1 November 2020
Penulis — Pemanah Rajawali
KELAS DUA
Kebiasaanku terus berlangsung selama setahun hingga pada kelas dua, aku mulai ingin mengendusi punggung ibu lebih sering lagi. Suatu saat ibu sedang nonton TV sore-sore. Berhubung kami tak punya bangku, kami memakai karpet lusuh di tengah ruang tamu tanpa perabot lain. Hanya ada lemari di situ. Ibu biasa nonton tv tidur miring menghadap TV.
“Ibu…”
“Mau apa? Jajan ya? Ini tanggal tua, Ndra… Ibu ga ada duit…”
“Yaaaahh… Masa ga ada sih?”
Sementara lubang hidungku kupepet ke lengan harum ibu sehingga aku bernafas di lengan ibu.
“kamu jangan marah ya? Tapi ibu memang ga ada duit,” katanya lagi.
“Hendra akan peluk ibu terus kalau ga dikasih…”
Pikirku ini akan win-win solution karena kalau dikasih aku bisa jajan, kalau enggak aku bisa endusin ibu. Maka aku beranikan diri merebahkan diri di belakang ibu menyamping juga dengan tangan kiri menyusup ke bawah tubuh ibu, sementara ibu mengangkat tubuhnya sehingga kedua tanganku memeluk ibu dengan kedua tangan di perutnya yang langsing.
“Peluk aja sampai bosen. Ibu emang ga punya duit…”
Aku dengan senang hati merapatkan diri ke tubuh ibu. Walaupun aku tak berani menempelkan bagian bawah tubuh, namun kepalaku kini aku taruh dilantai namun hidungnya sudah dekat sekali di bahu kiri ibu. Tali daster ibu jatuh sehingga hidungku hampir menempel di belikatnya. Setelah beberapa menit tak ada apa-apa, aku memajukan hidungku hingga menempel sedikit di belikat ibu sehingga kini aku menghirup bau tubuh ibu dengan lebih baik.
Mulai saat itu, tiap nonton TV, aku akan memeluk ibu dari belakang dan mengendusi tubuhnya. Hingga lama kelamaan hidungku bukan hanya menyentuh sedikit kulit ibu, namun aku menempelkan hidungku dan bernafas di kulitnya yang indah itu. Pernah ibu ingin memberikan duit kepadaku untuk jajan namun aku bilang aku ga butuh jajan dan duitnya lebih baik di simpan aja.
Sampai saat itu aku mengendusi ibu ketika kami tidur siang atau sore dan juga waktu ibu menonton TV. Yang membuatku bahagia adalah, ibu tidak pernah berubah sikap terhadapku. Tidak ada larangan dari mulutnya keluar, seakan apa yang aku lakukan itu adalah hal yang biasa, yang tak perlu dibahas. Aku makin menyayangi ibuku karena beliau tidak risih saat anak kandungnya menempelkan hidung di punggungnya yang terbuka.
Namun, enam bulan kemudian aku mau lebih. Wangi tubuh dan kehalusan kulit ibu menjadi candu bagi aku yang kecil ini. Bila ibu sedang duduk, entah sedang menghadap meja di ruang tamu, entah sedang cuci piring di bak tempat cuci piring, pokoknya bila ibu tidak sedang berjalan, selama tubuh ibu berdiam cukup lama, aku akan memberanikan diri entah duduk atau berdiri di belakangnya dan mengendus punggungnya yang terbuka.
Pertama kali aku memberanikan diri adalah ketika ia menjahit di ruang tamu yang tanpa kursi itu, kami sudah makan malam dan menonton TV. Aku sudah mengendus-endus punggungnya seperti biasa dengan tiduran di belakang ibu, namun ibu baru ingat bahwa ada baju yang harus dijahit. Maka ibu mengambil kotak jahit dan baju yang dimaksud untuk kembali ke ruang tamu untuk menjahit sambil menonton TV.
Ibu bersimpuh di depan meja kecil yang ada di tengah ruang tamu. Biasanya, bila ibu menghentikan kegiatanku untuk mengendusi tubuhnya, aku akan menunggu sampai ibu menonton TV lagi dengan tiduran, atau sampai waktunya kami berdua tidur. Namun malam itu, aku memberanikan diri untuk duduk di samping ibu, melingkarkan tanganku di pinggangnya dan perlahan mulai menaruh hidungku di bahunya.
“Awas dong… Lagi jahit nih…” kata ibu.
Maka aku bergerak ke belakangnya dan memeluk ibu dengan kedua tanganku dan menempelkan pipiku ke punggungnya.
“Akhir-akhir ini kamu kolokan…” kata ibu dengan perlahan.
Aku menunggu perkataan ibu selanjutnya. Pikirku ia pasti akan marah. Tapi tidak ada lanjutan dari mulutnya. Menurutku itu cukup. Aku sedikit menempelkan sebelah hidungku dan aku disuguhi wangi tubuh perempuan yang melahirkanku ini. Sungguh nikmat. Setelah beberapa menit aku ganti pipi yang satu lagi dan melanjutkan endusanku.
Tahu-tahu ibu berkata.
“Ibu perhatiin kamu seneng banget ngendus-ngendus badan ibu. Ga kebauan?”
Aku kaget. Dengan terbata-bata aku berkata.
“Eng… engg… Engggak bu… Ibu ga… Ba… Ga bau…”
“Kamu ada-ada saja tingkahnya,” kata ibu untuk kemudian kembali terdiam. Aku sedang bingung apakah ibu marah atau tidak padaku. Bila marah, nada suara ibu biasanya tinggi. Tapi tadi tidak. Maka dengan jantung berdebar keras aku mengendusi ibu lagi. Kali ini ibu terdiam. Aku mengendusi ibu hingga ibu selesai menjahit.
Aku sebenarnya saat itu heran kenapa ibu tidak marah, namun aku menjadi bahagia karena ibu tidak pernah melarang aku. Setelah aku lebih besar dan hubunganku dengan ibu lebih intim, aku baru mengetahui bahwa sebenarnya saat aku kelas dua ibu sedang merasa kesepian dan sedih, berhubung ayah ketahuan punya isteri muda di kampung.
Ibu saat itu merasa tertekan dan merasa bahwa dirinya jelek karena ayahku berpaling pada wanita lain. Maka dari itulah, ketika aku mulai mengendusi ibu secara terang-terangan, ibu menjadi terhibur. Perhatianku kepada ibu itu membuat ia mendapatkan kepercayaan dirinya kembali. Bahwa masih ada seseorang yang menyukai kedekatan dengan ibu.
Semenjak saat itu, kapanpun ibu duduk atau tiduran, aku akan selalu berusaha berada di belakangnya untuk kemudian mengendusi punggungnya. Kegiatan endus-mengendus itu berlangsung selama beberapa bulan dan semakin lama aku semakin berani. Pada mulanya aku hanya menaruh hidung di tengah punggungnya, namun suatu ketika aku coba menggeser hidungku ke kiri, ibu tidak protes.
Kugeser ke kanan juga tidak ada tanggapan. Maka lama kelamaan aku mulai mengedus tubuh ibu perlahan dari tengah kemudian bergerak ke pinggir ke arah belikat untuk kembali ke tengah lalu terus ke pinggir satu lagi dan kembali ke tengah. Lama kelamaan gerakanku tidak hanya kanan kiri, tapi mulai bervariasi.