2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Sungguh naif sekali kalau aku menganggap hubungan istriku dengan Doni masih dalam batas kewajaran.

Tadinya aku masih berfikir kalau ini hanyalah perasaanku saja, suatu efek yang timbul karena hubunganku dengan Nanda, sehingga timbul kecurigaan kalau istriku juga melakukan hal yang sama pada anak laki-lakiku.

Namun saat sore itu aku memergoki mereka tengah berciuman didalam gudang belakang rumah, sepertinya kecurigaanku bukanlah sebuah su’udzon belaka, walaupun mereka berdalih tengah mencari sepatu lama istriku yang katanya berada didalam tumpukan barang bekas, tapi aku bukanlah bodoh, sikap gugup mereka tak bisa menyembunyikan itu, terutama Doni, anak itu masih terlalu hijau untuk dapat bersandiwara dengan baik.

Sial, padahal dia pamit denganku satu hari sebelum hari H, dengan alasan untuk membantu segala urusan tetek bengek acara hajatan itu. Nah, kalau begitu, satu hari semalam sebelumnya istriku dan Doni kemana saja, dan ngapain aja, kalau memang ada urusan lain mengapa dia tidak berterus terang saja padaku.

Untuk menanyakan semua itu kepada istriku rasanya aku tak berani, mungkin ketidak beranianku itu karena aku juga memiliki hubungan spesial dengan Nanda, dan bukan tak mungkin istriku juga mulai mengetahui hubunganku dengan anak gadisku itu, itu dapat kulihat dari sikap istriku beberapa hari ini yang seolah begitu kaku.

Seperti halnya malam ini, semenjak berada dikamar ini tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, bahkan kini dia sudah terlelap dengan posisi memunggungiku.

Kalau memang istriku dan Doni memiliki hubungan seperti halnya aku dan Nanda, Ah, betapa bejatnya keluargaku ini, entah keluarga macam apa ini, ah.. tidak, rasanya aku tak perlu memponis keluargaku dengan pandangan seperti itu, lebih baik aku membangun sebuah keyakinan bahwa yang aku lakukan ini adalah suatu kelaziman belaka, toh aku tak pernah memaksa anakku, dia menikmatinya, bahkan teramat sangat.

Saat ini telah menunjukan jam 11 malam, kuperhatikan istriku dengan seksama untuk memastikan kalau dia memang benar-benar telah tertidur. Hmmm… sepertinya dia memang telah pulas, kini saatnya menjumpai si jantung hatiku, si pemuas nafsuku yang paling sempurna, ya dialah Nanda, putri kandungku, yang beberapa minggu belakangan ini benar-benar membuat hidupku serasa lebih indah dan lebih bergairah.

Dengan mengendap-endap dan kaki agak berjinjit aku melangkah keluar kamar, kubuka pintu kamarku dengan perlahan untuk meminimalisir suara deritan pintu yang dikawatirkan dapat terdengar oleh istriku.

Kini aku telah berada didepan pintu kamar anak gadisku, setelah tengak-tengok kiri kanan kubuka pintu yang memang tak dikunci, karna sore tadi secara diam-diam aku telah membisikan padanya bahwa malam ini aku akan menyambangi kamarnya untuk sebuah kenikmatan, dan dengan wajah berbinar dia menjawab “oke deh pa…

Pintu kubuka dengan perlahan, dan… woowww.. putriku memang penuh dengan kejutan, kali ini kudapati dirinya tengah menungging diatas ranjang dengan tanpa selembar benangpun, rambutnya dikuncir dua dengan pita merah jambu sehingga membuatnya makin terlihat imut dan menggemaskan.. dan apa itu yang dikulumnya?

Fuiihhh… bokongnya itu, begitu menantang dengan posisi menungging seperti itu, vaginanya terjepit diantara dua pahanya, hingga menggambarkan garis vertikal pada bagian tengahnya, serta bibir vaginanya tampak tembem karna jepitan pahanya.

Dan liang imut diatasnya itu, liang yang selama ini justru sering dimintanya untuk kugasak dengan batang penisku. Ya, liang anusnya, pada liang itulah justru putriku lebih menikmati hantaman kontolku, walau aku tetap masih sering menggenjot lubang vaginanya, bagiku orgasme didalam liang vaginanya lebih nyaman, ada kenikmatan tersendiri saat menaburkan benih-benihku kedalam rahim putri kandungku, entah sudah beberapa kali saja rahimnya itu menampung sepermaku.

“Selamat malam papa sayang… ayo pa.. Nanda udah kangen nih…” ucapnya, seraya kembali mengulum loli pop ditangannya.

“Iiihh… kamu ini makin gemisin aja sih sayang…” gemasku, seraya kurebut permen loli pop dari tangannya.

“Aaaeeeng… papa jangan diambil dong. Kembaliin…” rengeknya.

“Ssssstttt… tenang aja sayang.. permennya papa buat lebih enak lagi deh… pasti kamu suka…” jawabku, seraya kutancapkan permen itu kedalam liang anusnya yang menantang.

“Zzzzzz… aaaaggghhhhh… Papa ada-ada aja nih…” desahnya, saat permen itu kugerakan maju mundur dengan memegang tangkainya.

“Nih sayang… sekarang kamu ma’em lagi ya… aaeemmmm..” kusuapi kembali permen yang baru saja “bertamasya” didalam liang anusnya itu. Setelah beberapa saat dikulum, kembali kutarik keluar dari mulutnya.

“Gimana sayang… tambah enak kan?” tanyaku.

“Sedap pa.. nikmaaaatt… Lagi dong pa.. pliss..” mohonnya lagi, segera kembali kumasukan kedalam liang anusnya, lalu kukocok beberapa saat. Pluuppp… kembali kutarik keluar, namun kali ini kumasukan kedalam mulutku dan kukulum beberapa saat. Mmmm… ada sensasi tersendiri menikmati permen yang “dibumbui” oleh aroma anus anakku ini.

“Papaaaa… koq dimakan sih… itukan punya Nanda…” protesnya, dengan ekspresi wajah cemberutnya.

“Ih, kamu ini pelit banget sih.. Papa kan juga mau coba’in permen rasa anus kamu sayang…” jawabku, seraya kumasukan kembali kedalam liang anusnya. beberapa saat setelah kukocok kumasukan kembali kedalam mulut putriku yang tengah cemberut itu.

Setelah beberapa kali aksi seperti tadi kuulangi, nafsu birahiku yang sebelumnya memang tengah tinggi kini semakin bertambah tak terbendung, seraya kulucuti semua pakaian yang melekat ditubuhku hingga bugil.

“Duh.. anak papa ini bikin papa makin gemes aja… papa udah gak tahan nih sayang…” seraya kuarahkan batang penisku yang telah berdiri tegak didepan liang anusnya yang menganga.

“Iya pa… Nanda juga udah gak nahan nih… ayo pa, masukin aja dede’nya… keanus Nanda ya pa…” pintanya, seraya kembali mengulum permen loli pop yang kini kembali dipegangnya.

“Iya anak nakal… papa tau deh yang kamu suka..” ujarku, seraya kutancapkan penisku kedalam liang duburnya.

Plok.. plok.. plok… suara tepukan paha kami mulai berbunyi, yang menandakan tengah terjadinya penetrasi batang penisku didalam liang pelepasannya.

“Mmmmm… nyemmm… nyemmm… enak pa… terus pa.. genjot yang kenceng pa… yang dahsyat ya pa… mmmm…” gumamnya, dengan permen yang masih dalam kulumannya.

Ah, mengapa bagiku begitu seksinya putriku dengan ekspresi seperti itu, perpaduan antara kepolosan seorang bocah dengan kebinalan seorang wanita yang begitu gandrung akan hantaman batang kontolku pada anus dan vaginanya.

“uuuggghhhh… kamu memang menggemaskan ya sayang… selalu bikin papa makin tergila-gila aja… nih rasakan hantaman kontol papamu… huhghh… huhghh.. huhghh…” seraya kuhantamkan bokongku dengan sekuat tenaga hingga tubuhnya yang menungging berguncang-guncang hebat, begitupun dengan ranjang yang kami gunakan mulai menimbulkan bunyi berderit dari sambungan kayunya.

“Hiiaaaahhhhh… nih rasakan sayang… huuhhkk… huuhhkk.. huuhhkk..” ujarku, sambil terus mengayuh, dan peluhpun telah membanjiri sekujur tubuhku.

“Iya pa, ashhik.. paa.. teruuhhuss… uuhh.. uuhhhh.. henahak.. pa.. ah.. ah…” Gumamnya, dengan suara yang terputus-putus karna goyangan tubuhnya yang begitu hebat.

Hingga beberapa saat kemudian kurasakan sesuatu ingin merangsak keluar dari diriku, ya.. orgasme yang sepertinya memang telah diujung tanduk.

Segara kutarik keluar batang penisku pada lubang anusnya, tubuhnya yang masih dalam posisi menungging dengan kasar kudorong hingga telentang, seraya kumasukan batang penisku pada liang vaginanya yang memang telah becek oleh cairan birahi.

“Papa ingin keluarkan air mani papa didalam rahim kamu sayang.. didalam memek kamu duhai putri kandungku yang nakal…” gumamku, seraya kukayuh bokongku naik turun, sehingga menimbulkan suara berkecipak yang gaduh.

Permen loli pop yang masih dikulumnya segera kurebut dan kucampakan dibawah ranjang, sebagai gantinya adalah mulutku yang melumat dengan rakus bibir mungilnya.

Lidahku mulai bergerilya mencari-cari didalam rongga mulutnya, manisnya permen masih dapat kurasakan pada mulutnya, yang saat ini tengah kuhisapi lidahnya.

Hingga beberapa saat kemudian tubuhku mengejang, kayuhan bokongku semakin cepat dan bertenaga, dan diikuti dengan semburan cairan kental dari penisku yang menyirami rahimnya. Crootttt… croottt… crotttt… Lima hari aku tak berhubungan badan, baik dengan dia maupun istriku membuat air mani yang kutumpahkan didalam liang vaginanya cukup banyak.

“Peju papa yang keluar banyak ya pa… Emangnya papa mau bikin ade ya? hi.. hi.. hi…” ujarnya, yang membuatku kaget mendengarnya.

“Husss… ngomong apa kamu..” balasku, yang kini telah menghentikan kayuhan bokongku, dan hanya mendiamkan penisku yang masih bersarang didalam liang vaginanya.

*******

“PAPAAAAAA… Apa apaan ini…” terdengar teriakan dengan nada marah dari arah pintu kamar, dan betapa terkejutnya aku, ternyata sumber suara itu adalah dari istriku yang saat itu berdiri didepan pintu sambil menatap kami yang tengah dalam posisi saling bertindihan dan batang penisku masih tertanam dalam liang vagina putriku.

“Eh, mama… anu ma.. anu..” jawabku gugup, seraya kucabut batang penisku dari liang vaginanya. Celana piyama yang berserak diranjang segera kuraih, dan dengan tanpa lagi menggunakan celana dalam segera kukenakan.

“Begini sebenarnya ma… anu.. itu lho…” gugupku, hingga tak tau harus berbicara apa selain hanya bergumam tak jelas.

“CUKUUUPP…! Nanda, sekarang kamu keluar…” bentak istriku, seraya menghardik Nanda yang masih berbaring telanjang diatas ranjang.

“Tapi ma… Nanda kan masih kentang.. tanggung ma…” Ah, sungguh keterlaluan sekali anakku ini, dalam keadaan seperti ini masih bisa-bisanya dia memperhitungkan birahinya yang masih belum klimaks.

“Keluar mama bilang..!” bentak istriku lagi, yang segera diikuti oleh Nanda yang ngeloyor keluar sambil menenteng pakaiannya.

Sepeninggalan Nanda, aku hanya bisa duduk diranjang dengan wajah tertunduk, namun kali ini hatiku tak terlalu merasa gentar, dan memang tak perlu untuk merasa takut dengan istriku yang memergoki aku dan Nanda sedang berhubungan badan seperti tadi, toh aku juga telah memegang kartu dirinya, kartu As yang siap kubeberkan saat dia memprotes semua ini.

Sambil berdiri istriku menatapku, seraya menghempaskan bokongnya dikursi belajar anakku yang sebelumnya telah digeser untuk didekatkan kearahku.

“Pa, papa itu sadar enggak sih… Nanda itukan anak kita, anak kandung papa sendiri.. koq papa bisa-bisanya sih…” paparnya, yang langsung kupotong sebelum ucapannya selesai.

“Owwhh… jadi kalau kamu yang melakukannya dengan Doni gak apa-apa ya… begitu?” akhirnya kartu As itu keluar juga, yang diikuti dengan raut wajah kaget istriku.

“Ja.. jadi.. jadi papa sudah tau..?” ujarnya gugup, dengan wajah yang mulai pucat.

“Bagaimana aku tidak tau… aku bukan orang bodoh ma… Apa yang mama lakukan digudang tempo hari dengan Doni, dengan begitu nafsu mama melumat bibirnya sambil tangan mama merogoh kedalam celana pendeknya, dan Doni juga merogoh kedalam celana dalam mama kan? barangkali jari tangannya sedang mengobel memek mama…

iya kan? Lalu saat mbak Wiwik menikahkan anaknya, mama sama Doni berangkat dari rumah satu hari sebelumnya, dengan alasan mau bantu-bantu urusan persiapan pernikahan, sedangkan mbak Wiwik bilang mama baru hadir hanya beberapa saat sebelum acara resepsi selesai… lalu yang sehari semalamnya kemana aja mama sama Doni?

Dan bukan hanya itu, masih banyak tingkah laku kalian berdua yang membuat papa curiga… namun papa sengaja hanya berdiam.. Ya, diamnya papa semata-mata karna memang papa punya hubungan khusus dengan Nanda, sehingga papa tak akan munafik dengan mengusik hubungan kalian, walau sebenarnya hati kecil papa merasa terusik juga dengan hal itu..

“Jadi papa menganggap mama munafik?” tanyanya, dengan masih menunduk, namun aku hanya terdiam tak menjawab pertanyaannya.

“Ta.. tapi Nanda kan perempuan pa… kalau dia sampai hamil bagaimana?” tanyanya lagi

“Ooowwhh.. Jadi karna Doni laki-laki, menurut mama enggak apa apa gitu?” ujarku, dia tak menjawab perkataanku itu, kecuali menatapku sesaat lalu kembali tertunduk, begitupun dengan diriku yang juga hanya bisa menunduk dan tak tau harus berbuat apa untuk dapat menemukan solusi yang tepat dalam menengahi ini semua.

Akal sehatku tentu berharap kalau hubungan kekeluargaan kami tidak terjadi konflik apalagi perpecahan akibat semua ini. Untuk beberapa saat kami masih saling terdiam, dan aku mulai menyesali atas hubungan terlarangku dengan Nanda.

Ah, mengapa aku sampai sebodoh itu hingga bisa menjalin hubungan sebagaimana layaknya suami istri dengan anak kandungku sendiri. Dan istriku? Kenapa juga dia melakukan hal yang sama.

Akhirnya kami saling bertatapan, namun masih saling terdiam, hingga kembali menunduk, hanya beberapa saat kami kembali bertatapan, kali ini cukup lama, hingga kulihat bibirnya yang sebelumnya hanya terdiam kkni mulai membentuk senyuman, yang juga aku balas dengan senyum, dan bibir itupun mulai tertawa, hingga akupun juga ikut tertawa, kami saling tertawa, tepatnya mentertawakan diri kami sendiri yang telah berbuat bodoh dengan melakukan hubungan incest yang sebenarnya hanya patut dilakukan oleh orang-orang barbar yang tak memiliki norma-norma dalam kehidupannya.

Akhirnya tawa kami terhenti, perasaan pasrah dan menerima sepertinya telah berteduh pada diri kami, sehingga kami mulai dapat berpikir dengan kepala dingin dan tak perlu lagi untuk saling menyalahkan.

Yang terpenting sekarang bagaimana caranya agar hubungan keluarga kami tetap harmonis dan tetap terhormat dimata masyarakat.

“Terus, kalau sudah begini, gimana selanjutnya pa?” tanya istriku, setelah puas tertawa.

“Yah, kita jalani saja semuanya ma… kita ikuti alur permainan yang telah kita mulai ini..”

“Maksudnya?” tanya istriku, kali ini dia duduk diranjang tepat disampingku.

“Ya, kita anggap saja semua ini sebagai hal yang wajar, mama tetap bisa main sama Doni, dan papapun tetap bisa main dengan Nanda, dan kita tidak perlu lagi main kucingan-kucingan seperti selama ini.. namun semua ini hanya menjadi rahasia kita sekeluarga.. dan mama juga harus yakin bahwa yang kita lakukan ini bukanlah suatu aib, dan jangan sekali-kali kita merasa bahwa yang kita lakukan ini adalah suatu tindakan asusila, dan itu akan kita tanamkan pada diri anak-anak kita, sehingga mereka tak perlu rendah diri..

“Ya, enggak dong pa… malahan si Doni sendiri tuh, yang kayaknya udah ngebet banget sama mama…” sanggah istriku.

“Tapi kamu juga suka kan?” tanyaku, dengan nada menggoda.

“Ah, papa.. ya iya lah… Eh, si Doni itu begini lho pa…” ujarnya, diikuti dengan mengacungkan ibu jarinya.

“Ih, dasar kamu… suka ya, dapet brondong…” godaku, seraya mencubit hidungnya, yang diikuti dengan tangannya yang mulai merangkul pinggulku.

“Ah, sama… papa juga tuh dapet ABG… pasti kontol papa nih yang merawanin Nanda.. iyakan?” ujarnya, diikuti dengan meremas batang penisku yang terbungkus didalam celana setelan piyamaku.

“Eh, pa.. mmm.. nanti kalau keluarga kita telah terbuka seperti penjelasan papa tadi, lalu Doni sama Nanda juga saling entot-entotan gimana pa?” tanya istriku.

“Ya biarin aja lah, kalau mereka suka sama suka… apa salahnya sih? Emang kenapa.. kamu keberatan?” terangku.

“Enggak… aku cuma tanya aja koq…” jawabnya.

“Tapi kalau Nanda sampai hamil bagaimana pa?” tanyanya lagi

“Mmmm… begini aja ma, kalau nanti dia hamil, untuk sementara kita suruh dia berada dirumah saja, soal ketinggalan pelajaran itu bukanlah masalah, papa bisa atur agar Nanda tetap naik kelas, toh dia juga anak yang cerdas, aku bisa mendapatkan materi-materi pelajaran untuk Nanda agar dia tetap bisa belajar dirumah, nanti kalau ada famili kita yang tau, bilang saja kalau Nanda dihamili oleh teman laki-lakinya yang tak mau bertanggung jawab, dan setelah ia melahirkan, semuanya beres, dia bisa kembali lagi kesekolah dengan alasan bahwa selama ini dia tinggal dirumah neneknya di Jogja karena suatu hal..?

“Terus gimana dengan anaknya?” tanya istriku.

“Ya, kita rawat lah… kita besarkan dia dengan penuh cinta dan kasih sayang…” jawabku

“Sepertinya papa begitu yakin deh kalau Nanda bakalan hamil, sampai-sampai papa telah memiliki rencana seperti tadi, emangnya selama ini peju papa selalu dikeluarkan didalam ya pa?”

“Iya ma… cukup sering, abis kayaknya ada sensasi sendiri gitu lho ma… saat numpahin peju papa didalam rahimnya itu… ah, kayaknya gimana gitu…”

“Ah, dasar papa…” ujarnya, seraya mencubit perutku.

“Oh iya, kalau mama gimana? Apa Doni juga keluarin didalem…?”

“Ya, begitulah.. pa..” jawabnya

“Begitulah, bagaimana?” tanyaku untuk meyakinkan.

“Ya, si Doni itu lho pa… sering ngeluarin pejunya didalem memek mama… mana pejunya banyak banget lagi…” terangnya, Ah, entah mengapa gairah seksku kembali bangkit mendengar ceritanya itu.

“Alaaaahh… paling mama juga yang suka kaliiii… ngaku deh…” desakku

“Hi… hi.. hi… tau aja nih papa, iya juga sih pa… kayaknya alasannya sama deh sama yang papa katakan tadi, sepertinya ada sensasi sendiri kalau anak kandung kita menaburkan benihnya kedalam rahim dimana dulunya dia berasal.. Sesuatu banget gitu lho pa…” terangnya, sepertinya perasaan kaku dan canggung diantara kami telah benar-benar sirna, berganti dengan perasaan bebas dan lepas dalam mengungkapkan perasaan hati kami, yah..

“Ih, dasar mama… mau bikin anak ya?”

“Sebetulnya enggak juga sih pa… sejujurnya sih mama malah begitu kawatir kalau sampai hamil, tapi entah mengapa ya pa, saat si Doni klimaks itu lho… eh, mama malah suka ngoceh begini… ayo sayang hamilin mama… buntingin mama sayang… buntingin ibu kandungmu ini… aduh gila deh pa… mama jadi malu sendiri kalo inget…

“Gak apa apa deh ma… mama gak perlu kecil hati dan merasa bersalah, itu adalah fantasi mama yang memang ingin sekali dibuntingin oleh anak kandung mama… iyakan? ayo ngaku…”

“Iya juga sih pa… sensasinya itu lho pa… gimana ya? Sulit dilukiskan… Ah, betapa indahnya dihamilin anakku sendiri…” Ah, benar-benar edan juga rupanya fantasi istriku ini.

“Kalau mama memang suka, papa sih setuju-setuju saja mama dapat anak dari Doni, konsekuensinya malah lebih mudah dan gak seribet kalau Nanda yang hamil, kalau mama betul-betul telah hamil, kita bilang saja kalau aku adalah ayahnya, bereskan…” paparku.

“Betul pa? Serius nih?” tanya istriku, sambil menggenggam pegelangan tanganku, seolah ingin mendapat kepastian yang kebih meyakinkan. “Ya betul dong ma… apa papa keliahatan seperti main-main…”

“Aiiihhh… papa memang baik banget deh, mama semakin sayang aja sama papa…” ujarnya, diikuti dengan mengecup pipi kiriku.

“Makin sayang sama papa atau sama Doni?” godaku.

“Ya beda dong pa… kalau sama Doni kan sayangnya seorang ibu kepada anak…” jawab istriku.

“Sayang seorang ibu pada anak koq pake acara entot-entotan..” godaku lagi

“Ih, papa rese deh… mama cubit nih, iihh…”

“Auuuwww… sakit ma aduh… ampun deh…” walau aku telah memohon, namun istriku tetap menyubiti perutku, hingga kubalas dengan menggelitiki ketiaknya yang memang hanya mengenakan daster tanpa lengan, sehingga kami saling tertawa cekikikan untuk beberapa saat.

“Oh iya pa… kemana tadi si Nanda, kasian tuh kayaknya tadi dia benar-benar tanggung deh pa.. Mmmm.. apa papa mau entotin Nanda lagi sampai dia klimaks…?” tawarnya

“Iya juga sih ma… Tapi mama keluar dulu dong…” pintaku

“Aduh, gak usah deh pa… mama juga mau liat aksi anak kita itu, apa dia bisa menandingi kehebatan mamanya dalam soal ngeseks…”

“Wah, mama belum tau Nanda sih…”

“Apa maksud papa… mama jadi tambah penasaran nih, apa sih hebatnya si Nanda… mama panggil ya pa…?”

“Ya, terserah kamu…”

“Nandaaaaaa… kesini sayang… mama udah enggak marah lagi koq…” teriak istriku, sebuah teriakan yang mengawali babak baru dari kehidupan seks keluarga kami yang lebih bebas dan demokratis.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu