2 November 2020
Penulis —  akuskememe

KISAHKU DENGAN LELAKI LAIN

Aku pun kembali ke kota. Ada perasaan bahagia bahwa aku tidak akan lagi menjadi budak seks para lelaki-lelaki di sekitarku. Tapi, harus kuakui, aku juga sedih karena harus meninggalkan Mas Baim, Kakak iparku. Entah kenapa, justru percintaan dengan Mas Baim yang paling berkesan untukku.

Semalam ia benar tidur di kamarku menemani aku hingga terbangun pagi hari. Aku sempat khawatir begitu membuka mata, takut suamiku sudah pulang. Tapi syukurlah semuanya masih aman. Aku bangunkan Mas Baim sebelum suamiku pulang. Ketika aku membangunkannya, Mas Baim malah meminta jatah lagi dariku. Kami kembali bercinta meski aku awalnya menolak karena takut suamiku pulang tiba-tiba.

Pagi itu Mas Baim kembali menumpahkan spermanya di vaginaku. Ah. Hangat sekali. Ingin rasanya penisnya terus menancap di vaginaku. Sembari kami terus berpelukan.

Suamiku datang agak siangg. Setelah dia bersiap-siap, kami langsung persiapan untuk pulang. Kutanyakan pada suamiku apakah dia tidak lelah. Suamiku bilang bahwa ia sudah beristirahat.

Saat di perjalanan pulang, tiba-tiba saja Mas Baim mengirimiku pesan.

“Aku bakal kangen.”

Tapi aku tidak menjawab. Kubiarkan saja. Tapi tak lama kemudian, dia mengirim pesan gambar. Kubuka dan ternyata fotonya sedang telanjang. Astaga. Beruntung Mas Iwan tidak melihatnya.

Foto itu menampakkan Mas Baim yang sedang berdiri tanpa memakai baju apapun. Penisnya tegak sempurna dengan sekeliling ditumbuhi bulu yang lebat. Ah. Aku seketika merindukannya.

Kami pun sampai di rumah. Cukup lama aku berada di kampung dan membuatku rindu rumahku. Kondisi rumah sendiri, agak sedikit berdebu karena tak pernah dibersihkan. Setelah membersihkan kamarku, aku, suamiku, dan anakku langsung istirahat karena telah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.

Hari-hariku di rumah kini telah berbeda. Setelah beberapa hari menjalani rutinitas di kampung, aku kembali dipaksa menjalani rutinitas seperti semula: bangun pagi, menyiapkan sarapan, memandikan anak, menyiapkan pakaian suami, hingga menemani mereka sarapan. Setelah mereka berangkat, otomatis aku sendirian saja di rumah.

Di hari-hariku yang seperti itu, aku mudah sekali dilanda rindu dengan suasana kampung, apalagi Mas Baim. Astaga. Ada apa denganku ini? Walaupun sebetulnya, suamiku masih tetap memberiku nafkah batin sebagai kewajibannya.

Mas Baim sendiri kadang masih menghubungiku. Terakhir, seperti biasa, dia mengirimiku foto vulgar. Dia memotret penisnya yang sedang bangun. Ya, aku tau tujuannya. Dia rindu bercinta denganku. Pernah juga dia mengirimiku video saat dirinya mengocok sampai tumpah spermanya.

“Kangen.” Kata pesannya, suatu kali.

“Sini.” Balasaku.

“Kapan ke sini lagi?”

“Ga tau.”

“Pengin nih.”

“Ih, genit. Kan udah ada istri di sana.”

“Enakan sama kamu.”

Ada perasaan bangga saat Mas Baim mengucap hal itu. Apakah itu benar?

“Iri sama Si Iwan. Bisa main tiap hari sama kamu.”

“Yeee… kan suami. Wajarlah.”

“Enakan mana?”

“Apanya?”

“Ininya.” Dia mengirim foto selangkangannya.

“Hmmm. Sama.”

“Bohong.”

Tentu saja. Mas Baim lebih bisa memuaskanku.

“Besar mana?”

“Sama.”

“Bohong lagi.”

Kali ini, aku tak berbohong. Ukuran penisnya tak jauh berbeda dengan Mas Iwan, suamiku. Selama aku bercinta dengan lelaki, milik Pak Kasman, tukang pijit, yang memiliki ukuran paling besar.

***

Suatu hari, kompleks perumahanku kemalingan beberapa kali di beberapa rumah. Bahkan pernah di samping rumah. Untuk meningkatkan kewaspadaan, kompleks perumahanku menambah personil keamana. Yang semula 2 orang, menambah jumlah menjadi 4 orang. Dari tambah 2 orang itu, yang menarii perhatianku adalah Pak Restu.

Dia punya penampilan tegap, kumis yang tidak terlalu tebal, kulitnya agak gelap, dan badan yang berotot. Dia juga sangat ramah. Setiap kali berkeliling kompleks, pasti selalu menyapa dan menyakan keadaannya. Yah, mungkin itu sudah masuk dalam prosedurnya. Tapi aku merasa ada yang berbeda pada dirinya.

Kekagumanku nampaknya tak hanya dirasakan oleh diriku saja. Tetapi, beberapa ibu-ibu komplek. Aku mengetahuinya saat sedang asyik mengobrol pada saat selesai arisan.

“Bu, tau sama satpam baru? Oke banget ya, bu?”

“Pak Restu itu kan?”

“Iya. Lihat bodinya. Duh, jadi pengin manjat gitu.”

Aku hanya terdiam mendengar obrolan para ibu-ibu.

“Kalo bodinya segitu, gimana isinya ya?”

“Sama kaya pentungannya kali, bu.”

Perkataan itu disambut oleh tawa mereka semua. Aku juga pura-pura ikut menertawakannya. Padahal, aku mengakui, aku kurang suka pada mereka yang juga menaruh perhatian pada Pak Restu. Ah, apa-apaan aku ini!

Kegilaanku untuk berhubungan dengan lelaki lain semakin tak terbendung. Kejadian-kejadian di kampung membuat diriku semakin haus akan belaian lelaki lain, selain suamiku. Hal itu mengakibatkan aku mendambakan belaian dari Pak Restu. Yah, aku mengharapkan untuk bisa bercinta dengan dirinya. Tapi, itu tak gampang dilakukan.

Lalu, suatu ketika, kabar yang mengejutkan datang dari tetanggaku, Bu Gani. Bu Gani berumur hampir 50 tahun. Tapi karena sering merawat tubuh, ia masih bisa dikatakan bohay dan cantik. Suaminya, Pak Gani, sering pergi ke luar negeri karena profesinya. Sehingga membuat Bu Gani sering sendirian.

Bu Gani tiba-tiba saja membuat pengakuan pada kami bahwa dirinya sudah bercinta dengan Pak Gani. Memang, beberapa dari kami tak segan untuk membuka rahasia. Dan kami semua bisa menjaganya. Tetapi, aku sendiri belum berani melakukan hal itu.

Bu Gani bercerita:

Suatu malam, Bu Gani baru saja datang dari rumah temannya. Saat memasuki gerbang, ia melihat Pak Restu sedang bediri di depan rumahnya.

“Ada apa, Pak?” tanya Bu Gani.

“Ngga, Bu. Cuma ngecek aja.”

“Oh. Saya kira cari saya, Pak.” Bu Gani menggoda.

“Ibu baru datang?”

“Iya nih. Dari rumah temen. Capek banget.”

“Ya sudah. Selamat istirahat, Bu.” Pak Restu berlalu untuk kembali berkeliling.

Bu Gani langsung terbersit pikiran licik. Ia pura-pura menyuruh Pak Restu membelikan makanan untuknya.

“Pak Restu!”

“Iya, bu.”

“Bisa minta tolong? Belikan saya makan ya. Saya lapar. Barusan lupa mampir untuk beli.”

“Baik, Bu. Tapi kalau boleh saya selesaikan berkeliling dulu.”

“Oh ya, tidak apa-apa. Beli dua ya.”

Bu Gani berlalu setelah menyerahkan sejumlah uang. Pak Restu juga berlalu.

Setelah menunggu lebih kurang 30 menit, akhirnya Pak Restu datang. Ia mengetuk pintu. Ketika pintu dibuka, betapa terkejutnya Pak Restu saat melihat Bu Gani. Bu Gani membuka pintu hanya mengenakan handuk yang dililitkan di badannya. Ia agak tercengang sejenak sebelum Bu Gani menegurnya.

“Pak Restu…”

“Eh iya, Bu. Ini makanannya. Maaf.”

“Terima kasih. Ayo masuk.”

“Saya balik, Bu.”

“Ah ayolah. Temani saya makan. Kamu kan udah beli dua bungkus.”

“Tapi, Bu…”

“Ayo, Bu.”

Pak Restu tak bisa menolak. Ia masuk dan langsung mengikuti Bu Gani setelah menutup pintu. Bu Gani menyuruhnya duduk di meja. Sementar Bu Gani berganti pakaian. Bu Gani memilih menggunakan daster. Ia sengaja memilih yang berbahan tipis.

Mareka akhirnya mulai makan. Pak Restu agak canggung dengan situasi seperti. Tapi Bu Gani bisa mencarikan suasana. Bu Gani mengajaknya bicara tentang apa saja. Mulai dari kerjaan sampai rumah tangga Pak Restu. Ternyata Pak Restu memiliki istri dan 3 anak. Mereka berada di kota lain. Ke kotaku, Pak Restu merantau.

“Sering kangan ya, Pak?”

“Iya, Bu. Sama anak-anak.”

“Sama istri?”

“Kangen juga, Bu.”

“Saya juga sering ditinggal suami, Pak.”

“Nasib kita sama, Bu.”

Mendengar hal itu, Bu Gani makin berani untuk bertindak ke tahap selanjutnya.

“Kalo kangen istri, Pak Restu gimana? Kalo aku sih, biasanya telpon. Video call.”

“Ya saya bisanya cuma telpon, Bu.”

“Cuma kalo lagi pengin aja ya, Pak, ga bisa lewat telpon.” Goda Bu Gani.

“Ah, ibu.”

“Kenapa, Pak? Kan bener?”

“Iya, Bu.”

Selesai makan, Bu Gani meminta Pak Restu untuk membantu mencuci piring. Mereka berdua berjalan ke dapur.

“Makasih ya, Pak.” Kata Bu Gani.

“Kenapa, Bu?”

“Sudah nemenin makan.”

“Sama-sama, Bu.”

“Istri kamu beruntung. Kamu baik. Dan… ganteng pula.”

“Ah, ibu. Ada-ada aja.”

“Beneran. Banyak ibu-ibu kompleks yang suka sama kamu.”

“Kok suka sama saya sih?” jawabnya sambil tertawa.

“Termasuk saya.”

Pak Restu terkejut. Ia diam tak menjawab.

Tiba-tiba saja, tangan Bu Gani menuju ke selangkangan Pak Gani. Ia mulai mengelus-elus batangnya. Pak Restu tak mencoba untuk menolak. Ia hanya diam saja. Lama kelamaan dirasakannya batang itu mengeras. Dan saat itu pula, Bu Gani berani untuk membuka celana Pak Restu. Setelah terbuka, tampak bagian bawah Pak Restu hanya mengenakan celana dalam berwarna abu-abu.

Bu Gani juga menurukan CD-nya hingga Pak Restu telanjang di bagian bawahnya. Terpampanglah batang yang sudah berdiri dengan tegak. Bu Gani terpukau melihatnya. Sungguh ukurannya luar biasa. Sangat jauh berbeda dengan milik Pak Gani, suaminya. Mungkin berukuran hampir 22 cm dan dihiasi dengan urat-urat yang kekar.

Bu Gani langsung menarik tangan Pak Restu menuju ke kamar. Di dalam kamar, sudah terbayang di depan mata bahwa sebentar lagi ia akan meneguk kepuasan dari satpam kekar ini.

(Bersambung)

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu