1 November 2020
Penulis —  kernel

Perahu

Saat kami makan dengan lahapnya, ibu tersenyum dari sebuah sudut saat mata kami bertatapan. Aku mengerti apa arti senyumannya dan arti tatapannya. Terlebih tanpa sadar, aku menyuapkan sepotongikan ke mulut Suti dan Suti menerima dengan mulutnya, ketika aku menyodorkannya ke mulutnya. uti pun makan dengan bahagia.

Usai makan Suti mencuci piring bekas piring makan kami. Saat itu itu ibu datang mendekatiku dan berbisik.

Kamu jangan lupa giliranmu menyirami bayi dalam kandunganku, katanya. Aku mengangguk. Yah sudahkepalang. Dalam perut ibu ada bayiku. Kata ibu yang sudah berpengalaman, aku harus terus menerus menyiraminya, kalau aku tak mau bayiku sakit dalam perut. Aku terkejut. Tiba-tiba saja, ibu mengelus kontolku dari balik celana.

Tadi dia sudah makan kenyang tuh, sindir ibu. Aku mengerti maksudnya. Kontolku sudah makan kenyang dari memek Suti. Aku tersenyu kecil.

Siapa yang kenyang, Bu, tanya Suti menyahut dari belakang.

Mas mu. Dia sendawa, berarti makannya kenyang, kata ibu di dapur. Aku jelas mendengarnya.

Tiga hari setelah kejadian itu, aku didatangi ibu di dapur. Pagi itu, ayah pergi ke kecamatan. Katanya ada pertemuan partai yang mau kampanye. Ayah diundang oleh calegnya. Suti sekolah. Ibu langsung meraba kontolku dari balik celanaku. Pagi yang hangat itu, aku benar-benar jadi nafsu. Langusng kupeluk ibu dan mencium bibirnya dan aku mempermainkan lidahku dalam mulutnya.

Untuk apa? katanya. Aku hanya menatapnya dengan mataku aku meminta ibu mengikuti apa yang kumau. Ibu pun berjongkok. Kukeluarkan kontolku, lalu kusodorkan ke mulut ibu.

Hisap bu, kataku. Ibu sempat melihatku. Lalu kontolku dipegangnya, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.

Aduh, Bu. Jangan kena gigi ibu, sakit, kataku. Ibu berusaha agar gigibnya tidak mengenai kontolku. Aku merasa nikat sekali.

Bagaimana Bu? Enak juga kan? kataku. Ibu ku diam saja.

Ku minta ibu berlutut dan meungging. Ibu melakukannya. Kusingkap rok-nya. Ibu yang tidak memakai celana dalam kukangkangkan. Kumasukkan pelat-pelan kontolku ke lubang memeknya. Perlahan aku enusuknya dan perlahan pula aku menariknya.

Bagaimana, Bu? kataku.

Enak. Teruskan, katanya. Aku mencucuk tarik kontolku di dalam lubang memek ibu. Ibu mendesah-desah, bagaimana anjing yang baru saja usai berlari jarak jauh. Sampai akhrinya, aku melepaskan spermaku di dalam memek ibu.

Perut ibu semakin membesar. Ibu sudah tak mungkin lagi ut ke laut. Jika sore Suti tidak ikut latihan pramua atau les, Suti selalu menemaniku ke laut. Tentu dengan nasehat, hati-hati, jangan sampai Suti hamil dan jangan sampai ada yang tahu. Aku mengangguk. Aku pun melaut bersama Suti. Selalu saja, aku ketinggalan kondom.

Suti juga tidak mengingatkan dan malah Suti sangat menginginkan aku tidak memakai kondom. Kami justru bersetubuh denga leluasa tanpa pengaman. Tanpa sadar, Suti hamil dalam usia 15 tahun. Aku sempat panik juga. Kalau digugurkan, bagaimana mengatakannya kepada ibu dan bagaimana mengatakannya kepad adokter yang akan menggugurkannya.

Aku mulai meyakinakn SUti, kalau dia harus membawa Amir ke pulau ini, kemudian merayunya dan melakukan persetubuhan dengan Amir. Mulanya Suti tidak mau, atpi aku terus meyakinkannya, kalau kami tak mungkin menikah. Dengan perasaan berat, SUti akhirnya mau juga. Aku lebih dahulu ke pulau kecil dan mengendap di balik pohon bakau.

Tak lama perahu kecil dinaiki oleh AMir dan Suti muncul. Aku sembunyi di balik pohon bakau yang lebat. Aku melihat AMir mulai merayu Suti. Usia mereka hanya selisih 4 tahun. Mereka pun berciuman. Saat itu Suti yag sudah lincah dan pintar mulai mengelus-elus kontol Amir. Amir membalas mengelus-elus memek Suti dan Amir melepaskan celananya.

Perlahan pula Amir melepas celana Suti yang tidak memekai celana dalam. Perlahan Amir menindih Suti di atas perahu dan memasukkan kontolnya ke dalam memek Suti. Aku melihat dengan jelas, Amir menggenjot Suti dari atas sampai perahu terangguk angguk. Sampai akhirnya mereka merenggang dan Suti menangis.

Aku mendengar Amir membujuknya dan memeluk Suti dengan tulus. Kejadian itu terulang berkali-kali atas petunjukku. Sampai akhirnya, aku meminta dikawani oleh dua orang tua mencari perahu yang dipakai Amir dan Suti. Kami mengendap-endap dari balik pohon bakau. Kami bertiga melihat Suti digenjot oleh Amir.

Bagaimana. Kita tangkap basah, kata salah seorang orangtua itu.

Terserah. Tapi aku di sini saja. Aku malu, kataku. Mereka memakluminya. AKhirnya kedua orangtua penduduk kampung kami memergoki mereka dan menyergapnya. Saat mereka menyergapnya aku puilang sendiri. Dari kejauahan aku melihat mereka membawa Suti dan Amir ke kampung dan aku sudah lebih dahulu sampai.

Aku katakan, aku tak mau persoalan ini diperbesar-besar. Aku meinta agar mereka dinikahkan saja. Mulanya ayahku uring-uriongan. Tapi aibuku membentaknya dan aku menyetujui mereka menikah. Akhirnya, kedua orangtua Amir setuju mereka dinikahkan, karena ibu AMir sudah lama menyenangi adikku Sutinah.

Sore itu, beberapaorang di desa itu diundang, termasuk kepala sekolah Suti. Kepala desa memohon, agar Suti diperkenankan mengikuti ujian, minggudepan agar mendapat ijazah. Kepala sekolah setuju. Mereka dinikahkan dan ayahku menjadi walinya. Aku tertunduk. Saat mata Suti melirikku, aku tersenyum dan Suti tersenyum sembunyi-sembunyi.

Malam itu juga, Amir pindah ke rumah kami dan di rumah tirai pembatas di pasang. Aku tidur di dapur. Setelah sebulan, Suti mulai muntah-muntah. Hampir seluruh dengan mengathui kalau SUti hamil. Orangtua Amir sangat senang. Bahkan ada yang mengatakan.. Amir itu laki-laki perkasa. Begitu nikah langsung hamil.

Ini anak Mas, Kan? kata Suti berbisik. Aku mengangguk. Dalam hatiku, kalau setahu ini, aku akan mendapatkan dua orang anak sekali gus. Sati dari ibu dan satu dari adikku Suti.

Orang-orang kampung datang ke rumah kami, setelah tujuh hari ibu melahirkan seorang bayi laki-laki. Selamatan dibuatkan kecil-kecilan. Bacakan namanya. Ayaku senang ssekali atas kelahiran bayi mungil itu. Dalam usianya yang tua, orang brkata, kalau ayahkju masih hebat. Ayah pun dengan busung dada sangat bangga dikatakan demikian.

Duabulan setelah itu, giliran Suti melahirkan. Dia meraung-raung. Maklum anak pertama. Aku sangat gelisah akan keselamatan adikku Suti. Ada penyesalan dalam diriku. Ibu bidan desa terus menerus menemani Suti yang masih muda belia itu. Akhirnya aku mendengarkan suara tangisan bayi yang memecah hembusan angin senja.

Setelah semua selesai, kami satu-persatu bergantian diberikan kesempatan m, enyalami Suti. Pertama Amir, kedua orangtuanya, ayahku dan terakhir aku. Aku mencium pipi SUti. Suti memelukku kuat dan meneteskan air mata. Aku juga.

Selamat ya dik kataku.

Suti meraih tengkukku dan membisikkan ke telingaku.

Bukan dik. Bune katanya berbisik.

Aku mendekarkan mulutku ke telinganya dan megatyakan: Selamat ya bune

Suti tersenyum di balik wajahnya yang masih pucat. Aku juga tersenyum. Semua menyaksikannya. Lalu ibuku angkat suara.

Aku bahagia sekali. Anak laki-lakiku, sangat menyayangi adiknya Suti. Demikian juga Suti sangat menyayangi kang Mas-nya. Maklumlah, selama ini hanya ada mereka berdua, sebelum adik Suti laghir, kata ibuku dengan sedikit bangga atau dibangga-banggakan.

Semua ikut memuji kami, aku dan SUti

TAMAT

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu