2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

ISTANA INCEST - True Story

Keluarga Mama Nies di kampungnya menerimaku dengan ramah dan cepat akrab. Mereka memperlakukanku seolah anak kandung Mama Nies.

Adik seayah Mama Nies yang bernama Lily itu pun langsung akrab denganku. Tapi dia tidak mau dipanggil Tante atau Bibi, karena usianya lebih muda dariku. Dia minta saling panggil nama saja denganku.

Lily memang cantik seperti dikatakan oleh Mama Nies. Kulitnya yang putih mulus dan matanya yang agak sipit, membuatnya mirip artis-artis Korea.

Yang menyenangkan adalah sikapnya itu. Familiar dan cepat akrab denganku.

Calon pengantin yang akan dinikahkan itu adalah anak kakak Mama Nies. Dan kelihatannya yang sibuk mengatur-atur hanya yang segenerasi dengan Mama Nies. Sementara aku dan Lily bisa jalan-jalan semaunya. Yang sangat menyenangkan adalah sikap ayah Mama Nies itu. Beliau menyuruhku mancing sepuasnya di kolam luas yang dipakai memelihara ikan-ikan gurame.

Aku senang juga memancing. Tapi setelah dapat, ikannya kulepaskan lagi. Karena aku hanya senang merasakan kejutan-kejutan waktu ikan memakan umpanku saja.

Yang membuatku lebih senang lagi adalah Lily itu. Dia mau duduk berjam-jam di sampingku, di gubuk tepi kolam sambil memancing ikan-ikan gurame. Seperti pada suatu saat, terjadi percakapan ini :

“Nanti mau kuliah di kampus Dina ya?” tanyaku pada suatu saat.

“Iya, “Lily mengangguk sambil tersenyum, “Tapi nanti, setelah pengumuman kelulusannya diumumkan.”

“Kalau pindah ke kota kami, bisa sering ketemu dong kita nanti.”

“Iya… semoga aja aku lulus dari SMAku. Mbak Nies dan Dina berkeras mengajakku kuliah di kampus Dina.”

“Mau ngambil fakultas apa?”

“Paling juga fakultas ekonomi. Sama dengan Dina. Biar bisa nanya-nanya kalau ada kesulitan nanti.”

“Aku gak nyangka kalau Mama Nies punya adik secantik Lily.”

Lily tersipu. “Di kota kan banyak cewek cantik,” ucapnya sambil mkenunduk.

“Tapi yang secantik Lily baru kali ini aku lihat.”

“Matanya kelilipan kali. Hihihiii…”

“Nanti kalau pindah ke kotaku, pacar Lily di sini ditinggalin dong.”

“Iiiih, aku belum punya pacar kok.”

“Serius?”

“Serius. Teman-teman yang sudah pada punya pacar. Prestasinya di sekolah malah menurun. Dan aku gak mau seperti itu. Kejar pendidikan dulu, baru pacaran.”

“Kalau sudah jadi mahasiswi sih, gak ada salahnya pacaran. Aku mau juga kok jadi pacarmu.”

“Emangnya Leon belum punya pacar gitu?”

“Belum. Mungkin aku ditakdirkan untuk memlih Lily. Makanya baru di tempat ini perasaanku jadi lain,” ucapku sambil memegang pergelangan tangan Lily.

Lily tersipu-sipu. Tapi lalu tampak senyum manis tersungging di bibirnya.

“Bagaimana? Diterima apa ditolak?” tanyaku tak sabar.

“Harus secepat itu menjawabnya?” Lily balik bertanya.

“Iya… supaya kalau aku sudah pulang nanti, aku punya pegangan yang jelas. Tinggal melanjutkannya aja setelah Lily pindah ke kotaku nanti.”

Sebagai jawaban Lily malah berkata, “Maen ke pantai yuk.”

“Ke pantai? Emang dari sini dekat ke pantai ya?”

“Dekat. Hanya sepuluh kilometer. Kalau pakai motor, seperempat jam juga sampai.”

“Jadi… maksud Lily mau menjawabnya di pantai aja nanti?”

Lily menatapku sejenak, lalu mengangguk perlahan.

“Ayo deh, “aku bangkit sambil menarik benang p[ancingku. Menggulungnya dan mau membawanya ke rumah Lily. Tapi Lily berkata, “Alat-alat pancingnya tinggalin aja di sini. Takkan ada yang ganggu kok.”

Beberapa saat kemudian, Lily sudah berada di dalam mobilku. Yang sedang kukemudikan menuju pantai selatan. Memang dari rumah Lily menuju pantai selatan itu tidak jauh. Hanya setengah jam sudah sampai, tanpa ngebut pula.

“Biasanya kalau berada di pantai, suasananya gersang. Hanya pohon-pohon kelapa yang bisa tumbuh. Tapi di sini kelihatannya subur ya. Hawanya juga tidak terlalu panas,” kataku setelah turun dari mobil yang kuparkir di dekat pantai.

“Iya. Tuh di sana ada tempat duduk yang teduh,” sahut Lily sambil menunjuk ke bangku kayu yang terletak di bawah pohon rindang.

Suasana di sekitar kami sunyi, karena pantai ini bukan tujuan wisata. Hanya debur-debur ombak yang terdengar. Tapi indahnya bukan main.

Mungkin kehadiran Lily di sampingku ini yang membuat perasaanku jadi berbunga-bunga.

Terlebih setelah Lily bertanya, “Mau dijawab sekarang tembakannya?”

“Iya dong. Kalau bisa cepat, kenapa harus diperlambat?” sahutku.

“Leon… sebenarnya begitu Leon datang ke kampung ini… aku sudah punya perasaan suka sama Leon.”

“Jadi?”

“Aku mau jadi pacar Leon. Tapi aku ingin hubungan yang serius. Jelas masa depannya akan seperti apa gitu. Kalau sekadar pacar-pacaran tanpa tujuan, aku gak mau.”

“Dengan perasaan lega, kupegang kedua pergelangan tangan Lily, “Jadi kalau aku serius, Lily siap menjadi pacarku?” tanyaku di antara gemuruh bunyi ombak.

Lily mengangguk dengan senyummanis. Oi maaak… manis kali senyum Lily itu.

“Lily kan adik Mama Nies. Kalau sekadar ingin iseng, gak mungkin Lily yang jadi sasarannya. Aku serius, ingin menata masa depan bersamamu, Ly.”

Tiba-tiba Lily membenamkan mukanya di dadaku.

“Lho kenapa?” tanyaku.

“Aku bahagia sekali saat ini, Leon…”

Aku memang sudah berpengalaman dalam kehidupan dewasa.

Tapi Lily ini kuperlakukan secara hati-hati. Sampai aku pulang bersama Mama Nies, aku hanya berani memegang tangan Lily. Mencium bibirnya pun belum berani.

Dalam perjalanan pulang itulah Mama Nies mulai mengorek masalah Lily.

“Sekarang Lily sudah jadi pacarmu kan?”

“Iya Mam. Sesuai dengan saran Mama.”

“Hush… jangan berdasarkan saran mama. Memangnya kamu hanya ingin berhubungan secara semu aja dengannya?”

“Nggak Mam. Sebenarnya tanpa saran dari Mama pun, aku pasti berusaha untuk merebut hatinya. Tapi dia bilang mau menerima cintaku asalkan serius. Berarti…”

“Berarti kelak kamu harus memperistrikannya. Jangan sekadar hubungan iseng.”

“Tapi hubungan kita akan tetap berlanjut meski kelak aku menikah dengan Lily kan?”

“Ya iya dong. Justru mama mendorong Leon pacaran dengan Lily, supaya jangan jauh-jauh dari mama.”

“Aku juga akan tetap membutuhkan Mama Nies. Sekarang juga butuh… seminggu di kampung Mama Nies kan gak bisa ngapa-ngapain…”

“Tapi sekarang gak bisa, Sayang.”

“Kenapa? Mama Nies kecapean ya?”

“Bukan gitu… lampu merah lagi nyala…”

“Maksudnya lagi mens?”

“Hihihiii… iya…”

“Duuuh… sejak kapan?”

“Sejak tadi malem.”

“Wah berarti gak usah nginep di Bandung lagi dong. Langsung aja pulang ya.”

“Iya. Jangan kecewa ya. Nanti kalau mama udah bersih lagi, mama kasih deh. Sekenyangnya.”

“Ketemuannya di mana ya?”

“Di rumah mama aja. Tapi kamu pakai taksi aja, lewat jam sepuluh malam anak-anak sudah pada tidur. Kamu kan bisa menyelinap ke kamar mama lewat pintu yang langsung dari luar.”

Tapi setelah mengantarkan Mama Nies sampai di rumahnya, aku justru mulai memutar otak. Tentang siapa TO berikutnya. Mama Yuli apa Mama Maryam?

Entahlah. Karena Mama Yuli itu angat angkuh di mataku. Sedangkan Mama Maryam, sepertinya sulit buat didekati, karena dia kelihatan teguh dan taat menjalankan ibadah.

Setibanya di rumah, kuserahkan oleh-oleh dari kampung Mama Nies kepada Mami.

Mami menyambutnya dengan senang, “Waaah… buah sukun dari kampung Nies sih pasti enak, manis dan gurih. Banyak bener bawanya, Leon?”

“Itu aku sendiri yang metikinnya Mam. Di kampung Mama Nies banyak kolam dan pohon sukun,” sahutku sambil memeluk Mami dari belakang, “Tapi aku kangen banget sama Mami… seminggu gak ngentot Mami rasanya seperti tujuh bulan…”

“Mandi dulu dong sana Sayang. Nanti mami kasih…”

“Iya,” sahutku sambil mengecup pipi Mami, “Mandi bareng lagi aja yuk… ingin disabunin sama Mami. Ingin nyabunin Mami juga.”

“Ayo, kebetulan mami juga belum mandi sore,” sahut Mami sambil balas mengecup pipiku.

Beberapa saat kemudian kami sudah berada di dalam kamar mandi, sambil melucuti pakaian masing-masing.

Dan ketika Mami melepaskan celana dalamnya, aku tercengang. “Memeknya dicukur plontos Mam?” cetusku sambil mengelus-elus memek Mami yang sudah dicukur gundul.

“Kan kamu yang pengen gundul biar enak jilatinnya,” sahut Mami sambil memutar kran shower air hangat.

Cepat aku mengambil botol sabun cair. Menuangkannya ke telapak tanganku, lalu menyabuni sekujur tubuh Mami. Sambil berucap, “Waktu kecil aku kan dimandiin terus sama Mami. Sekarang giliran aku yang mandiin Mami. Hihihiii…”

“Iya… tapi kamu sih kalau nyabunin mami, kerasan nyabunin memeknya doang…”

“Abis ini kan bagian yang paling indah di tubuh Mami,” sahutku sambil menyabuni memek tembem Mami.

Aku sulit membandingkan antara Mami dengan Mama Nies. Kurasa mereka punya kelebihan masing-masing. Mama Nies bertubuh langsing dan berbokong semok, sementara toketnya berukuran sedang-sedang saja. Sementara Mami boleh dibilang bom sex. Karena tubuhnya chubby. Bokong dan to9ketnya sama-sama gede.

Tapi kata orang, perempuan chubby hanya bisa dinikmati oleh kontol panjang saja. Karena kalau kontolnya pendek, terhalang oleh perut dan kegempalan pahanya. Untung kontolku cukup panjanhg, diameternya pun di atas rata-rata. Bahkan Mami pun bilang kalau kontolku ini lebih gagah daripada kontol Papi.

Mami diam saja ketika aku sednag menyabuninya dari ujung kaki sampai ke lehernya. Namun kenakalanku timbul ketika kontolku sudah ngaceng berat, Mami kudesakkan ke dinding kamar mandi, lalu aku berusaha untuk membenamkan kontolku ke dalam memek Mami yang sudah kulicinkan dengan air sabun ini.

Mami memang tak pernah menolak apa pun yang kuinginkan. Saat itu pun dibiarkannya saja aku berusaha memasukkan kontolku ke dalam memeknya.

Apakah aku sedang melakukan pembalasan, karena seminggu berada di kampung Mama Nies tak bisa mendapatkan “jatah”, lalu melampiaskannya ke dalam memek Mami?

Entahlah… yang jelas aku mulai mengentot Mami sambil berdiri di kamar mandi.

Dan rasanya fantastis juga. Karena aku bisa mengentot Mami dengan lancar. sementara Mami hanya mendekap pinggangku, mungkin supaya jangan terjatuh.

Sementara aku mengentot Mami sambil mengemut pentil toketnya. Hitung-hitung nostalgia masa kecil. Karena sampai usia 5 tahun aku masih suka ngemut toket Mami, meski pun sudah tiada ASInya.

Tapi pada waktu masih kecil, aku ngemut toket Mami tiada hubungannya dengan kontolku. Setelah dewasa begini, ngemut pentil toket Mami membuat kontolku lebih enak bergesekan dengan liang memek Mami.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu