2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

ISTANA INCEST - True Story

Mami mengusap-usap dadaku yang masih telanjang sambil berkata lembut, “Nggak nyangka… kamu malah lebih perkasa daripada papimu. Memangnya sejak kapan kamu punya pikiran lain sama Mami?”

Tadi aja secara mendadak. Karena aku melihat Mami lebih menggiurkan daripada biasanya,” sahutku.

“Tapi awas… ini rahasia kita berdua aja ya Sayang. Orang lain jangan sampai tau.”

“Iya Mam. Percaya deh… aku juga gak mau orang lain tau. Tapi besok-besok aku bisa dapet jatah terus kalau Papi sedang menggilir istri-istri lainnya kan?”

“Iya, boleh. Mami juga sering merasa kesepian kalau Papi sedang di rumah istri-istri mudanya. Tapi mulai malam ini, jatahmu bisa lebih banyak daripada jatah Papi.”

“Maksud Mami?”

“Papi kan hanya dapat jatah seminggu dalam sebulan. Sementara jatahmu bisa tiga minggu dalam sebulan. Kecuali kalau mami sedang datang bulan, ya gak boleh disetubuhi.”

Tiba-tiba Mami memegang kontolku yang diam-diam sudah mulai membesar dan menegang kembali, sambil berkata, “Kamu masih mau ngentot mami lagi?”

“Iya Mam. Belum kenyang bener… hehehee… boleh kan?”

Sebagai jawaban, Mami mendorong dadaku agar menelentang. Kemudian Mami berjongkok dengan kedua lutut berada di kanan-kiri pinggulku. Sambil memegang kontolku yang sudah ngaceng lagi ini, Mami menurunkan pinggulnya. Dengan sendirinya memeknya pun turun dan “menelan” kontolku, sedikit demi sedikit sampai akhirnya kontolku terbenam seluruhnya ke dalam liang memek Mami yang masih basah dan licin dan hangat ini.

Ooo Mami… Mami… tak kusangka Mami akan mengabulkan keinginanku yang pasti tadinya sangat berat bagi Mami. Namun sekarang Mami sudah ikut menikmatinya. Menikmati kontolku yang katanya lebih panjang gede kalau dibandingkan dengan kontol Papi…!

Ya… Mami mulai beraksi dengan lincahnya. Menaik turunkan pinggulnya, dengan sendirinya memek Mami pun naik turun, membesot-besot kontolku yang luar biasa enaknya…!

Aku sendiri tak mau berdiam pasif. Ketika memek Mami sedang turun, kudorong kontolku nsejauh mungkin. Sedangkan kalau memek Mami sedang naik, kutarik pula kontolku. Dengan begini aksi Mami kupermudah. Sementara kedua tanganku yang sedang memegang kedua paha Mami, terkadang meremas-remas paha Mami, terkadang bisa juga memegang pantat Mami yang gede, lalu kuremas-remas juga pantat Mami sebisaku.

Tapi tiba-tiba pandanganku tertuju ke sesuatu di atas liang memek Mami. Iya… clitoris mami itu tampak jelas nyempil dari selubungnya. Maka kugesek-gesekkan jempol tanganku ke itil Mami itu.

“Iii… iya Leon… gesek-gesek terus itil mami… enak sekali Leon… ooooh… enak Leooon… “celoteh Mami yang masih asyik mengayun memeknya, naik turun dan membesot=besot kontolku terus-menerus.

Kuikuti keinginan Mami itu. Kugesek-gesekan jempol tanganku ke itil Mami terus-terusan.

Namun tak lama kemudian Mami ambruk ke atas dadaku sambil mengelojot dan mengejang.

Mami tidak bicara apa-apa. Tapi aku yakin barusan Mami sudah orgasme.

Malam itu memang malam bersejarah dan sangat mengesankan. Betapa tidak. Setelah doa ronde bersetubuh dengan Mami, aku pun terkapar dan tidur di dalam dekapamn Mami. Dalam keadaan sama-sama telanjang bulat.

Menjelang matahari terbit, aku terbangun karena ada yang geli-geli di kontolku. Ternyata Mami sedang menyelomoti kontolku. Ketika Mami tahu aku sudah terbangun, Mami berkata, “Main subuh itu enak Leon…”

Dan begitulah. Di hari yang masih subuh ini aku mengentot memek Mami lagi. Kebetulan hari itu aku libur, tidak ada kuliah. Tapi besok aku mau ujian semester.

Walau pun mau ada ujian, aku tidak gentar. Karena teman-teman kuliahku pun tahu semua, bahwa aku ini termasuk mahasiswa paling cerdas di antara teman sefakultas dan seangkatan denganku.

Apalagi sekarang aku sudah punya “doping”, yaitu memek Mami. Otakku terasa segar tiap selesai menyetubuhi Mami.

Dan ujianku pun berjalan dengan lancar. Tiada kata sulit di kamusku. Semuanya mudah dan semoga IPK-ku semakin naik nanti.

Setelah selesai ujian, Papi mengajakku ke café itu lagi.

Aku dengan Papi memang seperti dengan teman. Terkadang bisa bercanda seenaknya, tanpa takut ditegur atau dimarahi. Papi sendiri belakangan ini sangat terbuka padaku. Sampai masalah yang harus dirahasiakan pun dibukanya padaku.

Aku tidak mau melaporkan kisah baruku bersama Mami. Karena aku sudah berjanji kepada Mami untuk merahasiakannya pada siapa pun, termasuk kepada Papi.

Waktu tiba saatnya untuk membicarakan “tugas rahasia” itu, Papi berkata, “Sekarang kamu mulai libur kan? Nah… papi mau mempermudah tugasmu. Mama Anisa mau ke kampungnya, karena ada pernikahan keponakannya. Hitung-hitung piknik, kamu anterin dia ya. Pakai mobilmu boleh, pakai mobil papi juga boleh.

“Sanggup, “aku mengangguk, “tapi Papi bilang mempermudah apa tuh?”

“Kampungnya di perbatasan Jabar dengan Jateng. Kamu berangkat nanti malam, supaya enak. Kalau jarak jauh sih enakan malam hari kan?”

“Berarti harus lewat Bandung Pap.”

“Nah… justru itu… sebelum masuk Bandung, kamu bilang aja ingin istirahat dulu. Pakai alasan ngantuk kek… atau apalah gitu.”

“Terus?”

“Cek in aja di hotel.”

“Menginap di hotel maksud Papi?”

“Iya. Di hotel itu kamu bisa mulai menjalankan tugas dari Papi. Ngerti kan?”

“Ngerti Pap. Tapi untuk hotel, BBM dan sebagainya gimana?”

“Soal itu sih jangan takut. Nanti papi transfer ke rekening tabunganmu.”

“Siap Papi, siap !”

“Kamu yakin akan berhasil nanti?”

“Mudah-mudahan aja berhasil Pap.”

“Papi percaya, kamu akan berhasil. Kamu ini ganteng kok. Masih sangat muda pula. Masa bisa gagal? Hahahaaa…”

Aku cuma tersenyum melihat Papi ketawa terbahak-bahak begitu.

Tapi aku senang mendapat tugas untuk mengantarkan Mama Anisa (biasa kupanggil Mama Nies) itu. Karena rumah Mama Nies itu tidak terlalu jauh dari rumah Mami. selain daripada itu aku sudah akrab juga dengan anak sulungnya yang bernama Dina itu.

Ya… aku masih ingat benar bahwa aku pertama kalinya mengenal Dina itu waktu aku sedang memburu layangan putus talinya itu. Lalu Dina sendiri yang mengatakannya bahwa aku ini saudaranya. Pada saat itu aku belum tahu bahwa Papi itu punya istri 4 orang, termasuk Mami sebagai istri pertamanya.

Setelah sama-sama jadi mahasiswa, Dina itu tampak cantik. Tapi aku menganggapnya sebagai adik saja, meski usianya hanya lebih muda 3 bulan denganku.

Yang sangat menyenangkan adalah sikap Mama Anisa dalam memperlakukanku sebagai anak. Bukan sekadar sebagai anak tirinya. Mama Nies selalu menerimaku dengan ramah dan lembut setiap kali aku bertamu ke rumahnya.

Karena itulah aku senang mendapatkan tugas unjtuk mengantarkan Mama Nies ke kampungnya, meski pun aku tahu jaraknya lumayan jauh. Mungkin 200 kilometer lebih.

Papi pun langsung menelepon Mama Nies dan mengatakan bahwa aku yang akan mengantarkannya ke kampungnya nanti. Kemudian Papi menyampaikan beberapa pesan kepada istri keempatnya itu.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan