamualaikum mas”

“Waalaikumussalam sayang, lagi ngapain? Di rumah mbak Linda kan?” jawab Ifan di seberang sana.

Aku langsung menjilati kemaluan adikku lagi sambil menyodokkan telunjukku ke dalamnya.

“Engghhh… lagi nonton TV aja mas sama Mbak Linda. Di kamar.”

Mendengar istrinya mendesah aneh, Ifan bertanya, “Eh kamu kenapa kok ngedesah gitu?

“Eh anu mas, sambil makan gorengan, pake rawit hihi”

Dengan iseng aku menjepit klitorisnya dengan jariku sembari ia menelfon. Karena kaget, ia pun terpekik, “Awwww mbak ah geliii!!!”

“Kenapa lagi tuh?”

“Ahhh… anu masss ssshhh… Anu… ini Mbak Linda iseng banget cie cie in aku” dari posisi nungging seperti ini, aku mendongakkan kepalaku ke bawah dan dari sela-sela belahan payudaraku, aku melihat tatapan wajah Lia yang memerah dan melotot kepadaku seakan mengancam agar aku tidak macam-macam.

“Hah? Wkwkwk” dari suara telfon yang bocor kudengar ia tertawa.

Adikku membalas perbuatanku dengan mencolokkan jarinya ke kemaluanku. Aku juga terpekik,”Ihhhh jahat!”

“Loh mbak Linda kenapa tuh?”

“Bersin dia barusan” kata adikku masih berbohong

“Li, ganti posisi ya! Capek nih!” kataku bercanda setengah teriak agar suaranya kedengeran Ifan

Lia semakin melotot kepadaku agar berhenti mengerjai suaminya.

“Kalian lagi ngapain sih? Kok ganti posisi posisi segala? Capek ngapain? Nonton TV kok capek?” rentet adik iparku kepada Lia.

Wajah Lia memerah kembali karena ia kikuk harus menjelaskan apa ke Ifan.

“Ini mas… aduh, nggg… Iya lagi nonton TV tapi Lia di bawah, Mbak Linda di atas. Eh, maksudnya aku tiduran di lantai, tapi mbak Linda duduk di kasurnya. Gitu maksudnya mas.” Jelas Lia.

“Ooh iya iya.”

Meski bercanda, aku benar-benar berganti posisi. Aku bangkit dari posisi nungging tadi. Aku mendudukan Lia yang masih menelfon. Aku punya ide. Aku duduk berhadapan dengan adikku di atas kasur dengan kaki mengangkang. Aku memandu Lia agar melakukan hal yang sama sepertiku sembari ia berbicara di telefon.

Kemudian aku mendekat ke arah Lia. Kakiku sengaja kutumpangtindihkan ke kakinya sehingga kaki kami saling menggamit, paha kananku berada di bawah paha kirinya, begitu pula sebaliknya. Kami cukup dekat hingga payudara kami bisa saling bersentuhan. Sambil tertawa kecil, aku menggoyangkan tubuhku ke kanan dan kiri agar payudaraku ikut bergoyang.

Adikku sepertinya risih dengan tingkahku tapi dia diam saja berusaha menahan diri agar tidak ikut tertawa atau mendesah. Aku semakin mendekat mepet tubuhnya. Sekarang selangkangan kami yang dapat bergesekan. Kugesek-gesek bibir vaginaku ke vaginanya sehingga menimbulkan sensasi geli yang menurutku enak.

“Suara gesek-gesek apa itu yang?”

“Hehehe bukan apa-apa kok. Mas, nanti telfon lagi aja ya, lagi enak nih, eh, lagi seru maksudnya acaranya, duhhh, shhhh, mbak ah…!!”

“Engggg iya iya, nanti aku telfon lagi ya, bye sayang. Muach”

“Muach juga mas” kata adikku memberikan kecup online sambil menutup telfonnya.

Ia langsung mendampratku, “Mbak ah iseng banget sih dari tadi!”

Aku hanya tertawa kecil saja sambil melanjutkan permainan kami. Toh akhirnya ia malah terbawa dengan permainanku ini. Kami mulai menggesekkan kemaluan satu sama lain, menekan-nekan, diiringi desis dari mulut kami yang menikmati hubungan terlarang ini. Bunyi gesekan antar rambut kemaluan kami kembali menyemarakan suara di kamar ini.

“Mbak, Lia punya ide”, katanya sambil menghentikan gesekannya dan keluar dari kamar.

Sesaat kemudian ia kembali membawa dua buah timun. Tau saja dia kalau aku punya timun di kulkas. Rencananya sih akan aku bikin lalapan nanti. Pikiranku sudah macam-macam ketika ia bawa timun itu, aku tahu pasti digunakan untuk menggantikan penis. Masalahnya timun itu adalah timun jepang yang kulitnya tidak rata, banyak tonjolan disekelilingnya, melengkung pula.

Lia duduk kembali duduk di depanku dan kami kembali ke posisi sebelumnya. Lia memasukkan salah satu timun itu ke vaginanya. Timun yang cukup panjang dan besar itu pastinya tidak semua sanggup masuk ke dalam vaginanya. Lia mendekatiku dengan timun yang menancap di vaginanya. Semakin dekat hingga timun itu menyentuh bibir vaginaku.

Sekarang aku mengerti, kami akan bercumbu dengan satu timun yang menancap di vagina kami sebagai alat bantu seks. Lia semakin mendekat dan timun itu pun mulai menerabas masuk ke dalam vaginaku, blessss, tak kuduga otot vaginanku masih lentur untuk mengakomodasi besarnya diameter timun itu. Bentuknya yang melengkung itu ternyata juga memudahkan timun itu untuk memasuki kedua liang vagina kami.

Timun itu kini tenggelam seluruhnya di dalam vagina kami, setengah bagiannya di vagina Lia, sedangkan setengah bagian sisanya lagi di dalam vaginaku. Jadilah kami seperti terhubung dengan timun itu. Oooh sensasinya luar biasa, dinginnya timun karena baru keluar dari kulkas, dinginnya AC di kamarku, beserta dinginnya desiran darah gairah bercampur gelinya gesekan antar vagina kami membuat kami merintih kembali.

Kami memaju mundurkan pinggul kami sehingga timun itu juga timbul tenggelam dari vagina kami. Lagi-lagi bulu kemaluan kami bergesakan. Setiap kutarik pinggulku itu, kulihat itu timun itu basah oleh lendir kenikmatan kami. Aku tidak peduli lagi. Beberapa kali juga timun itu lepas dari salah satu vagina kami, kami pun langsung memasukkannya ke vagina kami dan memulai permainan kembali.

Lama kami berada dalam posisi seperti itu, sampai suatu ketika aku merasakan ada sesuatu di dalam tubuhku yang membuatku seolah merinding seluruh tubuh karena nikmatnya, dan tahu-tahu aku menegang kuat-kuat, “Ouuukkkhhh.. Lia.. ahh.. ahh!” Tubuhku serasa luluh lantak dan aku tahu aku telah mengalami orgasme kembali, kucium pundak adikku, adikku juga mengerang dan merintih, dan terus-terang, aku menikmati pemandangan yang tersaji di depanku ketika ia mencapai orgasme.

Permainan dilanjutkan dengan memasukkan timun itu vagina kami secara bergantian. Pertama Lia yang memasukkan timun itu ke vaginaku, posisiku waktu itu rebah di kasur dan kukangkangkan kakiku ke atas agar memudahkan Lia memasukkan timun itu. Sedangkan Lia kadang setengah tengkurap di samping pahaku, kadang duduk bersimpuh di antara kedua pahaku.

Olehnya, timun itu di maju mundurkan seperti layaknya penis. Sembari bermain dengan timun itu, Lia juga mencium tubuhku, mulai dari bibir, pipi, hingga payudaraku. Setalah mendapat orgasme, aku mengajak gantian, kini giliran aku yang menggunakan timun itu sebagai alat bantu seks, aku menyodokkan timun itu ke dalam vagina adikku.

Kurang lebih sama, aku juga melakukan rangsangan berupa ciuman di tubuh adikku. Adikku juga mendapat orgasmenya. Karena ada satu timun yang menganggur, kusumpal saja timun yang satunya ke mulut adikku, seakan-akan dia sedang melayani dua penis sekaligus, di vaginanya dan di mulutnya. Kami juga melakukannya dengan gaya menungging alias doggy style.

Tidak sampai di situ saja, kami juga melakukan masturbasi bersama-sama dengan dua timun tersebut. Aku satu, dia satu. Kami rebah di kasur secara berdampingan dengan kaki mengangkang, tangan kami sibuk memaju mundurkan timun itu di dalam vagina kami masing-masing. Dari mulut kami keluar desahan yang seirama seiring dengan suara dari TV yang kini sedang menayangkan siaran ulang sebuah talkshow.

Kami ngos-ngosan tak berdaya di atas kasur setelah mendapat orgasme yang tak terhitung jumlahnya siang ini. Lantas tiba-tiba ia bertanya, “Nyesel nggak mbak?”

Aku mengangguk dengan tegas tanda tak mau melakukan ini lagi meski kuakui sensasi kenikmatannya enak minta ampun. Dosa ini telah menyadarkanku untuk tidak mengulangi aksi lesbian sedarah kami. Siang itu kami tidur dengan tubuh telanjang bulat, dan tak pernah melakukannya lagi.

Aku terbangun karena mendengar ketukan pintu di depan. Itu pasti Rendy yang baru pulang sekolah. Aku buru-buru membangunkan Lia dan menyuruhnya untuk segera berpakaian. Akupun juga langsung mencari daster di lemari dan langsung memakainya tanpa memakai dalaman dahulu. Aku langsung membukakan pintu untuk Rendy.

To be continued…

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu