1 November 2020
Penulis —  diono_cilik

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 9 : Terkunci

Buuk!!

Aku jatuh tersungkur di sudut ruang tamu. Pakaianku acak – acakan. Aku berantakan. Aku babak belur. Darah menyeruak dalam tiap kulit tipis bibir dan alisku. Aku tak dapat berkata dalam suara. Hanya tatapan benci dari dua pria di depanku yang mengeroyokku saat ini. Hatiku hanya dihibur oleh tatapan seorang wanita paruh baya yang baru saja Ku setubuhi di depan pintu.

“Haaahhh…” (Pikiranku kacau)

Ku hirup dalam – dalam udara yang melewati depan hidungku. Ku masukkan hingga paru – paruku benar – benar merasakannya. Pikiranku kacau dan gelisah. Aku hanya tak dapat bergerak. Aku kaku. Tapi, pikiranku benar – benar tak dapat diam. Aku tak mengerti, bagaimana waktu sesingkat ini bisa menjadi kesempatan bagiku.

Pikiranku kacau. Aku tak kuat jika apa yang Ku bayangkan benar – benar terjadi. Aku akan malu dan hancur lebur jika kedua pria itu mengetahui apa yang Ku lakukan pada wanita yang disayanginya. Aku bisa sangat hancur. Semua hal buruk dapat terjadi jika Aku nekat. Aku tak mau mereka mendapati sebagian kelakuanku selama ini.

Tenang dan tenang. Ku coba untuk membuang semua imajinasi buruk dalam kepala. Tapi kakiku tetap tak tenang. Apa yang harus Ku lakukan? Ini tak mungkin bisa. Tapi senyum itu tetap menantangku. Aku tak tahu. Haruskah Aku?

Perlahan, setiap gesekan antara otot sepanjang kakiku begitu terasa saat Aku bangkit dari sofa. Pijakan telapak kakiku begitu terasa dalam setiap langkahnya. Aku benar – benar nekat. Aku terus menantang logikaku. Aku terus mencoba bertanya pada setiap peluang yang akan Ku dapat jika ini berhasil. Gagal atau tidak.

“Hmmmm…”

Aku bernafas pelan dan dalam sambil menelan ludah. Aku sudah berada di depan pintu kamar Ibunya Zima. Aku tahu saat ini hanya ada Kita berdua, tapi ini berbeda situasinya. Ada Zima dan Ayahnya. Ini akan menjelaskan ulang tentang bagimana Aku bisa nekat sebagai remaja laki – laki. Laki – laki yang penuh nafsu memburu mangsanya walau kesempatan itu sempit.

Genggaman tanganku semakin kuat. Aku seperti tak sabar tapi Aku juga tak mau melangkah jauh. Ini tidak mungkin, tapi apa senyuman itu tadi. Tadi itu hanya godaan, tapi naluriku berkata Aku harus menggapainya. Tapi bagaimana jika tidak sesuai dengan apa yang Ku inginkan. Bisa – bisa Ibunya Zima marah dan tak menduga Aku akan benar – benar sangat nekat.

Tapi bagimana jika memang Ibunya Zima menginginkannya. Ia sengaja tersenyum padaku untuk cepat menghampirinya. Kami kan jarang bertemu, dan Aku tahu Kami sama – sama menikmatinya. Bersetubuh adalah hal yang sangat nikmat dan sayang jika adrenalin itu dilewatkan begitu saja.

Lima menit. Lima menit telah berlalu sejak Ku lirik jam dinding di ruang tamu. Detak detik jarum jam itu benar – benar mengganggu pikiranku. Suaranya menantang kenekatanku apakah Aku akan bergerak atau tidak. Suaranya semakin nyaring di telingaku. Sial.

“Hufhhh…”

Crkrk

Terkunci!

Sial!

Pintunya terkunci. Aku sudah benar – benar memutarnya pelan dalam genggamanku. Aku yakin pintunya terkunci. Agh!

_Aggghhhhhh!!!!

_

Sudah Ku bilang, Ibunya Zima hanya tersenyum menggodaku. Ia benar – benar tak bermaksud menantangku. Aku saja yang nekat dan sangat bernafsu ingin merasakan kenikmatan kembali. Bodoh. Aku memang bodoh. Aku remaja yang hanya tahu tentang nafsu dan sex semata. Murah sekali harga diriku digoda seperti itu.

“Hahhh…”

Aku pun menghela napas panjang dan penuh dengan kelegaan. Aku mengajak pikiranku untuk meredam banyak nafsu yang sedari tadi penuh untuk keluar dari dada. Pelan dan pelan.

Aku pun berjalan ke ruang tamu di dekat kamar. Ku tuangkan air dalam wadah dan Ku nikmati setiap kucuran air yang masuk ke dalam gelas. Aku haus. Haus hanya karena menahan nafsu tadi. Ku tatap jam dinding. Sudah berlalu enam menit sejak Aku mematung di depan pintu yang dengan percaya dirinya percaya bahwa kesempatan itu memang ada.

***

Ckrk!

“Oh, Dio! Ngapain Lo?”

“Oh, gak ini Gw ngeringin rambut.” Jelasku pada Zima yang tiba – tiba membuka pintu kamarnya.

“Oh, ayo! Makan Kita.” Ajaknya.

“Oh, ok!”

Aku pun menyusul Zima untuk bergabung bersama dengan kedua orang tuanya di meja makan. Perlahan Ku lihat Ayahnya Zima menatapku dengan senyum hangatnya. Ibunya Zima pun sedang menguangkan nasi ke atas piring – piring yang ada di meja makan. Mereka telah kembali.

“Ahh, ayo. Kita makan Dio! Well, ini pertama kalinya setelah beberapa bulan Saya tak makan bersama keluarga. Sekalinya ada kesempatan itu, sudah ada tamu di sini. Temannya Zima. ayo, ayo mari nikmati.” Ajak Ayahnya Zima.

Aku duduk berseberangan dengan Ayahnya Zima. ibunya Zima duduk dekat dengan suaminya. Dan Aku pun juga duduk dekat dengan Ibunya Zima. tapi posisi ini membuatku sedikit canggung karena pasti akan terus ditatap oleh Ayahnya Zima. aku benar – benar tak bisa tenang seperti biasa. Entah mengapa Aku merasa gugup dan sedikit takut.

Bayang – bayang tentang banyak kenikmatan saat – saat Aku bersetubuh dengan istrinya begitu terasa dan berada di atas kepalaku. Setiap perkataannya membuatku gugup. Apa ini yang dinamakan selingkuh? Perasaan takur ketahuan tapi juga menikmatinya ini tak pernah Ku rasakan di tempat lain. Gila, kali ini Aku baru menyadarinya arti kata tersebut.

“Maaf, tadi harus keluar sebentar untuk emngambil berkas di safe box. Jadi makan siang jadi tertunda sebentar. Tapi, Papa bawa tambahan sedikit. Wah…”

“Iya, Pap. Ini juga sudah banyak Mama masak. Udah dibilang gak usah beli. Ini juga jadi banyak.” Jelas Zima yang sedikit memprotes karena makanan sudah banyak, jadi tak perlu menambah makanan lagi.

Ada banyak sekali yang tersaji di atas meja. Makanannya pun seperti tak bertema, penuh semua. Padahal hanya ada empat orang di sini. Tapi, sangat menggoda untuk dinikmati. Terus terang Aku merasa capek dan lapar setelah tadi. Ingin rasanya menikmati semua yang di atas meja. Jarang – jarang Aku bisa makan enak.

“Ayo, Dio… ini dagingnya, ambil, makan… dinikmatin ya.” Ibunya Zima pun kemudian memberikanku daging yang memang sudah Ku incar. Tahu saja Ia jika Aku benar – benar lapar.

“Ayo Dio, Kamu pasti laper kan…” ajak Ibunya Zima lagi.

“Iya, come on. Kapan lagi Kita makan enak. Biasanya kan sayur, telur, sayur, sayur, daging, sayur, sayur, sayurrrrr…” ledek Zima pada Ibunya.

“Eh, sayur kan sehat. Ckck… mentang – mentang ada Papa ya…” protes Ibunya Zima.

Yah, memang benar sih. Selama Aku bermain di sini, makan yang ada selalu disuguhi dengan banyak sayur. Bahkan kadang lauknya satu jenis, tapi sayurnya bisa tiga jenis. Belum kalau ada lalapan. Ibunya Zima ini memang suka sayur dan juga buah. Di kulkasnya saja banyak sekali buah. Hidupnya lebih sehat.

“Oh ya? Wah, Mama ayolah. Lihat Zima, jadi kurus begini. Papa aja kaget lihat Zima kurus begini.” Ayahnya Zima pun juga ikut meledek.

“Iih, Papa! Apa sih? Ikut – ikut aja. Sayur kan sehat Pa.”

“Lihat Papa! Badan Papa sehat!” ayahnya Zima meledek sambil menunjukkan gerakan lengan dan dada ke arah Ibunya Zima.

“Ya, iyalah Pa. Di sana kan makannya daging terus. Udaranya juga lebih dingin. Jadi ya makannya daging. Daging, daging, daaaginggg…”

“Darpada sayur, sayur, sayurrrrrrr” ledek Zima kembali.

“Ehh, ini kalian…” protes Ibunya Zima sambil menaruh banyak sayur ke piring Zima.

“Iih, Mama!” protes Zima.

“Hehe.”

Wah, cara mereka berkomunikasi benar – benar hangat dan akrab. Aku iri melihatnya. Aku juga ikut merasa senang, terlebih Zima dan Ibunya. Kehadiran Ayahnya benar – benar membuat suasana makan siang ini begitu hidup. Keluarganya benar – benar harmonis. Wah, kalau Aku jadi Zima, Aku akan ikut tinggal di Jerman.

“Ingat loh Pa, kesehatan nomor satu. Makannya tolong dijaga.” Jelas Ibunya Zima.

“Well, yah. Papa sejak awal tetap mengontrol diri. Perusahaan juga rutin menanyakan kondisi kesehatan di sana.” Jelas Ayahnya Zima.

Aku pun membayangkan tentang diriku di masa depan. Kira – kira apa Aku bisa memiliki kehidupan yang seperti keluarga Zima punya. Ayahnya bekerja di luar negeri. Tentu saja penghasilanya sangat besar, apalagi dapat tinggal di kawasan elit di kota ini. Anaknya, Zima, pun juga cerdas. Terlihat dari pembawaanya di sekolah kalau Ia anak orang kaya, bersih, rapi, dan tak macam – macam.

Aku pun berusaha masuk dan juga ingin terlihat mencair dalam suasana obrolan makan siang ini. Sesekali Aku meinimpali setiap candaan yang terlontar dari setiap individu di ruang makan ini. Aku juga jadi tahu jika Ayahnya Zima memang sangat betah bekerja dan berharap Zima mengikuti jejaknya suatu saat nanti.

Jika perlu Zima dan Ibunya juga ikut pindah saat Zima bisa bekerja di luar negeri, termasuk di Jerman. Kehidupan yag sudah stabil di sana dan tentunya lebih teratur membuat Ayahnya Zima ingin merasakannya bersama keluarga setiap saat. Yah, yang Ku tahu, Ayahnya selalu berusaha membujuk, tapi Ibunya Zima ingin Zima tetap di Indonesia.

Kami pun sudah selesai makan. Wah, makanan kali ini benar – benar enak dan membuatku cukup kenyang. Aku pun membereskan sisa – sisa makanan.

_Srrrt…

_

Aku kaget. Tiba – tiba punggung kakiku disentuh. Punggung kakiku disentuh oleh telapak kaki. Dan itu telapak kaki Ibunya Zima. Aku kaget dan bingung bereaksi. Aku seperti berpura – pura menahan rasa kaget ini.

Punggung kakiku basah. Ada cairan yang Ibunya Zima berikan padaku melalui telapak kakinya.

“Ayo Dio, habiskan. Jangan ada sisa. Kalau ada sisa bersihkan…”

Perkataannya tentu bukan untuk mengejekku karena Aku sudah habis makan. Ku lirik ke bawah ke arah punggung kakiku. Lengket. Ini sperma? Kok bisa? Aduuuh…

“Ayo Dio, ke kamar Gw.” Zima pun mengajakku ke kamar.

“Eh? Oo… Gw ke kamar mandi dulu bentar.”

_Benar!

_

Ini sperma! Gila, kok bisa? Duuuh, untung aja tadi Ibunya Zima yang tahu. Coba kalau Zima atau Ayahnya, habis Aku. Gila. Aku tiba – tiba jadi panik saat membersihkan sperma di kakiku. Untung saja tak ketahuan. Oh Tuhan, terima kasih. Terima kasih Tante.

Aku pun pergi ke kamar dan bergabung dengan Zima yang sepertinya sedang memilih – milih DVD yang akan ditonton di kamar. Ia pun memberikanku kaleng minuman ringan sebagai teman menonton.

“Sori ya, tadi lama nunggu ya Lo?”

“Ah, kagak. Kagak lama, orang Lo pergi gak ada setengah jam kok.”

“Gw pikir Lo lagi nonton selama Gw sama bokap pergi. Tahunya Lo diri di bawah AC. Kurang dingin ya?” tanyanya.

“Dingin kok. Daripada Gw gak ngapa – ngapain (Bohong!)

***

Sebelumnya…

Ckrk!

“Oh, Dio! Ngapain Lo?”

“Oh, gak ini Gw ngeringin rambut.” Jelasku pada Zima yang tiba – tiba membuka pintu kamarnya.

“Oh, ayo! Makan Kita.” Ajaknya.

“Oh, ok!”

Hampir saja!

Aku pun memasukan penisku yang masih sedikit tegang dan masih ada sisa cairan vagina Ibunya Zima. Sial, saking kagetnya, Aku jadi kesulitan menutup resleting celanaku. Untung saja Aku berbalik badan dan pas berada di bawah AC kamar. Jadi Aku yakin Zima tak mencurigaiku. Ah, gila. Aku benar – benar nekat.

Dua puluh menit yang lalu…

Crkrk

Terkunci!

Sial!

Pintunya terkunci. Aku sudah benar – benar memutarnya pelan dalam genggamanku. Aku yakin pintunya terkunci. Agh!

Aggghhhhhh!!!!

Sudah Ku bilang, Ibunya Zima hanya tersenyum menggodaku. Ia benar – benar tak bermaksud menantangku.

Aku pun menghela napas panjang dan penuh dengan kelegaan.

Sudah berlalu enam menit sejak Aku mematung di depan pintu yang dengan percaya dirinya percaya bahwa kesempatan itu memang ada. Ternyata hanya imajinasi dan kebodohanku saja. Haaah…

Crkrk

Terdengar suara pintu kamar terbuka. Aku pun membalikan tubuhku menghadap ke arah suara berasal. Ku dapati dalam tatapanku, Ibunya Zima berada di depan pintu. Ibunya Zima hanya memakai kimono sutra yang tipis. Kulitnya begitu bercahaya. Rambut basahnya mengkilau mengindahkan pandangaku. Ibunya baru saja mandi.

Hal yang membuatku menelan ludah adalah kimononya tak ditutup. Ibunya membiarkan tali kimononya terlepas. Tubuh depan telanjangnya begitu terlihat jelas di lensa mataku. Bagian dadanya yang indah dan rambut tipis vaginanya begitu menggoda mata lelakiku. Beberapa kali Aku hanya tertegun menelan ludah.

Aku seperti memperkosa dan menikmati tubuh Ibunya Zima dalam tatapanku. Tatapan yang sedari tadi mulai tenang, kini kembali menggelora untuk bangkit. Bulu kudukku merinding dan menjalar di setiap inci tubuhku. Jantungku kembali berdetak kencang. Detaknya berusaha mendahului dua kali detak jarum jam yang dari tadi mengganggu pikiranku.

Perlahan Aku mendekati Ibunya Zima. Aku datang dan Aku menatap matanya layaknya seorang laki – laki. Aku seperti kurang ajar menatap Ibunya Zima. Tapi Ibunya Zima yang menantangku. Ibunya Zima pun hanya menatapku. Ia menatap untuk memintaku kembali menyetubuhinya.

Tangan kiriku bergerak ke dalam sela kimono Ibunya Zima. Aku pun memeluknya. Ku tatap lekat mata Ibunya Zima. Dalam dan penuh nafsu. Aku pun dengan kurang ajarnya berani mencium bibir mungil Ibunya Zima.

“Cchhh… mmmmh… ccmmmmhh… cccmmmaahhhhhhhh.”

Ciuman Kami penuh nafsu. Aku begitu menikmatinya. Penisku pun menjadi tegang.

Aku pun menciumi tengkuk lehernya. Baunya wangi. Wangi oleh sabun yang belum pernah Ku rasakan. Begitu menggoda dan membuat bernafsu.

Duuk!

Tanpa sadar Kami pun saling bercumbu hingga menabrak meja makan. Kami pun terdiam. Dengan spontan Aku pun mengangkat tubuh Ibunya Zima duduk ke atas meja makan. Ku pandangi tubuh indah Ibunya Zima, dan benar – benar membuat mulutku tak dapat diam. Aku pun dengan penuh nafsunya, melumat puting payudaranya.

“Oughhh… sshhhh… Diiioooo… uhhhhh… shhhhh.”

“Hmmmm..”Aku pun tak dapat berkata. Lenguhannya membuatku terus bernafsu.

Kepalaku ditekan – tekan oleh Ibunya Zima. “Masukin… massshhhhaaa… mmmh… masukkkkinnn… Ddiiooo… sssshhhh… masukkkkiinn…”

Aku mendengar ucapannya. Aku nafsu. Nafsu ini begitu berbeda, benar – benar menggelora. Aku menurunkan tubuhnya dan membalikannya. Ku dorong punggung Ibunya Zima hingga Ibunya Zima menunduk membelakangiku. Ku singkap kimononya dan Ku buka reseletingku. Aku ingin memasukan penisku dari belakang. Aku sudah tak tahan ingin menyodok pantat Ibunya Zima.

“Ooough!”

Lenguhannya mengawali penisku masuk ke dalam vaginanya dari belakang. Pelan dan pelan ku genjot batang penisku. Masuk, keluar, masuk, dan keluar, begitu seterunya. Cairan vaginanya membasahi seluruh batang penisku. Penisku begitu dirangsangnya oleh jepitan dinding vaginanya. Basah dan nikmat. “Ughh!

Oohhh!”

“Terruss Dio… Shhhhhss… Uhhh… teruss… terus…”

“Hmmmm… mmmhhhh”

“Oh Tante!… Oh… Shhhh… enak Tante… ohhh…(Aku seperti mengeden menahan sesuatu, Aku akan keluar)

Gila, dalam posisi ini Aku benar – benar tak kuat dibuatnya. Hentakan penisku yang menabrak – nabrak pantatnya membuat rangsangan pada penisku begitu nikat dan tak tahan. Aku benar – benar dibuat nikmat. Aku akan keluar.

Brmmm!

Terdengar suara mobil yang datang! Itu mereka! Mereka sudah pulang!

“Ohhh… Dio… sshh… keluarin… keluarin… ayo sayyangggg… dikkkit… lagi…”

Aku pun mempercepat genjotan penisku. Nafasku semakin berat. Aku akan keluar. Aku benar – benar akan keluar. Aku keluar. Aku keluar. Aku…

“AAAHHHHHhh!”

Di saat spermaku menjalar keluar. Ibunya Zima pun langsung mencabut vaginanya dari penisku. Aku pun sedikit kaget dan Aku pun juga mulai tersadar. Mereka sudah pulang dan Aku harus melakukan sesuatu.

Ibunya menutup kembali tubuhnya dengan kimononya. Ibunya meraih tissue di meja makan dan menutup vaginanya. Ia pun mengelap cairan sperma yang menetes di lantai. Ibunya Zima juga menutup kepala penisku dengan tissue dan menyuruku pergi ke kamar Zima.

Crkek

Mereka sudah masuk. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar Zima. Aku merapikan diriku dan bajuku sedikit acak – acakan. Rambutku sedikit basah karena bersinggungan dengan rambut Ibunya Zima. Tapi Aku masih berkeringat.

Lalu Aku meraih remot AC dan menurunkan suhu agar lebih dingin. Aku berdiri di bawahnya dan berharap bisa kering. Ku tarik resletingku dan susah. Sial! Ini kenapa susah ditutup. Ugh!

Ckrk!

“Oh, Dio! Ngapain Lo?”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu