2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Senin pagi..

“Nandaaa… Ayo cepat, kamu mau sekalian bareng gak? Pak Kasman sudah nunggu tuh..” teriakku dari ruang utama, kepada Nanda yang kuduga masih berada dikamarnya.

“Iya paaa… I am comiiiiiing..” terdengar suara balasan dari kamarnya.

“Kamu juga, mau bareng sekalian enggak?” tawarku kepada Doni yang masih dengan santainya duduk didepan televisi.

“Enggak deh pa… Doni mau naik sepeda aja..” jawabnya. Sambil pandangannya tetap terpusat pada pesawat tv.

“Udah jam segini masih nonton TV, dan mau berangkat naik sepeda lagi. Apa gak takut terlambat..?”

“Enggak lah, kan Doni lewat jalan tikus. Jauh lebih cepat dari pada naik mobil..” jawabnya santai. Yang dimaksud jalan tikus olehnya adalah memotong jalan melintasi gang-gang sempit dipermukiman padat penduduk itu. Kuakui itu memang jauh lebih cepat menuju kesekolahnya, ketimbang ditempuh dengan mobil yang harus berputar hingga tiga kali lebih jauh.

Akhirnya aku hempaskan tubuhku diatas kursi. Sambil menunggu putriku selesai berkemas, duduk dikursi malas seperti ini adalah pilihan yang tepat, walau tidak bisa dikatakan pilihan yang bijak. Karna biasanya dikursi malas ini aku sering tertidur. Sehingga kukatakan tidak bijak, karena disaat kita telah siap untuk memulai aktifitas dihari senin seperti ini, justru harus diawali dengan bermalas-malasan.

*********

“Oke pa, Nanda dah siap…” ujar Nanda. Yang baru saja turun dari kamarnya.

“Ya udah kalo gitu… Ayo kita langsung berangkat” ajakku kepada Nanda.

“Berangkat dulu ya ma…” pamitku kepada istriku yang saat itu juga tengah duduk menyaksikan tayangan tv.

“Iya, hati-hati ya… muaahh..” ujarnya. Diikuti dengan mengecup pipiku.

“Da mama…” pamit Nanda setelah mencium pipi mamanya.

“Heh… Ayo berangkat.. Malah nonton tv. Hari senen nih, upacara…” tegur Nanda kepada Doni.

“Ah, rese’.. Aku berangkat sendiri naik sepeda…” sewot Doni.

*********

Seperti biasa, jalan raya ibu kota pada senin pagi seperti ini jauh lebih ramai ketimbang hari biasanya. Faktor utama yang menjadi penyebab adalah arus balik warga dari luar Jakarta. Biasanya pada jum’at sore mereka pulang kekampung halamannya. Dan pada senin pagi seperti sekarang ini mereka kembali ketempat kost mereka di Jakarta, untuk memulai lagi rutinitasnya.

“Kayaknya kalau lewat jalan biasa bakalan macet lama nih pak… Gimana kalo liwat komplek aja.. Agak jauh sih, tapi kan gak macet..” usul Pak Kasman, supir kami. Pria berusia sekitar 50an bertubuh tinggi kurus dengan kulit gelap.

“Terserah kamu sajalah..” jawabku, yang duduk dikursi belakang sopir bersama Nanda.

Akhirnya mobil berbelok arah. Masuk menyusuri jalan komplek perumahan elit yang asri dan bersih, sekaligus juga sepi.

“Biar agak jauh sedikit, tapi kan jalannya lancar pak.. Ketimbang lewat jalan raya yang macetnya aja enggak ketauan sampe’ kapan..” ocehnya, yang aku tanggapi hanya dengan diam.

Tiba-tiba mobil berhenti dipinggir sebuah rumah kosong yang kelihatannya tak terurus.

“Maaf pak… saya mau buang aer kecil dulu sebentar. Kebelet banget dari tadi…” pintanya kepadaku. Yang tentunya aku setujui walau dengan sedikit kecewa. Ah, dasar. Mengapa pula dia tidak buang air kecil sejak dirumahku tadi. Bukankah disana dia tadi punya cukup banyak waktu ketimbang tadi hanya mengusap-usap batu akik di jari manisnya itu.

Tubuh kurusnya turun dari mobil. Dan dengan berlari kecil, menghilang di balik tembok pagar yang memang tak terkunci itu.

Hanya beberapa detik setelah raibnya tubuh Pak Kasman di balik pagar tembok bangunan kosong yang tak terurus itu. Tiba-tiba pintu di sampingku terbuka, yang dibarengi dengan munculnya seseorang yang dengan secepat kilat langsung membekap mulutku dengan sapu tangan. Masih sempat aku melihat hal yang sama juga dialami oleh putriku.

“Mmmfffffff… mmmfffffff…” hanya teriakan tertahan yang dapat keluar dari mulutku yang tersumbat oleh bekapan yang cukup kuat itu. Kucium aroma aneh pada sapu tangannya. Hingga dalam beberapa detik kemudian kurasakan duniaku gelap. Tak ingat apapun yang terjadi selanjutnya.

*********

Berada dimanakah aku ini sekarang? Sepertinya didalam sebuah ruangan. Tepatnya di dalam ruangan rumah. Tampaknya ini sebuah rumah yang tak berpenghuni. Karena tak ada satupun perabotan yang mengisi. Kecuali hanya hamparan lantai marmer klasik yang mulai tampak kusam dan berdebu.

Ah, sial. Tanganku ternyata diikat seutas tambang dengan posisi duduk bersandar pada tiang pilar. Pada tiang itulah tanganku diikat kebelakang, sehingga diriku tak dapat bergerak kemanapun.

Tapi dimana Nanda? Bukankah sepertinya dia juga mengalami hal yang sama denganku. Dibekap dengan menggunakan sapu tangan yang sepertinya telah dibubuhi obat bius.

Sial.. Siapa sebenarnya yang telah melakukan hal ini kepadaku. Apa maunya dia. Ingin merampok kah? Atau ingin menculikku dengan harapan tebusan uang.

“Toloooooooong… tolooooooong…” teriakku. Sekeras yang aku bisa. Dengan harapan ada orang lain yang mendengarnya.

Hanya beberapa saat setelah teriakanku berkumandang di seantero ruangan itu. Terdengar dari arah belakangku suara langkah sepatu.

“He… he… he… Udah sadar rupanya… Silahkan teriak yang lebih keras lagi Pak Trisno.. Percuma deh, gak bakalan ada yang denger. Tempat ini dulunya adalah studio musik yang dinding-dindingnya sudah dilapisi bahan peredam suara. Suara drum yang gedebak-gedebuk aja gak kedengeran dari luar. Apalagi cuma teriakan ente..

Astaga.. Bukankah itu Si Rusli. Pria berusia sekitar 35 tahun berbadan tegap dengan rambut cepak, bak seorang tentara. Dialah Satpam di kantor tempatku bekerja. Apa maunya dia?

Belum lagi rasa terkejudku hilang. Dari arah belakang muncul lagi sesosok yang lain. Sosok tinggi kurus berkulit gelap. Dialah Pak Kasman, supir pribadiku. Ada persekongkolan apakah ini sebenarnya, sehingga mereka nekat melakukan ini padaku dan Nanda.

Nanda? Kemana anak itu? Mengapa tak kulihat dia disini… Apa yang terjadi dengannya?

“Heii… Rusli, dan kamu Pak Kasman… Kemana anakku Nanda? Apa yang sudah kalian lakukan padanya? Sampai kulihat kalian mencelakainya. Tau sendiri akibatnya. Dasar kau supir tak tau diuntung. Kurang baik apa aku terhadapmu, sehingga sampai hati kau lakukan ini..” ancamku, dengan penuh emosi. Betapa tidak, hampir sepuluh tahun pria setengah baya itu menjadi sopir di keluarga kami.

Suami dari pembantu rumah tanggaku dulu. Dari pembantuku itulah aku tahu kalau dia adalah seorang supir angkot “tembak” yang tak pasti penghasilannya. Saat si pembantu itu mulai sakit-sakitan dan tak mampu lagi untuk bekerja berat, dia memohon padaku agar suaminya itu dapat dipekerjakan sebagai sopir pribadi di rumahku.

“Tolong saya pak… Anak saya empat, masih pada sekolah semuanya.. Saya udah kagak kuat lagi kerja berat. Kalo bisa saya mohooon banget, laki saya bisa kerja disini. Dia cuma sopir angkot tembak, sopir pengganti yang kagak tetep. Cuma gantiin sopir batangan yang lagi istirahat. Yang penghasilannya kagak menentu, kadang mabelas rebu, kadang dua pulu.

“Ah, bapak suka begitu deh… Bapak emang udah cukup baek sama saya… Bapak juga sering ngasih saya uang rokok, ngasih saya bonus, uang berobat kalo saya sakit… Tapi kan saya pengen juga pak, ngerasain anak bapak yang imut dan nafsuin itu. he.. he… he… Abis dia kalo lagi naek mobil duduknya sering ngongkong sih…

Pahanya mulus banget… Saya kan jadi ngeceng pak… he… he… he… Dan kebetulan bener deh, ini si satpam sarap punya tempat yang aman untuk berasoy-asoyan… Rupanya kalo malem dia nyambi juga jadi satpam disini, jagain rumah kosong. Dan singkat cerita, kita menyusun rencana seperti ini deh.. Jangan marah ya pak…

“Kurang ajar kamu. Benar-benar orang tak tau diri. Dimana anakku..? Dimana? Awas, berani kau sakiti dia, kau akan menyesal..” gusarku. Kini mereka telah berdiri di hadapanku.

“Yah, elah pak… kagak bakalan saya sakitin deh. Paling secelup dua celup doang. Iya gak rus?” ujar pak Kasman dengan santainya.

“Iya pak. Kita cuma mau ngajak anak bapak bersenang-senang aja koq. he.. he… he…” sahut Rusli. Yang saat itu mengenakan seragam Securitynya lengkap dengan borgol dan pentungan karet Tonfa dipinggangnya.

“Kos… Engkoooosss… Gimana, si Nanda udah sadar belom? Kalo udah bawa kamari..” teriak Pak Kasman. Sepertinya diarahkan kebelakangku. Engkos? Apakah yang dia maksud adalah tukang kebunku itu.

Selang beberapa saat setelah itu, dari arah belakang muncul dua sosok yang tak asing lagi bagiku. Yaitu Nanda yang kedua tangannya juga diikat kebelakang. Sedang lengannya dipegangi oleh Engkos. Pria berperawakan kecil kurus sekitar 25 tahunan, yang hampir tiga tahun belakangan ini bekerja dirumahku.

“Nanda.! Kamu enggak apa-apa sayang…?” tegurku. Yang tentunya dengan nada yang penuh kekawatiran melihat bagaimana kedua tangannya itu diikat dengan posisi kebelakang.

“Papaaaa… tolong Nanda paa… Nanda takuuutt…” mohon putriku sambil menangis.

“Komohon lepaskan dia… Apapun yang kalian mau akan aku berikan. Uang, mobil, atau apa saja. Tapi tolong lepaskan dia…” pintaku dengan penuh permohonan.

“Aduuuhh.. Kan udah saya bilangin tadi. Saya cuman mau bersenang-senang sama anak bapak.. Kagak pake’ lama koq pak… he… he… he… Bapak kagak usah repot-repot keluarin duit. Bapak cukup nonton aja disitu. he.. he.. he…” ujar Pak Kasman. Diakhiri dengan tawanya yang mengekeh memperlihatkan gigi-gigi kuningnya yang beberapa bagian tampak berkarat oleh nikotin.

“Iya pak… Bapak duduk manis aja disitu sambil nonton. Gratis gak usah bayar he.. he… he…” kali ini satpam tengik itu yang membuka suara.

“Bagaimana, ini awawe teh mau ditaroh disini?” tanya Engkos kepada Pak Kasman, dengan logat sundanya yang masih kental.

“Iya udah, lepasin aja disitu… Lagian dia kagak bakalan bisa lari kemana-mana… Rumah ini udah dikunci semuanya..” yang dijawab oleh Rusli.

Akhirnya pegangan tangan Engkos dari lengan Nanda dilepaskan. Dan langsung putriku itu berlari menghambur kearahku.

Hanya beberapa saat putriku itu menangis dengan menyandarkan kepalanya dipundakku. Sebelum akhirnya Pak Kasman mencegkram dari belakang kedua lengan putriku.

“Ayo anak manis, kita main kuda-kudaan dulu sama bapak-bapak disini ya… he… he.. he…” ujarnya. Sambil menarik tubuh putriku hingga sekitar tiga meter didepanku.

Dengan paksa tangan kurusnya yang hitam namun berotot itu merobek baju sekolah Nanda. Hingga baju seragam putihnya itu koyak tak karuan dan hanya menyisakan lengan kiri dan kanannya saja, sehingga bra putihnya terekspose bebas.

“Aaaawwwww… papa toloooong…” pekik anakku. Namun apa yang dapat kulakukan dengan keadaanku terikat tak berdaya seperti ini. Kecuali hanya menahan amarah yang semakin membuncah.

Kini giliran Rusli yang menarik lepas rok abu-abu putriku hingga dirinya kini nyaris setengah bugil.

“Huhuuuuiiyyyyy… mulusnyaaa… “sorak Rusli. Sambil tangannya mengusap-usap paha putriku. Sementara dari arah belakang, Pak Kasman memegangi pundaknya hingga gadis itu tak dapat berbuat banyak kecuali hanya kakinya saja yang menjejak-jejak. Namun itupun tak berlangsung lama, karena kedua tangan Rusli segera mencengkram kedua pegelangan kakinya.

“Hooiii… Engkos. Jangan bengong aja lu..! Copotin tuh, celana dalem sama behanye” bentak Pak Kasman pada Engkos yang sedari tadi hanya terperangah melihat tubuh setengah bugil putriku.

Mendengar perintah Pak Kasman, dengan bergegas Engkos segera meraih tali bra Nanda. Dan dengan sekali tarik bra model lingrie dengan bahannya yang tipis itu lepas dari dadanya. Sehingga memperlihatkan dua buah gunung kembar yang masih belum seberapa besar dengan putingnya yang merah jambu itu.

“Bujuk buneng..! Bening bener tuh tetek. Makin nafsu aja dah gua..” kagum Rusli. Sambil menelan ludahnya dengan tatapan nanar.

Kini Engkos berjongkok disamping Nanda. Seraya tangannya mulai menjamah celana dalam putih yang pada kedua sisi pinggulnya itu terdapat tali pengikat. Sehingga hanya sekali betot kedua tali pengikatnya itu. Lepaslah penutup selangkangan putriku itu. Sehingga memperlihatkan vaginanya yang hanya ditumbuhi bulu-bulu halus.

Rusli yang tepat berada didepannya bagai kesetanan. Matanya menatap nanar pada selangkangan putriku. Jakunnya naik turun seirama dengan air ludahnya yang beberapa kali ditelan. Dan seperti menerkam, wajahnya itu merangsak maju hingga menyentuh vagina Nanda.

Layaknya serigala yang kelaparan mendapatkan seonggok daging. Kedua tangannya langsung membentangkan kedua paha putriku hingga terkangkang lebar. Lalu mulutnya melumat rakus belahan vagina yang telah menganga itu.

“Nyemmm… Cllaapp… Claapp.. Zrrooottt.. Zzyrryyuuuffff.. Zzrrryyuuuufff…” pipinya tampak mengempot saat dirinya berusaha menyedot-nyedot pada liang vaginanya.

Putriku yang sebelumnya berontak, kini mulai terdiam. Gerakan perlawanan yang tadinya masih berusaha dilancarkan seolah sirna. Sebagai gantinya adalah suara rintih tertahan. Yang sesekali dibarengi oleh gigitan pada bibir bawahnya. Entah apakah itu efek yang timbul akibat rasa sakit atau rasa nikmat yang dirasakannya, aku tak tahu pasti.

Tapi sepertinya aku tidak melihatnya itu sebagai reaksi yang terjadi dari sebuah rasa sakit. Ya, desahan itu adalah desah kenikmatan. Aku sudah hafal betul dengan reaksi itu. Reaksi yang sama saat aku menyetubuhinya. Tapi bagaimana mungkin dia bisa menikmati perlakuan menjijikan dari orang-orang dengan penampilan yang tidak bisa dikatakan menarik seperti mereka.

Sejujurnya aku lebih suka melihat putriku menikmati perlakuan ketiga cecenguk itu, ketimbang aku harus menyaksikannya menangis merintih-rintih, mengiba padaku untuk menolongnya. Sedang aku hanya bisa menonton tanpa bisa melakukan apapun.

Dugaanku sepertinya semakin diperkuat saat Pak Kasman meremasi buah dada yang ranum itu. Pipi putriku justru menempel manja pada tangan kurus yang mulai keriput itu.

“Suka diginiin neng?” tanya Pak Kasman pada Nanda.

“He-eh..” hanya itu jawaban yang diberikan putriku. Dengan mata yang separuh terpejam.

“Eh, Pak Trisno… Saya bilang tadi juga apa. Saya cuma mau ajak anak bapak bersenang-senang… Nyatanya dia suka kan? Pak Trisno udah denger sendiri kan tadi..” oceh Pak Kasman. Yang hanya aku jawab dengan tatapan sinis kearahnya.

Yakin bahwa putriku telah mulai jinak, Pak Tasman melepas ikatan tambang pada tangan Nanda. Tangan yang baru saja terbebas itu langsung meremasi kepala Rusli yang mengoral liang vaginanya.

“Mmmm… Memeknya enak neng… Wangiiiii… Kagak kayak lunya bini gua, bau terasi..” oceh Rusli. Yang sejenak menghentikan aksi oralnya. Namun itu tak lama, karna putriku segera menarik kepalanya itu kearah selangkangannya dengan maksud agar Rusli segera melanjudkan aksinya lagi.

Ah, anak ini memang selalu sukar ditebak. Beberapa menit lalu dia masih begitu histeris dan ketakutan akan apa yang terjadi pada dirinya. Kini justru tampak begitu binal, dan sepertinya malah menuntut untuk dipuaskan.

Sambil tangannya meremasi rambut Rusli, kedua kakinya juga menjepit leher satpam itu dengan kuat. Sehingga semakin terbenamlah wajah Rusli ke dalam selangkangan Nanda.

Sementara Pak Kasman yang berada dibelakangnya masih sibuk meremasi dua gunung kembar didadanya. Bukan sekedar meremas. Bahkan kini mulai menciumi sekujur leher Nanda. Lidahnya menjilati mulai dari tengkuk terus merayap keatas dan bermuara pada bibir mungil yang ranum itu.

Sebuah pemandangan yang kontras saat bagaimana bibir putriku yang tipis dengan warnanya pink alami saling berpagutan dengan bibir tebal yang menghitam karena terlalu sering menghisap rokok keretek.

Dan.. Ah, bibir yang berbeda kelas itu saling mengulum lidah lawannya. Sungguh sulit dipercaya bagaimana putriku dengan rakusnya mengulum lidah Pak Kasman. Begitupun dengan yang dilakukan Pak Kasman. Bibir tebalnya itu sampai termonyong-monyong mengulumi lidah Nanda.

Ah, sungguh seperti percumbuan antara Dewi Sumbadra dengan Burisrawa dalam kisah pewayangan. Putri Purbasari dengan Lutung Kasarung dalam cerita rakyat. Atau Meggy Wulandari dengan Kiwil dalam infotemen selebritis lokal. Sangat tidak serasi, bagai beauty and the beast.

Engkos yang semula hanya duduk sambil menatap terperangah, kini tanpa malu-malu mulai membuka reseleting celana pendeknya. Dan selanjutnya beronani dengan cara mengocok-ngocok batang penisnya sendiri.

Sambil masih saling berpagutan mulut dengan Pak Kasman, Nanda masih sempat melirik aksi Engkos, seraya melepaskan pagutannya itu.

“Mang Engkos… Sini Nanda isepin kontolnya…” tawar Nanda pada Engkos.

“He.. he.. he… Asiiiikkkk.. Tentu saja mamang mau dong, neng Nanda…” Girang Engkos. Yang langsung berdiri sambil menyodorkan penisnya kearah wajah Nanda.

“Buka aja celananya sekalian, biar gak ribet…” saran Nanda. Yang langsung diikuti oleh Engkos, yang segera melepas celana pendek cargo yang telah kusam dan warnanya hampir memudar.

“Addddaaaaaahhhhh… enak euy… Kontol aing diisepin sama neng Nanda…” oceh Engkos, saat batang penisnya mulai dikulum oleh mulut Nanda.

Pak Kasman yang sebelumnya berada dibelakang Nanda, kini berdiri. Seraya melangkah kearahku.

“Wah, tadinya saya mengira Pak Trisno bakalan disuguhi tontonan pemerkosaan yang brutal. Ternyata saya meleset. Anak bapak sepertinya cukup koorporatif, sehingga kami enggak perlu main kasar he.. he.. he..” ujar Pak Kasman. Tepat ditelingaku.

“Bajingan kau Kasman..” umpatku. Namun dia justru berdiri seraya melepaskan celana panjang sekaligus sempaknya.

Astaga, benar-benar terperanjat aku saat melihat benda yang mengacung tegak diselangkangannya itu. Ternyata pria bertubuh tinggi kurus ini memiliki batang penis yang luar biasa panjang dan besar. Kuduga panjangnya itu mencapai 25 senti meter. Dengan diameter yang juga besar, berwarna hitam legam dengan urat-uratnya yang bertonjolan disana-sini.

Ah, kubayangkan batang jakar itu bakalan menghujam vagina putriku. Entah dia akan merasa nikmat atau justru menderita. Tentu sebagai orang tuanya aku lebih mengharapkan opsi yang pertama. Walau bagiku itu tetaplah bukan opsi yang terbaik, tapi paling tidak aku tidak ingin menyaksikan putriku menderita dihadapanku.

“Heh, Pak Trisno… Ini meriam si Jagur bakalan bikin anak Bapak bahagia lahir batin. He… he… he…” ocehnya, sambil mengelus-elus batang penisnya sendiri. Seolah itu adalah barang yang begitu dibanggakan olehnya.

Sejurus kemudian dia kembali melangkah kearah Nanda. Melihat barang yang dimiliki Pak Kasman jauh lebih besar ketimbang kepunyaan Engkos. Perhatiannya gadis itu kini tertuju pada penis Pak Kasman. Seraya dilepasnya begitu saja batang penis Engkos yang semenjak tadi dikulum.

“Waaahh… kontol Pak Kasman gede bingiiiitt… Sini dong pak, sini cepetan..” pintanya, seolah begitu tak sabar, sambil tangan kanannya menggapai-gapai kearah Pak Kasman.

Melihat reaksi gadis itu, seolah lelaki setengah baya itu sengaja membuatnya penasaran dengan hanya berdiri sekitar dua meter dari Nanda. Bahkan tubuh kurusnya itu bergaya dengan berbagai fose, bak seorang binaragawan yang tengah memamerkan otot-ototnya diajang pertandingan.

“He… he.. he… Sabar dong manis… Nanti kan kamu juga bakalan menikmati dahsyatnya “pukulan bedug” ini.. he.. he.. he..” sesumbar Pak Kasman. Sambil kedua tangannya ditekuk kebelakang, memamerkan penisnya kearah Nanda.

Semakin besar kepala saja pria jangkung ini saat dengan tak sabarnya Nanda justru langsung “menerkam” maju kearah selangkangan Pak Kasman.

Rusli yang sedari tadi sedang asik mengoral vagina Nanda, juga harus rela menghentikan aksinya itu. Dan bersama dengan Engkos hanya duduk terpaku menyaksikan bagaimana putriku berulah bagai seorang anak kecil mendapatkan mainan barunya.

“Mmmmmuuaahhhh… iihh… gede bangeeett.. Bikin gemes… mmmmuuuaaahhhhh..” gemasnya, sambil sesekali mencium dan memukul-mukulkannya pada wajah sendiri.

Sampai akhirnya batang penis itu mulai dikulumnya. Tentu saja benda yang ukurannya bahkan lebih besar dari pegelangan tangannya itu hanya separuh bagiannya saja yang sanggup masuk kedalam mulut mungilnya. Seraya kepalanya bergerak maju mundur dengan berirama.

“slooppp… slloopp… srryyyuuupppp…” sambil terus mengulum, tangan kirinya meremasi kantung telur, sedang tangan kanannya berpegangan pada bokong tepos yang warnanya menyerupai pantat dandang itu.

Sepertinya dia bermaksud mencoba menelan hingga tandas batang jakar itu. Kepalanya dipaksakan untuk maju, dengan kedua tangan menarik kedepan bokong Pak Kasman. Namun tetap saja usahanya itu sia-sia, sepertiga bagian kearah pangkal masih tetap tertinggal diluar.

“Mau dicaplok semua neng? Nih Bapak bantu..” ucap Pak Kasman. Yang diikuti dengan kedua tangannya yang menarik kepala Nanda, sedang pinggulnya ditekannya kedepan.

“Heeggghhhhhh… Kkkkgghhhh…” sebuah usaha yang dipaksakan dari Pak Kasman, berhasil membenamkan seluruh batang jakarnya kedalam mulut Nanda. Untuk beberapa saat Pak Kasman menahan momen itu. Momen dimana batang jakarnya yang luar biasa panjang itu menghilang didalam mulut putriku. Dan hanya menyisakan buah pelirnya saja diluar.

“Anak Pak Trisno memang luar biasa… Lonte-lonte pinggir jalan yang pernah saya pake’ aja gak ada yang sanggup nyepong kontol saya sampai tandas begini… he.. he.. he..” oceh Pak Kasman. Sambil menahan batang penisnya yang masih terbenam itu.

Sial, jangan-jangan batang penisnya itu juga telah terbiasa berpetualang dengan pelacur-pelacur murahan kelas pinggir jalan, yang tentu saja kebersihannya tak terjamin. Benar-benar kurang ajar si jahanam itu. Bagaimana kalau putriku ikut tertular penyakit kotor yang bisa saja telah diidab oleh pria itu.

Beberapa saat kemudian Pak Kasman mulai memompakan bokongnya maju mundur. Sehingga batang penisnya itu berpenetrasi didalam mulut putriku. Lama-kelamaan goyangannya itu semakin cepat dan bertenaga, yang membuat putriku sampai tersedak-sedak dibuatnya. Air ludahnya yang kental tampak mulai membanjiri pipi dan dagunya.

Rusli yang sebelumnya hanya duduk sambil menonton, kini mulai berdiri, seraya melucuti seragam satpamnya hingga dirinya kini bugil.

“Gantian dong pak..” pinta Rusli, sambil menyodorkan batang penisnya pada Nanda. Walau batang penis Rusli tidaklah sepanjang milik Pak Kasman, namun diameternya sedikit lebih unggul ketimbang milik Pak Kasman, sehingga wujudnya seperti botol mineral ukuran setengah liter.

“Kontol apa jagung bakar tuh?” gurau Pak Kasman.

“Botol Aqua…” jawab Rusli, sambil menikmati batang penisnya yang mulai dioral oleh putriku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu