1 November 2020
Penulis —  toketmania

Perkumpulan Rahasia

Tetapi segera kutinggalkan kamar Rey dan menuju ke bawah. Bi Inah telah menyiapkan sarapan roti panggang dan segelas jus jeruk di meja makan. Segera kunikmati sarapan pagi itu dengan lahap untuk mengembalikan energi yang terkuras tadi malam.

“Mau dimasakin apa, nyah?” tanya Bi Inah.

“Gak usah repot, bi. Gorengin aja ayam di kulkas, terus nyambel sama bikin oseng-oseng jamur dan sawi. Oh ya, sama nyetrika jemuran kemarin.” ujarku.

Bi Inah pembantu yang amat trampil, sudah lima tahun lebih bekerja dengan kami, sehingga kurang dari dua jam semua masakan terhidang di meja makan, nasi sudah dimasaknya dari pagi.

“Nyah, pakaiannya bibi setrika di rumah aja yah, lagi gak ada orang di rumah.” ujarnya.

“Lho, bibik gak makan dulu?” tanyaku.

“Ah, gak usah, nyah. Masih kenyang.” jawabnya.

“Ya udah deh, hati-hati di jalan, bik.” jawabku.

Sepeninggalnya, aku merapikan hal-hal kecil yang luput dari perhatian Bi Inah. Lalu duduk di ruang keluarga membaca majalah.

Beberapa saat kemudian, Rey nampak menuruni tangga dan menuju ke arahku, “Pagi, ma…” sapanya lalu mendaratkan kecupan di pipiku.

“Kamu dah mandi, Rey?” tanyaku sambil terus menatap majalah.

“Udah donk, ma, neh udah wangi.” jawabnya sambil memijit-mijit ringan betisku.

“Temen-temenmu udah bangun? Ajak sarapan sana.” ujarku lagi.

“Udah, ma. Lagi pada mandi, ngantri,” jawabnya lagi.

“Kamu nakal ya sekarang, kamu udah bohongin mama.” ujarku sambil meliriknya.

Rey hanya tersenyum, “Kalau Rey gak bohong, gak bakal kejadian tadi malam, ma. Mama pasti menolak, kan yang dicari sensasinya, ma.” jawabnya santai tanpa dosa sambil tertawa kecil, tangannya kini hinggap di atas pahaku. Dan harga diri apalagi yang tersisa dalam diriku untuk menepis tangannya? Maka kudiamkan saja.

“Emang kamu pernah melakukan hal seperti itu pada mama teman-temanmu?” tanyaku lagi.

“He-eh, pernah, ma. Ya sama mamanya si Ferdi dan Ricky itu,” jawabnya lagi masih dengan amat santai.

“Siapa itu Ferdy dan Ricky?” lanjutku.

“Ya temen-temen Rey yang sekarang lagi mandi di atas itu.” jawabnya masih diiringi gelak tawa kecil, lalu ia menjelaskan yang mana Ferdy yang ternyata pemuda pertama yang menyetubuiku tadi malam, dan Ricky yang kedua. Rupanya mereka berdua menuntut balas.

“Ooo… jadi kamu setubuhi mama mereka berdua di samping ayahnya?” tanyaku lagi masih penasaran.

“Iya, ma… namanya juga mencari sensasi baru. Tapi sama mama spesial deh.” jawab Rey lagi, tangannya kini hinggap di pangkal pahaku yang untungnya masih berlapis daster panjang yang kukenakan.

“Spesial bagaimana?” tanyaku lagi.

“Special karena mama sadar, sedang mama mereka berdua kami garap dalam keadaan gak sadar.” jawab Rey lagi dengan tawa kecilnya yang khas.

Wajahku kuyakini memerah saat itu, antara malu dan marah. “Ya udah, berarti mama sudah gak perlu lagi melayani teman-teman kamu yang lain kan? Ini yang terakhir kan?” tanyaku lagi.

“Jangan khawatir, ma, ini yang terakhir. Kita punya komitmen dengan kode etik kok, ma… berakhir atau nggak, tergantung mama sekarang… siapa tahu mama berubah pikiran.” jawab Rey, kali ini tertawa keras.

“Enak aja!!” jawabku ketus sambil mencubit tangannya.

Rey makin tergelak keras, lalu mereda, “Mmm… ma, tapi mama, mmm… masih mau sama Rey kan?” tanyanya agak serius.

Aku terdiam cukup lama dan bimbang, sampai akhirnya berkata setelah menarik nafas panjang. “Kamu hati-hati dengan papamu, Rey, mama gak mau papamu tahu.” jawabku. “udah sana, suruh teman-temanmu sarapan.” kataku mencoba mengalihkan perhatian.

“Okay, ma…” ujar Rey lalu bangkit setelah kembali mencium pipiku.

Kira-kira 10 menit kemudian ketiganya turun ke bawah. Dan langsung sarapan. Tak berapa lama kemudian, mereka menghampiriku di ruang tengah. Ferdy dan Ricky menyapaku, “Pagi, tante.”

Aku hanya membalasnya dengan senyuman karena merasa kikuk dan rikuh, tubuhku terasa gemetar. Dan tanpa basa basi mereka mendaratkan kecupan di pipi kanan dan kiri, lalu duduk di sampingku. Sementara Rey menyalakan TV. Aku tak tahu harus memulai pembicaraan darimana selain terus fokus pada majalah yang kupegang.

“Ehm… tante, tante masih kelihatan cantik dan muda, umur tante berapa sih?” ujar Ferdy mencoba mengajak mengobrol.

Aku tersenyum kikuk dan menjawab terbata-bata, “Mmm… makasih, tante udah 45, mamamu umur berapa?” jawabku sambil bertanya.

“Kalau mama saya 47 tahun, tante.” jawab Ricky.

Sementara Ferdy menjawab, “Mama saya seumuran tante.”

Dari pembicaraan soal umur itulah, akhirnya situasi sedikit cair. Mereka sebenarnya pemuda-pemuda yang enak diajak bicara dan cukup sopan walau mereka telah menyetubuhiku berkali-kali tadi malam, tapi tak pernah kehilangan perasaan untuk menghargaiku. Tapi kurasakan tubuh mereka makin melekat kepadaku.

Setelah cukup lama kami bersenda gurau tanpa sedikitpun menyinggung peristiwa tadi malam, Ferdy memotong, “Hhm… boleh aku cium pipi tante lagi?” tanyanya.

Aku sedikit terkejut, kutatap wajah tampannya sekian detik, namun akhirnya menganggukan kepala sambil tersenyum.

“Cuuup!” kecupannya kembali mendarat di pipiku.

‘Aku juga dong, tante.” ujar Ricky.

Aku hanya tersenyum, lalu kembali kecupan mendarat di pipiku. Rey menoleh ke belakang ke arah kami, lalu kembali menonton TV dengan kepala menggeleng-geleng. Kecupan demi kecupan kembali menghujani pipiku, dan aku hanya bisa tertawa kecil geli, sampai akhirnya tawaku terhenti ketika ciuman Ferdy beralih dari pipi ke…

Tangan Ferdy mulai meremas-remas dadaku, sementara tangan Ricky bergerilya menarik ujung bawah dasterku hingga ke atas paha, lalu tangannya melebarkan kakiku dan tak menunggu lama kini hinggap mengusap-usap timbunan daerah segitiga celana dalamku. Aku hanya terduduk pasrah, sementara lidah Ferdy kian liar menari-nari mencoba mengajak bergulat lidahku, lambat laun aku tak lagi pasif dan mulai membalasnya.

“Mmmmh… mmmhhh…” gumamku tertahan.

“Gantian, Fer.” ujar Ricky.

Ferdy mengalah, kini ganti bibir Ricky sama rakusnya melumat bibirku. Ferdy membuka kancing-kancing dasterku hingga menyingkap sebagian besar belahan dadaku, lalu tangannya menyusup ke balik BH dan mulai meremas-remas dan memlintir puting payudaraku. Ia lalu berlutut di hadapanku, memasukan tangannya ke sisi pinggulku, mencari kerah celana dalamku.

Dengan satu tarikan, celana dalam itu dicoba dilepaskan, anehnya, aku mengangkat pantatku, sedikit memudahkan celana dalam itu untuk lolos. Ferdy semakin melebarkan kakiku… dan akhirnya dengusan nafas hangatnya kurasakan menghembus di permukaan vaginaku dikuti usapan-usapan lidahnya. Dan aku nyaris terlonjak ketika klitorisku dihisapnya dalam-dalam dan dimainkan dengan lidahnya.

Ricky sambil menciumku kini tangannya mulai menjamah payudaraku. Rey yang tadinya pura-pura acuh mulai memperhatikan kami. Pagi menjelang siang itu kembali situasi berahi memanas. Rey mendekat, lalu menarik ujung bawah dasterku ke atas, melewati perut, lalu berhenti di dada. Ricky sejenak menghentikan aksinya hingga dasterku lolos melewati kepala, dan Ricky mencari pengait BH-ku di punggung dan melepaskannya, kini aku terduduk telanjang kembali menjadi santapan nafsu para pemuda yang tengah kelebihan hormon.

Rey tak mau kalah, ia kini telanjang bulat menaiki sofa tepat di depanku, tangannya menarik kepalaku ke arah penisnya yang tegak mengacung dan tak perlu diperintah, mulutku segera menghisapnya. “Shhh… maaa… ouuhhs…” desisnya keenakan.

Setelah cukup puas, ia duduk disampingku dan meremas-remas payudaraku, sementara Ricky bangkit melepaskan satu per satu pakaiannya. Kini ganti ia minta di oral olehku, dan setelah beberapa menit kembali menggarap payudaraku. Baik Rey dan Ricky menarik kedua tanganku dan digenggamkan di penis tegang mereka masing-masing lalu aku mulai mengocoknya pelan.

Ferdy bangkit, menelanjangi dirinya untuk kemudian juga menjambak ringan rambutku dan menarik kepalaku ke arah batang penisnya yang paling besar di antara mereka bertiga. Hap… kembali aku mengoral lelaki muda yang pantas jadi anakku itu.

“Uuhhh… tante… enak, tante… terusss… ahhhhs…” erangnya sambil mendesak-desakan penisnya di kerongkonganku membuatku terbatuk batuk beberapa kali. Pagi itu kembali aku menjadi budak seks tiga orang pemuda penuh nafsu.

Ferdy lalu setengah berlutut, mengarahkan kepala jamur ungu penisnya tepat di mulut vaginaku… dan bless… setengah terhambat memasuki diriku. Sampai akhirnya kembali tubuhku terguncang-guncang hebat dan bibirku mengeluarkan suara rintihan. Ricky dan Rey terus menggigit-gigit pelan puting paudaraku dan meremas-remas, tanganku pun dengan setia masih terus memompa batang-batang keras kemaluan mereka.

“Sshhh… tanteee… ahhhsss… aku keluaar… arrggh!” erangnya ketika semburan demi semburan air mani hangat mengisi lorong vaginaku. Semenit kemudian ia bangkit meninggalkanku, belum lagi usai sperma itu membanjiri sofa kulit itu, kembali serangan senjata biologis lelaki menghujam lubang peranakanku, kali ini giliran Ricky.

Pagi itu, percikan sperma memenuhi seantero rumah seiring berpindah-pindahnya mereka menyenggamaiku, di ruang tengah, ruang tamu, ruang makan. Bermacam-macam gaya kami lakukan, Rey dengan kegemarannya menyetubuhiku dari belakang sambil memaksaku berjalan mengelilingi ruangan, kemudian juga ditiru Ferdy dan Ricky.

Vaginaku nyaris tanpa henti menampung secangkir demi secangkir sperma. Kedua kakiku senantiasa basah lengket dialiri deposit sperma yang keluar, entah berapa kali mereka ejakulasi, tak kuingat lagi sebagaimana aku pun tak mampu menghitung berapa kali aku mengalami kepuasan seks luar biasa dari aksi mereka.

Sampai akhirnya aku dan mereka kelelahan duduk terkapar di atas sofa di ruang keluarga. Tubuh kami basah oleh keringat. “Kalian mau minum?” tawarku.

“Mau, tante.” jawab Ricky.

Aku bangkit berdiri dan lunglai menuju dapur. “Biar saya bantu, tante.” ujar Ricky mengikutiku dari belakang. Aku yakin matanya berpesta pora menikmati lenggak lenggok pinggul dan pantatku ketika berjalan.

Sampai aku tiba di depan kulkas setengah menunduk mengambil minuman softdrink, Ricky terus mengawasiku. Aku beranjak menuju kitchen set untuk mengambil beberapa gelas, karena rak itu cukup tinggi, aku sedikit berjingkat membuka pintunya, gerakanku terhenti ketika tiba-tiba Ricky berlutut di belakangku menciumi pantatku dan mulai menjilati anusku.

“Ricky, kamu ngapain, sayang?” tanyaku setengah merintih. Aku mendiamkannya beberapa saat, sampai kemudian ia cukup puas menjilati anusku, kemudian Ricky bangkit. Aku melanjutkan mengambil gelas dan mencari nampan, sekilas kulirik Ricky mengambil sebotol minyak goreng dan menumpahkan sedikit di tangannya lalu dioleskan di penisnya yang kulihat kembali ereksi mengeras tegang.

Tiba-tiba Ricky sudah berada di belakangku, memeluk tubuhku dari belakang dan mendorongnya ke arah meja makan, aku hanya tertawa kecil, “Ricky, apa lagi sih? Sabar dikit kenapa, nanti tante akan puaskan kamu lagi.” ujarku.

Namun Ricky terus mendorongku bahkan memaksaku tengkurap di atas meja, kuikuti kemauannya, apa bedanya sekarang dan nanti, pikirku. Anusku kembali dijilatinya dan diludahinya, aku hanya tertawa geli sampai akhirnya kurasakan ujung penisnya digosok-gosokan di belahan pantatku. Lalu didesakkannya… aneh, bukan di vaginaku, tapi…

Kupikir hal biasa penis meleset dari sasarannya, namun kali ini aku benar-benar kaget ketika menyadari bahwa yang dituju memang bukan vagina… tapi anusku!

“Ricky, kamu ngapain?!” tanyaku mulai panik dan mencoba bangkit, namun tangan perkasa Ricky menahan punggungku. Dan seketika rasa sakit mulai kuraskan ketika dengan paksa kepala jamur itu masuk lubang anusku.

“Ricky! Jangan, sayang… aduuh… sakit, Rick! Aduhhh… aduduuh!” aku panik dan mengejang menahan rasa sakit ketika sesenti demi sesenti batang penis Ricky menerobos anusku yang masih perawan.

“Aduuuhh… jangan, Ricky… aduuh… aduuuh… ahhhhhhhh!” aku berteriak kesakitan ketika rasa perih bagai disilet kurasakan tatkala total keseluruhan batang penis Ricky tertelan anusku, dan perasaan perih itu terus berulang manakala Ricky mencoba menarik keluar penisnya untuk kemudian ditusukan lagi, dan aku hanya bisa teriak-teriak kesakitan dan mulai menangis, tanganku mengejang meremas taplak meja menahan rasa sakit luar biasa.

“Oohhs… tante, masih sempittt… ahhhs!” erangnya sambil terus mencoba menarik-mendorong batang kemaluannya.

“Aahhh… errrgh… sakiiit… Ricky, tolong Rick… berhenti… aoohh!” aku terus mengerang dan menangis akibat rasa sakit mengalami pertama kali anal sex. Tubuhku kembali dibanjiri keringat.

Mendengar suara gaduh di belakang, Ferdy dan Rey menyusul. “Lu ngapain, Rick?” tanya Ferdy.

“Liat aja, sob… shhhhh… masih sempit, sob… ahhhss!” jawab Ricky tanpa bersalah.

“Lu apain nyokap gue, Rick?” tanya Rey yang menyusul belakangan. “Wah… sialan lu, besok ganti nyokap lu ya gue anal.” jawab Rey tanpa emosi berlebihan melihat ibunya tengah menangis dipaksa anal sex oleh temannya.

“Sakit itu, Rick, neh gue tambah.” jawab Ferdy dan menumpahkan minyak goreng di anusku.

Tak lama rasa sakit itu mulai berkurang seiring banyaknya minyak goreng melumasi anusku, tangisku kini berhenti, namun sesekali aku tetap mengerang dan merintih karena masih merasakan sedikit sakit. Ricky kemudian mencengkeram pantatku keras-keras dan mengerang ketika ia menghujani anusku dengan cairan spermanya.

Melihat aku tengkurap di meja makan, dengan anus menganga, memprovokasi Ferdy untuk juga melakukan hal yang sama, sekali lagi minyak goreng ditumpahkan di anusku. Dan kembali aku di anal sex oleh teman anakku, namun Ferdy melakukannya dengan lebih lembut.

Kembali aku merintih dari sedikit rasa perih yang tersisa. Sampai akhirya kembali anusku menampung beberapa sendok sperma pria muda teman anakku.

Kini tiba giliran Rey, agak surprise ternyata Rey tidak melakukan anal sex terhadapku, hanya menyetubuhi vaginaku dari belakang. Usai ejakulasi, ia menarikku, “Masih sakit, ma?” tanyanya meliat wajahku yang masih meringis. Aku mengangguk pelan.

“Ya udah, mama istirahat aja di atas ya,” ujar Rey sambil memapahku ke atas, ceceran sperma yang mengalir keluar dari anus dan vaginaku memercik di lantai dan tangga. Rey kemudian menggendongku dan membawaku ke kamar mandi, dan memandikanku. Usai menghanduki diriku, kembali Rey menggendongku dan meletakan tubuhku di atas ranjang.

Tanpa terasa aku tertidur pulas walau belum sempat berpakaian. Menjelang senja aku baru terbangun, agak terkejut mendapati Rey tertidur di sampingku, juga telanjang. “Rey, bangun, Rey.” kugoyang pundaknya.

Rey mulai membuka mata. “Eh, mama?” jawabnya.

“Teman-temanmu udah pulang, Rey?” tanyaku.

“Udah, ma, siang tadi, mereka titip salam.” jawabnya.

“Kurang ajar temanmu si Ricky itu, mama sampe sakit begini.” ujarku.

“He-eh, iya, ma. Ntar nyokapnya Rey gituin juga.” jawab Rey.

“Sakit sekali loh, Rey, masa kamu tega?” tanyaku lagi sambil memeluknya.

“Ya biar aja, ma. Si Ricky aja kurang pengalaman, kebanyakan nonton bokep dia, dikiranya pake ludah doank cukup, si Ferdy tuh lebih paham, makanya dia tuang banyak minyak goreng ke anus mama.” jawab Rey.

“Kamu kenapa gak ikut-ikutan temanmu?” tanyaku lagi.

“Ah, gak tega aja, mah. Mama kesakitan kek gitu, lagian Rey gak begitu suka anal sex.” jawabnya santai, membuatku tersenyum. Dan aku menghadiahinya dengan ciuman di bibir dan mengulum penisnya yang perlahan tapi pasti mulai mengeras.

Sore itu hingga menjelang malam, tiga kali liang vaginaku menerima semburan sperma anakku, dan aku sendiri mengalami empat kali orgasme. Kami akhirnya kembali mandi bersama, lalu kemudian membereskan segala sesuatu untuk menghilangkan jejak prilaku liar kami sebelum suamiku pulang. Walau aroma sperma tak serta merta mudah hilang.

Dua minggu kemudian Rey kembali ke kampusnya. Aku kembali kesepian walau suami berada di rumah, sebulan kemudian ia kembali terbang ke beberapa daerah. Aku yang terlanjur merindukan kenikmatan seksual dari para anak muda itu cukup senewen dibuatnya, ingin rasanya kutelepon Rey dan meminta teman-temannya kembali memuaskan hasratku.

THE END

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu