1 November 2020
Penulis —  udin bengong

Pantat besar mamaku yang menyejukan jiwa

Sekitar pukul setengah satu siang Kak Indah tiba dirumah kami, ya rumah Kak Indah juga tentunya, karena dirumah ini pula Kak Indah menghabiskan masa kecilnya hingga dewasa dan kemudian menikah. Lalu akhirnya diboyong oleh suaminya untuk tinggal disebuah perumahan dikawasan Bogor.

Orang bilang wajah Kak Indah mirip mama, yang tentu saja cantik, hanya saja Kak Indah lebih tinggi sedikit dari mama, karena tinggi Kak Indah sekitar 170cm, dan tubuh Kak Indah tidak sebesar dan semontok mama, walau tidak juga bisa dikatakan kurus, karena berat Kak Indah sekitar 65 kg. Aku tau persis angka-angka itu karena sekitar setahun lalu pernah mengantar Kak Indah membuat paspor dikantor imigrasi untuk keperluan umroh, dan kebetulan aku membantu Kak Indah mengisi data pada formulir pendaftarannya, termasuk tinggi dan berat badan juga dicantumkan disitu.

“Kamu nyupir sendiri in…?” tanya mama, setelah menerima cium tangan dari Kak Indah.

“Iya ma… ya siapa lagi yang mau nyupirin, Mas Mirza kan ke Semarang…” jawab Kak Indah, sambil meletakan beberapa kardus yang dibungkus plastik warna putih diatas meja makan.

“Bolu tales… kesukaan mama..” ujar Kak Indah, yang saat itu mengenakan gamis terusan berwarna hitam dengan motif daun, serta kepalanya dibalut jilbab panjang berwarna hijau tua.

“Repot-repot banget in… kamu mau datang aja mama sudah senang… udah hampir 5 bulan lho in… kemana aja sih kamu…?” tegur mama, yang hanya mengenakan daster katun berwarna putih dengan motif batik.

“Aduuuhhh… maaf deh ma.. tau sendiri kan, selama pandemi ini kaya’ apa… Indah gak berani pergi jauh-jauh dari rumah… sekarang aja dinekat-nekatin… itupun karna dirumah cuma sendirian… bakalan dua minggu pula..” terang kak Indah.

“iya, itu koq kenapa sampai 2 minggu sih… sebelum-sebelumnya juga kalau kesana kan paling-paling cuma 3 hari kemudian pulang, walau beberapa hari kemudian balik lagi kesana… tapi setidaknya kan bisa nengokin istri dulu..” tanya mama, sambil menyiapkan makan siang kami bertiga diatas meja makan.

“Itu dia ma… lagi-lagi ya karena Corona juga… mau bolak-balik naik pesawat juga takut, mana sekarang naik pesawat juga ribet… harus rapid test segala macem… akhirnya sekalian aja di Semarang sampai urusan selesai, baru pulang… mmm.. Ngomong-ngomong sudah hampir jam satu nih, aku mau zuhur dulu ya ma…

“Mmm… sudah… ya, sudah tadi sebelum kamu datang… iya kan gus…?” jawab mama berbohong, karena seingatku mama dan aku memang nyaris gak pernah sholat.

“Ya sudah kalau begitu… aku kekamar dulu ya… gak dikuncikan…?”

“Kamarmu tidak pernah dikunci, karena hampir tiap minggu adikmu selalu membersihkannya…” jawab mama.

“Oww… begitu, makasih ya adikku yang ganteng… kamu memang adikku yang paling pengertian deh…” ucap kak Indah sambil menjambak-jambak rambutku saat aku sedang asik membuka kardus oleh-oleh yang dibawanya. Sialan, kebiasaan menjambak rambutku itu kenapa tidak hilang-hilang juga dari dulu, semenjak dia masih gadis tomboy yang pergi kemana-mana hanya memakai celana pendek, sampai sekarang yang tak pernah lepas dari hijab syar’inya itu tetap saja keusilannya itu tak juga sirna.

“Kami menunggumu untuk makan siang lho in…” ujar mama, saat Kak Indah ngeloyor pergi menuju lantai atas.

“Oke ma… tunggu sebentar ya ma…” jawab Kak Indah sambil menapaki tangga kelantai dua.

“Kak Indah rajin shalat ya ma…?” ujarku pada mama, sambil duduk dimeja makan dengan mulut mengunyah bolu talas dari Kak Indah.

“Biar saja lah… kamu gak usah shalat ya sayang…”

“Memangnya kenapa..?”

“Mama takut kamu masuk surga…”

“Koq mama aneh sih… harusnya kan mama senang kalau anaknya masuk surga…”

“Iya, mama kawatir kalau kamu masuk surga, nanti kamu bersenang-senang terus sama bidadari-bidadari di surga, terus lupa’in mama… mama cemburu dong… mama gak rela anak mama jatuh kepelukan bidadari-bidadari jalang itu… mendingan kamu dineraka aja bersama mama, kita dineraka masih bisa ngentot berdua..

“Ha… ha… ha… mama.. mama… ada-ada saja mama ini… ha.. ha.. ha…” ngakakku, sampai-sampai serpihan bolu yang ada dimulutku tersembur keluar.

“Hi.. hi.. hi… Eh, jangan keras-keras ketawanya, nanti Kak Indah dengar bisa gawat… hi.. hi.. hi… Janji ya, jangan cerita sama Kak Indah soal guyonan mama tadi, nanti dia bisa tersinggung… mama bakalan dianggap melecehkan ini dan itu deh… bisa berabe lah urusannya… hi.. hi.. hi…”

Sedikit cerita tentang Kak Indah, dulu sebelum menikah dengan Mas Mirza, Kak Indah adalah seorang gadis yang ceria, cerdas, namun juga agak tomboy. Beberapa bulan sebelum dilamar, Kak Indah mulai mengenakan hijab, dan sedikit banyak telah menghilangkan imej gadis tomboy pada dirinya, dan mulai rajin shalat.

Hingga akhirnya dia menikah dengan Mas Mirza, yang berasal dari keluarga pengusaha yang Islami. Ayah dan Ibu Mas Mirza seorang Haji sekaligus seorang pengusaha busana muslim yang cukup sukses. Sedangkan kakek Kar Mirza dari pihak bapak Kak Mirza adalah seorang ulama terpandang yang merupakan pendiri dan pemilik pondok pesantren terkenal di wilayah Bogor.

Sedangkan mama, walaupun saat kekantor atau keluar rumah selalu mengenakan hijab, namun dia sangat jarang shalat, kecuali saat bersilaturahmi dengan besannya saja dia ikut shalat berjama’ah. Dan saat aku menanyakan soal itu, mama hanya tersenyum, lalu membelokan arah pembicaraan. Namun sempat juga aku mengingat perkataan mama yang seperti ini: “Ah, yang penting kita hidup itu tidak menyakiti orang lain, tidak menyakiti diri sendiri, dan tidak merusak lingkungan…

” begitu katanya. Dan saat aku menanyakan kenapa mama mengenakan jilbab, dia menjawab “Yah, sekedar untuk fashion aja… beberapa tahun belakangan ini kan hijab menjadi tren yang masiv di negeri ini, sekedar ikut-ikutan saja supaya enggak dipandang ini dan itu karena di KTP kita kebetulan sudah tercantum sebagai muslim…

Dan yang aku tau juga, mama adalah tipikal seorang PNS yang idialis dan memiliki komitmen. Untuk itu mama tidak ingin terperosok dengan urusan-urusan yang berbau KKN dan pungli, walaupun sebagai pegawai dibidang pemerintahan yang mencangkup pelayanan masyarakat, dimana posisi mama sebenarnya memiliki akses untuk mendapatkan uang banyak dengan cara “tidak sehat”, namun mama tidak pernah melakukan itu, walau untuk keputusannya itu terkadang mama harus berseteru dengan beberapa pihak, bahkan dengan rekan kerjanya sendiri.


Sekitar 10 menit kemudian Kak Indah telah kembali bergabung dengan kami untuk makan siang, namun kali ini Kak Indah hanya mengenakan daster berbahan kaos dengan warna hijau muda bermotif snoopy.

Rambut Kak Indah yang hitam lurus dengan panjang sebatas bahu, kontras dengan kulitnya yang putih. Matanya yang lebar itu melotot saat melihat aku hanya melampirkan t’shirtku diatas pundak, dan alisnya yang tebal dan berbentuk indah alami juga ikut naik keatas.

“Hey, itu baju dipakai dong… mau makan koq telanjang begitu… bulu ketek kemana-mana tuh… merusak selera aja…” tegur Kak Indah. Satu lagi kebiasaan kak Indah yang juga belum hilang, yaitu cerewet.

“Ya, elah… aku kan gak pakai baju juga karna baru selesai bersihin kamar kakak… ngeringin keringet dulu.. masih gerah…” alasanku, namun tetap juga t-shirt ku itu kukenakan.

“Ayo… sudahlah… kalian ini dari dulu kalau sudah ketemu, pasti kayak anjing sama kuncing… Eh, iya in… gimana kabar keluarga besar masmu…? itu adiknya Mirza yang dari istri kedua bapak mertuamu, katanya kan mau nikah, koq adem-ayem aja kabarnya sampai sekarang..?” tanya mama, sambil menuangkan nasi kedalam piring.

“Oooww… Anisah… diundur keliatannya… biasalah efek pandemi… Wah, ini sayur asem campur oncom masakan andalan mama ya.. mmm.. kesukaan aku nih…” ujar Kak Indah, sambil menyendok sayur asem kedalam piring.

“Iya, sengaja mama masak mulai pagi tadi untuk kamu… mama pikir pagi-pagi kamu sudah tiba disini…” ujar mama, sambil mulai menyantap makanannya.

“Oh iya in… bagaimana, sudah ada tanda-tanda mama bakalan mendapatkan cucu enggak…?” tanya mama, disela-sela kami bertiga tengah asik menikmati nasi sayur asem dengan ikan gurame goreng.

“Belum rejeki ma…” jawab kak Indah sambil terus menikmati santapannya.

“Mmm… sudah 5 tahun lho in kamu menikah… ya sudah, kamu harus sabar aja ya sayang…” ucap mama, seraya menenggak air putih dari gelasnya, karna sepertinya mama telah menyelesaikan makan siangnya.

“Oh iya in, kalau boleh mama tau, sebetulnya apakah ada kendala diantara kalian berdua mengenai kenapa kamu belum juga diberikan momongan… ada baiknya kamu terbuka dengan kami in, bagaimanapun kamu adalah bagian dari keluarga ini, sebelum kamu mengenal suamimu, kamilah orang yang paling dekat dengan kamu…

mmm.. soalnya selama ini kalau mama tanya, kamu cuma menjawab belum rejeki lah… Allah masih berencana lain lah… dan lain-lain. Maksud mama, mama cuma ingin tau, apakah secara teknis kalian memungkinkan untuk punya anak atau tidak… barangkali saja kita bisa membantu mencari solusi…” terang mama, kali ini sambil menyantap irisan buah melon.

Sepertinya kak Indah juga telah merampungkan makannya, itu kulihat dari nasi diatas piringnya yang sudah kosong. Dan diapun menarik nafas panjang seusai menenggak air putih.

“Sebenarnya sih, hasil konsultasi kami dengan dokter kami masih memungkinkan untuk punya anak… mmm.. hanya saja…” terang kak Indah, lalu melirik kearahku sejenak. Hmm.. sepertinya dia kurang nyaman dengan keberadaanku untuk melanjutkan ceritanya.

“Enggak apa-apa in, biar kita semua tau persoalannya, kamu jangan terus menganggap adikmu itu sebagai anak kecil terus, dia sudah dewasa… sudah mahasiswa… bukan lagi anak SMP yang dulu sering kamu isengain…” tegur mama, saat aku bermaksud hendak beranjak menghindar sementara. Akhirnya niat itu aku urungkan.

“Oke deh… ya itu tadi, secara teknis kami masih memumgkinkan untuk punya anak, kualitas sperma mas Mirza dan juga rahim aku sehat-sehat saja, dalam artian berfungsi dengan baik… cuma sedikit kendalanya adalah, seringkali disaat kami berhubungam suami istri, sperma yang seharusnya disemprotkan kedalam rahim aku tidak mampu sampai kesasaran yang tepat…

“Tidak sampai kesasaran maksudnya gimana sih… apa disaat ejakulasi semburan sperma suamimu kurang kenceng gitu, seperti meler aja ya…?” tanya mama.

“Ya enggak juga sih ma, masalahnya… mmm.. anu suamiku terlalu pendek, jadi saat ejukulasi, semburan spermanya tidak mampu menjangkau rahim, ditambah lagi dengan kontruksi lorong vagina aku juga termasuk panjang, sehingga semakin sulit untuk terjadi pembuahan secara alami… sebetulnya sih bisa saja kita melakukan cara lain secara teknologi kedokteran, tapi..

yah, tau sendirilah… mas Mirza itukan agamanya kuat, dia belum mau kita menempuh cara itu… dia selelu bilang… Allah mungkin memiliki rencana lain yang lebih baik untuk kita… begitu katanya. Selain itu juga, Mas Mirza selalu berusaha melakukan terapi untuk memperpanjang ukuran penis, namun hasilnya..

yah, masih belum terlalu signifikan… mamun dokter kami juga mengatakan, tidak menutup kemungkinan juga dengan cara alami masih bisa hamil, disaat tertentu sperma mas Mirza masih memungkinkan untuk menjangkau rahim dengan tehnik-tehnik hubungan senggama yang ideal dan efektif, kemungkinan itulah yang membuat kami masih bisa berharap untuk mendapatkan anak dengan cara alami…

“Emang sekecil apa sih ukuran burungnya mas Mirza kak…?” tanyaku penasaran.

“Ya kira-kira segini lah…” jawab kak Indah sambil mengacungkan ibu jari tangannya, sebagai acuan bahwa sebesar itulah ukurannya.

“Sebesar itu sudah dalam keadaan ereksi in…?” tanya mama.

“Ya sudah ma… kalau lagi mengkerut malah cuma sebesar ini…” jawab Kak Indah, sambil menunjuk buah melinjo berkulit merah campuran sayur asem yang masih tersisa dipiringnya.

Mama terdiam sejenak sambil menatap kak Indah yang berada didepannya, aku yang duduk disamping kak Indah hanya berpura-pura memain-mainkan sendok diatas piring, sementara pikiranku membayangkan batang penis yang panjangnya tak lebih dari 5 cm saat ereksi, dan hanya sebesar buah melinjo saat menciut.

“Mmm… ya sudah in… untuk saat ini mama belum bisa berbuat apa-apa… mama cuma bisa berdo’a semoga kamu mendapat jalan keluar yang baik, dan segera dapat momongan…” ucap mama.

“Amiiin… makasih ma…” jawab kak Indah.

Setelah itu, kamipun mengobrol ngalor-ngidul tentang segala hal, bahkan sampai putusnya hubunganku dengan Ririn pun tak luput dari obrolan kami, namun tentu saja mengenai hubungan khusus aku dan mama sama sekali tidak termasuk dalam pembahasan.


POV Indah

Kulihat di jam dinding kamar menunjukan pukul 11 malam lewat 20 menit. Rupanya selepas shalat isya tadi aku tertidur. Ya, sehabis shalat tadi aku masih sempat chattingan via WA dengan Mas Mirza, setelah itu aku bersosialisasi sebentar, juga via WA, kali itu dengan teman-teman di grup WA alumni SMA, namun tak lama kemudian aku merasa ngantuk, lalu tak ingat apa-apa lagi, mungkin waktu itu sekitar jam 8 malam.

Ah, seharusnya aku membawa botol minuman kekamar ini, sehingga saat aku merasa haus seperti sekarang ini tak perlu lagi aku harus turun kebawah.

Akhirnya aku putuskan juga untuk keluar kamar dan turun kebawah untuk sekedar mendapatkan air minum untuk menuntaskan dahaga ini.

Ah, satu gelas penuh kutenggak habis air mineral yang kuambil dari galon dispenser ini.

Hmm.. sepertinya aku mendengar ribut-ribut dari kamar mama. Seperti orang sedang bersetubuh. Ah, paling-paling mama sedang menonton film porno dikamarnya. Setauku, semeninggalnya ayah, mama sering menonton film porno dikamarnya, karena kebetulan aku pernah mengintipnya melalui lubang kunci. Kasihan juga mama, diusia tiga puluhan sudah ditinggal mati papa, usia dimana masih membutuhkan dekapan hangat seorang lelaki dalam hidupnya.

Tapi, kenapa suara itu begitu jelas, seperti… Ah, lebih baik aku coba mengintip. Kumelangkah mendekati kamar mama. Suaranya semakin jelas, kuyakin itu bukan berasal dari suara video. Apakah mama memiliki pacar atau teman laki-laki, dan sekarang mereka tengah memadu kasih, atau kata kasarnya mereka sedang berbuat mesum.

Hmm.. pintu kamar itu bukan saja tidak terkunci, bahkan juga tidak tertutup rapat, masih ada selah sekitar satu senti antara kusen dan bibir daun pintu, itu artinya kalau aku senggol sedikit saja, tanpa harus menekan handle pintunya, maka akan terbukalah daun pintunya itu. Rasa penasaran membuatku nekat untuk melakukan itu, sekedar ingin tau saja siapa laki-laki pacar mama yang datang malam hari dan enak-enakan berasik masuk didalam kamar.

Ngeeek… engsel pintu yang kurang pelumas menimbulkan suara berderit yang lumayan nyaring seandainya didalam ruangan itu tak segaduh sekarang.

Ya ampun… seorang laki-laki sedang menggagahi mama dengan posisi misionery, beruntung posisinya membelakangi aku sehingga dia tak melihatku, begitupun mama yang wajahnya terhalang tubuh laki-laki itu.

Tapi.. Gila… Apa aku tak salah lihat… Bukankah laki-laki itu si Bagus. Ya aku yakin, walaupun dia membelakangiku, aku yakin benar itu adalah Bagus.

Astaga.. hampir tak percaya aku melihat ini, mana mungkin ini bisa terjadi. Sungguh bejat sekali mereka.

“Iya… terus gus.. anakku sayang… entotin memek mamamu yang kuat sayang… bikin mamamu bunting sayang…”

Astaga, kini seratus persen sudah aku yakin bahwa laki-kaki itu adalah Bagus, dan perempuan itu adalah mama. Ah, sungguh gila mereka. Kata-kata mama itu membuatku bergidik mendengarnya.

Tapi mengapa aku tak punya nyali untuk menggerebeknya, aku hanya bisa melihat dengan melongok dari sisi daun pintu yang hanya terbuka sebesar muatnya kepalaku dapat melongok. Ah, penis adikku itu sangat besar sekali, menghujam-hujam dengan tandas dan bertenaga ke vagina mama. Ah, kenapa justru ada perasaan aneh yang menjalar ditubuhku, tepatnya persaan nafsu.

Sampai dikamar pikiranku menerawang tak karuan. Apakah tadi aku hanya bermimpi, dan sekarang aku telah terbangun dari mimpi itu. Tapi, ah.. rasanya itu bukanlah mimpi. Entah sudah berapa lama mereka melakukan kebiasaan itu, dan kata-kata yang keluar dari mulut mama itu, benar-benar shok aku dibuatnya.

Tapi aku juga tak bisa membohongi diriku, kalau tadi aku juga sempat terkesima dan bernafsu melihat batang penis Bagus yang begitu besar menghujam divagina mama. Ah, betapa nikmatnya seandainya… Ah, aku harus buang jauh-jauh perasaan menjijikan itu, hanya orang tak bermoral yang berhubungan badan dengan saudara kandung.

Hmm.. aku pun masih bingung, harus berbuat apa aku pada mereka besok. Marah, lalu melabrak mereka, atau diam berpura-pura tidak tau..? Kalau laki-laki itu adalah orang lain, mungkin aku putuskan untuk tutup mata, tutup telinga, alias pura-pura tidak tau, tapi yang terjadi sekarang ini adalah antara mamaku dan adikku, mereka adalah anak dan ibu kandung.


POV Dian (mama)

Sekitar pukul 3 pagi aku terjaga. Bagus, anakku masih tertidur diatas tubuhku, dengan batang penisnya juga masih bersarang didalam vaginaku. Ya, tadi malam sekitar pukul 10 Bagus menyusup kedalam kamarku ini, setelah dia yakin anak perempuanku Indah telah tertidur lelap didalam kamarnya. Yang aku ingat, sekitar pukul setengah dua belas malam kami menyudahi permaian setelah Bagus menaburkan benih-benihnya didalam rahimku, dan setelah itu kami tertidur dengan masih dalam posisi yang sama saat pergumulan terakhir tadi malam.

“Gus, bangun sayang… udah jam 3 pagi, kamu harus pindah kekamarmu sebelum kak Indah bangun untuk shalat subuh beberapa jam lagi…” bisikku, sambil kutepuk-tepuk pekan pipinya.

“Iya ma… Bagus sudah bangun koq…” jawabnya, beberapa saat kemudian dia bangkit dari tubuhku, mencabut batang penisnya yang masih tertanam didalam vaginaku.

Ah, dia malah berbaring disampingku dan kembali memejankan matanya.

Aku melangkah kearah kamar mandi untuk buang air kecil, kurasakan sesuatu yang mengalir dipaha hingga kakiku, yang kuyakin itu adalah sperma anakku yang sempat bermalam didakam liang vaginaku, yang kini meluber keluar saat “penyumbatnya” dicabut.

Setelah pipis segera kuraih dasterku yang teronggok dilantai, kemuduan kukenakan.

Hmm… dia malah pules lagi. Aku duduk sejenak diatas ranjang untuk kembali membangunkannya, tapi perhatianku tertuju pada pintu kamar yang terbuka sekitar 30cm. Apakah semalam Bagus seceroboh itu menyusup kekamarku tanpa mengunci pintu bahkan tanpa menutupnya kembali pula, padahal dia tau sekarang Indah menginap disini.

“Gus… bangun gus… kamu harus pindah.. cepat gus…” ujarku, sambil mendorong-dorong lengannya. Kali ini cara membangunkan seorang ibu kepada anak laki-lakinya, bukan lagi seorang kekasih yang membangunkan pujaan hatinya.

“Iya ma… Bagus sudah bangun…” jawabnya, namun dengan mata yang masih terpejam.

“Iya, kamu cepetan pindah dong gus… sebentar lagi kakakmu bangun… bisa kiamat kalau dia sampai tau kamu tidur disini dalam keadaan telanjang pula… cepat sayang…” omelku, kali ini dia bangkit juga akhirnya.

“Gus, semalam waktu kamu masuk, pintu itu tidak kamu kunci ya…?” tanyaku, saat dia tengah mengenakan celana pendeknya.

“Wah iya… Bagus lupa ma… terburu-buru sih, maklum udah kebelet…” jawabnya, dengan mata masih setengah terbuka.

“Ceroboh kamu gus.. itu sekarang malah terbuka, jangan-jangan tadi malam…”

“Tertiup angin mungkin ma…” jawabnya enteng, seraya melangkah keluar kamar.

“Angin dari mana…?” kesalku. Namun dia telah menghilang dabalik pintu kamarku.

Ah, mengapa perasaanku jadi tidak enak saat mengingat pintu kamar yang terbuka itu.

Kurebahkan lagi tubuhku diatas ranjang, beberapa menit kemudian aku sudah tak ingat apa-apa lagi.


Pukul setengah enam aku terbangun, setelah mandi sekalian keramas aku keluar kamar dengan mengenakan daster berwarna hitam bercorak kembang-kembang.

Kulihat Indah duduk disofa sambil menonton tivi. Ah, kenapa wajahnya ditekuk seperti itu, terlihat murung dia. Semakin tidak enak saja perasaanku. Jangan-jangan wajah murungnya itu ada hubungannya dengan pintu kamar yang terbuka tadi mala.

“Selamat pagi in… gimana, nyenyak tidurnya semalam…?” sapaku kepada Indah, yang dijawabnya hanya dengan anggukan kepala. Ah, semakin resah saja pikiranku.

Saat memasak nasi goreng untuk sarapan pagi, pikirankupun masih gundah, dan kegundahan itu semakin beralasan saat kami menyantap sarapan pagi diruang makan, Indah tak mengeluarkan kata-kata sepatahpun, yang membuatku dan Bagus sesekali saling pandang kebingungan. Bahkan saat Indah menunduk, aku sempat melotot kepada Bagus, seolah ingin berkata “ini semua karena kecerobohan kamu, lupa menutup pintu…

Selesai makan, Indah pergi begitu saja meninggalkan kami, dan langsung duduk disofa depan tivi.

“Kita harus selesaikan ini semua gus…” bisikku kepada Bagus, seraya ku bangkit dan melangkah menghampiri Indah, meninggalkan Bagus yang masih melongo mendengar perkataanku tadi.

Kudekati Indah dengan duduk disampingnya, disofa yang sama.

“Ada apa sih in… koq dari tadi kamu murung aja…?” tanyaku membuka percakapan, kulihat Bagus menyusul, namun dia duduk di kursi single yang masih bagian dari set sofa ini juga.

Untuk beberapa saat Indah masih terdiam, sebelum akhirnya.

“Aku masih bingung mau ngomong apa ma… aku masih… mmfffhh… aku masih shok dengan apa yang aku lihat tadi malam…” ujar Indah, jelas sudah, sekarang aku yakin bahwa Indah sudah melihat apa yang aku dan Bagus lakukan dikamarku.

“Lihat apa sayang…?” masih aku berpura-pura bodoh, atau sekaligus ingin kepastian apakah yang dimaksudnya itu benar dengan apa yang ada dipikiranku.

“Mama enggak usah berpura-pura bodoh… kalian semua… sungguh keterlaluan… bagaimana mungkin kalian ibu dan anak kandung bisa berbuat seperti itu… dimana moral kalian… bejat.. sungguh bejat…” umpat Indah dengan emosi. Dari matanya tampak mulai berkaca-kaca. Hmm.. kalau sudah seperti ini, sepertinya memang sudah jelas, dan kuputuskan untuk tidak lagi berpura-pura bodoh.

“Baiklah in… sepertinya kamu sudah tau semuanya… sekarang lebih baik mama harus berkata apa adanya… memang sudah beberapa hari ini mama dan adikmu sudah melakukan hubungan layaknya suami istri. Mungkin bagimu dan juga orang-orang diluar sana ini merupakan perbuatan tak bermoral dan bejat… sebagaimana yang kamu katakan tadi barusan…

tapi ketahuilah in, yang kami lakukan ini sama sekali tidak mengusik apalagi merugikan pihak lain, juga tidak merugikan mama dan Bagus.. kami mekakukannya dengan sadar, atas kemauan kami sendiri tanpa adanya pemaksaan satu sama lain, bahkan kami melakukan ini dengan penuh rasa cinta, dan yang tak kalah penting, kami melakukan ini dengan penuh tanggung jawab dan akan konsekuen dengan segala akibatnya, namun tentu saja akibat-akibatnya itu sudah kami pikirkan matang-matang, sehingga kami yakin bahwa kami akan bisa mengatasinya, dan yang pasti mama juga yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, terutama kehormatan keluarga kita ini, mama bisa menjamin akan tetap terhormat dimata masyarakat, termasuk dimata keluarga besar suamimu tentunya…

“Tapi yang kalian lakukan itu dosa ma…” protes Indah.

“Jangan pikirkan soal dosa, yang mama pikirkan cuma hal yang logis, bukan sesuatu yang belum tentu kebenarannya… dan secara logis pula mama pikir apa yang mama lakukan ini tidak ada salahnya… karena seperti yang mama katakan tadi, tidak ada pihak yang merasa dirugikan, baik mama maupun Bagus, bahkan kami merasa bahagia dengan melakukan ini…

“Baiklah ma… kalau itu memang sudah keputusan mama, dan mama menganggap itu adalah benar… Aku akan berusaha menutup mata dan telinga seolah tadi malam aku tidak pernah melihat apa-apa dikamar mama…” ucap Indah, setelah mereguk habis segelas air putih yang diberikan Bagus, lalu dia meletakan gelas kosongnya diatas meja didepan sofa.

“Gus, coba tolong kamu ambilkan anggur seperti yang kemarin kita minum… di kamar mama, tepatnya didalam raknya masih ada satu botol lagi… rak yang ada kacanya itu lho.. kamu ambil aja, bawa kesini… oh iya, sekalian kamu bawa gelas dua…” pintaku pada Bagus.

Tak sampai dua menit, botol anggur beserta 2 buah gelas kosong sudah berada diatas meja depan sofa.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu