2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Sekitar sembilan bulan sudah kami menjalani gaya hidup yang terbilang tak lazim bagi kebanyakan orang. Ketidak laziman yang justru membuat kami semakin lebih dekat satu sama lain. Dekat dalam artian secara lahir maupun batin.

Dan selama itu pula aku selalu betah berada ditengah-tengah keluarga. Dan yang paling penting, aku telah meninggalkan sama sekali kebiasaan bermain perempuan diluar. Beberapa ajakan dari rekan-rekan kerjaku aku tolak secara halus. Diantaranya adalah ajakan untuk pesta seks dipuncak. Yang seperti biasa dananya diambil dari anggaran kerja departemen, dan dimasukan kedalam pengeluaran untuk kegiatan rapat di puncak.

Atau saat kunjungan kerja ke daerah, dimana kamar hotel tempat kami menginap biasanya selalu dilengkapi dengan “selimut hidup” yang tentu saja semua itu telah dimasukan kedalam perincian biaya akomodasi. Itu semua berhasil kutinggalkan, tentunya bukan karena aku anti terhadap segala bentuk penyelewengan anggaran.

Dan selain dari itu semua, ada “hasil” lain yang kini tengah kami tuai. Yaitu kehamilan istriku dan juga putriku. Istriku kini tengah mengandung tujuh bulan, sedangkan putriku delapan bulan. Itu artinya hanya tinggal beberapa bulan lagi rumah ini akan diramaikan oleh tangis dua bayi mungil. Yang sepertinya aku akan dibuat bingung untuk memposisikan diriku sebagai ayah atau kakek.

Yang pasti anak yang dikandung putriku ini adalah hasil dari benihku. Itu dapat kuyakini bahwa dalam dua bulan sebelum putriku mengandung, hanya spermakulah yang masuk kedalam rahimnya. Sedangkan Doni belum pernah sama sekali menumpahkan spermanya didalam vagina Nanda. Sebaliknya dalam tiga bulan sebelum istriku mengandung, hanya sperma Doni lah yang menyembur didalam vagina istriku.

Untuk kehamilan istriku, itu bukanlah masalah. Dan tak ada orang lain yang akan usil karena memang statusnya adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai suami. Tapi lain ceritanya dengan Nanda putriku. Seorang gadis remaja dengan status lajang dan masih sekolah pula. Tentu itu bukanlah perkara mudah untuk bisa mendapatkan pemakluman dari lingkungan sekitar, terutama dari pihak sekolahnya.

Pastinya akan mengalir pertanyaan-pertanyaan dibenak mereka. Pertanyaan yang paling umum adalah, siapa ayah bayi itu? Dan bakal masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang akan berakibat kurang baik bagi perkembangan psikologisnya. Dan untuk menghindari itu semua, aku mengambil jalan yang aku anggap paling baik.

Aku hubungi sekolahnya, bahwa untuk satu tahun belakangan ini, dengan alasan tertentu putriku harus pindah ketempat Eyangnya di Jogja. Dan dengan demikian, dia tak lagi menjalani proses belajar disekolah itu. Tentu saja itu hanya alasanku saja, karena aku tak ingin putriku harus ke sekolah dengan kondisi perut membuncit karena bunting.

Tapi untuk urusan status pendidikannya aku tak terlalu kawatir. Posisiku yang cukup strategis di kementrian tentu memiliki banyak relasi untuk dapat mengaturnya. Yang seolah putriku ini memang tengah sekolah di Jogja, sehingga tahun depan dia sudah dapat lagi duduk disekolahnya itu, tentunya sudah dengan kelas dua.

Sepertinya cara yang aku tempuh itu amat-lah rumit dan kompleks, Tapi bagiku itu jauh lebih baik ketimbang harus melakukan cara pengecut dengan menggugurkan kandungannya.

Untuk famili terdekat, memang kami tak dapat menyembunyikan kehamilannya itu. Terpaksalah aku katakan pada mereka, bahwa itu terjadi akibat “kecelakaan” karena pergaulan bebas. Tak mungkin aku mengatakannya akibat digauli olehku, ayah kandungnya sendiri.

Terkesan egois memang. Untuk melindungi nama baikku, aku harus mengorbankan nama baik Nanda. Yang tentunya mereka akan mencap-nya sebagai remaja yang salah gaul. Tapi itu jauh lebih baik, ketimbang mereka mengetahui kalau dikeluarga ini menjalani gaya hidup incest. Tentu tanggapan mereka akan jauh lebih heboh.

“Lha bapak calon jabang bayi itu siapa tris? Kamu harus minta pertanggung jawabannya dong… Enggak bisa diem aja begitu… Enak amat tuh orang” gusar mbak Wiwik, kakak kandungku, saat mengetahui kehamilan Nanda.

“Minta pertanggung jawaban bagaimana mbak, lha yang menggauli dia itu tiga orang. Apa harus tiga-tiganya aku minta pertanggung jawaban” jawabku berdusta. Ah, maafkan aku Nanda, jahat sekali aku ini telah menjelek-jelekan dirimu sebegitu rupa.

“Astaga… tiga orang. Ya ampun… Nanda.. Nanda..” kaget Mbak Wiwik.

“Ya begitulah mbak. Sebetulnya sih bisa saja dilakukan tes DNA untuk mengetahui secara pasti siapa bapak dari anak yang dikandungnya itu. Tapi aku tak akan memilih opsi itu, karna aku juga tak ingin Nanda cepat-cepat menikah. Biarlah aku akan menghadapi ini semua dengan caraku sendiri. Dan aku pastikan setelah anaknya itu lahir, dia akan kembali menjadi anak gadis remaja yang masih duduk dibangku SMA.

Ah iya, tak berbeda dengan Nanda dan istriku. Tini, pembantuku itu, kini juga tengah berbadan dua. Tepatnya sudah tiga bulan dia tak mengalami datang bulan. Fuuhhh… Semakin pusing saja aku dibuatnya oleh kenyataan ini.

Kalau untuk anak yang dikandung Si Tini ini, terus terang aku kurang tahu pasti siapa ayahnya. Baik aku maupun Doni, dalam lima bulan belakangan ini sama-sama pernah menyemprotkan sperma kami didalam rahimnya itu. Namun yang pasti, selama itu pula dia tak pernah sekalipun berhubungan badan dengan pria lain selain aku dan Doni.

“Bagaimana ini pak, saya malu sama simbok kalau saya hamil tapi ndak punya suami… Apa yang harus saya bilang kepada Simbok dan orang-orang di kampung” curhatnya beberapa hari lalu kepadaku dan juga istriku.

Sebetulnya bisa saja jauh-jauh hari aku menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya itu. Setelah itu habislah perkara. Toh secara status dia bukanlah siapa-siapa bagiku. Namun sekali lagi aku katakan, aku memang bukanlah termasuk orang yang bersih. Tapi aku juga bukanlah orang yang begitu pengecut untuk sanggup membunuh calon bayi demi untuk menghilangkan masalah.

“Baiklah, besok sabtu aku antar kamu pulang kampung. Kita menghadap orang tuamu. Katakan padanya akulah ayah dari anak yang kamu kandung itu. Dan katakan juga kalau kamu telah kunikahi secara siri. Semoga itu dapat menjaga nama baik kamu dan keluargamu dikampung..” janjiku padanya.

Seperti yang aku janjikan, sabtu pagi aku dan Tini menuju Jogja dengan pesawat.

Dari bandara Adi Sutjipto Jogja, aku menumpang taksi menuju desanya dikawasan Gunung Kidul.

Sehari semalam juga aku menghabiskan waktu dirumahnya yang sederhana itu. Ada sensasi tersendiri saat aku menghabiskan malam dengan Tini disebuah kamar berdinding kayu dan berlantaikan tanah. Sedang alas tidur kami hanyalah balai-balai tua dengan kasur kapuk seadanya. Balai-balai yang mengeluarkan suara berderit saat tubuh kami saling menggoyang menuju puncak nikmat.

Ah, saat kami berasik masuk malam itu, untuk pertama kalinya Tini memanggilku “mas” dan mengapa pula aku juga menimpalinya dengan memanggilnya “dik”. Hmmm.. benar-benar seperti pengantin baru.

“Nanti kalau dirumah jangan panggil Mas lho dik… Gak enak sama mamanya anak-anak..” pesanku padanya, saat kami baru selesai memacu birahi.

“Iya deh Masku sayang… Enggak usah dibilangin saya juga udah paham koq..” jawabnya, diikuti dengan mengecup manja bibirku.

Keesokan sorenya aku pulang. Meninggalkan Tini yang masih akan tinggal barang tiga hari lagi dikampung halamannya itu.

*********

Sore menuju malam. Kami berkumpul bersama diruang keluarga sambil menonton tivi. Menikmati kopi dan cemilan ringan yang baru saja disajikan oleh istriku. Ya, sepeninggalan Tini yang masih berada dikampungnya, dan baru esok hari rencananya dia akan kembali. Praktis segala urusan rumah tangga istriku-lah yang mengambil peran.

Oh iya, untuk urusan memasak nasi goreng, mereka mengakui bahwa nasi goreng buatanku sangat istimewa. Dan aku percaya bahwa yang mereka katakan itu bukanlah sekedar “lips service” untuk menghargai jerih payahku. Dulu saat aku kuliah, teman-teman kostku juga mengakui kalau nasi goreng buatanku itu sangat berkelas.

Seperti biasa, Sofa besar berbahan busa dengan lapisan kulit sintetis ini menjadi tempat paling paforit bagi kami dalam melewati petang. Sofa yang dalam sembilan bulan terakhir ini menjadi saksi bisu dari berbagai kegiatan yang kami lakukan. Yang tentunya sebagian besar adalah kegiatan memanjakan syahwat.

Aku duduk di sisi paling kanan, berdampingan dengan Nanda yang menggelendot manja pada lenganku. Sedangkan Doni duduk di sisi kiri, berdampingan dengan istriku. Bocah lelaki tanggung itu dengan santainya merebahkan kepalanya di paha mamanya dengan kedua kaki diselonjorkan diatas meja didepannya.

“Pa, coba pegang deh… Dede’nya nakal nih, nendang-nendang terus” ujar Nanda, diikuti dengan meraih tanganku untuk ditempelkan pada perut buncitnya.

“Terasa gak pa?” tanyanya, namun tak kurasakan gerakan apapun. Entah apakah bocah didalamnya memang telah berhenti menendang, atau memang dasar diriku saja yang kurang peka dalam merasakannya.

“Enggak terasa koq..” jawabku, walau kucoba merasakannya dengan seksama.

“Ih, papa ini. Masa’ gak bisa ngerasain calon anaknya sendiri sih..” gerutunya, seraya menuntun tanganku menulusup masuk melalui bagian bawah dasternya yang telah disingkap keatas.

Kini tanganku menyentuh langsung perut buncitnya. Tanpa lagi terhalang oleh kain dasternya.

“Gimana, terasa?” tanyanya lagi.

“Ya, terasa dikit” jawabku. Walau sebenarnya aku tak merasakan seperti yang ia sebutkan, kecuali hanya gerakan perutnya yang kembang kempis seiring tarikan nafasnya.

Selanjutnya tanganku hanya mengelus diseputar perutnya. Dan selang berapa saat, tanganku justru malah iseng menelusup masuk kedalam celana dalamnya.

Ah, liang vagina ini jauh lebih hangat dalam kondisi hamil seperti ini. Batinku, saat jari tengahku mulai menyolok masuk pada liangnya.

“Ih, papa nih… Disuruh ngerasain dede’nya yang lagi main bola didalam perut.. Eh, malah ngobel-ngobel memek Nanda…” ujarnya manja, sambil kedua tangannya merangkul lenganku seolah tak ingin kalau aku cepat-cepat menyudahi aksiku itu.

“Sekarang bapaknya yang minta main bola… he.. he.. he…” ocehku, sambil terus mencoloki hingga semakin kedalam liang hangatnya itu.

“Buka sekalian aja deh kalo gitu, biar main bolanya lebih leluasa…” ujar Nanda, sambil melepas celana dalamnya, seraya mengangkang dengan menaikan kakinya diatas meja.

Sambil menikmati jemariku yang menjelajahi vaginanya, lidahnya mulai menjilat-jilat lembut disekujur lidahku. Secara reflek mulutku membuka memberikan akses yang lebih luas agar lidahnya itu semakin masuk kedalam rongga mulutku.

Mmmmm… desah nafasnya-pun jauh lebih hangat ketimbang saat tidak hamil. Lidah itu menjilat lincah hingga kedinding atas mulutku. Dan baru berhenti menggelitik saat mulutku terkatup mengulum lidah lembutnya. Kuemut beberapa saat, lalu kugerakan maju mundur. Matanya terpejam seiring gerakan kepalaku yang maju mundur perlahan.

Sejurus kemudian dia melepas pagutannya dari mulutku, seraya melucuti seluruh pakaian yang dikenakannya. Sehingga tersajilah pemandangan eksentrik didepanku, dimana seorang wanita muda dengan perut buncit, bugil tanpa selembar benangpun menutupinya. Kini tubuh itu duduk mengangkang dengan kedua kaki ditekuk memperlihatkan liang vagina basahnya yang menagih untuk disodok.

“Papa, buka juga dong bajunya… cepetan, ah..” rajuk Nanda, sambil menarik ujung celana pendek-ku hingga melorot separuh.

“Ih, gak sabaran amat sih nih anak..” ujarku, sambil melucuti seluruh pakaianku.

“Langsung entot pa, Nanda dah gak nahan nih.. ini bawa’an dede’nya kali… ayo pa, pliss…” mohonnya.

“Ah, bisa aja kamu. Dulu sebelum kamu hamil juga begini, kalo udah horny pasti bawa’annya gak sabaran untuk langsung dientot..” godaku.

“Aeeng… papa gitu deh. Pokoknya cepetaaan..” rajuknya manja.

“Iya deh, tapi sebelum papa entot memek kamu. Biar mulut kamu yang cerewet itu dulu yang papa entot. Setuju?”

“Oke deh.. Aaaakkk” jawabnya, diikuti dengan membuka mulutnya lebar-lebar.

Segera aku berdiri didepannya, dan langsung kusumbat mulut menganganya dengan batang penisku yang telah tegang.

“Oke sayang, siap ya.. Papa entot sekarang nih..!”

“Ohe pha.. hangshung hajhar..” jawabnya, dengan mulut yang telah tersumpal oleh penisku.

“Satu.. dua… tiga… Heghh… heghh.. heghh.. hiyaaaa…”

Dengan kedua tangan berpegangan pada sisi atas sandaran sofa, segera kukayuh dengan kuat pinggulku.

Ghlakk.. Ghlakk.. Ghlakk… Suara kocokan dari mulutnya terdengar begitu erotis bagiku. Sehingga membuatku semakin gemas untuk lebih kuat membombardir mulut mungilnya itu.

Sementara aku menghujamkan penisku, kedua tangannya masih memegangi kakinya yang mengangkang, sehingga hanya pinggulku-lah yang melakukan kontrol secara penuh layaknya menyetubuhi liang vagina.

Beberapa menit kemudian kusudahi aksiku itu. Seraya aku tundukan tubuhku mensejajarkan dengan wajahnya. Kulumat rakus mulut yang pada bibir dan dagunya dilumuri oleh cairan ludah kental. claapp… ssyyrruufff… clloopp… Suara kecipakan mulut kami yang saling berpagutan mengiringi aksi kami. Aksi saling sedot dan saling hirup air liur yang bagiku begitu menghanyutkan birahi.

“Mulut kamu udah papa entot, sekarang giliran memek kamu, oke?” ujarku, sambil mencubit pipinya yang mulai terlihat sedikit lebih gemuk selama dirinya hamil.

“Horeee… cepeten pa, cepetan…” girangnya, seperti seorang bocah yang akan diberikan hadiah.

“Ih, kamu itu. Udah mau punya anak, kelakuan masih aja kayak anak-anak..” godaku, sambil mencubit hidung bangirnya.

“Ah, papa rese’ deh, biarin aja kaliii… Udah, cepetan deh ah..” sewotnya.

Kini aku telah berada diatas tubuhnya. Bless.. sekali dorong batang penisku menembus masuk liang vaginanya yang jauh lebih hangat ketimbang sebelum hamil.

Plok… plok.. plok… Pinggulku mulai bergerak naik turun, sambil kedua lidah kami saling beradu jilat dengan lembut.

*********

Kulirik sesaat pada istriku dan Doni yang menyaksikan aksi kami. Gelagatnya istriku mulai terangsang. Itu dapat dilihat dari tangannya yang mulai meremasi selangkangan Doni.

“Sayaaang… Kalau perempuan sedang hamil, suaminya harus rajin nengokin calon anaknya. Itu sama artinya dengan melancarkan jalan untuk proses kelahirannya nanti..” terang istriku kepada Doni yang masih berbaring sambil menyaksikan aksi kami.

“Maksudnya? Doni kurang paham ma…” tentu saja sebagai anak se usia Doni, kata-kata yang seperti dipaparkan istriku tadi masih terlalu sulit untuk dapat diterjemahkan oleh pikiran kanak-kanaknya.

“Ah, kamu ini. Semuanya harus dijelaskan dulu..”

“Kan, Doni masih kecil ma, mana Doni tau bahasa seperti itu..”

“Masih kecil tapi udah bisa bikin anak ya..?” goda istriku, diikuti dengan meremas batang penis Doni yang masih terbungkus celana pendek.

“Ih, mama suka gitu deh..”

“Maksudnya, begini lho.. Kamu itu kan calon ayah dari anak yang mama kandung. Itu artinya kamu sekarang adalah suami mama. Nah, sebagai suami, kalau istrinya sedang hamil tua, harus sering-sering dientotin, biar otot-otot memeknya tetap lentur dan enggak kaku, supaya saat melahirkan nanti gampang.. Ngerti enggak kamu?

“Seperti papamu itu lho, sekarang kakakmu itu kan jadi istrinya papa. Makanya papamu rajin ngentotin kak Nanda, supaya saat ngelahirin nanti prosesnya lancar, karena udah sering dimasukin kontol. Ngerti enggak? Keterlaluan deh, kalau mama udah jelasin dengan bahasa yang jelas kaya’ gitu, tapi kamu masih juga gak ngerti..

“Paham dong ma, Doni gak o’on-o’on banget kali..”

“Ih, siapa juga yang bilang kamu o’on. Anak mama ini paling pinter koq. Pinter dalam pelajaran sekolah. Dan… pinter juga bikin mamanya bunting.. hi… hi.. hi..“goda istriku.

“Aaakkhh… mama ini, kitikin nih..” manja Doni, sambil tangan kanannya mulai menggelitik ketiak istriku.

“Aaaww.. geli Doni, udah dong.. aaww..”

Untuk beberapa saat mereka saling bercanda, sementara aku masih asik menggenjot vagina hangat putriku, sambil tak bosan-bosannya kami saling berpagutan atau saling menjilati leher kami secara bergantian.

*********

“Pa, mau mimi cucu enggak nih…” tawarnya, yang diikuti dengan menekan buah dadanya dengan kedua tangan, sehingga terpancur cairan putih dari puting susunya.

“Mmmmhh… ada-ada aja kamu, muka papa basah semua nih..” ujarku, sambil menjilati sekujur bibirku.

Ah, usia kehamilan yang telah memasuki delapan bulan, secara biologis berefek pula pada buah dadanya yang sekarang telah dapat memproduksi ASI untuk anaknya kelak. Disamping juga ukuran payudaranya menjadi lebih besar dan montok.

“Hi.. hi.. hi.. enggak apa-apa pa, biar tambah kuat, papa mimi’ cucu dulu..” godanya.

“Hmmm.. oke kalo begitu, sekalian papa mimi’ dari sumbernya… aaeemmm” bersamaan dengan itu, langsung kuemut puting susunya. Bagai seorqng bayi, kuhirup cairan gurih itu sepuas-puasnya.

“Aauuww… geli pa… aahhh… hi.. hi.. hi…” gelinjangnya, sambil memegangi kepalaku.

Untuk sementara kayuhan pinggulku terhenti, namun dengan batang penis yang masih bersarang diliang vaginanya.

“Mmmm… segaaaarr.. heeggggghh..” ucapku, didepan wajahnya, setelah kurasakan puas menyusu pada putri kandungku itu.

“Enak pa?” tanyanya.

“Sedaapp..”

“Ih, dasar papa, susu jatahnya dede’ masih diminum juga..”

“Abis, kamu duluan sih, yang nyemprot wajah papa pake susu..”

“Oke, deh pa… sekarang entotin Nanda lagi dong..”

Kembali kukayuh pinggulku, melanjutkan lagi penetrasi antara kelamin kami yang tertunda sejenak.

*********

Doni dan istriku masih mengobrol ringan tentang kehamilan. Semacam penyuluhan pramelahirkan kepada “suami muda” nya itu.

“Eh, ma… apa enggak kasian tuh dede’nya yang didalam, kalo kontol Doni nyodok-nyodok dimemek mama. Doni kawatir ujung kontol Doni mengenai kepalanya…” tanya Doni polos.

“Hi.. hi.. hi… Doni.. Doni.. Ada-ada aja kamu itu, ya enggak lah sayang… Malahan dokter nyaranin supaya sering-sering dientot kalo lagi hamil tua begini” papar istriku, sambil menarik celana pendek Doni hingga sebatas paha, sehingga batang penisnya yang separuh berdiri itu terbebas dari benda yang menutupinya.

Istriku meludahi telapak tangan kanannya sendiri, lalu mulai mengurut-urut lembut batang penis putranya itu. Hasilnya, selang beberapa saat batang penis itu telah berdiri tegak.

Bocah itu mulai bangkit dari posisi berbaringnya, seraya melucuti seluruh pakaiannya hingga bugil. Begitupun istriku yang juga melepas celana dalamnya, dan langsung mengangkangkan kedua pahanya lebar-lebar setelah terlebih dulu menyingkap keatas dasternya.

Dengan kaki kanannya, istriku mengait leher Doni, dan membimbingnya kearah selangkangannya. Memgerti apa yang diinginkan istriku, bocah itu segera menjulurkan wajahnya pada vagina istriku.

“Aaaaggghhhhhhh… iya terus jilatin sayang… aagghh.. suamiku sayang, suami kecilku… mmmmhhh..” desahnya, dengan kedua tangan menjambaki rambut Doni yang berjongkok dibawahnya.

*********

Sekitar tujuh menit sudah batang penisku menghujami liang vaginanya, hingga putriku itu meminta untuk berhenti sejenak.

“Stop dulu pa… stop.. Tolong masukin di anus Nanda pa.. Ayo pa..” pintanya.

Segera kuturuti keinginannya itu. Kini batang penisku telah “berpindah-kamar” keliang pelepasannya. Masih dengan posisi yang sama aku kembali menghantamkan batang penisku.

Hingga tak sampai dua menit setalah itu, tubuhnya tampak mengejang, dan dipeluknya tubuhku dengan erat.

“Mmmmmhhhhhhh… Nanda keluar paaa… Uuuuuggggghhhhhhhh…” erangnya, sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya dari bawah.

Hanya beberapa detik setelah itu, akupun merasakan hal yang sama. Rasa nikmat tiada tara itu akhirnya datang menerpa tubuhku, yang diikuti oleh lenguhan panjangku.

“Aaagghhhhh… papa juga mau keluar sayaaang…” lenguhku.

“Pa.. dikeluarin diperut Nanda aja pa…” pintanya, sambil tangannya menolak pinggulku.

“Ah, ada-ada saja kamu ini… Aaaagghhhhh…” akhirnya kuikuti juga kemauannya. Kucabut batang penisku, dan kuarahkan ujungnya pada perut buncitnya.

Croottt… croottt… crroottt… Begitu banyak cairan kental putih yang memenuhi perutnya itu, yang langsung diusap-usapkannya secara merata keseluruh perut hamilnya itu. Bahkan kedua payu daranya-pun tak luput dari usapannya.

Kuhempaskan kembali tubuhku di sofa. Disebelah kiriku Nanda masih asik memainkan spermaku yang telah melumuri sekujur badan bagian depannya.

“Hi.. hi.. hi.. Nanda luluran peju dulunya pa..” ujarnya. Yang kubalas dengan mengecup bibirnya.

*********

Sementara disebelahnya lagi, Doni telah mulai menggenjot batang penisnya didalam vagina mamanya, dengan posisi sama seperti yang aku lakukan pada Nanda barusan.

Seperti biasa bila sedang melakukan aktifitas yang satu itu, mulut istriku tak bisa diam. Meracau riuh yang seolah tak ada habisnya.

“Yeesss… entotin terus mama-mu ini sayang, sodok terus istrimu ini..” racau istriku, sambil kedua tangannya ikut membatu menekan bokong Doni, seolah hantaman pinggul putraku yang sudah sedemikian keras masih juga belum cukup baginya.

“Iya istriku sayang, ini juga udah dientotin… hegghhh… heghh.. heghhh..” timpal Doni, sambil terus menggenjot dengan kuat.

“Ludahin mulut mamamu sayang… mulut istrimu ini.. aku haus sayang… Aaaaaakkkkk…” mulut istriku menganga lebar seolah begitu mengharap dengan apa yang dimintanya itu.

Doni menghentikan sejenak goyangan pinggulnya. Mulutnya mengecap-ngecap beberapa saat, seolah tengah mengumpulkan sesuatu didalam mulutnya.

“Nih ma… mmmm… pleehh…” cairan bening agak berbusa bergerak lambat dari mulut Doni kemulut mamanya, yang langsung disambut dengan bernafsu, bagai musafir yang tengah mereguk air dipadang tandus.

“Mmmmm… sedaapp.. lagi dong suamiku.. Aaaakkk…”

Kembali Doni mengulangi aksi yang sebelumnya, dan diakhiri rangkulan istriku yang menarik leher belakang bocah itu, hingga wajah mereka saling bertemu. Dan dengan rakus istriku langsung melumat mulut Doni bagai ingin dilahapnya.

“Aaagghhh… Ayo, entotin memek istrimu lagi sayang…” pinta istriku, setelah puas melumat mulut Doni.

Broott… brrott.. plokk.. plokk.. Kembali Doni melanjutkan aksinya yang sempat tertunda. Genjotannya semakin bertenaga, sehingga menimbulkan suara aneh yang riuh.

“Aaaaaaaaggghhhhhhh… mama sampai don… istrimu keluar sayang… Aaaagghhhhhh…” pekik istriku, setelah beberapa menit Doni membombardir vaginanya.

Semakin gencar pula Doni mengayuh bokongnya, sehingga suara berkecipak yang ditimbulkan semakin nyaring. Mungkin karena cairan nikmat yang telah menggenangi vaginanya itu yang membuat liangnya semakin becek.

“Aaahhhhh… Doni mau keluar maa.. Mau keluarin dimana nih ma..” ujar Doni beberapa saat kemudian.

“Disini sayang… disini aja.. Aaakkk..” balas istriku, sambil jari tangannya menunjuk pada mulut menganganya.

“Aaaahhhh…” croottt… crooottt… crooottt… Cairan sperma kental masuk memenuhi rongga mulut istriku, yang langsung direguknya dengan rakus.

“Mmmmm… sedaaapp… Gizi yang baik untuk calon anakmu sayang.. Mmm.. nyemm. nyemm..” gumam istriku, sambil menikmati “ekstra puding” dari anak lelakinya itu.

*********

Usai menuntaskan syahwat, kami kembali duduk sambil berbincang ringan. Tubuh telanjang kami bagai simbol kebebasan yang berlaku dikeluarga ini. Anyirnya aroma sperma yang melumuri perut buncit putriku, bagi kami seperti pewangi ruangan yang menyegarkan. Sehingga tak ada alasan untuk menyuruhnya agar segera membasuhnya.

“Eh, pa.. Menurut hasil USG, anak kita kan laki-laki. Mau dikasih nama apa nih? Papa udah siapin nama belum?” tanya Nanda, sambil menggelayut manja dipundakku.

“Mmmm.. siapa ya? Namain aja Paijo.. Kedengeran nyentrik malah” jawabku, diikuti dengan menenggak softdrink dingin yang baru saja disediakan istriku.

“Ih, papa gitu deh. Ditanya serius juga..” rajuknya, sambil meninju pelan lenganku.

“He.. he.. he.. Abis papa belum siapin nama sih. Oke deh, nanti bakal papa carikan nama yang cocok..”

“Tapi jangan yang norak lho pa..”

“Iyaaa… Pokoknya keren lah..”

Untuk beberapa detik, mulut bawelnya itu terdiam. Itupun karena tengah menikmati coklat, yang dalam waktu belakangan ini anak ini gemar sekali ngemil. Terutama cemilan coklat itu. Bisa jadi itu adalah bawa’an orok yang ada diperutnya yang tentunya juga membutuhkan pasokah makanan tidak sedikit untuk membantu pertumbuhannya.

“Eh, pa…” ujarnya sambil mulutnya mengunyah coklat.

“Apa lagi..”

“Kan, anak kita cowok.. Nanti kalau udah gede, boleh enggak ngentotin Nanda?” Ah, sebuah pertanyaan konyol.

“Tentu boleh dong sayang… Iya kan pa? Pasti papa setuju deh..” belum lagi aku menjawabnya, istriku malah terlebih dulu menyerobot.

“Ya, atur aja lah..” pasrahku.

“Horeee.. berarti Doni juga bisa ngentot anak Doni dong. Kan anak Doni cewek..” girang Doni.

“Pasti dong..” jawab istriku.

“Tapi yang merawanin siapa dulu ya?” tanya Doni lagi.

“Sudah pasti papa dong, kan kepala keluarga..” kali ini langsung aku yang menimpali.

“Eh, enak aja… Papa kan udah dapet perawannya Nanda. Masa’ mau minta lagi sih.. Lagian kan yang berhak merawanin itu bapaknya. Ya Doni lah..” sewot istriku.

“Iya deh iya… segitu sewotnya..” sindirku.

“Iya dong… Dia kan suami aku sekarang. Jadi harus aku bela, iya kan sayang..” ujar istriku, sambil membelai rambut Doni.

Sial, cemburu juga aku mendengarnya. Ah, mengapa harus cemburu, aku juga punya Nanda. Istri mudaku.

Petang telah berganti malam. Kami masih berkumpul diruang keluarga. Membicarakan hal-hal yang bagi orang lain tentu akan terdengar konyol dan tak lazim, bahkan dianggap Amoral. Namun bagi kami itu adalah sebuah obrolan yang menyegarkan dan mengasikan. Yang membuat suasana dirumah ini semakin bergairah.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu