2 November 2020
Penulis —  akuskememe

KISAHKU DENGAN LELAKI LAIN

Aku benar-benar tidak percaya dengan yang aku lihat di dapur. Sungguh itu sama sekali di luar dugaanku. Siapa yang akan menyangka bahwa ternyata ibu mertuaku adalah seorang wanita yang binal? Dan siapa juga yang akan menyangka bahwa beliau berselingkuh di belakang kami semua? Dan sungguh makin tidak aku bayangkan, ibu mertuaku bercinta saat di rumah masih ada orang.

Ya, aku menyaksikan sendiri bagaimana ibu mertuaku menjadi kuda binal bersama seorang lelaki yang tak lain adalah Pak Tono, tukang kebun di rumah ini. Dibandingkan ayah, Pak Tono lebih muda. Tapi mungkin sebaya dengan ibu. Pak Tono masih punya badan yang sehat. Tubuhnya gempal dengan kulit gelap. Sementara ibuku, meski sudah berumur 50 lebih, tapi penampilannya selalu seksi.

Melihat kondisi ayah, aku berpikir wajar saja jika ibu mertuaku merindukan kehangatan dari seorang lelaki. Tapi, tetap saja itu tak bisa dibenarkan.

Ah, bukankah aku juga sama dengan ibu mertuaku? Padahal, suamiku masih baik-baik saja, berbeda dengan ayah mertuaku.

Aku menyaksikan sampai tuntas adegan percintaan ibu semalam. Ibu mertuaku terus naik turun di pangkuan Pak Tono sambil meracau. Di balik remang lampu, aku samar-samar melihat wajah Pak Tono yang begitu menikmati persenggamaan itu. Mereka terus bercinta, saling mereguk kepuasan satu sama lain. Sampai akhirnya, Pak Tono terlihat mengejang dan menghujamkan pantatnya ke atas.

Setelah ibu selesai memasang bajunya, ia tampak mengambil sesuatu di atas meja.

“Nih, ambil.” Ibu menyerahkan sesuatu pada Pak Tono. Apakah ibu memberikan uang? “Sudah sana cepet pulang.”

Aku juga buru-buru untuk balik ke kamar. Takut ibu mengetaui keberadaanku.

Sejak itulah, pandanganku kepada ibu berubah. Ternyata di balik sikapnya yang cukup pendiam, ia adalah seorang pecinta yang binal. Kejadian itu terus membayang dalam benakku. Tapi aku tak mungkin menceritakannya.

Hubunganku dengan Ahmad sendiri semakin dekat. Tapi bukan berarti kami bercinta setiap hari. Itu jelas tidak mungkin. Tapi aku selalu mencari cara agar selalu bisa bertemu dengannya. Dan Ahmad sendiri juga yang kadang mencariku.

Suatu siang, Ahmad datang ke rumah. Aku mempersilakannya masuk.

“Ada apa?” tanyaku. “Jangan bikin curiga orang deh.”

“Aku kangen.”

“Kamu apa-apaan sih. Nanti ada yang denger.” Aku memelankan suaraku.

“Kangen nih.” Telunjuknya mengarah ke selangkangnnya.

“Udah, Ah. Sana balik.”

“Ayo ketemu.”

“Di mana?”

“Muara.”

“Kapan?”

“Nanti malem.”

“Nggak, ah. Di sana kan banyak temen-temenmu.”

“Gak ada. Udah aku atur semuanya.”

“Tapi aku takut ketahuan.”

“Tenang saja.”

“Ya sudah.”

Kami pun berjanji untuk bertemu malam hari di muara. Aku berani melakukannya semata-mata karena rasa rinduku pada Ahmad.

Malam harinya, sekitar pukul 9 malam, saat anakku sudah tertidur. Aku sengaja menidurkannya dengan ibu. Aku diam-diam keluar rumah. Aku berjalan menuju muara. Beruntung dalam perjalanan ke sana, tidak ada satu orang pun yang melihat.

Sesaimpainya di sana, kulihat Ahmad sudah menunggu. Dia langsung mengajakku naik ke perahu yang berada di pinggir muara.

“Gak ada orang, kan?” tanyaku.

“Gak ada kok.”

“Kamu kok nekat sih?”

“Udah gak kuat soalnya.” Kata Ahmad sambil mendekat ke arahku.

Perahu yang aku naiki lumayan besar. Orang sini menyebutnya kapal. Walaupun sebenarnya tidak sebesar kapal. Tapi perahu ini juga punya ruangan-ruangan di dalamnya sebagai tempat istirahat para ABK.

Ahmad melucuti pakaiannya satu per satu sampai ia telanjang. Dia langsung menyerangku secara ganas. Bajuku pun juga satu per satu terlepas.

Kami berdua bercinta di atas perahu malam itu. Mereguk kenikmatan satu sama lain. Ahmad kembali menyemburkan spermanya di vaginaku. Dan aku juga orgasme sebanyak dua kali.

“Mbak, mbak kapan pulang ke kota?” tanya Ahmad. Dia duduk sambil hanya mengenakan CD.

“Gak tau. Nunggu ayah sembuh yang pasti.”

“Gimana kalo mbak ijin pulang duluan?”

Aku yang tengah memasang BH, diam tak mengerti. “Maksud kamu?”

“Ya pulang duluan. Ke kota.”

“Kan suamiku di sini. Mas Iwan di sini.”

Tiba-tiba Ahmad menghampiriku. Dia memelukku dari belakang. “Gapapa Mas Iwan tetep di sini. Biar aku yang jaga mbak nanti,” katanya sambil mencium tengkukku.

“Gila kamu!”

“Ayolah, mbak. Kapan lagi kita ada waktu? Nanti cari saja alasan ke Mas Iwan.”

“Mana mungkin Mas Iwan mau. Dia jelas gak akan mengizinkan.”

“Pulangnya jangan lama-lama. Sehari dua hari. Alasan mau nengok rumah atau apa.”

Aku terdiam mendengar perkataan Ahmad itu.

“Gimana, mbak?”

“Untuk apa juga? Di sini kita juga bisa ‘main’.”

“Tapi kan kaya petak umpet,” jawabnya.

“Ya?”

“Nanti aku pikirkan lagi.”

Aku segera memasang semua pakaianku sebelum akhirnya aku meminta Ahmad mengantarkanku pulang. Saat aku kembali jam sudah pukul 11 malam. Sungguh aku benar-benar menjadi wanita jalang, pulang selarut. Tentu saja dalam perjalanan pulang, aku berusaha agar tak ada yang tahu.

Perlahan-lahan aku membuka pintu rumahku. Tapi saat hendak membuka pintu, ada suara yang mengejutkanku.

“Habis enak-enak ya, mbak?”

Aku terkejut mendengarnya. Saat menoleh kulihat sosok tubuh laki-laki gempal berdiri di dekat mobil pick up: Pak Tono.

“Pak Tono, bikin kaget aja. Ngapain malam-malam gini, pak?” tanyaku agak gugup.

“Habis dari muara. Lihat orang main kuda-kudaan.”

Apakah Pak Tono memergokiku bersama Ahmad? Gawatlah kalau sampai dia tahu.

“Maksud bapak?”

“Ah, jangan pura-pura bingung, mbak.”

“Saya gak ngerti maksud bapak.”

“Sudah berapa kali ‘main’ sama Ahmad?”

Benar. Dia tahu hubunganku gelapku dengan Ahmad. Matilah aku. Tapi, aku harus tetep tenang. Aku tidak boleh menampakkan kegugupan.

“Maksud bapak apa? Jangan ngomong sembarangan ya!”

“Terus mbak ngapain malam-malam begini dari muara?”

“Saya gak dari muara kok.”

“Udah lah, mbak. Gak usah bohong.”

“Maaf ya, pak, saya mau masuk dulu.”

“Kira-kira gimana kalo Pak Iwan tahu ya?” katanya sebelum aku benar-benar masuk ke dalam rumah.

“Jangan ngaco. Bapak bisa saya pecat. Bapak kira saya gak tahu rahasia bapak? Bapak serong sama ibu kan?”

Dia malah tertawa. “Memang. Dan itu bukan kemauan saya. Itu kemauan ibu mertua kamu. Dia rindu kehangatan laki-laki. Dia sampe rela membayar saya.“

Aku tidak percaya dengan apa yang disampaikannya. Aku terdiam.

“Silakan kalo mau melaporkan. Toh paling saya cuma dipecat. Kalo mbak? Apa siap diceraikan?”

Mas Iwan sudah tahu bagaimana masa laluku. Dia juga bisa menerima. Tapi, aku sudah berjanji padanya takkan mengulangi masa laluku. Apakah dia akan memaafkanku?

“Kurang ajar!” makiku pada Pak Tono karena merasa aku kalah telak.

“Tapi semuanya bisa baik-baik saja kok.”

Aku mulai menaruh kecurigaan pada kata-katanya.

“Minta uang berapa?” kataku.

Dia mendekat ke arahku. “Saya minta kamu.”

“Ngga!” Aku segara beranjak masuk. Tapi, Pak Tono dengan cepat menahan pintu agar tidak tertutup. Aku berusaha menutupnya dari dalam. Tapi kekuatan Pak Tono tak mampu kulawan. Aku kalah dan membiarkannya masuk. Dia langsung menutup pintu.

“Bapak mau apa?”

“Aku pengin mendapatkan apa yang Ahmad dapatkan.” Katanya sambil menatapku dengan wajah yang ingin menerkam.

Aku berusaha untuk lari tapi Pak Tono langsung menangkap tanganku. “Mau kemana?”

“Pak, saya bisa teriak.”

“Teriak saja.”

Entah kenapa aku tak berani melakukan ancamanku sendiri. Akhirnya aku hanya bisa meronta tanpa bisa terlepas dari Pak Tono. Pak Tono langsung mendekapku. Memelukku dan menyusuri wajahku dengan mulutnya. Aku terus meronta.

Kondisi Pak Tono sendiri, di luar kriteriaku. Tubuhnya gempal dan kulitnya gelap. Pakaiannya juga selalu tampak kumal. Di atas mulutnya tumbuh kumis yang cukup lebat. Beberapa kali aku berada di dekatnya, tubuhnya agak sedikit bau. Aku tak mengerti bagaimana ibu bisa berselingkuh dengannya.

“Jangan gaduh. Nanti yang lain bangun.” Katanya.

Entah kenapa aku menuruti saja kata-katanya. Tapi aku terus berusaha menghindar dari ciumannya.

Pak Tono membawaku ke kursi. Dibaringkannya aku di atas kursi panjang ruang tamu. Sementara Pak Tono langsung menindihku.

Wajahnya langsung menyusuri wajahku. Aku berusaha menghindar agar dia tak mencium bibirku. Sementara tangannya bermain liar di dadaku. Tangannya meremas-remas kedua payudaraku.

“Pak, udah. Stop.”

Tapi tentu saja Pak Tono tak mendengarkannya.

Tangannya mengangkat naik ujung bajuku. Mencoba melihat isi di baliknya. Aku berusaha mencegahnya, tapi aku kalah. Pak Tono pun langsung dapat melihat payudaraku yang terbungkus BH. Dia langsung saja meremas-remasnya.

Sambil meremas, salah satu tangannya turun ke area perut dan terus ke selangkangan. Ia coba menyelinap lewat celanaku. Awalnya agak kesusahan. Tapi setelah berhasil membuka kancingnya, maka tangannya dengan mudah melenggang masuk ke selangkanganku.

Sementara tangan yang lain mengangkat BH-ku hingga tampaklah kedua payudaraku. Bibir Pak Tono langsung menyerangnya. Dilahapnya susuku secara bergantian. Sementara tangan kirinya bermain di lubang vaginaku.

“Ah…” desahku. Saat salah satu jarinya menyentuh klitorisku.

“Udah, pak.

Aku merasakan sebutir air mengalir dari mataku. Aku benar-benar tidak percaya bahwa aku telah hina di depan pembantuku sendiri. Tapi aku tak berdaya. Aku tak bisa melakukan apa-apa.

Pak Tono menghentikan permainannya. Aku lega. Barangkali ia tahu jika aku menangis. Tapi, ternyata dugaanku salah. Justru dia menggendongku dan membawaku ke kamarku.

Saat itu, anakku tengah tidur bersama neneknya. Jadi, di kamarku tidak ada siapa-siapa. Dia langsung merebahkanku di atas tempat tidur. Sementara dia mengunci pintu dan menghidupkan lampu.

“Anggap saja seperti malam pertama kita.”

Kulihat Pak Tono berdiri dan langsung membuka bajunya. Karena keadaan terang, aku bisa melihat kondisi tubuhnya. Perutnya sedikit buncit. Sedangkan penisnya, kulihat, tidak panjang tapi terlihat gemuk dengan bulu lebat.

Dia langsung meraih ujung celanaku dan segera menariknya turun. Tapi aku meronta. Menendang-nendang Pak Tono. Namun Pak Tono terlalu kuat untuk aku kalahkan hingga perlahan celanaku turun dan bahkan sampai terlepas dari kakiku. Tampaklah sudah tubuh bagian bawahku yang hanya terbungkus CD berwarna putih.

“Waduh, udah basah ya?” kata Pak Tono saat menyentuh vaginaku.

Aku hanya bisa tersedu-sedu menjalani semua ini. Aku sudah pasrah atas apa yang terjadi denganku. Semua ini juga salahku karena aku tak bisa menjaga rahasia hubunganku dengan Ahmad. Barangkali aku juga harus bertanggungjawab dengan cara ini. Bahkan saat Pak Tono menarik turun CD-ku, aku sudah tak memberikan perlawanan lagi.

Pak Tono langsung membuka pahaku lebar-lebar begitu CD itu terlepas. “Wah, memekmu indah banget.” Dia tampak mengelus-elus terlebih dahulu sebelum mengarahkan penisnya menuju vaginaku.

“Ah…” aku mendesah begitu merasakan sebuah benda tumpul memasuki liang senggamaku. Pak Tono mulai menyutubuhiku. Vaginaku terasa sesak. Mungkin rasanya sama saat penis Ahmad masuk ke vaginaku.

Pak Tono mulai menggenjotku dengan perlahan. Tangannya memegangi kedua kakiku. Pantatnya maju mundur. Tubuhku pun bergerak seirama dengan gerakan Pak Tono.

“Ah…” aku mulai mendapatkan kenikmatan dari vaginaku. Vaginaku mulai mengirimkan sinyal nikmat. Aku pun tak bisa membohongi itu. Tapi aku tak mungkin menampakkan bahwa menikmati itu semua di depan Pak Tono.

Pak Tono sendiri terdengar mendesah menikmati permainannya di vaginaku. Makin lama gerakannya makin cepat. Tangannya juga beralih untuk membuka bajuku yang masih menempel. Aku pun seolah menurutinya, membiarkannya membuka semuanya sampai aku telanjang bulat. Dia pun langsung menyerang kedua susuku.

“Ini merah-merah bekas si Ahmad ya?” kata Pak Tono melihat tanda merah di kedua susuku. “Kasihan Pak Iwan, susunya istrinya disedot orang lain. Hehehe.” Katanya sambil tertawa licik.

“Tapi biar aku tambahin saja.”

Pak Tono pun langsung menciumi kedua susuku bergantian dan melakukan cupang di sana. Aku seperti melambung ketika lidahnya menari-nari di atas putingku. Entah kenapa lidah Pak Tono lebih terasa nikmat dibandingkan dengan Ahmad saat memainkan puting susuku.

“Ah… ah…” aku pun kembali mendesah.

Sementara goyangannya tak kendur sedikitpun. Malah kurasakan makin cepat. Dan aku juga merasakan bahwa rasanya aku akan sampai pada puncaknya.

Pak Tono makin mempercepat gerakannya dan aku… Ah… Kugenggam seprai untuk melampiaskan orgasmeku. Kakiku menegang begitu tiba puncak kenikmatan itu.

“Sampe ya? Wah, aku masih belum nih.”

Pak Tono seolah tahu bahwa baru saja aku meraih orgasmeku. Kini dia menarik penisnya keluar dan terlepas dari vaginaku. Dia memperbaiki posisiku tepat di tengah kasur. Barangkali agar dia lebih nyaman. Setelah selesai, dia kembali menggenjotku lagi.

Kedua kakiku dia taruh di atas bahunya membuat dia lebih leluasa memasukkan penisnya ke vaginaku. Mulutnya kembali menyedot susuku, menggigitny, menjilatnya, sampai aku tak tahan untuk tidak mendesah.

“Ah… ah…”

“Oh, memekmu… enak sekali… Pantas Ahmad doyan…” kata Pak Tono di tengah genjotannya.

Pak Tono tiba-tiba merubah menarik penisnya. Dia merubah posisiku menungging. Rupanya dia akan menyetubuhiku dari belakang. Aku menurut saja dengan kemauan Pak Tono. Aku seperti kerbau yang sudah dicocok hidungnya.

Terasa penis Pak Tono melesak masuk ke vaginaku. Dia pun langsung menggenjot lagi. Memaju mundurkan pantatnya. Pantatku beradu dengan pahanya menimbulkan bunyi “plak plak plak”. Tangannya meraih payudaraku yang menggantung. Makin lama genjotan Pak Tono makin cepat. Tubuhku bergoyang-goyang juga makin cepat.

Tiba-tiba Pak Tono menarik tubuhku hingga aku terduduk di pangkuan Pak Tono. Dia memintaku untuk bergerak naik turun agar penisnya bisa keluar masuk. Dengan membelakanginya, aku terus bergerak naik turun. Penis Pak Tono pun jadi keluar masuk di vaginaku.

Entah kenapa, Pak Tono belum juga sampai di puncaknya. Malahan aku yang sudah akan tiba di puncakku lagi.

“Ah… ah… pakk…” tiba-tiba aku menyebut namanya. Pak Tono juga turut membantu menaikturunkan pantatnya. Sampai akhirnya, kubenamkan seluruh batang penis Pak Tono ke dalam vaginaku. Ah, nikmat rasanya… aku kembali orgasme.

Malam itu, aku orgasme berkali-kali. Anehnya, Pak Tono seperti punya tenaga kuda. Dia sangat kuat untuk tidak keluar bahkan saat aku orgasme ketiga kalinya. Kami melakukan beberapa gaya malam itu. Bahkan Pak Tono memaksaku anal. Tapi aku menolaknya. Hanya saja Pak Tono setuju syarat aku mengulum penisnya dan dia mencium bibirku.

“Aku pengin coba pantat kamu dong…”

“Jangan, pak. Kalo itu aku tidak mau.”

“Belum pernah ya? Enak kok.”

“Nggak, pak. Saya mohon. Jangan. Minta yang lain saja.”

“Yang lain? Hmm. Boleh. Aku pengin cium bibir kamu dan kamu oral kontolku ya.”

Sebenarnya permintaan itu juga berat. Tapi tak ada pilihan lag bagiku. Aku menurutinya. Kukulum penisnya dan kujilati juga setiap inchi batangnya. Pak Tono pun akhirnya bisa dengan puas menciumi bibirku. Aku benar-benar ingin muntah.

Pak Tono juga menyemprotkan spermanya di dalam vaginaku.

“Di mana Ahmad keluarin pejuhnya?” katanya saat hendak sampai.

“Di… luar…” kataku agar dia takut mengeluarkan di dalam. Tapi aku salah.

“Ahmad bodoh…” katanya. “… haruussnyyya… di… dalam…” Dia pun menumpahkannya juga di dalam vaginaku.

Ada satu hal yang tak bisa aku pungkiri. Permainan Pak Tono lebih hebat dari Ahmad. Aku harus mengakuinya. Meski penisnya tak seberapa, tapi aku benar-benar puas atas pemerkosaan itu.

Pak Tono tampak bahagia bisa menciumi bibirku. Dia bahkan melakukannya berkali-kali meski aku tak membalasnya.

“Kasihan sama Pak Iwan, istrinya udah dinikmati banyak orang.” Katanya sambil memelukku. Kami sama-sama telanjang sehabis bersenggama.

Aku diam saja. Tak menjawab apa-apa.

Tak lama, Pak Tono bangkit dan mengenakan pakaiannya. Sebelum keluar kamar, dia bilang, “Kapan-kapan lagi ya? Tenang. Kamu tak perlu bayar seperti mertuamu. Oh ya, Ahmad itu juga pernah main lho sama ibu mertuamu.”

Aku juga tak menjawab. Apakah karena kehebatan Pak Tono yang membuat ibu mertuaku rela membayar demi mendapatkan pelayanan dari Pak Tono?

Entahlah. Yang jelas, badanku malam itu terasa remuk. Vaginaku terasa sakit. Aku mengenakan pakaiannya sebelum akhirnya tertidur.

Ahmad main dengan ibu?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu