1 November 2020
Penulis —  mastershinden

Pengalaman Hidupku Bersama Mama dan Tante Lia

Part 9: Homecuming

Sinar matahari pagi menyilaukan mataku. Perlahan aku mulai mengerdipkan mata, serentak mama dan tante di kanan dan kiriku juga mulai terbangun dengan mata menyipit akibat sisa ngantuk dan silau, suara burung berkicauan ramai di luar. Juga deru kendaraan lalu-lalang dan klakson.

“Tuuuut Tuuuuuuut”, terdengar suara klakson kereta api dari jarak yang tidak begitu jauh.

Kami saling bertatapan bingung, mama, Tante Lia dan aku nyaris menjerit mendapati tubuh kami telanjang bulat, dengan reflek aku menutupi penisku, sedangkan mama dan tante mendekap payudaranya dan mencoba menutupi vaginanya. Lebih aneh lagi, kami tidak berada di rumah gubug, tapi berhimpitan di kursi belakang mobil yang menghadap hanya sekitar 20 meter dari jalan raya, kami berada di atas jalan masuk hutan yang lebih tinggi dari jalan besar.

“Kamu ambil baju mama dan tante… Cepat”, perintah mama.

Aku bangun melewati tubuh mama, dengan setengah merunduk aku berjalan ke bagasi mobil, khawatir dilihat orang. Aku membuka bagasi dan mengambil tas koper mama dan memberikan kepadanya, lalu aku mengambil ranselku dan berjalan ke balik pohon mengenakan pakaian. Aku menemukan BH-BH mama dan tante dan juga cincin kawin mereka di dalam ranselku, padahal seingatku aku tidak pernah memasukannya.

“Kita balik ke Jakarta aja, Ren”, ujar mama sesaat kita sudah siap semua di dalam mobil.

Sebelum itu aku mencari-cari HP ku di dalam tas ranselku. Aku sedikit terkejut ketika melihat baterai HP ku ternyata tercas penuh 100%, padahal seingatku kemarin sore sudah habis baterainya. Suatu keanehan dan juga keberuntungan, karena aku ingin membuka aplikasi peta di HP ku untuk memandu kami pulang.

Sebelum memasuki jalan raya aku membuka aplikasi peta di HP ku terlebih dahulu. Kali ini aku benar-benar terkejut bahwa kami ada di daerah Cilacap, tepatnya di dekat Sungai Serayu. Bagaimana bisa? Daerah ini benar-benar melenceng dari rute perjalanan kami. Tadi aku sempat mendengar suara klakson kereta api padahal rute perjalanan kami saat berangkat jauh dari rel kereta.

“Ayo Ren, berangkat”, ajak mama.

Aku yang juga bingung hanya menuruti perintah mama. Dan kami segera berangkat.

“Dan kamu jangan cerita-cerita ke om mu”, timpal Tante Lia sambil memakai jilbabnya.

HP mama dan Tante Lia terus berdering dan mereka terbata-bata meminta maaf karena batal menghadiri acara di Solo. Tampaknya daya HP mereka juga sudah terisi kembali secara ghaib. Wajah mereka kian memucat ketika suara di telepon mengatakan sudah menunggu empat hari, berarti sudah empat hari kami berada di hutan itu padahal kami merasakan hanya dua malam.

Selama di perjalanan pulang, mama dan Tante Lia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Aku pun jadi tidak berani ikut berbicara, walau untuk sekedar menenangkan mereka. Sepertinya mereka tidak mau mengungkit kejadian dua hari ini (atau empat hari menurut keluargaku). Aku melihat mereka seperti orang linglung.

Aku yakin sebenarnya di kepala mereka terlintas sekelebat bayangan peristiwa persetubuhan hebat nan haram itu, tapi mereka melihat bayangan itu tidak jelas betul karena sebagian besar persetubuhan itu terjadi sewaktu mereka dalam keadaan tidak sadar akibat diguna guna oleh Pak Simo. Aku pun tak mau mengungkit peristiwa itu, aku takut mereka sadar bahwa mereka telah disetubuhi oleh darah dagingnya sendiri.

Kondisi jalan amat lancar hingga di tengah perjalanan aku melihat basahan di kaus tante, tepatnya di bagian dada. Tante Lia panik sendiri karena basahan itu bukan atas kehendak dirinya. Aku langsung menyadari itu adalah rembesan susu dari payudara Tante Lia. Kuduga susu itu keluar karena sudah beberapa jam tertampung di payudara Tante Lia, dan sekarang payudara Tante Lia yang sudah semakin membesar itu tidak mampu menampungnya lagi.

Sebenarnya aku langsung terangsang melihat rembesan di bajunya yang semakin lama semakin meluas, tapi aku berusaha menahannya. Tak lama berselang mama yang duduk di kursi belakang juga mengalami hal yang sama.

“Lia, gimana ini kok dari tetekku bisa keluar ASI ya?!”, jerit mama.

“Gimana ya mbak? Aduh mbak, Lia juga bingung” Tante Lia malah balik bertanya.

“Eh Ren, jangan liat liat kamu”, pergok mama.

Aku yang ketahuan yang sedang memerhatikan tingkah mereka langsung didamprat mama.

Kulihat dari spion mama malah mengangkat kausnya keatas hingga seluruh payudaranya terbuka. Rupanya mama mencoba menganalisa apa yang terjadi. Ketika mama mencoba memegang payudara kirinya, muncratlah susu dari putingnya hingga ke bagian depan mobil.

“Haaah!!!”, pekik mama melengking kaget. Sepertinya mama terlalu keras menekan payudaranya.

Jalanan sangat macet waktu itu. Ketika kutawarkan untuk berhenti sebentar untuk memeriksa keadaan mereka, mereka menolak karena disekitar situ hanya ada rumah warga.

“Duh gimana ini mbak, biar ga merembes mulu”, tanya Tante Lia pasrah. Tisu pun tidak cukup untuk menyerap susu-susu mereka.

Tanpa menjawabnya, mama berinisiatif mencari gelas plastik yang memang sengaja dibawa untuk minum di perjalanan jauh seperti ini. Mama mulai memeras paudaranya sendiri. Dipijat-pijatnya payudara kanannya dengan mengarahkan putingnya ke mulut gelas dan susunya mulai mengucur keluar dengan derasnya. Tante Lia melakukan hal yang sama.

“Rendy boleh bantu ga mah? Hehe”, tanyaku setengah bercanda setengah nafsu.

“Apa apaan kamu! Apa maksud kamu?”, kata mama.

“Iya ma, maaf” kataku.

Padahal mulutku ini siap menampung susu dari bukit kembar mereka.

Tante Lia yang kewalahan memeras susu dari payudaranya mulai kebingungan, “Mbak kayanya ga cukup deh gelasnya, ini udah penuh.”

“Iyaa nih, mbak juga udah mau penuh, mana yang kiri belom diperes lagi”, balas mama.

Gelas mama dan Tante Lia yang sudah penuh kuambil dan dengan segan aku buang isinya. Setelah itu kuberikan lagi gelasnya kepada mereka.

“Ma coba sambil nungging meresnya, harusnya makin banyak keluarnya”, kataku nakal.

Entah karena pasrah atau kesal, mama menuruti perintahku. Dan benar saja saranku benar. Susu mama terlihat mengucur deras setiap kali mama meremas payudaranya. Bagaimana dengan Tante Lia? Gelas kedua tampaknya belum cukup untuk menampung susu hasil perahan Tante Lia. Tante Lia mulai panik. Akupun tidak bisa menemukan wadah lain untuk menampung susu mereka.

“Tan kalo masih ada susunya, aku mau dong, Rendy siap nampung banyak kok”, kataku serius.

Tante Lia terperangah dan mama menatapku.

“Mbak… apa boleh dicoba??…”, tanya tante ragu-ragu.

Mama memasang ekspresi marah.

“Mbak… tolong mbak izinkan Lia nyoba…”, tante masih memelas kepada mama.

Tatapan tante beralih kepadaku, Tante Lia berkata padaku, “Ren, hanya kali ini saja ya.”

Tanpa persetujuan mamaku, Tante Lia langsung menyodorkan puting kirinya ke mulutku dan tentu saja aku segera menyedotnya. Sepertinya mama ku tidak bisa menolaknya, ia diam saja. Lama kelamaan hisapan ku makin kuat hingga Tante Lia ikut mendesah dan mengelus kepalaku dan rupanya di kursi belakang sana mama telah selesai memerah payudaranya.

Kesempatan ini pun tak kusia-siakan. Aku tak hanya sekadar menghisap puting Tante Lia, tetapi juga memainkan lidahku, berputar putar di putingnya. Kuhisap payudara itu hingga semburan susu yang keluar semakin mengecil. Selesai payudara kiri, kini aku menghajar payudara kanan Tante Lia. Sama seperti tadi, aku memainkan lidahku di sekitar putingnya dan itu membuat tante mendesah kenikmatan.

Semakin kencang desahan tante semakin gelisah juga mama. Sepertinya dia tidak bisa membendung rasa hornynya. Hingga pada akhirnya payudara Tante Lia sudah tidak lagi menghasilkan susu sehingga aku juga berhenti menghisap payudaranya. Payudara kanan tante menghasilkan banyak sekali susu hingga aku kekenyangan.

“Mbak mau coba? Ini tetekku udah kering sepertinya. Kalau diremas lagi ga ada yang keluar”, tanya Tante Lia kepada mama.

Memang masih terlihat tetesan susu keluar dari puting coklat kehitaman milik mama, mungkin karena sedang horny juga.

Mama melihat tanteku dengan wajah jijik namun sebenarnya terlihat rasa inginnya yang kuat untuk payudaranya dikenyot oleh anaknya. Semua itu terpancar dari wajahnya yang cantik. Satu lagi, mereka tidak sadar bahwa aksi memerah susu mereka di tengah kemacetan dilihat oleh banyak orang yaitu beberapa supir truk dan pengendara motor di damping mobil kami yang sama sama terjebak di kemacetan.

Aksi memerah susu itu terjadi beberapa kali di perjalanan pulang seiring pabrik susu mereka tidak kunjung berhenti menghasilkan susu tetapi tidak cukup menampungnya. Beberapa jam setalah diperah sampai kering, keluar susu lagi. Begitu terus selanjutnya. Tentu saja payudara mama yang bisa dikatakan susah berhenti menghasilkan susu, karena ia tidak mau mengikuti saran Tante Lia.

Alhasil beberapa kali aku harus menepikan mobil di tempat peristirahatan untuk mereka memerah susu mereka. Dengan nakalnya aku menepikan mobil di parkiran kendaraan bus dan truk, agar aksi mereka bisa dinikmati banyak orang, baik penumpang busnya atau supirnya. Mereka sepertinya tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya yang penting tidak keluar lagi susu dari payudara mereka yang merembes membasahi pakain mereka.

Hingga akhirnya kami sampai rumah dengan selamat pada dini hari. Tante memutuskan beristirahat dulu di rumahku sampai tubuhnya bugar. Selesai berberes mama dan Tante Lia masuk ke kamar mama sedangkan aku tidur di kamarku. Air susu yang keluar dari payudara mama sepertinya sudah berhenti keluar, karena seingatku memang efeknya hanya sehari semalam.

Aku terbangun pukul 14.00. ketika aku keluar kamar, mereka sudah ada di ruang nonton tv. Mereka juga sudah mandi. Namun ada wajah sembap di wajah mereka

“Rendy, duduk sini”, panggil mama

Aku mulai deg-degan. Mau tak mau aku menuruti perintahnya.

“Coba kamu ceritakan yang kamu tahu”, selidik mama.

Cerita apa mah, kataku pura pura tidak tahu

“Ren, ayolah. Kita habis terjebak di hutan empat hari. Ayo jujur, ceritakan yang kamu tahu!” tante mulai meninggikan suaranya.

Pada akhirnya aku pun bercerita juga, tentu saja dengan mengeliminasi fakta-fakta yang menurutku paling tidak wajar seperti mereka disetubuhi dengan hewan, digangbang dengan enam lelaki, dan termasuk ritual keperkasaanku yang aneh itu. Memang peristiwa-peristiwa tersebut ada yang dialami kedua wanita itu saat mereka sadar, namun kurasa kini mereka sulit membedakan mana yang terjadi saat mereka sadar mana yang terjadi ketika mereka tidak sadar.

Mendengar ceritaku mereka menangis.

“Benerkan mbak…” Lirih Tante Lia.

“Tega banget kamu sama mama, Rendy.” Mama menimpali.

“Ma…”

“Kita kecewa sama kamu, Rendy” sergap tante.

“Tante… Rendy minta maaf ma, tan.”

Aku mendekati mereka dan berusaha sujud di kaki mereka. Tante Lia seperti mendorongku agar aku menjauh. Air mata semakin membasahi pipinya, begitu juga mama.

“Kalau misalnya mama dan tantemu hamil, kita sepakat untuk menggugurkan kandungan kami” kata mama.

“Tapi ma, tan…”

“Memangnya kamu mau tanggung jawab? Papamu udah ga ada jadi mama yang kerja. Mama ga sanggup kerja saat hamil. Mama sudah tua. Kamu juga sebentar lagi kuliah! Kamu bisa ngurusin anak emang?” bentak mama. Entah kenapa bentakannya tidak seperti biasa. Seperti ada penolakan terhadap ucapannya sendiri, mama seperti ingin membohongi dirinya sendiri.

Ia melanjutkan hardikannya, “Tante :ia juga punya suami! Mau jadi apa keluarganya kalau tiba tiba tantemu punya anak? Bisa hancur keluarganya kalau om mu tahu. Belum lagi, apa kata orang kalau mama dan tante hamil! Bisa-bisa diomongin tetangga!”

Aku diam saja menerima omelan mereka. Mungkin memang sudah ditakdirkan aku tidak akan punya anak dari mama dan tanteku, apalagi berkeluarga dengan mereka. Padahal aku sangat ingin.

Singkat cerita tante pulang dan kembali dengan suami dan anaknya dan aku tentu saja masih tinggal dengan mamaku. Semuanya hidup normal kecuali aku semakin menjadi hypersex dan suka mencari konten porno bertema hubungan sedarah khususnya ibu dengan anak. Ditambah lagi dengan genre BDSM atau penyiksaan, wanita hamil, dan bersetubuh dengan hewan.

Tak ketinggalan kuputar ulang video-video hasil rekaman di HP saat kami tersesat di hutan itu. Intensitas masturbasiku bertambah. Aku bermasturbasi dengan pakaian dalam mama dan tante yang kuambil saat peristiwa brutal itu. Bahkan aku mulai mencari pakaian dalam kotor mama di keranjang pakaian kotor sebagai alat onaniku.

Mama kulihat beraktifitas seperti biasanya, ia tetap bekerja di kantornya. Selagi mama bekerja, aku biasanya hanya di rumah atau pergi les untuk menyiapkan ujian masuk perguruan tinggi negeri favoritku. Setiap detik pun aku tidak bisa melupakan kejadian kami beberapa waktu lalu. Benar-benar sebuah pengalaman yang merubah hidupku, sebuah pengalaman yang tidak bisa semua orang merasakannya.

Namun ada hal aneh yang terjadi. Setiap malam jumat kudengar kegaduhan dari kamar mama. Tetapi pada pagi harinya mama terlihat biasa saja. Hingga pada malam jumat keempat aku memberanikan diri untuk mengecek kamar mama dan kudapati mama sedang mengalami mimpi buruk. Dalam tidurnya mama mulai meracau, kebanyakan dalam bahasa jawa.

“Ma! Ma! Bangun!”, kataku sambil mengguncangkan tubuh mama.

Mama masih mendesah dalam tidurnya, “Ahhh tolong entot mama nak… mama haus pejumu… Hamili mama…”

“Ma!!”

Akhirnya mama bangun.

“Rendy… hiks hiks… sambil mengusap matanya”

“Ada apa ma?”

“Mama takut… Hiks hiks”

“Mama mimpi apa?”

Mama hanya menggeleng.

“Ma cerita sama Rendy.”

“Mama masih menggeleng, menolak untuk cerita.”

Aku pun pasrah saja. Aku tadinya mau meninggalkan mama dan kembali ke kamarku

“Yaudah ma, mama tidur lagi ya, jangan lupa doa dulu. Rendy balik ke ke kamar.”

“Eh jangan rendy, temenin mama tidur sini aja… mama takut…”

Tadinya aku enggan karena masih menonton film favoritku di komputer. Tapi aku berpikir inilah suatu kesempatan emas. Akhirnya aku mengiyakan ajakan mama. Hitung-hitung sudah lama sekali aku tidak tidur dengan mama, mungkin terakhir kali saat aku masih kelas 5 SD.

Aku merebahkan diri di samping mama. Mama sepertinya sudah tenang kembali. Tidur sekasur dengan mama membuatku teringat pengalamanku empat minggu yang lalu dan hal itu membuat penisku yang terbungkus celana dalam dan celana pendek terbangun. Tampaknya mama yang belum tidur kembali menyadarinya.

“Ren, burungnya tidurin dulu dong…” pinta mama.

“Hmm berarti minta dibantuin tidur ma hehe”

“Jorok kamu ren… udah, tidur sana!” jawab mama ketus.

Mama kini menghadapkan tubuhnya menyamping memunggungiku. Sayang sekali aku tidak bisa melihat wajah cantiknya saat tidur. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku memeluk tubuhnya yang dibalut daster itu dari belakang.

“Ma…”

“Iya ren?”

“Rendy sayang mama.”

“Iya, mama juga sayang Rendy”

Kali ini tanganku mulai bergerak dari pinggul, naik ke arah perut, dan terakhir tepat di bawah payudaranya.

“Bukan, ma… maksud Rendy…” kataku sambil berusaha menggapai payudara mama.

“Hush ngapain kamu Rendy… Jangan kurang ajar ah!” sambil mengelakkan tanganku supaya melepaskannya dari tubuhnya.

“Ehm iya maaf,” maaf kataku

Ada yang aneh dari mama, walau menolak dan marah tetapi nadanya seperti dibuat-buat. Tapi yasudah lah, apa boleh buat. Akhirnya malam itu aku hanya tidur saja, berdua bersama mama.

Esok paginya, lewat percakapan di telfon antara mama dengan tante lia yang tak sengaja kudengar, bahwa ternyata Tante Lia mempunyai masalah yang sama belakangan ini, yaitu mendapat mimpi buruk setiap malam jumat. Dari percakapan itu aku tahu mama dan Tante Lia pernah mimpi disetubuhi oleh anjing hitam, dipaksa menelan sperma dari 60 laki laki, diperkosa ramai-ramai oleh anak kecil seperti tuyul, disiksa dengan diikat, dicambuk, digantung serta kemaluan mereka dimasuki alat alat yang tidak masuk akal, dan terakhir yang kudengar adalah mereka mimpi sedang disetubuhi olehku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu