2 November 2020
Penulis —  Kusumawardhani

ISTANA INCEST - True Story

Sebelum jam tujuh malam aku sudah memarkir mobilku di depanj rumah Mama Anisa.

Dina yang menyambutku di ambang pintu depan. Lalu ia berjabatan tangan dan cipika-cipiki denganku.

“Kalau ujian sudah selesai sih mau juga aku ikut,” kata Dina setelah aku duduk di ruang tamu, sementara ibunya sedang berdandan dulu katanya.

“Emangnya masih ada ujian?” tanyaku.

“Masih, “Dina mengangguk.

“ Aku sih udah selesai kemaren.”

“Beda kampus tentu beda jadwal,” kata Dina sambil menepuk lututku.

“Sekarang kamju gak takut lagi sama aku ya?”

“Masa sama saudara takut?”

“Dulu waktu kita masih kecil, kamu malah lari ketakutan.”

“Abisnya kamu berlari-lari gitu, kirain mau ngejar dan nangkap aku.”

“Iih… waktu itu aku lagi ngejar layangan. bukan ngejar kamu.”

“Tapi memang waktu masih kecil aku paling takut didekati anak cowok.”

“Setelah gede malah seneng didekati cowok ya?”

“Nggak juga. Ini aku mau deket sama kamu karena sama saudara aja.”

“Sini dong duduknya, di sampingku. Kan kita saudara.”

“Nggak mau ah, takut dicium bibir lagi kayak tempo hari.”

“Sama sodara cium bibir aja sih boleh. kecuali kalau cium bibir yang di bawah perut… itu nggak boleh…”

“Leon…! “seru Dina tertahan, “Kamu bikin aku merinding ih.”

Aku mau menjawab dengan candaan yang lebih ngeres lagi. Tapi Mama Anisa sudah muncul di ambang pintu kamarnya. Dengan baju muslimah serba hitam. Hijabnya pun hitam seperti baju panjangnya.

Aku pun berdiri, lalu menghampiri Mama Nies dan mencium tangannya, “Udah siap Mam?” tanyaku.

“Udah, “Mama Nies mengangguk sambil tersenyum. Lalu menoleh ke arah Dina, “Tolong ambilin koper mama, masukin ke mobil Leon, “katanya kepada Dina.

Ketika Dina sudah keluar dari kamar Mama Nies, dengan koper yang dijinjingnya, aku mengambil alih koper itu dan memasukkannya ke dalam mobilku di bagian belakang, karena mobilku tak ada bagasinya.

Lalu kubukakan pintu depan kiri sambil memegangi Mama Nies yang mau masuk. Lalu aku cipika-cipiki lagi dengan Dina, kemudian naik ke belakang setir.

“Hati-hati yaaa… jangan ngebut,” ucap Dina sambil melambaikan tangannya ketika mobilku mulai kugerakkan perlahan.

Sesaat kemudian lampu mobilku sudah terasa gunanya, menyeruak di tengah kegelapan malam.

“Tadi Papi nelepon, jangan terlalu memaksakan diri. Kalau Leon capek nyetir, kita istirahat aja di Bandung. Besok pagi baru dilanjutkan,” kata Mama Nies ketika mobilku sudah memasuki jalan tol.

“Iya Mam. Sama aku juga bilang begitu. Kita lihat nanti aja deh. Kalau jalannya lancar, bisa aja langsung ke kampung Mama.”

Memang sekarang suasana lalu lintas tidak bisa diprediksi. Terkadang di hari-hari biasa saja bisa macet setengah mati. Termasuk di jalan tol. Kalau sudah macet, ya macet juga. Maka perhitungan jam tempuh tidak bisa diprediksi. Bisa lancar, bisa juga terlambat berjam-jam.

“Tadi udah pamitan dulu sama pacarmu? “tanya Mama Nies tiba-tiba.

“Pacar? Aku gak punya pacar Mam.”

“Masa sih cowok seganteng kamu gak punya pacar?”

“Hehehee… belum nemu cewek yang secantik Mama Nies,” sahutku nyeleneh. Tapi memang sudah kurencanakan untuk menebarkan “racun” di dalam mobilku.

“Ohya?! Emangnya mama ini cantik di matamu?”

“Luar biasa cantiknya Mam.”

“Cantik juga mama ini sudah tua, Leon.”

“Tua? Ah, Mama Nies kan tigapuluhlima juga belum.”

“Pas tigapuluh lima,” sahut Mama Nies, “mama menikah sama papi ketika umur mama baru enambelas tahun. Lalu umur tujuhbelas sudah melahirkan Dina. Umur delapanbelas melahirkan Conny.”

“Ohya… tadi Conny kok gak keliatan Mam?”

“Dia sedang belajar di rumah temannya. Kan sudah mau ujian SMA.”

“Ohgitu ya.”

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Sementara jalanan lagi macet pula. Terpaksa aku menjalankan mobilku seperti keong… merayap perlahan-lahan. Dan akhirnya berhenti total. Tidak bisa bergerak lagi.

“Hujannya gede banget ya,” kata Mama Nies sambil menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku, “Hiiiii… AC-nya terlalu dingin Leon.”

“Ini sudah titik yang tertinggi suhunya Mam.”

“Iya… jadi pengen cepet sampai Bandung. Lalu cek in di hotel dan tidur dalam dekapanmu,” kata Mama Nies dengan pipi kanan yang dirapatkan ke pipiku.

“Wah… kalau begitu khayalanku bakal jadi kenyataan dong Mam.”

“Memangnya pernah mengkhayalkan mama?” tanya Mama Nies setengah berbisik.

“Sering. Cuma gak berani aja memperlihatkannya.”

Tiba-tiba Mama Nies mengecup pipi kiriku, lalu terdengar suaranya di tengah kegelapan, “Nanti mama kasih deh. Asal janji dulu…”

“Janji apa?”

“Janji akan merahasiakannya.”

“Dijamin itu sih Mam. Mulutku bukan ember bocor kok.”

“Mmm… kebayang hangatnya,” kata Mama Nies dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku.

Aku terhenyak dalam kegirangan. Sementara jalanan masih stagnan.

Sebenarnya aku mau membalas kecupan Mama Nies dengan sesuatu. Tapi pakaiannya itu rapat sekali dari kepala sampai kakinya, tiada ceolah sedikit pun. Maka aku pun hanya bisa menyabarkan diriku sendiri, sampai tiba saatnya nanti.

Tapi tidak demikian halnya dengan Mama Nies. Ketika hujan masih turun dengan derasnya dan jalanan masih macet di tengah kegelapan malam, diam-diam tangan Mama Nies menurunkan ritsleting celana jeansku. Kubiarkan saja. Bahkan lalu terasa tangannya menyelinap ke balik celana dalamku. Dan memegang kontolku yang sudah ngaceng ini.

“O my God! Punyamu malah lebih gagah daripada punya Papi, Leon…! “seru Mami Nies tertahan.

“Iya… tapi aku gak bisa ngapa-ngapain Mam,” sahutku.

“Maksudmu?” tangan Mama Nies terasa hangat dan menggenggam kontolku disertai remasan lembut.

“Mama Nies bisa megang punyaku. Tapi aku nggak bisa megang punya Mama Nies.”

“Ogitu toh…” sahut Mama Nies sambil menarik tangan kiriku yang selalu nganggur karena mobilku matic.

Aku merasa tanganku diselundupkan ke balik baju panjang Mama Nies. Lalu terasa disentuhkan ke pangkal pahanya. Lalu… tanpa harus dibimbing lagi, aku bisa menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya yang tidak kelihatan di kegelapan ini.

Aku sudah menyentuh kemaluan yang tidak berjembut sama sekali. Pada saat yang sama Mama Nies mencium bibirku dengan hangatnya… oooh… adakah kelakuan yang lebih gila daripada yang terjadi di dalam mobilku ini?

Hujan deras di malam gelap begini, segalanya bisa terjadi. Jalanan macet total pula. Bahkan seandainya bukan di jalan tol, mungkin aku sudah bergerak lebih jauh lagi.

Tapi Mama Nies cukup agresif. Kontolku disembulkan. Lalu ia menunduk… dan terasa menjilati puncak dan leher kontolku. “Duuuh Mam… jangan terlalu lama digituin ya… takut ngecrot sebelum nyampe Bandung.”

Akhirnya Mama Nies melepaskan kontolku. Dan beralih sasaran untuk mencium bibirku dengan binalnya, karena sambil menyelipkan lidahnya ke dalam mulutku, sementara jemariku sudah berhasil menyelinap ke dalam liang di balik celana dalamnya… liang yang hangat dan membasah licin…!

Namun semuanya harus diakhiri dulu, karena mobil-mobil di depan mobilku mulai bergerak lagi.

“Acara di kampung Mama itu kapan? Besok?” tanyaku sambil menjalankan mobilku kembali, sementara kontolku masih tersembul dan Mama Nies menggenggamnya.

“Acara pestanya sih seminggu lagi. Tapi mama kan harus lebih dini tiba di sana, untuk memberikan sumbangan ala kadarnya sama kakak mama yang menyelenggarakan pernikahan puterinya itu.”

“Kalau begitu, kita bisa nginap agak lamaan di Bandung Mam.”

“Bisa aja. Kamu mau habis-habisan dulu sama mama ya?”

“Iya Mam. Aduuuuh… udah kebayang serunya nanti…”

“Mama juga seneng. Sekalinya dapat cowok… ganteng begini. Padahal mama gak pernah selingkuh lho. Tapi kamu ini memang punya daya pesona yang kuat, Leon.”

“Sebenarnyha udah sejak lama aku memperhatikan gerak-gerik Mama Nies. Dan aku yakin, Mama Nies juga udah lama suka padaku ya?”

“Iya… hanya saja mama gak berani berbuat apa-apa di rumah. Takut ketahuan Dina atau Conny.”

“Barusan ada sesuatu yang aku suka pula Mam.”

“Apa?”

“Memek Mama Nies itu bersih sekali. Aku suka Mam. Nanti di hotel pasti bakal kujilati habis-habisan deh memek Mama Nies.”

“Silakan aja jilatin sepuasnya. Mama juga pengen ngemut kontolmu yang panjang gede ini… pasti seru deh nanti. Bisa main enamsembilan dulu sebelum ke ML-nya.”

“Iya Mam. Aku sering nonton filmnya, tapi beljum pernah main enamsembilan gitu.”

“Kayaknya kamu udah pengalaman juga ya dalam soal sex?”

“Pengalaman sih ada. Tapi cuma dengan satu orang saja. Dengan janda, pemilik kantin di kampusku. Sekarang orangnya sudah kawin, jadi aku nggak bisa ganggu dia lagi.”

“Dengan cewek lain pernah?”

“Nggak ada lagi Mam. Cuma dengan pemilik kantin itu aja. Sekarang sudah jadi isteri dosen. Kantinnya juga dijual sama orang lain.”

“Bagus juga dong miliknya. Bisa dapet dosen segala.”

“Dosennya duda beranak dua Mam. Jadi duda ketemu janda. Sama-sama punya anak dua.”

Makin lama suasana lalu lintas di jalan tol ini makin lancar. Sehingga aku bisa agak ngebut, tapi tetap membatasi diri. Takut Mama Nies ketakutan kalau dibawa ngebut beneran.

Hujan pun mulai reda, sehingga aku semakin nyaman nyetir di jalan tol ini.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu