2 November 2020
Penulis —  akuskememe

KISAHKU DENGAN LELAKI LAIN

Rencana pulang ke kota akhirnya terwujud. Dengan beralasan aku ingin menjenguk rumah dulu pada suamiku, aku pun bisa berangkat ke kota dengan Ahmad. Tentu saja, kepulanganku dengan Ahmad tidak diketahui siapapun. Aku berkata pada suamiku akan berangkat sendiri dengan naik bus saja. Akhirnya, semuanya pun berjalan dengan lancar.

Ahmad dan aku berjanji untuk bertemu di terminal. Tapi selama dalam bus, kami tidak berani untuk duduk satu bangku. Baru setelah bus memasuki beberapa terminal, aku memberanikan diri menyuruh Ahmad duduk denganku. Kami duduk berdua seolah seperti pasangan sampai tiba di rumahku.

Kami tiba pada malam hari. Hal ini disengaja agar tidak banyak tetangga yang tahu. Kusuruh Ahmad mengenakan jaket dan topi agar wajahnya tak diketahui siapapun. Tapi beruntunglah malam itu daerah rumahku sepi.

Aku langsung merebahkan diri di kamar. Ya, kamarku dengan suamiku. Ahmad tampak canggung untuk memasuki.

“Aku tidur di sini juga, kan?”

“Iya.” Jawabku singkat.

Sebenarnya ada rasa bersalah dalam hatiku jika mengingat aku telah membawa orang lain masuk dan tidur di ranjangku dan suamiku. Bahkan, kemungkinan besar aku juga akan berhubungan suami istri dengan lelaki yang bukan suamiku itu.

Aku memasuki kamar mandi untuk cuci muka dan mengganti pakaian. Aku mengenakan kaos panjang sepaha. Sengaja aku hanya mengenakan CD di bagian bawahku agar lebih leluasa karena baru selesai perjalanan jauh.

Ahmad terperangah melihatku. Mungkin ia baru melihatku dengan pakaian seksi seperti ini.

“Wah, enaknya Mas Iwan. Tiap hari bisa menikmati pemandangan seperti ini.” Katanya.

“Apaan sih kamu. Udah sana cuci muka terus ganti baju.”

Ahmad masuk ke kamar mandi. Tak lama, ia keluar hanya mengenakan sarung sementara dadanya ia biarkan terbuka. Dengan suasana demikian, darahku tiba-tiba berdesir. Melihat dada bidang Ahmad dan puting susunya yang kecoklatan membuatku bergairah. Ia langsung rebah di sampingku.

“Aku berasa seperti Mas Iwan,” kata Ahmad.

“Ih, gantengan Mas Iwan lah.”

“Oh ya?”

“Iya dong.”

“Tapi…” katanya sambil langsung tangannya memeluk tubuhku. “… enakan mana sama Mas Iwan?”

“Ya Mas Iwan.”

“Ah, bohong.”

“Terserah kamu kalau ga percaya.”

“Memang. Buktinya Mbak Rina mau aku ajak ke sini dengan berbohong sama Mas Iwan.” Sahutnya.

Aku terdiam tak bisa menjawab pertanyaanya.

“Mad…”

“Iya, mbak?”

“Aku mau cerita sesuatu sama kamu.”

“Cerita apa, mbak?”

“Eee… soal ibu mertuaku.”

“Eh, kenapa… dengan ibu, mbak?”

“Tapi kamu jangan cerita sama siapa-siapa ya?”

“Siap.”

“Jadi, gini. Beberapa hari yang lalu, sepulang kita dari rumah gubuk ibumu itu, aku tak sengaja memergoki ibuku sedang bercinta.”

“Hah? Dengan siapa, mbak?”

“Dengan… dengan… dengan Pak Tono.”

Ahmad terdiam. Ia tak menjawab apapun.

“Mad…”

“Iya, mbak?”

“Kamu jangan cerita ya?”

“Oh iya, mbak. Tenang aja.” Jawab Ahmad. “Tapi, apa mereka tahu kalo Mbak Rina melihatnya?”

“Ngga, Mad.”

“Syukurlah. Kasihan dengan ayah mertua Mbak Rina.”

“Aku juga gak nyangka, Mad. Apa karena ibuku juga butuh ‘nafkah’?”

“Mungkin, mbak. Sementara ayah mertua Mbak gak bisa memberinya.”

Sesungguhnya, aku mengatakan ini pada Ahmad karena ingin mencari tahu kebenaran, apakah benar ia juga pernah bercinta dengan ibu mertuaku.

“Ya, kau benar juga.” Jawabku. “Tapi, apakah hanya dengan Pak Tono?”

“Maksud, mbak?” tanya Ahmad.

“Bisa saja ibu juga berselingkuh dengan yang lain.”

“Entahlah, mbak.”

Ahmad seolah ingin menghindari perbincangan ini. Kurasa ada baiknya aku menahan rasa ingin tahuku dulu.

Tiba-tiba tangan Ahmad menyelinap ke dalam kaosku.

“Mau ngapain?” tanyaku sambil mencegahnya.

“Pengin nih, mbak.”

“Besok aja. Aku capek.” Kataku dan langsung berbalik membelakangi Ahmad.

Entah bagaimana bisa, bangun-bangun aku sudah dalam posisi memeluk Ahmad yang hanya bertelanjang dada. Sementara Ahmad sendiri tidur pulas sambil mendengkur.

Aku lihat jam dinding sudah pukul 6 pagi. Aku berpaling lagi ke wajah Ahmad, kulihat ada jambang halus di sekitar dagunya. Aku meraba jambang itu. Terus turun ke dada dan berhenti di puting susunya. Aku beranjak dari tidurku dan langsung mengecup lembut bibir Ahmad.

Ahmad jadi terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata perlahan dan melihat ada aku di depannya. Dengan separuh sadar, dia langsung menyosor bibirku. Kami mulai berciuman. Saling memagut, saling hisap, dan saling lumat.

Nafsuku bangkit. Ahmad juga. Kulihat dari sikapnya yang makin membabibuta. Ciumannya mulai turun ke dadaku. Kaosku ia singkap ke atas dan sampai terlepas. Aku memang tidak memakai BH sejak semalam. Jadilah aku hanya mengenakan CD saja. Ahmad juga langsung membuka CD-ku. Aku pun telanjang tanpai sehelai benang pun.

Ahmad juga segera membuka sarungnya. Dia tidak mengenakan apapun di dalamnya. Jadilah ia juga bertelanjang bulat. Ia bermain-main di daerah payudaraku. Cukup lama di sana sambil memainkan kedua putingku dengan lidah kasarnya.

Kemudian ia turun ke area selangkangan. Aku menghentikannya begitu tau ia akan melakukan oral seks.

“Jangan. Langsung masukin aja…”

Tapi Ahmad tak menuruti kemauanku. Ia tetap melanjutkan menikmati vaginaku dengan bibirnya. Lidahnya mulai bermain-main, menyibak bibir-bibir vaginaku, menganduk-aduk klitorisku, membuatku terasa seperti melayang.

“Ah… Ah… Ah…” aku hanya bisa mendesah menikmatinya.

Sampai akhirnya, karena permainan lidah dan mulut Ahmad, aku mencapai orgasmeku. Ahmad menghentikan ciumannya di vaginaku begitu aku tahu telah sampai.

Setelahnya, Ahmad langsung menggagahiku. Ia kembali menyemprotkan spermanya di dalam vaginaku. Aku benar-benar sudah mengkhianati suamiku. Kamar dan ranjang tempatku dan dia sering bercinta, kini telah dinodai oleh lelehan cairan cinta aku dan Ahmad.

Ahmad kembali tertidur pulas setelah persenggamaan itu. Aku sendiri pergi ke dapur untuk memasak dan menyiapkan sarapan. Saat sedang asyik menyiapkan makan, tiba-tiba Ahmad memelukku dari belakang.

“Ih, kok udah bangun? Sarapan belum siap.”

“Iya. Habis si ‘dedek’ ikut bangun juga sih.” Katanya sambil menusukkan penisnya ke pantatku. Rupanya Ahmad tidak mengenakan apapun. Dia telanjang.

“Kan tadi pagi udah.”

“Ya gimana? Ini minta lagi.” Katanya seraya berbisik di telingaku.

“Makan dulu ya?”

“Ngga.” Jawab Ahmad. Dia langsung menggendongku dan membawaku ke kamar mandi.

“Kita mandi bareng, mbak.”

Aku langsung menghidupkan shower. Kami berdua saling berpelukan di bawah guyuran air pagi itu. Kami mulai berciuman. Semakin lama semakin ganas. Nafsuku yang mulai naik, membawa tanganku untuk meraih penis Ahmad yang sudah tegang. Aku mulai melakukan gerakan mengocok dengan tanganku di sana.

Ahmad juga menurunkan ciumannya ke payudaraku. Ia melahapnya secara bergantian. Ahmad mirip seperti bayi yang kehausan asi ibunya. Setelah puas, ia kembali menurunkan ciumannya ke vaginaku. Kembali dijilatnya vaginaku dengan liar. Lidahnya bergoyang-goyang memberikan sensasi yang luar biasa. Klitorisku ia mainkan juga dengan lidahnya.

“Ah.. ah… enaakkk…” desahku.

Aku bahkan sampai menekan-nekan wajah Ahmad agar lidahnya semakin masuk.

“Teruuusss… Mad…”

Tapi Ahmad malah berhenti. Ia justru bangkit dan menyuruhku untuk berjongkok. Aku tahu maksud Ahmad, dia ingin aku mengoral penisnya. Awalnya aku agak ragu. Tapi setelah penis itu berada tepat di depanku, nafsuku mengalahkan keraguanku. Penis itu tampak gagah dengan jembut yang lebat. Aku pun segera melahap penis itu.

Kukulum senti demi senti batangnya. Kujilati mulai dari kepala sampai pangkalnya. Kumainkan lidahku di lubang kencingnya. Ada sedikit rasa asin. Aku juga menyedot penis sesekali. Ahmad kudengar hanya bisa mendesah menikmati oral seks yang kuberikan padanya.

Setelah puas, Ahmad menyuruhku berdiri, dia membalikkan badanku untuk membelakanginya. Kemudian dia mulai mengarahkan penisnya ke arah vaginaku. Dia menyuruhku untuk sedikit menungging dan membuka sedikit pahaku. Dengan posisi itu agak susah penis Ahmad untuk masuk. Tapi setelah bersusah payah, kepala penisnya mampu menyibak bibir vaginaku dan melesat ke dalam.

“Ah…” desahku, keenakan.

Ahmad terus mendorong penisnya masuk. Vaginaku mulai terasa penuh dengan penis Ahmad. Apalagi dengan posisi seperti itu, rasanya makin puas.

“Plok… plok… plok…”

Begitu suara yang dihasilkan antara pertemuan pantatku dan area selangkangan Ahmad. Payudaraku sendiri dibiarkan menggantung oleh Ahmad. Dia fokus pada genjotannya di vaginaku.

“Oh… enakk… mbak… memek… nya…”

“Ah… ah… ah…” aku hanya menjawab lewat desahan yang makin keras.

Setelah cukup lama, kini Ahmad menyuruhku menghadap dirinya. Dengan posisi masih berdiri, Ahmad mengangkat satu kakiku agar penisnya mudah masuk. Jleb. Penisnya pun kembali masuk. Dia langsung mendorong penisnya dengan cepat dan membuatku kembali mendesah, bahkan meracau.

“Madd… enaakk… ah… teruuss…”

Rasanya aku ingin segera mencapai menikmati permainan Ahmad. Penisnya seolah mengaduk-aduk isi vaginaku. Aku makin tidak tahan.

Tiba-tiba Ahmad merengkuh tubuhku dan membawaku ke dalam gendongannya. Aku pun bergelayutan pada leher Ahmad dengan penisnya masih tertancap di vaginaku. Dan dengan posisi demikian, penisnya makin masuk ke dalam vaginaku.

Kini aku mulai bergerak naik turun agar penisnya keluar masuk. Aku makin tidak kuasa menahan orgasmeku, hingga akhirnya, “Ah…” aku sedikit berteriak saat sampai di puncak. Kupeluk tubuh Ahmad erat-erat dan membenamkan penis Ahmad dalam-dalam.

Tampaknya Ahmad masih belum ada tanda-tanda akan keluar. Kini dia menurunkanku dan menyuruhku untuk menungging di lantai. Kami melakukan doggie style. Ahmad menyetubuhiku dari belakang. Aku kembali terbawa oleh nafsu.

Sampai beberapa kali berganti gaya, Ahmad belum keluar juga. Aneh. Dia baru bisa orgasme setelah posisi WOT dengan duduk di atas WC dan aku berada di pangkuannya. Itu pun setelah aku memberikan sedikit goyangan pada penisnya. Barulah ia bisa mengeluarkan lahar panasnya di dalam vaginaku.

Setelah itu, kita membersihkan diri dengan saling menyabuni satu sama lain. Aku membersihkan penisnya sampai bersih. Bahkan aku memotong jembut di selangkangan Ahmad.

“Tadi kok lama banget?” tanyaku pada Ahmad. Kami berdua sudah berada di meja makan untuk sarapan. Hanya saja, kami belum mengenakan baju apapun.

“Kenapa?”

“Minum obat ya?”

“Ya masa momen gini gak dimanfaatkan, mbak. Heheh.” Tawanya.

“Dasar!”

“Mbak…”

“Kenapa?”

“Di belakang rumah ada kolam renang ya?”

“Iya.”

“Nanti siang renang yuk.”

“Boleh. Tapi aku takut dilihat tetangga.”

“Gak mungkin, mbak.”

“Okedeh.”

“Tapi, renangnya kita bugil ya?”

“Heh? Gila kamu! Nggak!”

“Ayolah, mbak. Sesekali. Mbak belum pernah kan?”

“Nggak. Nanti ketahuan tetangga malah tambah runyam.”

“Tenang. Gak akan ada yang lihat.”

Aku tidak menjawab. Sebenarnya aku ingin melakukannya untuk menambah variasi bercinta. Jujur, dengan Mas Iwan, aku tak pernah melakukan percintaan yang demikian.

“Ya?”

“Baiklah.”

“Nah, gitu dong.”

Tiba-tiba HP yang kebetulan terletak di meja makan, berdering. Kulihat dari Mas Iwan.

“Halo… iya, Mas?… sudah pulang?… Syukurlah… Rumah baik-baik saja… Nanti aku pulang, Mas… Iya… Bye…”

“Siapa, mbak? Mas Iwan?”

“Iya.”

Selesai makan, kami berdua membersihkan meja makan. Ada satu perasaan ganjil melihat tingkah laku kami. Melakukan aktivitas sambil bertelanjang. Ganjil, namun juga membangkitkan nafsu. Kami melakukan semua aktivitas dengan bertelanjang.

Selesai makan, kami berdua menonton televisi. Tetap, kami tak mengenakan pakaian satu pun. Sesekali Ahmad iseng menyentuh vaginaku. Kubalas dengan menarik penisnya.

“Mad…” kataku sambil memeluk tubuh Ahmad. Kami tiduran di depan televisi.

“Iya, mbak?”

“Beberapa hari lalu, aku bicara dengan Pak Tono.”

“Pak Tono? Bicara soal apa?”

“Eh… Aku mengatakan bahwa aku tahu hubungan gelapnya dengan ibu.”

“Oh ya?”

“Iya. Pak Tono tampak ketakutan. Dia takut aku melaporkan semuanya.”

Aku berbohong pada Ahmas. Tentu saja yang sebenarnya tidak demikian.

“Lalu, Pak Tono mengungkapkan lagi satu hal yang membuatku terkejut?”

“Soal… apa, mbak?”

“Ibu sebenarnya tak Cuma berhuhungan dengan Pak Tono. Tapi beberapa lelaki juga.”

Ahmad terdiam. Tidak menjawa apa-apa.

“Kamu tahu maksudku, kan?”

Ahmad mengangguk pelan, “Ya.”

“Kapan itu terjadi?”

“Satu tahun yang lalu?”

“Di mana?” tanyaku.

“Di rumah ibu mertuamu.”

“Kamu jahat. Kamu tidak kasihan pada ayah mertuaku?”

“Mbak, ibumu yang menggodaku.”

“Maksudmu?”

“Ya. Saat itu, di rumah sepi. Aku datang ke sana untuk mengambil beberapa peralatan di gudang. Gudang sedang dikunci. Aku mencari orang ke seluruh rumah. Dan ternyata ada di kamar mandi. Aku panggil, tidak mendengar. Aku tunggu saja. Begitu keluar, rupanya ibu mertuamu. Aku kaget. Lebih kaget karena pada saat keluar, ia tak mengenakan apapun.

Bahkan handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia telanjang bulat di depanku. Anehnya, dia santai-santai saja. Malahan berjalan ke arahku dan bertanya mau apa. Aku sendiri yang malu dengan keadaan itu. Aku jawab saja mau mengambil kunci gudang. Lalu ibu mertuamu menjawab ada di kamar. Ia menyuruhku ikut. Begitu di depan kamar, dia menyuruhku masuk dan menutup pintu.

Aku terkejut. Dan apa yang terjadi? Dia berbisik padaku, ‘Puasin aku, Mad. ’ Mendengar itu, aku tidak bisa berpikir lagi. Bayangkan saja aku berada di depan wanita yang telanjang dengan bodi aduhai, dan si wanita telah meraba-raba penisku. Aku di luar kendali. Aku tak bisa mengontrol. Sampai akhirnya, kejadian itu terjadi.

Aku terdiam mendengar cerita Ahmad. Butuh waktu agak lama sampai akhirnya aku bertanya, “Apa cuma sekali itu?”

“Ngga, mbak.”

“Kapan lagi?”

“Aku lupa tepatnya. Yang jelas setelah kejadian itu, aku melakukannya dua kali lagi. Kami melakukannya di hotel saat kita sedang pergi ke kota. Ibu mertua mbak memang haus akan belaian lelaki. Bahkan, dia rela membayar demi mendapatkan kepuasan.”

Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Aku lebih memilih diam. Dalam hati aku agak marah pada ibu mertuaku. Kenapa dia mengkhianati ayah? Tapi, di sisi lain, bukankah aku juga tak jauh beda dengan ibu.

Tiba-tiba Ahmad berganti yang memeluku. Lalu, dia mengecup keningku kemudian bibirku. Kami bercinta sekali lagi di depan televisi sampai kami kelelahan dan tertidur.

Kami bangun saat hari sudah siang. Kulihat di sampingku Ahmad masih tertidur dengan pulas. Aku bangkit menuju dapur dan mengambil gelas. Aku duduk di ruang makan. Aku terdiam. Entah kenapa pikiranku dihantui oleh rasa bersalah. Apa yang telah aku lakukan? Mengapa aku berani membawa laki-laki ke rumahku dan bercinta dengannya?

Dalam lamunku, tiba-tiba Ahmad mengagetkanku.

“Kok melamun, mbak?” katanya menghampiriku lalu mengecuk keningku. Astaga. Kenapa Ahmad bersikap sudah layaknya suami padaku?

“Gak apa-apa. Kok udah bangun?”

“Habis bangun-bangun udah gak ada siapa-siapa.”

Aku hanya tersenyum.

“Berenang yuk, mbak.”

“Hmm. Tapi pakai baju ya?”

“Lho, kan tadi udah janji.”

“ Aku takut ada orang, Mad.”

“Ngga kok, mbak. Ini kan kota. Siang-siang begini orang pada sibuk di kantornya.”

“Ngga, ah. Aku pake baju renang aja.”

“Iya iya deh. Tapi yang seksi ya? Heheh.”

“Dasar otak mesum!”

“Biarin. Tapi mbak doyan.”

“Ih, tau ah.”

Aku segera ke kamarku untuk mengenakan baju renang. Aku memilih baju renang yang sekiranya cocok. Akhirnya kupilih bikini yang dibelikan oleh suamiku. Bikini berwarna merah terang dengan CD yang memiliki tali di sampingnya. Setelah mengenakan, aku langsung ke kolam renang.

Rupanya Ahmad sudah mulai berenang. Aku segera menyusulnya menyebur ke kolam. Ah, rasanya jarang aku melakukan hal ini dengan suamiku. Suamiku sendiri jika berenang pasti selalu mengenakan celana renangnya. Tak pernah berani menyuruhku untuk bugil. Ada kenikmatan tersendiri bagiku saat melihat lelaki berenang tanpa mengenakan apapun.

Aku menghampiri Ahmad dan langsung menyerbunya dengan ciumanku. Kami mulai berciuman di kolam renang. Kali ini aku yang terlihat lebih ganas. Aku sampai menyedot-nyedot lidah Ahmad. Sementara tangan Ahmad bergerilya di bagian bawah. Dia pun membuka ikatan CD-ku. Jari-jarinya langsung bermain nakal di vaginaku.

“Naik, yuk!” ajakku.

Kami langsung menepi dan naik ke atas. Begitu tiba di atas, bagian bawahku sudah tidak tertutup. Ahmad langsung menyerangku dan menidurkanku di lantai pinggir kolam. Aku kembali diserbu dengan ciuman ganasnya. Ia juga merayap ke leher dan payudaraku. BH-ku dibukanya langsung dan dia segera mengenyot puting susuku yang sudah menegang.

“Ah… ah…” aku pun mulai mendesah.

Vaginaku sepertinya sudah mulai basah. Ingin segera dimasukin oleh kontol Ahmad.

“Cepet, Mad… masukin…”

Sepertinya Ahmad juga sudah tidak tahan. Dia langsung menuruti permintaanku. Penisnya mulai dimasukkan ke vaginaku. Jleb…

“Ah…” desahku.

Aku menarik tubuhnya mendekat padaku dan langsung kuciumi bibirnya sampai lehernya juga. Pantat Ahmad mulai maju mundur yang membuat penisnya keluar masuk di vaginaku. Meskipun penis Ahmad sudah berulangkali masuk tapi rasanya vaginaku tetap terasa penuh.

“Ah… ah… Mad…”

Ahmad juga mulai mendengus-dengus seiring dengan genjotannya. Kemudian aku meminta pada Ahmad untuk di atas. Ahmad menuruti permintanku. Kini giliran dia yang berbaring di lantai dan aku berada di atasnya. Aku langsung menduduki penisnya dan memasukkannya ke vaginaku. Perlahan aku mulai bergerak naik turun.

“Ah… ah.. ah…” aku mendesah. Gerakanku makin cepat. “E.. nakk… Mad…”

Sampai akhirnya, aku tidak kuat dan membenamkan penis Ahmad dalam-dalam vaginaku. Tak lama setelah itu, setelah beberapa kali Ahmad kembali menggenjotku dari bawah, Ahmad menumpahkan spermanya.

“Bersihin dong, mbak…”

Aku langsung melepaskan penis Ahmad dari vaginaku. Segera kukulum penisnya untuk membersihkannya dari sisa-sisa cairan cinta kami. Belum pernah aku dengan suamiku melakukan hal ini sehabis bercinta.

Setelah bersih, Ahmad bangun dan langsung menggendongku ke dalam rumah. Tanganku bergelayut ke leher Ahmad. Ahmad membawaku ke kamar. Di kamar, Ahmad kembali mengajakku bercinta. Kami bercinta sekali lagi. Lalu kami tertidur. Saat bangun, hari sudah agak gelap. Kami bersiap-siap untuk pulang. Kami pastikan semua rumah tidak mencurigakan bahwa di dalamnya ada yang sudah bercinta.

***

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu