1 November 2020
Penulis —  mastershinden

Pengalaman Hidupku Bersama Mama dan Tante Lia

Part 5: Hari Kedua

Aku terbangun oleh sinar matahari yang menyilaukan mataku yang masuk dari sela-sela dinding bambu kandang itu. Sudah tidak ada Asih, Bu Sekar, mama dan Tante Lia. Sepertinya mereka telah bangun lebih dahulu. Aku tidak tahu jam berapa sekarang karena hp ku ketinggalan di rumah gubuk itu. Aku bangkit dan memakai celana pendekku dan ketika aku sampai di pintu kandang, aku tertegun melihat dari kejauhan mama dan Tante Lia sedang berjongkok di samping sumur rumah ini.

“Ayo nduk kencing atau tak kencingi sampeyan!” hardik Pak Simo pada mereka.

“Ngih pak”, kata mama.

Kedua wanita itu langsung mengeluarkan kencingnya dengan satu kaki diangkat. Kaki tante bertumpu pada dinding sumur disampingnya, sedangkan mama yang jongkok di samping Tante Lia menumpukan kaki pada pingul Tante Lia.

“Aduuh sakit pak…” erang kedua wanita itu saat mengeluarkan kencingnya.

“Terus nduk, kencing yang banyak”, kata Pak Simo.

Mereka kesakitan saat kencing pasti karena semalaman vagina mereka diobrak-abrik oleh berbagai macam penis dan juga diisi berbagai sperma.

“Kalian haus nduk?” Tanya Pak Simo yang dibalas anggukan oleh mama dan tante.

Tak disangka Pak Simo melorotkan celana sontognya. Keluarlah penisnya yang sudah mengacung. Pak Simo menembakan kencingnya ke wajah mama dan Tante Lia yang sudah menyambutnya dengan muut terbuka. Mama dan Tante Lia menampung cairan kuning tersebut di mulutnya sebelum meminumnya.

“Hahaha dasar lonte sukanya minum kencing!”, hardik Pak Simo

Kemudian Pak Simo menimba sumur itu dan menyiramkan airnya ke tubuh telanjang mama dan Tante Lia yang masih berjongkok. Setelahnya Pak Simo masuk ke dalam rumah. Aku mendekati mereka berdua. Wajah mereka sayu. Tatapan mata dan perangai mereka seperti orang sadar tetapi sesungguhnya mereka masih dalam pengaruh guna-guna Pak Simo sehingga yang tersisa dari kedua wanita ini adalah nafsu setaniah dan kebinalan mereka.

Aku yang tadinya hanya memakai celana pendek saja kini telanjang bulat dengan penis yang mengacung karena melihat mama dan tanteku direndahkan seperti ini. Aku ingin juga mengencingi wajah cantik dan tubuh montok mereka. Dan kini aku mengencingi wajah Mama dan Tante Lia. Tak lupa kuarahkan tembakan kencingku ke payuda-payudara montoknya.

“Ternyata kamu ndak tahan juga ya ngencingin ibu sampeyan hahaha”, Pak Simo mengagetkanku.

Aku sedikit kaget dan cepat-cepat menimba air dari sumur dan menyiramkan airnya ke tubuh dua wanita malang itu.

“Sekarang cepat pakaikan ibu dan tante sampeyan kemben ini!” perintah Pak Simo sambil memberikan kain batik itu kepadaku. “Habis ini kita akan mandi”, tambahnya.

Dengan cekatan aku memakaikan kembennya ke tubuh mereka. Tetapi tak hanya kain itu yang diberikan oleh Pak Simo, tanpa menjelaskan gunanya ia juga memberikanku sebuah gunting karatan. Aku menyimpannya di kantong celana pendekku.

“Ayo ikuti saya!” perintah Pak Simo.

Kami bertiga mengikuti langkah Pak Simo. Bu Sekar dan Asih tidak ikut. Kulihat dari atap belakang rumah keluar kepulan asap, sepertinya mereka sedang memasak. Padahal aku ingin sekali mandi dengan mereka.

Akhirnya kami berempat jalan kaki menyusuri hutan. Sekitar 20 menit berjalan aku mendengar suara gemuruh air terjun. Tak lama kemudian aku melihat pemandangan yang indah sekali. Komposisi susunan pohon-pohon hijau, batu-batu kali dan air yang jernih nan deras serta suara jangkrik yang bersahutan menambah suasana indah pagi ini.

Untuk mencapai sungainya, dari jalan setapak tempat kami berdiri sekarang, kami perlu menuruni tebing yang lumayan curam dengan tangga bebatuan yang cukup licin. Sesampainya di bawah, tak butuh waktu lama kami berempat segera masuk ke air. Aku dan Pak Simo tidak melepaskan celana pendek kami, mama dan tante juga tidak melepas kembennya.

Melihat kemben kekecilan mama menyeplak mengikuti lekuk tubuhnya, aku menjadi bernafsu. Kudekati mama dari belakang. Kutarik paksa kembennya hingga terlepas, kulempar kembennya ke bebatuan di pinggir sungai. Aku juga melepaskan celana pendekku. Aku mulai memandikan mama. Ingatanku terbang menuju masa lampau.

“Enghh… Jangan pak…”, desah mama yang masih mengira aku Pak Simo.

Kuremas terus payudara besar itu tetapi kini payudaranya sudah tidak menghasilkan susu lagi, mungkin karena pengaruh ramuannya sudah habis. Tanganku berpindah ke perut mama. Aku bisa merasakan lemak-lemak di perut mama yang membuat perutnya sedikit berlipat, khas ibu-ibu. Kucubit-cubit ringan perutnya sambil kucium leher mama dari belakang.

Semakin kencanglah desahannya. Tanganku yang satunya lagi menjamah vagina mama yang berbulu lebat itu. Kumasukan 3 jari tanganku ke dalam vaginanya dan mulai mengocok-ngocoknya. Aku semakin merapatkan perutku di punggungnya. Penisku kini dijepit diantara kedua bongkah pantat semoknya. Kugesek-geseklah penisku di belahan pantatnya.

Permainanku dengan mama berakhir ketika mama melenguh panjang karena mendapat orgasme akibat permainan jariku. Cairan vaginanya yang menyemprot masih bisa kurasakan di jemariku meski kami sedang berada di air. Sedangkan tante yang kini juga sudah telanjang sedang sibuk mandi bersama Pak Simo, tante sedang membersihkan tubuh kekar tetapi buncit milik Pak Simo.

Di saat yang bersamaan, datanglah 4 orang yang bertampang seperti pekerja kasar, kutebak mereka adalah petani atau bisa juga penebang hutan. Mereka masih berdiri di atas tebing itu. Mereka tampak sedikit kaget juga terkagum-kagum melihat pemandangan dua wanita telanjang ini. Tapi kubiarkan saja mereka menikmati pemandangan tubuh indah mama dan Tante Lia.

Pak Simo keluar dari air dan mendekati 4 orang itu. Pakaian orang asing itu compang-camping, terlihat urat-urat dan otot di lengan dan betis mereka. Mereka ngobrol dengan Pak Simo tetapi matanya tak lepas dari kami sambil menunjuk-nunjuk kami. Wajah mereka mengangguk-angguk dan juga tersenyum jahat.

Dengan tidak kuhiraukan kedatangan orang asing itu, kusuruh Mama dan Tante Lia naik ke bebatuan untuk mengeringkan badan. Dari selangkangan mereka yang terbuka terlihat vagina mereka yang diselimuti bulu kemaluan yang lebat. Aku mendekati mereka. Aku mengambil gunting karatan yang diberikan Pak Simo tadi.

Aku memangkas rambut kemaluan mereka satu-persatu, dimulai dari mama tentunya. Aku mencukuri rambut kemaluan mereka dengan telaten. Tidak mulus memang karena yang aku gunakan bukan pisau cukur. Karena dicukur, bibir-bibir vagina mereka yang merekah itu kini makin terekspos. Tak tahan dengan pemandangan itu, aku mulai menjilati kemaluan mereka, tempat dimana aku dan dua sepupuku lahir.

Aku menarik tubuh mama ke air dan membalikan tubuhnya. Kini mama membungkuk di depanku. Tangannya bertumpu pada batu besar di depannya. Aku yang tak tahan langsung memasukan penisku ke vaginanya. Kulakukan lagi persetubuhan haram ini. Kami bersetubuh di dalam air yang dalamnya hanya sebatas perut kami.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu