2 November 2020
Penulis —  blackmore

Keluarga Pak Trisno

Sekitar pukul dua belas siang kami tiba dilokasi, tempat yang cukup nyaman dengan udara pegunungan yang sejuk, tak jauh dari tenda kami berada terdapat air terjun dengan airnya yang jernih. Hmmm.. benar-benar tempat yang menyenangkan, dan tempatnyapun mudah dijangkau oleh kendaraan, sepertinya memang tempat ini telah dirancang sedemikian rupa oleh pengelola sebagai tempat kemping keluarga yang nyaman.

Mulai dari gerbang masuk hingga menuju lokasi terbentang jalan aspal yang mulus, itu artinya kita tak perlu memarkir kendaraan jauh diluar, lalu berjalan kaki menuju lokasi dengan jarak yang cukup jauh lagi menanjak, dan menggendong barang bawaan pula. Sebaliknya ditempat ini bahkan kami bisa menempatkan kendaraan kami tepat disamping tenda yang kini tengah kami dirikan.

Lokasi ini sepertinya begitu luas, dalam kisaran jarak beberapa puluh meter baru terdapat tenda lain, jadi tidak rapat dan berjubel seperti saat muda dulu aku biasa kemping bersama teman-teman sekolah. Yah, aku rasa sesuai dengan harga yang ditawarkan disini, yang tentunya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan bumi perkemahan yang biasa dikunjungi oleh anak-anak sekolah.

Dalam jarak sekitar dua ratus meter terdapat pos penjagaan dan deretan toilet serta kamar mandi yang cukup bersih, jadi saat buang hajat nanti kami tak perlu repot-repot harus nongkrong diatas bebatuan sungai. Disini juga menyewakan perlengkapan berkemah, seperti tenda, alat masak dan lain-lain, namun tentunya kami tak memerlukan itu, perlengkapan yang kami bawa telah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami.

Yang tak kalah menarik, sekitar satu kilo meter dibawah, tepatnya didekat gerbang masuk lokasi, terdapat kebun buah yang bisa kita petik, dengan membayar pastinya, seperti buah anggur, strawberry, apel dan lain-lain, bahkan juga palawija, seperti wortel, kubis, lobak dan berbagai sayuran lainnya. ditempat itulah tadi kami sempat mampir sebentar untuk memetik beberapa buah dan sayuran khas pegunungan, tapi kalau dipikir-pikir sih, harga perkilonya jauh lebih mahal ketimbang harga di Supermarket, sepertinya memang sensasi memetik buahnyalah yang mereka jual disini, yang tentunya sulit didapat dikota besar.

Dan yang tak kalah pentingnya, lokasi perkemahan ini cukup eksklusif, artinya tak ada orang luar selain pengunjung yang bisa seenaknya datang kemari, yang menawarkan dagangan, mengemis, dan buntut-buntutnya mencuri disaat kita lengah. Disini, pos keamanan disetiap sudut luar lokasi telah ditempatkan oleh pengelola.

******

Akhirnya selesai juga aku dan Doni mendirikan tenda, sedangkan Tini menyiapkan makan siang. dan seperti biasa dua nyonya besar hanya asik dengan urusannya sendiri, kali ini sibuk jepret sana, jepret sini dengan kamera DSLRnya, saling bergantian berfose dengan latar belakang pemandangan yang memang indah, dan menggoda seseorang untuk mengabadikannya dalam foto.

“Masak apa tin?” tanyaku pada Tini yang masih menggoreng sesuatu dengan kompor listrik, tentunya dengan sumber tenaga listrik dari genset ukuran kecil yang telah kami bawa dari rumah.

“Kornet pak…” jawab Tini, memang dari rumah kami membekali diri dengan makanan kaleng yang praktis, agar mudah memasaknya.

“Oh iya, wortel sama sawinya yang barusan dibeli langsung dimasak aja ya..” selain kami membeli buah tadi, kami membeli beberapa sayuran yang juga kami cabut langsung dari kebunnya.

“Iya pak… Mau dibikin oseng atau sayur bening?”

“Terserah kamu saja lah…”

Selesai makan siang kami berjalan-jalan beberapa saat, menyusuri perkebunan cemara, lembah, dan tak ketinggalan kami sempatkan menikmati sejuknya air terjun dengan telaganya yang bening, hingga bebatuan didasarnya terlihat jelas.

Setelah puas, kami kembali ketenda dengan pakaian yang telah basah kuyup oleh siraman air terjun. Cukup lelah juga rasanya, terutama lutut dan betis ini, jalan menanjak yang cukup panjang dari lokasi air terjun menuju kelokasi tenda itulah yang bagi kami cukup memberatkan, namun demikian kami tetap enjoy.

Menjelang senja kami terbangun, diluar tenda diatas hamparan tikar telah terhidang makanan untuk makan malam. Rupanya Tini telah bangun lebih dahulu ketimbang kami untuk kemudian menyiapkan makanan. Yang akhirnya kami bersantap bersama, menikmati hidangan sederhana, ikan asin dengan sambal terasi, plus lalapan sayuran mentah yang telah kami beli siang tadi.

*******

Selesai mandi, kami menikmati dinginnya hawa malam dipegunungan sambil menyalakan api unggun, setumpuk kayu kering memang telah sengaja disediakan oleh pihak pengelola sebagai bagian dari servis, plus satu kantong kresek jagung siap bakar yang diberikan saat kami melintasi pintu masuk tadi.

Bukan cuma kami yang membakar api unggun disini, beberapa tenda lain juga melakukan hal yang sama, sebagian besar dari mereka adalah keluarga seperti kami juga, suami istri dan anak-anak, ada juga pasangan muda tanpa anak, entah itu pasangan nikah atau bukan aku tak tau pasti, dan memang bukan urusanku untuk mengetahuinya, pihak pengelolapun juga tak memberikan aturan bahwa pasangan yang berkemah disini harus pasangan suami istri, toh yang terpenting mereka bayar, dan apapun yang akan mereka lakukan didalam tenda, pihak penyelenggara tak mau tahu, selama itu tidak meresahkan dan mengusik pengunjung lainnya.

Sepotong jagung bakar telah habis kusantap, walau hanya dengan bumbu garam, namun cukup nikmat juga dimakan sambil bersantai seperti ini, dengan diselingi perbincangan ringan.

Hingga suatu ketika. “Eeh, ngomong-ngomong, dari lima manusia yang ada disini, yang belum merasakan orgasme untuk hari ini, cuma mama doang kan? Jadi, sebelum mama dapat orgasme, kalian berdua cukup jadi penonton dulu ya…” papar istriku, diikuti dengan menunjuk kearah Nanda dan Tini.

“Jadi, kalian berdua harus puasin mama, oke?” sambungnya lagi, kali ini sambil menunjuk aku dan Doni.

“Iya deh, ambil tuh semua…” sindir Nanda.

Tak lama setelah itu, istriku menggeser posisi duduknya, kali ini ditengah antara aku dan Doni, seraya menarik celana trainingku hingga sebatas paha, yang membuat penisku kini harus rela terkena dinginnya udara pegunungan, hal yang sama dilakukannya juga pada Doni. Sejurus kemudian penis kami dikocok secara bersamaan dengan masing-masing tangannya, tentu saja aku merasa tak nyaman, cahaya api unggun ini tentu saja membuat suasana ditempat itu menjadi terang dan dapat terlihat oleh orang yang berada di tenda lain.

“Aduh maaa… jangan disini dong, keliatan dari tenda sebelah tuh… Malu kan..” ujarku.

“Oke deh, kalau gitu kalian puasin mama didalam tenda, oke?” usulnya, seraya berdiri sambil kedua tangannya masih meremas batang penis kami. Sial… tentu saja secara reflek aku langsung ikut berdiri, karna batang penisku bukanlah karet elastis yang bisa melar saat ditarik.

Seolah tanpa kawatir akan dilihat orang lain, dengan santainya istriku berjalan memasuki ruangan tenda sambil kedua tangannya masing-masing menarik penis kami.

“Kalian berdua duduk manis diluar ya? Awas, jangan coba-coba ganggu…” ujar istriku, yang ditujukan kepada dua wanita lain yang berada diluar, seraya menarik lesreting penutup tenda.

*********

Aku dan Doni hanya berdiri menyaksikan istriku yang dengan tak sabar menarik lepas celana kami. Begitupun dengan pakaian yang dikenakannya, semua telah dilucutinya hingga dirinya kini benar-benar bugil.

Posisinya yang berlutut langsung meraih batang penis kami, tangan kanannya memegang penisku, sedang tangan kirinya memegang milik Doni. Dikocoknya beberapa saat secara berbarengan, lalu dikulumnya. Yang pertama dikulumnya adalah batang penis Doni, sedang tangan kanannya tetap mengocok-ngocok penisku, walaupun kurasakan kocokannya itu tak beraturan, karena konsentrasinya lebih terpusat pada penis Doni yang dikulumnya itu.

Sebentar kemudian kulumannya berpindah pada penisku, itupun juga tak lama, lalu kemudian kembali kepenis Doni.

Dari ekspresinya terlihat, sepertinya birahinya telah benar-benar memuncak, sehingga cara mengoralnya seperti tengah merasa gemas dan sesekali dipukul-pukulkannya batang penis kami pada wajahnya.

Seolah bingung hendak berbuat apa lagi pada penis kami, kini kedua batang penis kami yang telah full ereksi dimasukannya sekaligus kedalam mulutnya, tentu saja mulutnya terlihat bagai kesulitan menampungnya, pada sisi-sisi bibirnya tampak mengetat.

“Mmmm… Doni sayang… anak mama yang baik… ludahin mulut mama sayang… Aaaaaakkkkkkk..” mohonnya, diikuti dengan membuka lebar mulutnya.

Mengikuti permintaan mamanya, Doni sedikit menundukan tubuhnya, setelah dirasakan mulutnya telah tepat berada diatas mulut mamanya, cairan bening dengan sedikit busa jatuh perlahan kedalam mulut sang mama, dan langsung menghilang turun mengisi perutnya.

“Mmmm… nyem.. nyemm… Sekarang kamu ludahi mama, seperti kamu meludahi orang yang kamu benci, kamu tau itukan sayang Aaaaakkkkkkk…” pintanya lagi, kali ini dengan nada yang sedikit histeris.

Paham dengan yang dimaksud mamanya, Doni kembali menunduk, dan… Cuuiiihhhh… berbeda dengan yang sebelumnya, dimana gumpalan ludah hanya menetes lambat, sebaliknya kini meluncur dengan cepat.

“Aaaakkkkkk… lagi nak… lagi sayang aaaakkkkkk…” kali ini kedua jari telunjuknya digunakan untuk menyibak mulutnya, sehingga terlihat seperti anak kecil yang tengah meledek kawannya.

Cuiihhh… cuiihh.. cuiiihhh… beberapa kali percikan ludah Doni meluncur, namun tidak semuanya masuk kedalam mulut istriku, sebagian justru mengenai wajah dan rambutnya.

“Papaaaaa… kamu juga dong, koq diem aja sih… aaaakkkkkk…” Yah, mana aku tau, aku kan tengah menunggu giliran, okelah kalau begitu, pikirku.

“Nih, makan… babi rakus..! Cuiiihhhh…” umpatku, aku tau, dalam keadaan begini, dia lebih suka diperlakukan seperti itu ketimbang dengan ucapan manis nan romantis.

“Mmmmm… aaaakkk… terus.. terus.. terus… ludahi mama… aaaaaaakkkkkk..” tingkahnya semakin histeris, justru aku sedikit kawatir kalau ocehannya yang mulai keras ini akan terdengar oleh orang lain selain kami. Ah, perduli setan lah, aku rasa disini tak akan ada orang yang perduli dengan apa yang kami lakukan didalam tenda ini, seperti halnya aku tak pernah peduli dengan apa yang mereka lakukan disana.

Bagai saling berlomba, kami meludahi wajah histeris istriku silih berganti, tingkahnya seperti anak kecil yang kegirangan bermain air hujan, air hujan yang kami semprotkan dari mulut kami, hingga kering rasanya tenggorokan ini.

“yihhhhuuuuuuuu… aaaaahhhhhh… senangnya hatiku… terus… aaaaakkkkkk…” dengan masih menyibak mulutnya dengan kedua tangannya sendiri, tubuhnya bagai menari-nari kecil, hingga buah dadanya bergerak-gerak turun naik.

Sejurus kemudian dia menarik lengan kami untuk bersama duduk beralaskan terpal, beruntung kami belum sempat memasang kasur lipat yang kini masih berada dimobil, kalau tidak sudah barang tentu aku harus rela malam ini tidur dengan kasur penuh dengan bercak-bercak ludah dan entah apalagi nanti.

“Sekarang kalian perkosa mama ya… Mama ingin kalian perkosa..” mohonnya, sambil duduk dan mengangkangkan pahanya, sementara tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya sendiri.

Tanpa meminta pertimbangan darinya lagi, aku berinisiatif untuk menjadikan istriku sebagai potongan daging diantara roti hamburger, ya, aku ingin memberikan penetrasi ganda untuknya.

Aku berbaring telentang disamping istriku “Tolong, sekarang Mama naik diatas papa…” pintaku, Ah, aku rasa kata-kata seperti itu kurang terdengar erotis baginya, mmm… sepertinya ini lebih baik “Heh, lonte kemaruk kontol..! Ayo, sini.. naik diatas tubuhku.. Biar kusodomi lobang pantatmu…” sungguh ampuh, kata-kataku itu, membuat wajahnya tampak berbinar.

“Apa? Papa mau sodomi aku…? mau sodomi lobang pantatku…? mau ngentotin lobang ta’i ku…? iya?” sambil mengucapkan itu tubuhnya menindihi diriku, dengan wajah kami saling berhadapan, kulihat bercak-bercak air ludah memenuhi wajah dan rambutnya. Hmmm.. aku tau, dia mengharapkan aku melontarkan kata-kata serupa dengan tadi.

“Iya lonte busuk… Lobang ta’imu akan kuentotin dari bawah, terus nanti anak kandungmu itu yang ngentotin memekmu dari atas, lobang dulu tempat dia dilahirkan olehmu… Dasar kamu lonte kemaruk, anak sendiri diajak ngentot… cuihhh…” semburan ludah kembali menerpa mulutnya, kali ini dari jarak hanya beberapa senti saja diatasku.

“Ooowwwhhhh… so sweettt… kamu romantis sekali sayang… kata katamu membuatku terbuai… aaaggghhhh…” Sial, ada-ada aja istriku ini, masa’ ucapan kayak gitu dibilang romantis, cara pengucapannya itu mendesah pula, mengingatkan aku pada suara artis Syahrini.

“Ayo sayang, langsung kita mulai ya.. mama udah gak sabar nih…” ujarnya, seraya membalikan badannya dan berjongkok diatas selangkanganku, batang penisku kini telah berada dalam genggamannya, dan… blesss.. akhirnya tenggelam masuk didalam lubang pelepasannya, lalu kembali tubuhnya itu rebah diatasku, namun kali ini dengan posisi telentang.

“Ayo sini anakku sayang… entot memek mama nak… itu tempat kamu dulu dilahirkan lho… sekarang malah kamu masukin pake kontol..”

“Iya dong ma, dulu Doni kan keluar dari situ… Nanti giliran anak Doni yang bakalan keluar dari situ juga…” Ujar Doni, sambil memasukan penisnya kedalam liang vagina ibunya.

“Wooowww… Begitu ya… Makanya kamu harus rajin-rajin ngentotin mama, kalau mau anak kamu juga leluar dari situ, iya nggak pa?”

“Iya dong…” jawabku, sambi tanganku memegang kedua pahanya.

“Langsung Doni genjot ya ma?” pinta Doni, dengan posisi yang telah siap siaga, bagaikan seorang atlit lari yang tinggal menunggu aba aba untuk start.

“Iya, tunggu apa lagi..” seperti dikomando, Doni langsung menggenjot bokongnya dengan posisi berlutut, dengan kedua tangannya memegang paha ibunya.

“Langsung full speed aja don… Mama udah horny berat nih…” permintaan mamanya itu langsung ditindak lanjuti dengan cepat. Goyangannya yang keras dan bertenaga membuat tubuh istriku terhentak-hentak keras, yang efeknya dapat kurasakan pada penisku yang juga ikut berpenetrasi tanpa aku perlu untuk menggoyangkan bokongku.

“Yeeeesss… nah gitu, itu baru namanya anak mama… Anak mama yang brengsek, mamanya sendiri dientotin… ibu kandungnya sendiri dijinahin… Haahh? Iyakan? Kamu suka ngejinahin mama kamu sendiri kan? Iya kan?” oceh istriku.

“Sama, mama juga kan? Mama juga paling suka kalo dientotin sama anaknya kan? Tapi memang Doni suka banget ma.. Doni suka entotin mama… Doni suka banget berjinah sama mama…”

“Iya sayang… terus jinahin mama sayang… Berjinah itu memang nikmat ya sayang… Apalagi dengan anak kandung sendiri, oohhh indahnya…” dilain situasi mungkin aku akan merasa muak mendengar kata-katanya itu, namun tidak untuk saat ini, disaat birahi tengah menjadi panglima dikepalaku seperti sekarang ini, kata-kata itu justru terdengar erotis, bagaikan suara instrumen musik dalam suatu irama.

“Ayo kesini sayang… ciumin mama sayang.. Mmmmmm…” dengan bernafsu istriku menarik lengan Doni, hingga tubuh anak itu kini menindihi tubuh mamanya, yang kemudian disambut dengan ciuman pada mulutnya yang begitu bergairah bercampur histeris.

“Mmmmmmuuuahhhhh… cllooppp.. cloopp.. ssrryuuufff… mmmm.. kamu memang anak sialan, anak tukang ngentotin mamanya sendiri… mmmmhhh.. bajingan kamu..” sambil tetap saling berkecupan, sesekali istriku tetap meracau dengan kata-kata vulgarnya yang bernada memaki atau melecehkan.

Tak sampai satu menit setelah itu, istriku menunjukan gejala kalau dirinya akan segera mencapai klimaks, itu ditandai dengan racauannya yang semakin bernada emosional.

“Aaaaaaaggggggghhhhhhh… mama keluar nih anjiiiiing… terus entotin mama… entotin lobang memek ibu kandungmu ini… entotin yang keras ******… entotin yang brutal… perkosa ibu kandungmu ini… Aaaaaaaaggggghhhhh…” gerakannya menyentak-nyentak kasar untuk bebeberapa saat, hingga akhirnya terdiam dengan senyum kepuasan.

“Jangan diambil hati ocehan mama tadi ya sayang… kamu tau sendirikan kan, kalo mama lagi horny berat suka kayak gitu…” ucap istriku kepada Doni yang masih tetap “nemplok” diatas tubuhnya.

“Gak apa-apa ma… Doni malah suka koq… Mama emang lonteku yang paling jalang didunia ini he… he… he… Gak apa-apa ya ma?”

“Ih, dasar kamu… iya deh, gak apa-apa kalau memang itu membuat kamu suka…”

Untuk beberapa saat Doni masih menghujamkan penisnya didalam liang vagina istriku, namun tak beberapa lama kemudian, tampak istriku mulai merasa kurang nyaman, tentu saja orgasme yang didapatnya barusan tadi membuatnya kehilangan gairah, dan mungkin juga ditambah lagi dengan rasa letihnya, hingga akhirnya dia meminta waktu untuk istirahat.

“Stop dulu deh don… Kasih mama waktu untuk ambil nafas ya sayang.. mama capek banget nih.. Kamu ajak aja kak Nanda atau Mbak Tini, terserah kamulah, yang penting mama mau istirahat dulu beberapa meniiiit aja… plis deh… Papa juga ya, sebentar aja koq..”

“Oke deh, mama emang suka gitu sih, kalau udah puas pasti minta berhenti.. mama egois deh…” paparku, tentu saja itu hanyalah candaan belaka.

“Aduuhhh… bukan begitu deh pa, mama kan…” belanya, yang segera aku potong.

“Iya… iya… papa ngerti koq ma… papa cuma bercanda aja koq… Ayo don, sekarang kamu seret Kak Nanda kesini, kita kerjain dia malam ini.. Ayo cepat..”

“Oke deh pa..” setujunya, seraya mencabut batang penisnya yang masih tertanam divagina ibunya, bersamaan dengan itu pula istriku beringsut dari atas tubuhku, untuk kemudian membaringkan tubuhnya disudut tenda, meninggalkankan penisku yang baru saja tercabut dari dalam lubang analnya.

“Kak Nanda, kesini…” panggil Doni, setelah membuka reseleting penutup tenda.

“Apaan sih..” terdengar jawaban Nanda dari luar.

“Kesini cepet, aku sama papa lagi kentang nih, mama udah klimaks langsung KO…” sebentar kemudian Nanda memasuki tenda, yang langsung ditarik tangannya oleh Doni.

“E… eh… apa-apaan sih nih anak, sabar kenapa sih… Maen betot aja…” protes Nanda tak dihiraukan Doni, yang langsung melucuti celana training dan baju kaos lengan panjang yang dikenakannya.

“Mau diapain nih pa?” tanya Doni kepadaku, setelah tubuh kakaknya itu selesai dibuatnya bugil.

“Ya udah, kayak tadi aja… tapi kamu yang dibawah, biar papa yang diatas…” jawabku, seraya berdiri menghampiri Nanda. Sedangkah Doni dengan sendirinya langsung berbaring telentang diatas terpal.

“Anak papa yang paling cantik udah siap untuk dijadi’in bancakan kan? Huuupppp…” ujarku, diikuti dengan mengangkat tubuh bugilnya, lalu kuletakkan diatas tubuh Doni.

Tanpa perlu lagi untuk dikomando, batang penis Doni langsung digenggamnya, dan.. blesss.. amblas ditelan kedalam liang anusnya.

“Si Tini disuruh masuk aja pa, kasian dia diluar sendirian…” ujar istriku, sambil berbaring telungkup dengan merangkul bantal.

“Tin, masuk aja sini… ngapain diluar sendirian..” panggilku, yang langsung dituruti olehnya, masuk kedalam tenda, lalu menutup reseleting penutupnya.

“Tolong pijitin aku dong tin… capek banget nih, tadi siang nyetir, terus sorenya masih jalan-jalan turun naik bukit, sampai dengkul ini mau copot… Eh, barusan masih dikeroyok sama bapak dan anaknya tuh…”

Kulihat Tini telah mulai memijit punggung telanjang istriku, sambil sesekali menyaksikan aksi kami, yang kini telah mulai kugenjot liang vagina Namda dari atas. Tentunya masih menerapkan gaya double penetration seperti sebelumnya dengan istriku.

Lidahnya sesekali dijulurkan menyapu-nyapu bibir atas, dengan tatapan menggodanya tefokus kearahku. Hmmm… sebuah ekspresi wajah yang sungguh membuatku gemas untuk… Mmmfffhhh.. kupagut bibir mungilnya itu, bibir yang sedari tadi sengaja memancing-mancing diriku. Aksi yang kuberikan padanya mendapatkan sambutan yang tak kalah hangatnya, bibirku kini yang malah dikuluminya.

“Pa… Ayo terus pa.. Entotin terus memek Nanda…” ocehnya, setelah pagutan mulut kami terlepas.

“Iya sayang… anak papa yang imuuuuuttttt.. Papa bakal akan tetus entotin kamu terus selamanya..”

“Sampai mati dong pa…”

“Iya dong, sampai mati… Kalau perlu diakherat nanti papa masih tetap akan entotin kamu…” ucapku, sebuah perkataan ngawur yang tanpa perhitungan, mengalir begitu saja, seolah nafsu birahikulah yang menggerakannya.

“Emang bisa pa?” tanya Nanda, dengan tatapan seolah tak percaya.

“Tentu bisa dong sayang… percaya deh sama papa…”

“Horeeeeee… kalau gitu diakherat nanti, kita semua masih bisa ngentot bersama-sama lagi dong ya..” entahlah, apakah yang diucapkannya itu sungguh apa yang diyakini dalam hatinya, atau hanya sekedar ungkapan seseorang yang tengah mengekspresikan kebebasannya.

“So pasti dong sayang… kita masih bisa incest orgy lagi disana…” walau aku yakini ucapanku itu sebagai omong kosong belaka, tapi aku merasakan api kebebasan dalam diriku seolah betul-betul merdeka, bebas untuk mengungkapkan apapun tanpa harus terpenjara oleh norma-norma yang selama ini mengikat.

Sekitar lima menit telah berlalu, tiba-tiba Nanda menahan perutku dengan tangannya, yang tentunya membuat goyanganku harus terhenti.

“Stop dulu pa… Nanda mau kontol papa dimasukin keanus Nanda juga… plis pa..” rupanya dia menginginkan double anal, yang segera kuturuti dengan mengalihkan batang penisku dari liang vaginanya ke liang anusnya.

Agak sulit memang, memasukan lubang yang telah terisi oleh penis lain, beberapa kali harus melejit keluar saat kupaksa menekannya, mmm.. bagaimana ya?

“Tini, coba kesini sebentar… Ma, aku pinjam Tini dulu ya…” kupanggil Tini yang masih memijiti betis istriku.

“Ya, udah… ambil tuh..” setuju istriku.

“Tolong isepin kontol bapak tin…” pintaku pada Tini yang duduk bersimpuh disampingku. Tanpa banyak bertanya lagi Tini meraih penisku, seraya dikulumnya dengan antusias.

“Udah Tin…” pintaku, setelah beberapa saat mulut Tini mengulum penisku, sepertinya pelumasan oleh air liur Tini telah cukup, walaupun sepertinya Tini belum rela untuk melepaskan batang penisku dari mulutnya.

Kembali kucoba memasukan penisku kedalam liang anus Nanda, yesss… pelumasan yang diberikan Tini cukup manjur, batang penisku masuk dengan lancar menyusuri dinding anus bagian atas, dan tentunya bagian bawahnya adalah batang penis Doni.

“Makasih Tin, sana kamu pijitin ibu lagi…” ujarku kepada Tini.

Kini mulai kugenjot bokongku maju mundur, Aaahh, benar-benar ketat, batang penisku bagai dijepit. Hmmm.. sepertinya yang kini berpenetrasi dengan penisku adalah justru batang penis Doni, sehingga yang lebih dominan justru batang penisnya yang kurasakan, teksturnya yang bertonjolan dengan urat-urat disekujur penisnya lebih kurasakan ketimbang sentuhan otot anus yang lembut.

Dengan perlahan pinggulku mulai bergerak maju mundur, kulihat tangan Doni mulai aktif menelusupkan jari telunjuk dan tengahnya keliang vagina Nanda.

“Uuuugggghhhhhhh… Yang begini nih yang paling Nanda suka… mmmmmgghhhhh…” Gumamnya, sambil kedua tangannya meremasi buah dadanya sendiri.

Sambil terus menggenjot, sempat kulihat istriku membisikan sesuatu ditelinga Tini, entah apa yang dibicarakannya, hanya saja setelah itu Tini keluar dari tenda. Tak lama kemudian perempuan itu telah kembali membawa keranjang yang berisikah buah-buahan yang kami beli siang tadi, Ah, barangkali istriku memang ingin menyaksikan aksi kami ini sambil mengemil buah-buahan.

“Stop… stop dulu dong… tuan-tuan dan nyonya…” ujar istriku, kali ini dia telah duduk diatas terpal, entah apa yang diinginkannya sehingga harus menyuruh kami berhenti segala.

“Apa lagi sih ma… lagi nanggung nih..” protesku

“Iya nih mama… gangguin kesenengan kita aja, iya gak pa…” kali ini Nanda yang membuka suara.

“Eeiiitt… tenang dulu, mama justru ingin memberikan atraksi yang lebih menantang untuk kalian… khususnya untuk kamu Nanda.. Makanya, sudah deh, papa cabut aja dulu tuh kontol, kamu juga Doni…” Akhirnya, kuturuti permintaan istriku, kini kami semua duduk diatas terpal, menantikan permainan apa yang akan diusulkan oleh istriku itu, apakah ada hubungannya dengan buah yang baru saja dibawa oleh Tini, tapi untuk apa?

“Begini, setelah tadi mama melihat Nanda melakukan double anal, dimana otot-otot anus Nanda begitu elastisnya bisa menampung sekaligus dua batang kontol kalian yang besar-besar, Sehingga mama terinspirasi kalau… mmmm… buah apel ini yang dimasukan ke anus kamu…”

“Gimana? apa kamu berani menerima tantangan ini Nanda…” Nanda berpikir sejenak sambil menatap buah apel dikeranjang bambu, yang rata-rata memiliki ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa, lalu wajah imut itu tersenyum penuh arti.

“Ah, siapa takut…” jawabnya, dengan penuh keyakinan.

“Yesss… sebuah jawaban yang membanggakan… kalau gitu ayo kita mulai…” ujar istriku, seraya menyuruh Nanda untuk berbaring telentang, lalu kakinya diangkat keatas hingga kedua telapak kakinya menyentuh ujung kepalanya sendiri. Posisi akrobatis seperti ini praktis membuat pantatnya terangkat keatas dengan lubang anus menantang.

“Kamu pegangin kaki Nanda Tin…” perintah istriku kepada Tini, tapi kemudian istriku memperhatikan perempuan itu, sepertinya masih ada yang dirasakannya kurang pas dari diri Tini.

“Tin, coba mendingan kamu buka baju aja deh, telanjang gitu lho… semuanya disini telanjang koq, kenapa juga kamu enggak…” ujarnya

“Eh, iya… maaf bu..” Tini akhirnya melucuti semua pakaiannya hingga bugil seperti kami.

“Nah, gitu dong… Ayo, kamu pegangin kakinya Nanda..”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu