2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

ISTANA INCEST - True Story

Tiga hari kemudian aku bermaksud untuk ketemuan dengan Papi di café langganannya itu. Tapi tiba-tiba datang WA dari Dina. Isinya singkat

Leon… temenin aku dong-

Aku mengernyitkan dahi, lalu membalasnya*-Temenin ke mana?-*

Kemudian: Temenin di rumah. Mama lagi ke Jakarta bersama Conny. Aku sendirian di rumah-

Ohya? Sejam lagi aku merapat ke rumahmu-

Asyik. Makasih sebelumnya ya-

Beberapa saat kemudian aku sudah melarikan mobilku menuju rumah Mama Nies.

Dina menyambutku dengan cipika-cipiki. Tapi ketika aku berusaha mencium bibirnya, dia menjauhkan bibirnya dari bibirku. Hanya saja kali ini dia menghindar dengan senyum manis. Manis sekali senyum Dina itu.

Saat itu Dina hanya mengenakan daster yang terbuat dari kain goyang. Sehingga kalau sedang bergerak, kelihatan samar-samar bentuk asli tubuhnya yang agak sintal tapi tidak chubby.

“Memangnya Mama ke Jakarta mau ngapain?” tanyaku setelah duduk berdampingan dengan Dina di atas sofa ruang keluarga.

“Si Conny tuh… berkeras ingin kuliah di Jakarta. Kebetulan Mama punya koneksi yang jadi dosen di Jakarta. Jadi mau minta bantuan dosen itu, supaya Conny diterima di universitasnya.”

“Terus nanti Conny mau kos di Jakarta?”

“Mau tinggal di rumah saudara sepupu Mama. Udah clear soal itu sih. Tinggal memperjuangkan supaya bisa kuliah di universitas itu saja.”

“Mau sampai kapan Mama di Jakarta?”

“Nggak tau. Mungkin sekitar tiga harian gitu.”

“Asyik dong. Berarti sejak malam ini aku bakal tidur di kamarmu ya.”

“Haaa?! Kamu tidur di kamar tamu dong.”

“Nggak mau ah. Kalau tidur sama kamu, disuruh nemenin sebulan juga aku mau.”

“Tapi ingat… kita ini saudara seayah lho. Bukan saudara tiri.”

“Iya, iya. Kamu dan aku sama-sama Bin Aldian.”

“Nah kamu nyadar tuh. Kalau aku kawin dan Papi sudah nggak ada, kamu berhak menjadi waliku, tau?”

Aku cuma tersenyum.

Lalu berlagak memikirkan sesuatu. Dan memang aku sedang memikirkan Dina itu.

Entah kenapa. Rasanya Dina itu memancarkan daya tarik tersendiri bagiku. Daya tarik birahi yang terkadang muncul bukan pada tempatnya.

“Dina… sebenarnya sejak kecil aku punya rasa penasaran padamu. Tapi kenapa kamu selalu menghindariku?” tanyaku sambil memegang tangan Dina yang terasa halus dan hangat.

“Soalnya kita ini saudara, Leon. Kita boleh dekat, tapi tetap harus menjaga agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” sahut Dina lirih.

“Aku justru ingin melakukan hal yang diinginkan.”

“Mau apa?” Dina menepuk lututku.

“Mau mencium bibirmu yhang sensual itu…” sahutku sambil mendekatkan bibirku ke bibir Dina, “Tapi aku tidak mau memaksamu. Aku ingin agar kamu ikhlas bibirmu kucium.”

Tiba-tiba Dina agak mengangakan bibirnya, seolah mempersilakanku untuk menciumnya.

“Boleh?” tanyaku setengah berbisik.

“Iya,” sahut Dina perlahan sambil memejamkan matanya.

Tanpa buang waktu lagi kupagut bibir sensual itu ke dalam lumatan hangatku, sambil memeluknya erat-erat. Dan ternyata Dina menyambut lumatanku dengan lumatan pula. Terkadang lidahnya dijulurkan, yang lalu kusedot ke dalam mulutku. Dan ketika aku menjulurkan lidahku, Dina pun menyedot lidahku ke dalam mulutnya.

Mata Dina tetap terpejam. Begitu pula ketika tanganku mulai memegang lututnya… lalu merayap ke arah pahanya yang terasa menghangat, Dina tetap terpejam.

Aku ingin tahu sejauh mana aku boleh menyentuh bagian yang merangsang birahiku ini. Tanganku merayap terus sampai ke pangkal pahanya. Dan Dina bahkan semakin lincah melumat bibirku, sambil memeluk leherku.

Padahal tanganku sudah menyelinap ke balik celana dalamnya. Dan mulai menyentuh kemaluannya…!

Dina tetap memejamkan matanya pada saat sedang saling lumat denganku, sementara tanganku mulai menggerayangi kemaluannya yang menghangat dan bersih dari jembut.

Sampai pada suatu saat aku berbisik ke telinganya, “Aku ingin menjilati memekmu. Boleh?”

Dina membuka matanya. Menatapku dengan sorot sayu. “Terserah…” sahutnya hampir tak terdengar. Mungkin dia pun sudah mulai horny.

Dan aku pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Mumpung Dina sedang larut ke alam di bawah sadarnya.

Cepat aku duduk di lantai, di antara kedua kaki Dina, sambil menarik bokongnya agar maju ke depan. Dan tanpa basa basi lagi kusingkapkan dasternya dan kupelorotkan celana dalamnya sampai terlepas dari kakinya. Dina tetap duduk menyandar ke sandaran sofa, namun setengah rebah karena bokongnya ada di pinggiran sofa.

Kuelus-elus paha putih mulusnya sesaat, sampai akhirnya kedua tanganku menempel di sepasang bibir luar memeknya. Dina tetap diam. Bahkan ketika aku mengangakan memeknya sampai kelihatan jelas bagian dalamnya yang berwarna pink itu.

Aku pun mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu. Dina tersentak awalnya. Tapi tidak meronta. Bahkan kedua tangannya mengusap-usap rambutku. Seolah pertanda bahwa ia senang diperlakukan seperti ini.

Maka semakin lahaplah aku menjilati memek Dina, seolah kucing yang berhasil menangkap mangsanya. Kujilati setiap sudut kemaluan Dina tanpa merasa sungkan lagi sedikit pun. Dan Dina mulai mengejang-ngejang, mungkin sedang merasakan sesuatu yang geli-geli enak.

Terlebih lagi setelah aku fokus menjilati itilnya yang nyempil sebesar biji kacang hijau ini. Makin mengejang-ngejanglah Dina dibuatnya. Sementara itu aku pun diam-diam mulai mengalirkan air liurku ke arah celah memek Dina. Sehingga makin lama makin basahlah kemaluan adik seayahku itu.

Sampai akhirnya terdengar suara Dina, “Leon… kamu ingin memasukkan penismu ke dalam veggyku kan?”

Aku menghentikan jilatanku untuk menjawab, “Kalau boleh, tentu aja aku mau. Udah lama aku menginginkannya.”

“Tapi kamu bisa merahasiakannya nggak?” tanyanya.

“Tentu aja. Aku takkan bilang-bilang sama Mama Nies. Sama Conny juga takkan ngomong apa-apa.”

“Bukan soal itu yang harus kamu rahasiakan.”

“Lalu… apa yang harus kurahasiakan?”

“Aku nggak perawan lagi,” sahut Dina.

Pengakuan Dina itu membuat batinku terhenyak. Tapi aku bersikap datar saja, seolah tiada sesuatu yang mengejutkan. Bahkan kataku, “Buatku, lebih bagus kalau kamu tidak perawan lagi. Jadi lebih leluasa ngentotnya… heheheee…”

“Tapi beneran ya… kamu harus merahasiakan soal yang satu ini,” kata Dina sambil bangkit dari sofa, lalu menuntunku masuk ke dalam kamarnya.

Sebenarnya aku masih linglung karena mendengar pengakuan Dina yang mengejutkan itu. Padahal dia kelihatan tidak sembarangan bergaul. Tapi siapa yang telah mengambil keperawanannya itu?

Tapi biarlah. itu bukan urusanku. Bahkan mungkin bakal lebih leluasa kalau Dina tak perawan lagi. Kalau masih perawan, mungkin aku juga tak bisa sembarangan menyetubuhinya.

Bahkan semuanya ini surprise besar buatku. Batapa tidak. Sudah lama aku berusaha ingin mencium bibir Dina. Tapi dia selali menepiskanku. Hanya pipinya yang bisa kucium.

Tapi kini Dina sedang melepaskan daster dan behanya, sehingga tubuyh padat mulus dan putihnya mulai dipamerkan padaku. Dan bahkan ia mengajak ke kamarnya, karena hendak menjyerahkan memeknya untuk kunikmati. Syaratnya ringan sekali, agar aku tidak bicara kepada siapa pun kalau Dina tidak perawan lagi.

Sekarang mending konsen ke tubuh putih mulus yang sudah telanjang bulat di depan mataku itu.

Aku pun mengimbanginya dengan menelanjangi diriku sendiri.

Dan Dina tercengang dengan pandangan tertuju ke kontolku yang sudah ngaceng berat ini. “Gak salah nih?” ucapnya sambil memegang kontolku tanpa keraguan sedikit pun.

“Memang apanya yang salah?” tanyaku.

“Penismu ini… gede dan panjang banget…” sahutnya.

“Aaah… perasaan sih standar bangsa kita aja gedenya.”

Tiba-tiba Dina menarikku ke atas bednya. Mendorong dadaku supaya celentang di atas kasur. Dan mendekatkan mulutnya ke kontolku yang sedang dipegangnya. Maaak… ini kejutan lagi… Dina langsung mengulum dan menyelomoti kontolku… Sudah sejauh itukah pengalaman cewek yang tadinya kuanggap culun itu?

Bahkan ketika aku masih celentang sambil memperhatikan betapa lincahnya Dina mempermainkan kontolku dengan emutan bercampur dengan urutan tangannya, seolah-oleh kontolku sedang berada di dalam cengkraman memek yang sangat aktif menggesek-gesek senjata pusakaku.

Bahkan pada suatu saat Dina berjongkok mengangkang dengan memek berada di atas kontolku yang sedang dipegang dan diarahkan olehnya.

Lalu memek Dina menurun, sehingga kontolku membenam ke dalam liang memek yang berish dari jembut itu. Blessss… membenam lebih dari separohnya.

Dengan kedua kaki berada di kanan kiri pinggulku, Dina mulai beraksi. Pantatnya naik turun sehingga memeknya pun naik turun membesot-besot kontolku. Pada ssat seperti itu, memek Dina semakin jelas di mataku. Jelas mana bibir luar dan bibir dalamnya (labia mayora dan labia minoranya). Bahkan itil dengan selubungnya pun tampak jelas sekali di mataku.

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu