1 November 2020
Penulis —  Pemanah Rajawali

Obsesiku

KELAS LIMA

Ketika pulang ke rumah, aku yang sudah pernah ciuman dengan bibiku yang bungsu, jadi berusaha mencium bibir ibu. Mula-mula aku takut melakukannya karena takut dimarahi, namun aku memberanikan diri pada hari pertama sekolah, karena ada kesempatan untuk melakukannya. Ketika aku pamit, aku cium tangan ibu, kemudian kedua pipinya dan dengan cepat aku cium bibir ibu.

Siangnya ketika pulang, ibu yang sedang menonton TV kuhampiri, setelah duduk di depan tubuhnya yang tidur miring itu, aku meminta tangannya untuk kucium, lalu kedua pipinya dan kucium bibirnya lagi.

“Kamu kok pake cium-cium bibir sekarang?” tanya ibu dengan suara perlahan tanpa ada nada marah.

“Emang ga boleh ya bu?” tanyaku.

“Boleh sih…” kata ibu sambil melirikku dengan satu alis dinaikkan, sepertinya hendak mengatakan bahwa walaupun boleh hal itu sedikit aneh.

“Terimakasih, bu” jawabku sambil menyolong satu ciuman ke bibir ibu lagi.

Setelah itu aku ganti seragamku dan aku hanya memakai celana pendek tanpa celana dalam, sementara aku hanya pakai singlet. Ibu hanya melihatku sekilas namun tidak memberi komentar apa-apa. Aku kembali menciumi punggung dan lalu ketek ibu seperti biasa sampai aku orgasme kering. Ketika aku bangun, ibu sudah di dapur.

Aku memeluknya dari samping seperti biasa. Alih-alih menciumi ketiaknya seperti biasa, aku berkata.

“Wah nikmat banget keliatannya. Terimakasih ya bu.”

Ibu menoleh ke arahku dan berkata.

“Tahu tempe sama sayur kok dibilang nikmat?”

“Masakan ibu pokoknya mantab.” kataku lalu mencium bibirnya lagi. Baru aku mulai menciumi keteknya.

Saat malam sebelum tidur, aku juga mencium ibu setelah mengucapkan selamat tidur.

Mulai saat itu, aku selalu mencium bibir ibu ketika pamit ke sekolah, pulang sekolah, mau tidur siang atau malam, dan ketika mau makan. Entah makan pagi, siang atau sore. Mula-mula muka ibu akan memerah dan sedikit kaget tiap kali aku cium. Namun seiring waktu, bahkan ibu membalas ciumanku sehingga bibir kami mengeluarkan suara kecupan pelan.

Lewat empat bulan semenjak itu, bertambah lagi aktivitasku. Saat itu sudah subuh, aku kebelet kencing. Setelah kencing aku kembali ke kamar tidur dan berbaring di belakang ibu seperti biasa dan alhasil aku menjadi horny. Apalagi namanya anak laki tiap bangun pagi burungnya juga bangun. Maka aku mulai menciumi punggung ibu lagi.

Ibu tertidur menyamping memeluk guling. Tadinya aku menggeseki tempat tidur seperti biasa pula ketika aku menciumi punggung ibuku, tetapi saat itu aku baru sadar bahwa ibu sedang tertidur, alangkah nikmatnya bila burungku menggeseki tubuh ibu dan bukan hanya menggesek benda mati seperti lantai dan tempat tidur.

Apalagi aku sudah merasakan nikmatnya menggesekkan kontol di memek, walau masih tertutup celana dalam. Maka perlahan aku yang masih memeluk ibu dari belakang, menggerakkan tubuhku hingga kini aku mmemeluk ibu sambil merapatkan selangkanganku di belahan pantat ibu. Kemudian aku mulai menekan kontolku di pantat ibu sambil menciumnya dengan nafsu yang mulai membara.

Karena begitu nafsu, aku baru menyadari beberapa saat tubuh ibu yang menyamping kini sudah terdorong ke depan sehingga tangan kanan ibu kini menopang ke depan. Badanku yang miring menindih punggung ibuku. Aku yang baru sadar segera melepas ciumanku, tapi kulihat ibu tetap tidur. Kucium lagi punggung ibu yang halus itu perlahan lalu kulepas.

Ibu tidak bergeming. Kucium dan kulepas lagi punggungnya. Kucium dan lepas lagi. Setelah beberapa kali ciuman perlahan, aku mencium punggung dengan cepat namun dengan keras sehingga terdengar bunyi kecupan bibirku di punggungnya. Tidak ada reaksi. Maka sambil kontolku tetap menekan pantat ibu, aku mulai mengecupi punggungnya.

Aku mengecupi sekujur punggung ibu yang setengah telanjang itu. Aku tidak ingin melewati satu sentipun kulit punggung mulus ibuku. Entah sudah berapa kali bibirku mengecupi sekujur punggung ibuku, nafsuku bukan mereda, namun makin membahana. Lama kelamaan aku menciumi punggung ibu bagaikan kesetanan, bagaikan ayam lagi makan beras, aku mematuki punggung ibuku dengan gerakan yang cepat dan keras hingga aku rasakan kontolku mengejan-ngejan, berhubung aku belom akil baliq, maka aku belum punya sperma, namun orgasme kurasakan.

Ketika aku lemas, aku melepaskan tekanan kontolku ke pantat ibu itu tanpa melepasnya. Aku masih memeluk ibu, namun tidak seerat tadi, dan wajahku masih kubenamkan di punggung ibu yang kini berkeringat. Aku mengusapi punggung basah ibu dengan wajahku. Aku mengecupi lagi punggung itu dengan perlahan.

“Numpang, Ndra, ibu sakit perut mau ke belakang.” kata ibu.

Aku terkaget, ternyata ibu sudah bangun dari tidurnya. Tanpa bersuara aku melepas ibu dan saat itu aku merasa takut karena aku sudah menekan kontolku di pantatnya.

Kuputuskan untuk segera mandi. Ketika aku sudah rapi, ibu sedang menyiapkan makanan. Kulihat wajahnya tidak ada tanda-tanda marah. Kuberanikan diri mencium bibirnya. Ibu membalas dengan kecupan yang sedikit keras. Membuatku bingung, apakah ia marah, tapi kalau marah tentunya tidak akan menciumku. Aku harus tahu apakah ibu sedang marah atau tidak.

“Hendra… Tadi pagi kan sudah… Apa belum puas?” tanya ibu. Suaranya sedikit meninggi tapi diucapkan dengan agak berbisik. Membuatku menduga-duga. Aku mengetes respons ibu dengan tidak menjawab tapi menggencarkan ciumanku sehingga terdengar bunyi kecupan keras akibat bibirku yang memaguti punggung putih ibu.

“Hendra… Kamu ngapain, nak?” tanya ibu. Pertanyaan ini seharusnya ditanyakan ibu sedari dulu. Semenjak aku mulai mengendusi punggungnya. Mungkin ibu baru merasa takut ketika merasakan kontolku menekan pantatnya tadi pagi. Hubungan ini berbahaya, dan kegiatan kami pagi tadi tentunya mengarah kepada hal yang tabu di antara keluarga.

Ketika aku masih asyik menciumi punggung ibu dan tak menjawab ibu berkata dengan agak keras.

“Hendra! Ibu tanya kamu harus jawab! Hentikan itu! Jawab ibu!”

Walaupun keras, tapi tidak berteriak. Hanya saja suaranya lebih tegas. Maka aku menghentikan ciumanku dan berkata.

“Hendra sedang menciumi punggung ibu yang putih dan seksi, seperti biasanya yang Hendra lakukan setahun terakhir ini. Setiap hari Hendra mencium punggung mulus ibu dan ibu tidak nanya. Ibu kan tahu. Tidak hanya punggung, lengan dan ketiak ibu adalah tempat Hendra menciumi ibu. Kenapa ibu tanya?”

“Yang kamu lakukan itu salah, nak. Aku ibumu…”

“tapi kenapa baru sekarang ibu ngelarang? Kenapa ibu membiarkan Hendra melakukan kesalahan selama setahun tanpa memberitahu?”

Hening. Ibuku tampaknya bingung juga menjawabnya. Keheningan ini aku hilangkan dengan cara menciumi punggung ibu yang mulai berkeringat. Mungkin ia sedang kebingungan mencari alasan. Namun aku tak peduli, kecupanku mulai bertambah keras dan suaranya memenuhi kamar tamu di pagi itu.

“Ini harus dihentikan, Hendra!” kata ibu dengan tegas, tapi masih tanpa berteriak.

“Hendra ga mau…” kataku cepat dan menciumi punggung ibu lagi.

“Hentikan!… Sudah!… Ibu ga mau!…”

Pundak ibu bergerak maju mundur, sesaat pundak yang kanan maju yang kiri mundur dan di saat berikutnya pundak yang kiri maju dan yang kanan mundur, seakan meronta, tetapi anehnya ia tidak membalikkan badan untuk menolak tubuhku, ibu seakan membiarkan aku dengan ciumanku di punggungnya. Aku menciumi ibu selama beberapa menit dengan ibu tetap menyuarakan protesnya.

“Hendra… Sudah! Sudah, Hendra!… Sudahlah… Hendra… Sudah…”

Aku makin giat menciumi punggungnya, sesekali aku jilati tubuh ibu yang basah. Keringat ibu sudah membanjir dan aku suka sekali rasa tubuh ibuku yang penuh keringat itu di lidahku. Aku juga menyukai ibu yang bergerak-gerak seperti saat itu, kegiatan kami berubah, biasanya ibu pasif, kini ia aktif bergerak.

“Jangaaaannnnn…” kata ibu saat itu, tapi tidak berteriak, bahkan agak mendesah. Ia memajukan tubuhnya ke depan, membuat tubuhku yang sedang memeluknya ikut maju dan saat itu kontolku menempel pada bagian atas pantat ibu yang kenyal. Bagaikan mesin yang otomatis menyala tanpa diperintah, kaki kananku kuangkat sehingga melintasi paha kanan ibu dan masuk di antara kedua kakinya, sementara kaki kiriku masuk menyusup di bawah paha kanan ibu, dengan tumit kananku menekan selangkangan ibu sehingga selangkanganku sendiri menempel ketat bagian atas pantat ibu.

Kedua kakiku seperti melingkari tubuh ibu untuk mempererat pelukanku. Bagaikan otomatis juga, kaki ibu yang bersila meregang hingga mengangkang saat telapak kanan kakiku masuk di antara kakinya, memudahkan gerakan kedua kakiku. Namun setelah tumitku yang kanan itu menekan selangkangannya, kedua kaki ibu menjepit kaki kananku.

Posisi kaki kami kini saling menjepit. Kedua kakiku menjepit tubuh ibu yang berada di depanku dengan kaki kanan di antara kedua kaki ibu, dengan kedua betisku yang menjepit kaki kirinya, sementara kedua kaki ibu menjepit betis kananku. Kurasakan ibu menekan memeknya di pergelangan kaki kananku.

“Hendra… Kamu nakaaalllll!” kini suara ibu setengah berteriak namun diselingi desahan yang terdengar erotis sekali,“udah… Udahhh… Udahhhhhhhh… Udhhhaaaaahhhhh…”

Ibu mengulangi kata-kata udah berkali-kali namun makin lama terderang makin mendesah… Bukan suara seseorang yang marah. Saat itu punggungya masih kukenyot, aku lepas kenyotanku dan melihat bahwa punggung ibu di tengah telah tercetak tanda cupanganku. Aku kemudian mengenyot punggung ibu lagi di bagian yang masih bersih cupangan.

“Hendra jahaaaat… Ibu benciiiii… Udaaaahhhhhh dooooong… Ibu ga mauuuu…” ibu meracau terus, kali ini terdengar suaranya bernada merajuk. Bagaikan seorang anak yang minta dibeliin mainan oleh orangtuanya. Perkataan ibu yang berisi penolakan disampaikan bagaikan seorang pacar sedang membujuk kekasihnya untuk melakukan sesuatu.

Tubuh ibu bergoyang maju mundur dan setelah beberapa saat aku baru sadar bahwa ibu sedang menggeseki pergelangan kakiku dengan selangkangannya yang terasa basah. Rupanya ibu juga sedang bernafsu. Maka aku imbangi dengan menggeseki pantatnya dengan selangkanganku juga sambil mulutku mulai mencupangi dan menjilat-jilat sekujur punggung ibu yang terbuka.

“Hendraaaa…” ibu hanya menyebut namaku tanpa berkata apa-apa lagi saat kurasakan ia memajukan badannya dan memeluk kedua kakiku erat-erat yang menyebabkan kedua telapak tanganku di gencet oleh payudara dan kedua pahanya. Celana dalam ibu yang menempel di pergelangan kakiku kurasakan sangat basah dan selama sejenak dapat kurasakan tubuh ibu yang menggigil.

Tubuh ibu tiba-tiba lemas. Tubuhnya mendoyong ke belakang seakan ingin menindihku. Aku menahan tubuh ibu yang lumayan berat namun tak berdaya hingga aku ditindih ibu. Karena beratnya, aku putar tubuh ibu ke samping sambil terus memeluknya di bagian payudaranya ketika ia sedang jatuh sehingga akhirnya kami tidur menyamping dengan kedua tanganku masih meremasi kedua bukitnya yang indah dan besar itu.

Gerakan itu membuat bagian rok daster ibu tersingkap lebih tinggi ke pinggulnya, sehingga kini terlihat seluruh celana dalam hitam ibu. Aku melihat celanaku dan celana dalam ibu menempel dan aku merasakan ibuku membalas goyangan pantatku. Tiap kali aku tusuk maka ia menekan balik, sehingga kontolku merasakan nikmat yang sangat.

Aku jadi bernafsu sehingga setelah lama aku menggeseki pantat ibu, aku tak menyadari bahwa posisiku makin ke bawah, karena otomatis selangkanganku mencari posisi yang lebih enak untuk menggesekkan selangkanganku, sehingga tahu-tahu aku menggeseki bagian bawah pantatnya di mana kutahu di baliknya ada selangkangan ibu dengan keras.

Maka pertama kali aku lepaskan tangan kananku dari payudara ibu, lalu secara perlahan aku memegang paha ibu yang mulus. Ibu mendesah. Aku elus-elus paha ibu sambil terus menggesek pantatnya, juga mulutku terus mengenyoti punggung ibu dan tak ketinggalan tangan kiriku meremasi payudara kiri ibu. Tiba-tiba saja kudorong paha ibu ke atas sehingga membentuk sudut 45 derajat yang menyebabkan selangkangannya terbuka.

Dengan tangan kananku juga, aku segera menarik celana pendekku hingga celana dalamku bebas, aku berusaha menekan selangkangan ibu, namun berhubung aku masih kecil dan pendek, setelah mencoba beberapa kali dan tidak berhasil, maka aku segera menarik tangan kiriku dari tindihan badan ibu, aku duduk di paha kiri ibu yang menjulur lurus ke bawah, lalu dengan cepat aku menempelkan selangkanganku ke selangkangan ibu yang hanya terhalang dengan celana dalam kami berdua, dengan perut menempel di paha ibu.

Aku dapat merasakan celana dalam ibu yang basah disertai bau vagina ibu yang kini tercium jelas. Dengan halangan yang minim, aku dapat merasakan belahan memek ibu menggeseki batangku. Kini posisi kami adalah ibu tidur menyamping dengan kaki kanan ditekuk, aku duduk di paha kiri ibu, kaki kananku menyelusup di tindih kaki kanan ibu dan kaki kiriku menempel pantat dan punggung ibu, tangan kananku memegang paha kanan ibu sebagai pegangan dan tangan kiriku kini meremasi tetek kanan ibu yang masih tertutup daster sambil mendorong selangkangan ibu dan memutar-mutar pantatku, tubuhku agak condong ke arah kanan.

“Hendra… Jangan sayaaaaanggg…”

Namun kurasakan ibu juga balas mendorong sambil menggerakan pantatnya memutar. Kini kedua selangkangan kami menempel dan saling bergesekkan tanpa dilepas. Dapat kurasakan celana dalam ibu membasahi celana dalamku akibat cairan kewanitaan ibu. Saat itu kupikir itu adalah keringat, karena punggung ibu sudah banjir keringat dan karena aku asyik menyedoti dan mengenyot punggung ibu dari tadi tanpa jeda.

“Aaaaahhhhhhhhh, Hendraaaaaaaa…” suara ibu yang penuh birahi menambahkan nuansa birahi yang membara. Ibu menjadi makin liar dan tekanan selangkangan ibu makin keras dan gerakannya makin cepat. Aku tak mau kalah dan membalas menggesek selangkangan ibu dengan keras. Sementara, tak sadar tangan kananku memegang bagian dalam paha ibu dan ketika aku sedang asyik mengulek selangkanganku di selangkangan ibu, tanganku tak sengaja mengangkat paha ibu sehingga paha itu mejadi dekat dengan wajahku.

Saat aku menyadari aku langsung mengenyoti paha putih ibu yang basah oleh keringat itu. Cukup lama aku mengenyot dan mulai menjilati paha kanan ibu itu sampai aku tak tahan lagi, aku mengenyot paha kanan ibu kuat-kuat dan mendorong kontolku keras-keras karena aku orgasme, sementara Ibu tiba-tiba melenguh dan mengerang sambil membarengi menekan balik selangkanganku.

Aku orgasme kering tanpa sperma, sementara tubuh ibu mengejan, dan selangkangan kami mendorong keras satu sama lain seakan ingin menghancurkan lawannya masing-masing. Aku terhenyak duduk kelelahan.

Beberapa saat kemudian ibu membalikkan badan sehingga telentang. Tangan kanannya diangkat untuk merapikan rambutnya yang awut-awutan karena kegiatan kami sehingga ketiaknya yang basah itu terbuka menampilkan bulu ketiak yang juga sudah lepek disiram keringat.

Aku menindih ibu lalu menghirup ketiaknya. Sementara kontolku yang lemes aku tekan di memek ibu dengan masih terhalang celana dalam kami.

Perlahan ibu berbicara padaku, ibu mewanti-wanti aku bahwa aku tidak boleh menceritakan kejadian ini kepada siapapun.

“Memang kenapa, Bu?”

“Karena ibu bisa masuk penjara,” jawabnya singkat.

Aku mengangguk pelan. Aku sedang menjilati ketiak ibu ketika ibu mendorongku pelan dan bangkit dan menyuruhku sarapan karena harus sekolah. Aku saat itu mulai horny dan berusaha memeluk ibu lagi dan menciumi tubuhnya ketika ibu berkata.

“Kamu harus sekolah. Harus jadi orang pinter. Kalau kamu ga mau nurut, ibu ga akan mau lagi meladeni kamu.”

Akhirnya aku mengalah dan segera sarapan untuk kemudian berangkat sekolah, tentunya dengan memberikan ciuman di bibir ibu yang dia sambut dengan keras, seperti gemas padaku. Setidaknya, hubungan kami mulai saat itu berubah menjadi lebih intim lagi. Kami sudah sampai ditahap saling menggesekkan selangkangan.

Ketika pulang, ibu membuka pintu, dan setelah pintu ditutup, aku tak lagi mencium tangannya, namun langsung pipi dan bibirnya. Aku mencium bibirnya dengan nafsu dan ibu saat itu juga menciumku dengan keras sehingga kecupan kami terdengar jelas. Aku buru-buru ganti baju. Kali ini aku tak pakai baju, hanya celana pendek, dan itupun tak pakai celana dalam.

Aku ingin merasakan halus kulit ibu di tubuhku tanpa halangan. Ibu sedang asyik menonton TV. Seperti biasa, ia menonton dengan tidur menyamping dengan kepala menghadap TV. Ia berbaring bertumpu pada bagian kiri tubuhnya. Kulihat rok dasternya tersingkap memperlihatkan hampir seluruh pahanya karena kaki kanan ibu membentuk sudut 45 derajat seperti saat aku mendorong pahanya tadi pagi.

Biasanya aku rebah di belakang ibu, tapi kini aku duduk tepat di belakang pantat ibu dan mulai meraba paha ibu yang halus. Ibu tidak bergeming bagaikan tidak merasakan sentuhan tangan kananku di paha kanannya. Aku mengelus-elus ke arah atas, tanganku bolak-balik ke atas ke bawah hingga akhirnya rok daster ibu ikut terdorong ke atas.

Perlahan dengan kedua tangan aku pegang hem rok daster ibu, lalu kutarik ke atas. Kurasakan halangan karena jepitan tubuh ibu di rok bagian kiri, namun tiba-tiba saja tarikan tanganku berhasil karena ibu sedikit mengangkat pinggul kirinya keatas hingga tahu-tahu karena aku begitu bersemangat, rok daster ibu itu kini sudah berjubel di pinggang ibu yang ramping dan putih.

Aku kembali mengelus paha kanan ibu dengan tangan kananku. Pengalaman tadi pagi membuatku sangat berani, apalagi aku sudah horni ketika aku pulang dan melewati ruang tamu sebelum masuk kamar untuk ganti baju. Maka, aku menarik paha ibu, tidak ada perlawanan dari ibu. Paha kanannya kutarik hingga ibu harus mengimbangiku dengan menggerakan tubuh telentang, sementara paha kiri ibu kudorong sehingga akhirnya ibu mengengkang.

Aku merangkak dan merambat di tubuh ibu hingga selangkanganku menempel di selangkangan ibu. Aku baru sadar ibu sedang menatapku. Kuperhatikan sejenak, tatapan ibu tidaklah mengancam, tapi tanpa senyum, sehingga memberikan kesan ia sedang memperhatikanku dengan seksama. Untuk beberapa saat aku di atas tubuh ibuku dengan kepala di atas dadanya, dengan tangan di samping tubuh ibu, selangkanganku menempel di selangkangannya, sementara kakiku lurus dan kedua kaki ibu mengangkang.

Aku menekan memek ibu yang masih terbalut CD dengan kontolku yang masih juga terbalut celana pendek tipis. Kemudian aku menggoyang pantatku ke kiri dan kanan. Kedua kaki ibu tahu-tahu melingkari pinggangku dan kedua tumitnya menekan pantatku. Kami hanya menatap sambil saling menggoyang pantat. Gerakan kami perlahan selama beberapa menit, tetapi ketika aku merasakan celana dalam ibu mulai basah, ibu mulai mempercepat goyangannya.

Setelah beberapa waktu lewat, tubuh kami mulai berkeringat dan tahu-tahu ibu memeluk kepalaku erat-erat. Aku terjatuh menindih ibu dengan kepalaku di dada ibu bagian atas. Aku ciumi dada ibu yang saat itu tertutup daster, ibu masih menggunakan daster dengan tali di leher. Aku mencium dengan buas dan ibu menggesekkan memeknya dengan keras sekali sehingga aku dapat merasakan bentuk bibirnya di batangku walaupun masih terhalang celana.

Kedua tanganku ku susupkan ke punggung ibu, ibu mengangkat tubuhnya, aku memegang kedua pundaknya dengan kedua tanganku sehingga kedua telapakku menghadap ke atas, kemudian aku mulai mengelus pundak dan leher ibu, setiap kali aku elus leher ibu dan menyusupkan tangan ke belakang, ibu akan mengangkat kepalanya karena tampaknya ia suka dielus di bagian leher belakang.

Entah berapa lama kami berpelukan dan menggesekan kelamin sementara aku terus menciumi dada ibu yang tertutup daster. Ibu tampak tenggelam dalam kenikmatan erotis kami, mungkin karena ayah jarang memberikan nafkah biologis dan mungkin juga ibu sudah lama kesepian. Tetapi aku tidaklah terlalu konsen kepada gerakan erotis kami.

Dengan gerak cepat aku tarik kedua tanganku, aku betot bagian atas daster ibu itu sehingga menjumbai di pinggangnya, ibu tampak terkejut sehingga belum dapat bereaksi ketika dua buah payudara ibu yang cukup besar, berbentuk bulat dan tampak kenyal dengan lembah sempit di antara kedua gundukan payudara yang masih tegak dan tidak menggantung itu terpampang di hadapanku tanpa penutup.

Areola ibu berwarna coklat muda dan besar, besarnya sekitar tiga kali dari logam seribuan versi original, sementara puting ibu sudah menonjol sebesar jempol bayi. Sebenarnya ingin aku menikmati pemandangan ini lebih lama, namun sebelum ada penolakan atau sebelum dimarahi, aku segera memegang kedua payudara ibu yang besar dengan kedua tanganku lalu menangkap puting kiri ibu dengan mulutku dan mulai mengenyoti tetek ibu.

Ibu mendesah lalu menarik bagian kepalaku sambil membaringkan diri di lantai ruang tamu itu.

“aaaaahhhh… Hendraaaa… Kamu bukan bayi… Kok nenen sama ibu? Jangan sayaaaaanggggg… Hmmmmmphhhhh”

Walaupun kata-kata ibu penuh penolakan, tapi ibu kini memeluk badanku erat-erat. Dan goyangan pantatnya makin cepat dan begitu liarnya. Celanaku bagian selangkangan sekarang sudah lepek dibasahi cairan kewanitaan ibu. Mulutku mulai menjilati dan menciumi kedua tetek ibu yang besar itu, ketika aku mengenyot bulatan payudaranya ibu berteriak lirih.

“Jangan dikenyot di situ! Nanti Bapakmu tahu, kita bisa celaka! Kenyot pentilnya saja, sayaaang…”

Maka aku hanya mengenyot-ngenyot pentil payudara ibu, sementara bagian payudara lain hanya kucium dan jilat, tetapi satu cupanganku tadi sudah terlanjur menghiasi tetek kiri ibu. Tapi aku tidak kecewa. Fakta bahwa aku dapat melihat dengan dekat dua buah payudara ibu yang begitu indah, putih, dengan kulit halus dan tekstur yang lembut dan kenyal itu sudah membuatku bahagia.

Kulit ibu begitu halus dan harum. Wangi tubuh ibu yang lembut namun merangsang ditambah bentuk yang langsing dengan payudara yang besar dan mancung, apalagi areola puting yang besar dan pentilnya sendiri mengacung tegak, dihiasi lembah sempit, membuat aku merasa sedang memandang tubuh bidadari kahyangan.

“Hendraaaaaaa… Kamu nakaaaaalllll!” kata ibu ketika kurasakan tubuh ibu memelukku begitu keras hingga aku hampir tidak dapat bernafas. Celana dalam ibu saat itu terasa hangat sekali dan basah kuyup yang akhirnya berhasil membuatku orgasme kering lagi.

Kami terdiam beberapa saat dengan aku bernafas di gundukan tetek kanan ibu. Setelah beberapa menit aku melihat ibu sedang menatapku tanpa suara. Aku ingin sekali tahu apa yang ia pikirkan. Kami hanya menatap terdiam beberapa saat. Karena tidak ada reaksi ibu, aku menciumi payudaranya lagi. Aku sudah tidak horny sebenarnya, namun aku menyukai bentuk tetek ibu.

Aku menciumi tetek ibu sambil terus melihat mata ibu yang sebaliknya terus menatap mataku. Aku mempermainkan kedua payudara ibu dengan semangat, bagaikan dapat mainan baru. Pun, aku sebenarnya tidak memiliki mainan sebanyak yang aku mau, karena keadaan ekonomi kami, tapi ternyata ibu menyediakan mainan yang terindah bagi diriku.

Mungkin ada lima menit aku asyik mempermainkan payudara ibu sambil menindihnya dan selama itu kami terus menatap satu sama lain. Banyak hal yang aku pikirkan saat itu, namun satu yang mengusik batinku, aku suka sekali ketika berciuman dengan Mbak Ela, bibiku. Maka rasa penasaran itu timbul ketika aku menjelajahi kedua bukit kembar ibu dengan mulutku.

Setelah beberapa waktu aku asyik menjelajahi kedua buah dada ranum ibuku, tahu-tahu ibu memeluk tubuhku erat-erat, memutar tubuh kami sehingga aku telentang, ia menekan selangkangannya di batangku yang sudah mengeras, lalu mulai menekan kontolku dengan memeknya secara cepat, kedua tangannya di samping kepalaku.

“nenen terus, Ndra… Isepin pentil ibu… Sedot pentil ibu keras-keras… Jangan berhenti, anakkuuuuu… Anakku sayaaanggg… Terus sedot susu ibumuuu…”

Ibu makin keras saja menggoyang pantatnya, aku mendorong pantatku bertubi-tubi mengimbangi serangan ibu. Kami berpacu dalam birahi kedua kalinya dalam waktu yang singkat di ruang tamu. Peluh kami bercampuran lagi payudara ibu kini dilumuri oleh keringat kami berdua dan ludahku, sehingga lama kelamaan baunya adalah campuran bau tubuh kami dan bau mulut aku.

Akhirnya kami berdua mencapai orgasme bersamaan lagi. Ibu memelukku erat-erat dan kami bergulingan hingga akhirnya berpelukan miring dengan tubuh ibu memepet dinding kamar. Tak lama aku asyik menciumi lagi kedua payudara ibu. Ibu hanya memejamkan mata saja saat aku asyik melumati dadanya. Kujilati dan kucium seluruh payudaranya sementara khusus pentil ibu aku kenyoti juga.

Namun setelah sepuluh menitan ibu berkata ia ingin tidur siang lebih cepat lalu masuk kamar. Dasternya dipasangnya kembali, sehingga aku sangat kecewa, namun aku langsung menyusulnya ke dalam kamar. Saat itu ibu sedang duduk di tempat tidur untuk mengikat rambutnya, aku langsung menghampirinya dan berkata.

“Selamat tidur, bu.” lalu dengan cepat mencium bibirnya. Ibu hanya menatapku dengan aneh. Aku langsung tidur di belakang ibu. Ibu saat itu tidur tapi tidak membelakangiku, melainkan menghadapku.

Aku kecewa dan mungkin terlihat di wajahku karena ibu lalu berkata.

“Kenapa? Kecewa ya ga bisa ciumin punggung ibu?”

Wajah ibu menunjukkan wajah nakal penuh kemenangan membuatku sebal. Namun aku dengan cepat dapat menjawab.

“Enggak kecewa, kok. Karena sekarang Hendra bisa cium bibir ibu.”

Kupeluk ibu sehingga dadanya menempel di dadaku, dapat kurasakan puting payudaranya menempel di dadaku, lalu kucium bibirnya cepat. Nafas ibu dapat kucium dari dekat. Ibu hanya menatap wajahku. Aku cium lagi bibirnya. Ibu masih saja diam. Aku cium lagi kali ini sedetik lebih lama. Nafas ibu menjadi agak berat.

Kucium lagi, kali ini sekitar tiga detik aku cium. Aku peluk erat ibu, dan kaki kami saling bergesekkan sehingga tahu-tahu kaki kananku sudah dijepit kedua kaki ibu. Kucium lagi bibirnya kali ini cukup lama aku tekan bibirnya. Nafas ibu menjadi lebih cepat. Ketika kulepas, terdengar suara kedua bibir kami berkecupan.

Kutekan bibirku dengan keras ke bibir ibu yang lembut dan lembab itu. Tahu-tahu ibu merangkul kepalaku dengan kedua tangannya dan saat itu bibir ibu membuka dan memagut bibirku berkali-kali bagai ingin mengunyah bibirku. Bibir ibu begitu basah dan nafasnya begitu panas di wajahku. Aku mulai berusaha mengimbangi ciuman ibu dengan membuka bibir dan memagutnya balik.

Ibu saat itu mulai mendesah-desah. Selangkangannya mulai menggeseki paha kananku, sementara kedua kakinya menjepit pahaku itu dengan keras. Aku masturbasi di perut ibu, dan ibu masturbasi di pahaku. Kini aku sudah mulai mengerti cara orang dewasa ciuman. Lidahku mulai menari-nari berpasangan dengan lidah ibuku.

Aku lepaskan lagi tali di leher ibu lalu kutarik daster itu ke bawah sehingga berjumbel di pinggangnya. Aku lepaskan ciumanku dan meregangkan pelukanku. Ibu tampaknya sudah mengerti maksudku karena ia segera tidur telentang. Aku dorong rok dasternya ke atas sementara ibu dengan rela membuka celana dalamnya.

“Kok dibuka?” tanya ibu lirih.

“Biar Hendra sama ibu cuma dihalangin celana dalam ibu saja. Biar Hendra bisa ngerasain tanpa banyak yang halangin.”

Lalu aku mulai menindih ibu dengan kontolku menekan selangkangannya, sementara kedua tanganku meremas kedua payudara ibu yang bulat nan indah itu. Sementara bibirku mulai mengunyah pentil toket kanan ibuku.

“Ssshhh… Yeaaahh… Sedot pentil ibu sambil gesekkin titit kamu di celana dalam ibu… Yeaaahh… Kayak gitu… Yang keras, Ndra… Yaaaa… Jangan berhenti…”

Celana dalam ibu yang sudah basah kini berasa hangat dan bertambah dengan cairan vagina ibu yang baru. Tubuh ibu kini sudah mengeluarkan bau wanita dewasa yang penuh birahi. Mulutku bolak-balik mengemut pentil kanan dan kiri ibu sementara terkadang gundukan bukitnya aku jilat dan ciumi juga. Kini kedua kaki ibu memeluk tubuh bawahku dengan kedua tumit yang ditekan keras di pantatku.

“goyang terus… Goyangin selangkangan ibu… Sedot terus… Terus sedot tetek ibu… Goyang lebih keras… Ya… Kayak gitu…”

Mungkin karena aku sudah sampai tadi, kini aku tidak cepat-cepat orgasme. Sekitar dua puluh menitan aku menggeseki memek ibu yang terbalut Celana dalam itu dengan kontolku yang telanjang. Nafas kami berdua sudah semakin memburu dan gerakan pantat kami semakin liar, hingga akhirnya ketika ibu mendekapku sangat erat sambil mendesah keras.

“Ibu sampe lagiiii…”

Aku pun tak kuat dan orgasme kering lagi. Barulah setelah itu kami tidur dengan masih berpelukan bagaikan dua sejoli.

Waktu maghrib aku bangun terlebih dahulu, kulihat ibu setengah telanjang dengan daster di pinggang dan celana dalam putihnya. Aku menarik daster ibu itu hingga lepas dari tubuhnya. Ibu saat itu posisinya sudah telentang. Aku memeluknya lagi dan mulai menetek. Ibu terbangun tapi tetap membiarkan aku melakukan kegiatan mesumku itu.

Saat ini tubuh ibu mengeluarkan bau yang lebih tajam dikarenakan belum mandi sore. Dari sela-sela ketiaknya aku dapat mencium bau tubuh ibu menyengat samar-samar. Kupegang tangan kiri ibu dengan tangan kananku, lalu aku dorong ke atas sehingga kedua tangannya terbuka ke atas bagaikan sedang ditodong penjahat.

Kulepaskan pentil ibu dan aku menciumi dadanya dan bergerak naik ke atas. Bau ketek ibu semakin kuat di hidungku, sehingga ketika sudah hampir mengenai bulunya, aku yang sudah gemas sekali, serta-merta membenamkan hidung di pangkal lengan ibuku yang seksi itu. Tahu-tahu tangan kanan ibu menyusup ke balik celana dalamnya dan ia mengusapi klitorisnya saat aku mulai mengenyot bulu ketek ibu dan merasakan peluh ibu disertai rasa asin dan asam di lidahku.

Aku ingin segera menggesekkan kelamin d menghirup bau tubuh ibu dalam-dalam aku. Kutepiskan tangan kanan ibu dan menariknya keluar celana dalam ibu. Aku geser tubuhku di atas tubuh ibu tanpa mengangkat penuh tubuhku, lalu menusuk selangkangan ibu mengharapkan untuk mengenai celana dalamnya karena aku tak dapat melihat selangkangan kami berdua karena sedang menindih ibu.

Kontolku bergerak maju dan tahu-tahu nyelip di antara sesuatu yang basah dan hangat dan untuk kemudian keluar kembali. Aku kaget, ternyata celana dalam ibu sudah tersibak pada bagian bawahnya ke bagian samping oleh ibu ketika tadi menggesek klitorisnya sendiri sehingga kontolku tadi menerobos masuk bibir luar memek ibu untuk kemudian melejit keluar lagi karena tidak mengenai lubang memeknya.

Bagian atas kontolku sekarang menempel di memek ibuku. Batangku itu menyibak kedua bibir luar vagina ibu. Aku meracau sambil menggeseki bibir memek ibuku. Ibuku mendekap kedua pantatku dengan tangannya. Aku kini mengenyoti tetek kanan ibu dengan penuh nafsu. Ibu menekan-nekan klitorisnya di sekujur kontolku.

Memeknya sudah banjir dan membuat gesekan kami lancar. Bau tubuh ibu semerbak mewangi mengharumkan ruangan tamu kami. Aku mulai memaju-mundurkan kontolku dengan kencang. Ibu pun cuek saja bahkan ikut menggesekkan kelaminnya. Bibir memek ibu begitu basah, licin namun hangat, membuat aku merasakan nikmat tiada duanya.

Berhubung aku lebih pendek dari ibu, maka kepalaku tepat di atas dadanya sehingga akhirnya aku kembali mengenyoti buah dada ibuku. Ibupun seperti kesetanan dan tidak peduli lagi. Di pikiran kami berdua adalah kenikmatan surgawi yang sedang kami rasakan. Entah berapa lama tubuh ibu aku tindih, entah berapa menit terlewat saat aku mengenyot-ngenyot, menjilati dan menciumi seluruh payudara ibuku, entah pada dentang waktu keberapa kontolku menggeseki bibir memek ibuku, sehingga pada puncak asmara terlarang kami, aku orgasme kering dan ibuku kembali orgasme secara hampir bersamaan lagi.

Sekitar lima menit ibu baru melepaskan diri dari pelukanku untuk beranjak ke dapur. Ia hendak mengambil dasternya namun aku secara cepat berkata.

“Mending kalau ga ada orang lain, ibu pakai celana dalam saja dan ga usah pake apa-apa lagi.”

Ibu tetap mengambil daster itu, namun ia tidak memakainya melainkan menyampirkannya ke pundak lalu pergi ke dapur. Sementara aku tidak memakai celana. Aku pikir kalau aku telanjang bulat, tentu lebih gampang beraktifitas. Ibu menyiapkan makanan dan akhirnya kami makan bersama, dengan aku yang telanjang dan ibu yang hanya bercelana dalam.

Selesai kami makan. Aku jadi horny melihat ibu makan hanya dengan celana dalam. Ibu menatap kontolku yang sudah ngaceng.

“Ibu capek Ndra. Sisa hari ini ibu mau istirahat saja.”

Ibu tiduran di kasur dengan tubuh telentang. Aku yang sudah horny membuka kedua kaki ibu lebar-lebar. Aku tindih ibu, aku ciumi bibirnya. Tampaknya ibu lelah karena ia tidak membalas ciumanku dengan hot, hanya sekedarnya saja, maka lalu aku menetek. Ibu kali ini hanya menghelan nafas lalu memejamkan matanya.

Sepanjang kelas lima aku dapat menikmati tubuh ibu, walaupun ibu tetap memakai celana dalam. Tetapi, ibu selalu bertelanjang dada bila aku sudah pulang. Biasanya saat aku pulang ibu akan menutup semua jendela dan mengunci pintu, lalu menanggalkan dasternya. Aku akan membuka semua pakaianku dan bugil.

Ibu dengan langkah indahnya memasuki kamar di mana aku sedang buka baju, lalu tiduran di ranjang walaupun belum saatnya untuk tidur. Aku lalu akan menindih ibu yang biasanya sudah mengangkang, terkadang kami berciuman hot, lalu aku akan melakukan dry hump sambil menikmati kedua buah dada ibu sampai aku orgasme.

Bila sudah selesai, ibu akan melanjutkan aktifitasnya. Entah menonton TV, menjahit, membaca atau apapun itu. Sementara aku akan duduk atau tiduran di sampingnya sambil menciumi, menjilat dan mengenyot tubuh ibu, yang paling sering kulakukan adalah nenen ibuku. Kadang punggung, lengan, payudara, perut, bibir, pokoknya semua bagian tubuh ibu kecuali yang tertutup oleh celana dalamnya.

Bahkan, ketika aku buat PR, aku minta ibu untuk tiduran di kamar tidur, sementara aku akan membuat PR sambil menindih ibu dengan buku cetak kuberdirikan di hadapanku di samping kepala ibu ditopang bantal, sementara buku PR akan kutaruh di samping tubuh ibu, aku akan menulis PR sambil mengenyot-ngenyot pentil ibu, atau mengenyot gundukan payudaranya.

Pentil ibu sekarang bagaikan dot untukku yang harus sering menyumpal mulutku. Bila aku horny ketika sedang buat PR, maka aku tinggal menggenjot memek ibu yang memang selalu menempel dengan selangkanganku ketika aku buat PR. Terkadang ibu yang tiba-tiba menggoyang pantatnya, sehingga kami dry hump dulu, baru kemudian aku akan buat PR lagi.

Bila ibu cuci piring, aku akan di belakangnya dan mengelus-elus payudaranya. Entah aku horny atau tidak. Bagiku ibu adalah canduku. Aku tidak ingin meninggalkan tubuh indahnya barang sedikitpun. Aku akan terus nenen, menggerayangi, menciumi, menjilati, apapun itu aku harus selalu terhubung dengan tubuh ibuku.

Jadi, sampai kelas lima, aku akan terbangun dan langsung menciumi tubuh atas ibu yang hampir telanjang yang hanya ditutupi celana dalam, sampai aku tak tahan untuk menindih ibu lalu kugesekkan selangkangan ibu yang bercelana dalam dengan kontolku yang telanjang. Sesudah itu ibu akan bergegas ke dapur dan aku mandi.

Selesai mandi berhubung masih jam 5 an, maka aku akan ke dapur menciumi punggung ibu yang sedang sibuk. Tubuhnya pasti berkeringat di dapur sumpek kami. Setelah selesai memasak, aku bantu ibu membawa perkakas makan dan makanannya ke ruang tamu dan setelah semuanya ditata seadanya, ibu akan tiduran sambil ngengkang, dan aku segera menyedot-nyedot buah dada ibu sambil menggeseki selangkangannya lagi.

Pulangnya, aku akan french kiss ibu ketika sampai di rumah, lalu ibu akan menutup pintu dan jendela, lalu membuka dasternya, lalu tiduran di tempat tidur. Aku akan mencium bibir ibu dan kami akan french kiss beberapa saat sambil berpelukan. Setelah lima menitan, aku akan mulai menggesekkan kontolku di selangkangan ibu yang tertutup CD sampai aku atau terkadang kami orgasme.

Bangun tidur ibu akan beres-beres rumah, sementara bila saat itu aku bangun aku akan mengintil ibu untuk memeluk dan mencium ibu bila sempat. Sebelum nonton TV ibu telentang mengangkang menunggu aku melepaskan birahi terlebih dahulu, barulah ia menonton TV menyamping sementara aku walaupun sudah lemas, terus menggarap tubuh ibu dengan mulut dan lidahku.

Biasanya aku akan menindih ibu untuk sekali atau dua kali di sore hari itu. Lalu ibu akan mandi disusul aku yang mandi setelah ibu selesai. Dari sore sampai waktu ibu ke dapur untuk memanaskan masakan, aku akan mengintil ibu apapun yang ibu lakukan untuk dapat sekedar meremas teteknya, atau menciumi tubuhnya.

Setelah makan aku akan menindih ibu lagi, biasanya sangat cepat karena aku sudah horny dari tadi. Setelah itu aku harus belajar. Aku belajar di kamar sambil menciumi tubuh ibu. Kadang kuminta ibu telentang agar aku dapat menciumi buah dada dan perutnya, terkadang kuminta ibu telungkup agar aku dapat menikmati punggungnya.

Setelah itu kami akan tidur dengan aku menindih ibu lagi. Biasanya aku sudah lelah, tapi tetap bernafsu, namun nafsuku selalu perlahan naiknya. Sehingga hampir selalu ibu akan orgasme di malam itu. Terkadang aku terbangun malam-malam untuk kencing, dan biasanya aku akan menindih ibu lagi sampai aku puas.

Bila kami berdua hanya berbicara, tanganku akan berjalan meraba-raba tubuh ibu, terkadang meraba kedua payudaranya, sementara hidungku akan mengendusi ibu sambil berbicara. Terkadang aku menciumi bagian tubuh ibu yang paling dekat dengan wajahku. Aku bagaikan lintah yang menempeli ibuku terus. Ibuku adalah candu dan obsesiku.

Demikianlah kegiatanku selama kelas lima sebelum kami liburan panjang di kampung.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu