1 November 2020
Penulis —  toketmania

Perkumpulan Rahasia

Sore itu Rey kembali membuatkan aku teh. Namun kali ini aku tak tertipu, kutunggu kesempatan untuk membuang teh itu, namun Rey masih duduk bersamaku, hmm… munkin 3-4 teguk tak akan berefek apa-apa, pikirku, hanya seperempat gelas teh itu kuminum.

Jam menunjukan pukul 8 malam ketika aku pamit pada anakku untuk tidur. Ternyata aku salah, seperempat gelas teh tadi tetap membuatku mengantuk tak tertahan, hingga tak mampu kucegah, aku pun tertidur.

Aku bermimpi berjalan di suatu padang, tiba-tiba kilatan demi kilatan cahaya petir menyambar. Aku tersadar ini hanya mimpi, namun di tengah separuh kesadaranku kurasakan cahaya kilat itu tetap menyambar-nyambar membuatku silau, mataku menyipit menyaksikan kilatan demi kilatan cahaya, kulitku langsung merasakan dingin hawa AC.

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, oh… Rey sedang memotretku. Posisiku terduduk bersender di kepala ranjang jati berukir beralaskan bantal di punggung, kurasakan baju tidurku tersingkap ke atas, sementara kakiku tertekuk seperti jongkok… dan aku tak mengenakan sehelai benangpun di bawah. Nafasku nyaris berhenti.

“Uhh… mama cantik sekali, uhh… mama!” ujar Rey setengah berbisik sambil terus memotretku yang aku yakini menggunakan kamera digital yang kubelikan sebelum ia berangkat ke jogja semester lalu. Rasanya aku ingin marah, namun rasa tegang mencegahku berbuat lebih jauh kecuali pasrah apa adanya.

Rey berhenti memotret. Kurasakan gerakan springbed seperti ditimpa sesuatu. Aku semakin tegang menunggu sesuatu yang akan terjadi, dan tiba-tiba kurasakan sebuah benda di sisi-sisi luar mataku. Rey memakaikan kacamata bacaku. Lalu kembali kilatan-kilatan blitz menembus pelopak mataku.

“Oohhhh… mama wanita tercantik yang pernah aku temui.” bisik Rey lagi.

Anak kurang ajar, sungguh teganya dia berbuat ini padaku, rasanya ingin kumenangis saat itu juga dan ingin mendampratnya habis-habisan, tetapi aku terlalu tegang untuk bergerak di samping kurasakan perasaan aneh menjalari setiap pembuluh darahku. Aku tak bisa menggambarkan entah itu peristiwa paling mengerikan dalam hidupku atau paling erotis yang pernah aku rasakan.

Duduk telanjang di hadapan anak kandung yang menikmati tubuh indah ibunya dan… menyaksikan organ tubuh tempat ia lahir dulu. Aku merasa ada yang menggelitik vaginaku walau Rey tak menyentuhnya. Beberapa menit Rey memotretku sampai kemudian berhenti. Kembali mendekatiku, melepas kacamata bacaku, lalu kembali mendekat, mendekat, sampai kurasakan dengusan nafasnya di wajahku.

Bulu kudukku mulai berdiri ketika ia memilin-milin pelan payudaraku lalu membetotnya pelan untuk kemudian dilepaskan, terus beberapa kali ia ulangi perbuatannya pada organ tempat dia semasa bayi mendapat gizi. “Ouh… tetek mama masih sekencang cewek abege,” bisiknya.

Kini hanya sebelah tangannya yang memainkan payudaraku, tangan satunya terus menuruni dada, perut dan… hinggap di timbunan bukit bercelah bertumbuhkan bulu-bulu hitam keriting lebat. Vaginaku! Kali ini nafasku mulai tak beraturan, antara tegang, marah, kecewa dan… terangsang hebat bercampur aduk.

Jemarinya mulai mengeramasi bulu-bulu pubisku, lalu menyentil pelan klitorisku, terus beberapa menit, sampai kemudian jemarinya membuka bibir vaginaku. Mengusap-usapnya, lalu perlahan memasuki diriku. Menggeliat-geliat di dalam lalu menariknya setengah keluar untuk kemudian didorongnya masuk kembali, terus seperti itu, semakin lama semakin cepat.

Aku masih berpura-pura terdiam walau nafasku makin tak teratur, antara perasaan terhina dan marah sekaligus malu… malu mendengar suara vaginaku yang basah digarap jari jemari anak kandungku sendiri.

“Ooh… mama, mama basah sekali!” ujarnya. Kurasakan ia menarik jemarinya dari liang senggamaku, dan kudengar suara hisapan dari mulutnya, ia tengah menikmati cairan dari pusat kewanitaanku, membuatku semakin terhanyut suasana erotik malam itu.

Kembali ia hujamkan jarinya ke dalam liang dimana ia dulu lahir, untuk kemudian kudengarkan lagi suara hisapan mulutnya, terus beberapa kali sampai aksi terakhirnya menyetubuhi diriku dengan jemarinya sampai kemudian ia kurasakan berdiri di hadapanku.

Tiba-tiba kurasakan ujung benda keras namun elastis menyentuh pipiku, kurasakan ujungnya agak basah. Lalu menyentuh hidungku, aromanya segera kukenali sebagai… penis lelaki!!! Apa yang dia lakukan padaku, dia benar-benar… Splas! Splas! Splas! pikiranku berhenti sesaat, merasakan cairan kental panas menyemprot wajahku, mata, hidung, pipi, bibir, leherku tak luput dari serangan cairan asing yang kupastikan adalah…

“Ooh… mama, ssssshh…” bisik Rey seraya mendesis. Aku masih terdiam, sebagian sperma merembes ke dalam bibirku.

Kembali kilatan-kilatan cahaya menembus pelopak mataku, anakku kini memfotoku dalam keadaan wajah bermandikan cairan air maninya. Beberapa kali ia ambil sampai akhirnya mendekatiku, melapkan kain basah ke wajahku. Mengangkat diriku untuk dibaringkan, merapikan bra menutup payudaraku walau kaitnya tak terpasang, memakaikan celana dalam dan celana piyamaku lalu kembali mengecup bibirku.

Perlahan aku membuka mata, mencoba mengatur nafas. Pikiranku menerawang tak karuan. Rey, apa yang kau lakukan? Tak terasa air mataku mulai berlinang… Oh Rey, kau telah menodai ibumu nak.

Aku mulai menangis, lalu bangkit menuju kamar mandi, buang air kecil dan membasuh wajahku. Lalu melihat wajahku di cermin, sambil berkata dalam hati, mengapa kau tak mencegah anakmu mencabulimu, bodoh?

Lama pikiranku berkecamuk sampai kuputuskan untuk tidur, pintu kamar kali ini kukunci rapat.

***

Esok pagi kembali Rey tanpa beban bertemu denganku. Ia kembali pamit keluar. Sepeninggalnya pergi, aku termenung bingung memikirkan apa yang akan kulakukan. Kucoba memasuki kamarnya, namun terkunci. Cukup lama aku mengutuk diriku sendiri dan memendam amarah pada Rey, hanya saja yang aku heran kenapa akhirnya aku putuskan untuk mencoba menjebak Rey lagi nanti malam.

Kembali menjelang maghrib Rey pulang, kali ini aku memakai gaun tidur tank top terusan yang cukup sexy. Mata Rey segera berbinar namun tak berani memujiku, takut kusemprot lagi mungkin. Ritual menyodorkan teh hangat buatannya kembali terjadi, kali ini aku punya ide. Menyuruh Rey mengambil laptopku di kamar lalu membuang semua teh yang dibuatnya tadi.

Kami makan malam bersama, dan mata Rey tak pernah lama berpaling dari tubuhku, terutama tonjolan payudaraku yang berukuran 36 itu. Kami duduk di sofa menikmati tayangan TV sampai kemudian Rey ke dapur dan kembali membawa irisan buah apel. Kunikmati buah apel tersebut sambil mengobrol bersama Rey.

Pukul 20.00 malam aku pamit ke kamar tidur. Kali ini aku gak mungkin ketiduran, pikirku. Kucoba menenangkan pikiran, menyiapkan mental untuk memberikan kejutan buat Rey. Tapi aku salah, aneh entah kenapa mataku kembali sangat mengantuk.

Pukul 2 dinihari kembali aku terbangun, mataku menyipit silau dengan cahaya lampu kamar yang menyala terang ditambah kilatan-kilatan cahaya. Kudapati diriku tertelungkup, namun kurasakan lutut dan betisku merasakan dingin lantai marmer kamar, dan dingin udara ac kurasakan menyentuh semua kulitku dari wajah sampai mata kaki.

“Nah begini, ma, sshhhh… so sexy.” bisiknya. Lalu kilatan demi kilatan cahaya menyinari dinding kamar. Rey memotretku lagi… dari belakang.

Selintas aku membuka mata, menyaksikan bayangan diriku di cermin meja rias, telanjang pasrah, sementara kilasan bayangan tangan Rey menyentuh dan mengelus-elus pantatku yang menyembul. Oh… ibu macam apa yang membiarkan anaknya mengambil gambar tubuhnya yang telanjang untuk kemudian disebarkan di dunia maya?

Tiba-tiba kilatan cahaya blitz itu berhenti. Aku tak bisa mendeteksi gerakan Rey, kecuali dengusan nafas hangatnya kurasakan meniup pantatku. Lalu… seolah nafasku berhenti saat merasakan benda lunak basah mengusap-usap pantatku. Lidah manusia… pikirku, membuat aku merinding dan gemetar. Lidah Rey mengusap-usap, menjilat semua permukaan bokong indahku, kanan dan kiri, sampai kurasakan seolah nyawaku melompat keluar tubuh ketika lidah Rey hinggap di…

Tak sadar mulutku mengeluarkan suara rintihan halus. Rey tiba-tiba berhenti menjilati anusku, cukup lama… sampai kemudian kembali membasahi saluran pembuanganku dengan air liurnya. Sampai kemudian dengusan nafas panasnya menghembus vaginaku, dan tak memakan waktu lama sebelum kembali lidah hangat itu kini mengecap, menjilat dan mulut Rey menghisap- hisap lubang peranakan tempat ia dilahirkan dulu, Rey seperti orang kehausan mereguk saripati kewanitaanku.

Reaksiku sendiri, tak mampu berbuat apa-apa kecuali mengejangkan kaki menahan rasa geli dan nikmat di tengah perasaan marah dan terhina. Cukup lama Rey membasuh permukaan vaginaku dengan lidahnya, sampai kurasakan jilatan itu berhenti, yang entah kenapa membuatku sedikit kecewa. Tiba-tiba kurasakan benda panjang keras menyusup belahan pantatku…

lagi-lagi aku yakin itu penis seorang pria. Penis Rey. Rey mengusap-usapkannya dari pelan, pelan, hingga semakin cepat, sesekali ia berhenti, kudengar suara orang meludahi pantatku, dan seketika itu pula kurasakan cairan hangat mengalir ke bawah. Rey tengah melumasi pantatku dengan air liurnya, lalu kembali mengusap-usapkan penis kerasnya, jemari-jemarinya mencengkeram pantatku.

“Sssssh… mama, pantat mama sexy sekali… sshhh!” Lalu… Splash! Splash! Splash! Cairan kental panas hinggap di punggung, pinggang, pantat lalu mengalir ke bawah melewati vaginaku. Rey ejakulasi lagi, pikirku.

Cengkeramannya mereda seiring redanya dengusan nafasnya, kembali kurasakan kain basah melap semua tubuh belakangku. Kembali ia angkat tubuhku ke ranjang, memakaikan gaun malam dan celana dalamku, kali ini ia tak memakaikan bh-ku, munkin terburu-buru, lalu mematikan lampu kamar, menghidupkan lampu tidur dan menutup pintu kamar.

Aku menarik napas mencoba menggapai kembali oksigen yang nyaris tak masuk ke dalam tubuhku dengan peristiwa tadi. Pikiranku masih sangat tegang dan kembali mengutuk diri atas sikap diamku tadi, namun aku merasa amat malu karena… sedikit banyak aku menikmatinya, kususupkan tangan ke celana dalamku, tak begitu surprise mendapati bahwa…

Aku heran, bagaimana mungkin aku masih bisa ketiduran? Teh sudah kubuang, oh my… apakah mungkin buah apel tadi? Kulihat Rey sama sekali tak memakannya. Hmm… haruskah besok kutolak semua yang disuguhkan Rey? Tetapi apakah dengan tetap terjaga aku mampu menolak semua yang dilakukan Rey atas tubuhku, ibu kandungnya?

Kembali menghadapi dilema… kembali perasaan malu teramat sangat menderaku. Aku bingung tak tahu berbuat apa. Apa yang dilakukan Rey sungguh tak patut, tetapi sungguh tak patut pula aku membiarkan prilaku itu. Satu poin penting yang membuatku menghargai Rey, dia tak pernah memasukan penisnya ke dalam vaginaku, artinya dia masih punya batasan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan