1 November 2020
Penulis —  diono_cilik

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 5 : Ke Kota B “Yeah!”

Sudah beberapa hari setelah kejadian yang Ku alami. Aku menjadi semakin penasaran dengan wanita. Ku lihat beberapa temanku di dalam kelas, beberapa diantaranya membuatku pusing, tapi wanita dewasa sangat berpengalaman. Entah kenapa, wanita paruh baya membuatku pusing tak karuan. Entahlah, di usiaku saat ini harusnya Aku bersama dengan seseorang yang sebaya denganku.

Semua anak – anak sekarang sedang bersiap menuju pilihan lanjutan setelah tamat. Banyak dari mereka yang setiap hari pulang sore, termasuk Zima. Aku lebih memilih usaha sendiri. Setidaknya Aku ingin membuktikan bahwa Aku juga bisa secara mandiri seperti yang Bapak nasehati. Kegiatan hobi Kami hanya bisa dilakukan di akhir pekan.

Hal yang Ku lakukan di rumah hanya membaca dan latihan dari buku – buku yang sudah dibelikan oleh Ibu. Ibu menasehatiku untuk lebih giat belajar dan sering – sering bertanya ke teman jika mengalami kesulitan. Kadang Ibu menemaniku belajar. Walaupun Ibu tidak paham apa yang Ku pelajari, Ibu hanya menemani saja sembari menjahit beberapa pakaianku yang bolong.

“Kamu ini belajar sendiri aja. Temennya kapan – kapan belajar bareng di sini atau Kamu yang keluar belajar sama temen.” tukas Ibu yang dari tadi masih menjahit.

“Iya Bu. Cuma klo belajar enakan sendiri. Klo ramean berisik. Kemarin juga sempet belajar bareng sama temen.” jelasku.

Ibuku bangkit dari tempat tidur dan menaruh pakaianku di dalam lemari. Ia pun menghampiriku dari belakang. Aku yang sejak tadi belajar di meja belajar merasa nyaman saja ditemani Ibu. Ibu tidak banyak bertanya, hanya menemani. Ibu pun mengelus – elus rambutku.

“Kamu ini sudah besar Nak. Cari pasangan gih, biar kalian bisa saling menyemangati.”

“Iya Bu, nanti Aku cari. Lagian Ibu juga cukup.” Aku masih membaca – baca buku.

Cup! Ibuku mencium pipiku lembut dan berlalu pergi.

Ah, bosan Aku. Setiap hari seperti ini. Sambil memandangi atap kamarku, Aku tak pernah lupa kejadian beberapa hari lalu. Gila. Akhirnya Aku melakukannya. Penisku dikocok oleh Ibunya Zima. Selama ini yang mengocok penisku adalah tanganku sendiri. Oh, sungguh enak rasanya. Aku ingat bagaimana Aku mengejang keenakan dibuatnya.

***

Tidak banyak yang dilakukan hari – hari ini di kelas. Setiap individu sibuk dengan kegiatan masing – masing. Dari kejauhan Ku lihat Zima masih asyik dengan pekerjaannya.

Zim… Zim… klo Lo tahu apa yang terjadi beberapa waktu lalu, pasti Lo udah benci banget sama Gw. Kok bisa ya Zim Lo punya nyokap seksi begitu. Dari luar sih gak kelihatan, tapi klo udah liat dalemnya… ughh… ngaceng Gw sama nyokap Lo Zim. Dasar anak baik, gak pernah ngeh klo punya nyokap kayak begitu. Kapan Gw bisa lagi kayak gitu. Takut Gw klo ketahuan sama Lo Zim. Ah, sekarang Gw klo liat cewek bawaannya ngaceng mulu. Gara – gara nyokap Lo nih Zim, liat cewek gak jauh dari toket sama pantat.

Bel pun berdentang di sepanjang kelas. Semua anak berhamburan keluar untuk pulang. Aku pun melangkah gontai di sepanjang koridor. Besok libur. Liburan yang membosankan. Liburan yang Ku lalui hanya membaca buku sambil ditemani Ibu. Ah, inginnya diriku kembali ke rumah Zima, tapi Aku takut. Padahal jika Aku mau Aku bisa saja bilang ke Zima.

Setelah beberapa lama, Aku pulang ke rumah. sepanjang jalan tak henti – hentinya Aku membayangkan kejadian itu.

Aku pun masuk ke rumah. Tak ada orang di dalam. Aku haus. Aku membuka kulkas dan meneguk segelas jus. Samar terdengar Ibu seperti tertawa dengan Ayah dari dalam kamar. Ah, mereka sedang asyik mengobrol. Aku pun kembali ke atas ke kamar ku.

Sesaat Ku rebahkan badan, handpone Ku berdering. Ku lihat Zima yang menelonku.Wah! Kesempatan nih! Aku akan kembali ke rumah Zima…

“Halo Zim, kenapa Zim?” tanyaku.

“Dio, buku Gw yang Lo pinjem, Senin bawa ya. Buat Gw pake pas les ntar.” Jelasnya.

“Oh, iya ntar Gw bawa.”

“Lo di mana sekarang?” tanya Zima.

“Di rumah, baru aja nyampe. Kenapa emang?”

“Oh, ini nyokap Gw lupa. Kemarin ada yang ketinggalan oleh – oleh buat Lo. Sabtu mau Lo ke sini? Cuma Gw gak ada, Gw ke B. tapi nyokap ada. atau Gw ke rumah Lo ya?” tawarnya padaku.

“Gak usah lah Zim. Besok Senin aja, lagian juga Lo gak tahu rumah Gw. Repot – repot banget Lo Zim.”

“Oh, iya juga sih. Bentar, Gw tanya nyokap dulu.”

Sejenak suara Zima sedang berbicara dengan Ibunya.

“Ya udah. Ntar Senin Gw bawa. Ok.” Tutup Zima.

“Ok.”

Sabtu. Zima pergi.Ini kesempatan! Kenapa harus Senin. Ah! Segera Ku kembali menelpon Zima.

“Halo Zim! Sabtu deh boleh Gw ambil. Gak enak Gw Lo bawa ntar Senin. Sekalian Gw mo ke bengkel.”

“Oh, ya udah. Ntar dateng aja, ditunggu sama nyokap di rumah besok. Jangan berubah lagi.” Pintanya.

“Ok!”

Ah, tidak! Aku benar – benar kangen sama Ibunya Zima. Entah apa yang ada dalam pikiranku. Aku menginginkannya kembali. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok.

***

Ku pelankan kecepatan kendaraanku memasuki komplek. Ah, akhirnya hari ini tiba juga. Sabtu. Ini hari Sabtu. Hari yang akan membuat rasa penasaranku semakin terasa. Aku seperti ingin menikmati perjalanan motor ini hingga menuju depan rumah Zima. Rumah di mana temanku tak ada. Hanya ada Ibunya dan diriku.

Aku telah berada di depan rumah. perlahan Ku menuju depan pintu. Ku tekan bel pintu. Aku gugup. Aku juga tak tahu mengapa Aku gugup. Aku dan Ibunya Zima telah saling menyentuh satu sama lain. Aku kepingin. Aku benar – benar ingin melakukannya. Ini adalah pertama kalinya.

“Oh, Dio! Masuk!”

Ibunya Zima menyambutku dengan seperti biasa. Ia hanya memakai daster terusan panjang. Tapi saat ini Ia begitu harum. Wangi, seperti wangi yang menggugah seorang laki – laki ingin memeluknya dari belakang.

Ia meminta duduk di meja makan. Ku lihat ada kotak makanan. Ya, seperti biasa, Ibunya Zima akan memintaku mencicipi makanan di meja makan.

“Nih, cobain deh Dio. Ini Tante tadi pesen. Temen Tante buka usaha. Jadi Tante pengen coba. Cobain deh.” ia pun mengambil setengah potong donat di dalam kotak, begitu pun diriku.

“Mmmh, enak Tante..” Aku pun menikmatinya.

“Ya kan… kapan – kapan Tante juga mau usaha juga. Tapi kayaknya warung makan aja.”

Sambil makan, di kepalaku selalu terbayang kejadian tempo lalu. Aku beberapa kali melirik bagian tubuh Ibunya Zima. Tubuh yang pernah Ku sentuh. Aku memperhatikan bagian payudaranya yang tertutup oleh daster tipisnya. Payudara yang pernah Ku lumat dengan bibirku. Aku terus terang ingin kembali merasakannya.

“Mmhh… tentang malam lalu…”

Deg! Aku kaget, Ia mengungkitnya. Aku hanya diam melihatnya.

“Loh, ngeliatinnya gitu. Senyum dong…”Ibunya menghiburku.

“Eh, iya Tante.” Aku pun membalas senyumnya dengan malu.

“Mmmh… Kamu terusin aja makannya. Nanti klo udah ke ruang tamu ya.” pintanya dan pergi berlalu.

Aku gugup. Donat yang berada di mulutku Ku makan pelan – pelan. Sengaja Aku mengulur waktu. Aku membayangkan tentang apa yang akan terjadi. Apakah ini akan segera terjadi?

“Tuh liat. Aneh – aneh ya orang sekarang. Ada orang begitu bukannya di tolong malah ditonton.”

“Oh.” Aku pun datang menghampiri dan menimpali Ibunya Zima yang sedang menonton televisi. Aku duduk di sofa sampingnya.

Aku hanya menemani Ibunya Zima. Aku diam saja duduk di dekatnya. Lama Kami memperhatikan televisi. Aku pun berusaha memulai obrolan. Entah kenapa Aku masih canggung.

“Eh, tadi mau ngomong apa Tante?” tanyaku pelan.

Ia kemudian menolehkan kepalanya menatapku. Ia menatapku dalam. Ia kemudian tersenyum.

“Kamu dari tadi kok canggung gitu sih?” ledek Ibunya Zima.

“Oh… ah uhm..” Aku kagok.

Belum Aku menjawab, Ibunya menengadahkan kedua tangannya ke hadapanku. Ia seperti memintaku mendatanginnya. Jantungku benar – benar berdetak kencang seperti yang Ku rasakan tempo lalu. Seperti tanpa sadar kaki dan tanganku mengalahkan kesadaranku. Aku bergerak perlahan. Ibunya adalah ibu seorang anak.

Aku menghampirinya bak seorang anak laki – laki yang ingin memeluk Ibu sendiri. Ibunya membuka tangannya lebar dan sedikit membuka kakinya. Aku perlahan memeluknya. Aku memeluknya dalam keadaan bersimpuh di atas lantai. Lututku gemetar menyentuh lantai. Tanganku gemetaran melingkar di pinggang Ibunya Zima.

“Maaf Tante…” hanya kata itu yang terucap dari bibirku.

Telapak tangannya menyentuh wajahku. Perlahan, ibu jarinya mengelus pelan pipiku. Ia menatapku lekat.

“Hei, kemarin itu Tante yang kepingin. Selama ini hanya sekali dalam setahun. Pernah dua kali dalam setahun Ayahnya Zima pulang. Saat – saat waktu semakin berlalu dan Tante yang terus menua. Tante ingin biasa saja, melupakan keinginan batin Tante. Apalagi Zima sudah besar. Hingga saat Tante sudah menjadi terbiasa, Kamu hadir.

Penjelasannya akan banyak kejadian ini membuka mataku bahwa seorang wanita selalu ingin disentuh dan diperhatikan. Aku menjadi merasa bersalah apalagi Ibunya sedang berusaha melupakan keinginan seksualnya, hingga Aku datang.

“Tante… tapi… Sa… ya juga ingin…” berani sekali Aku mengatakannya. Tapi ini sudah di depan mata. Aku sangat sangat kepingin.

Ibunya Zima hanya tersenyum. Perlahan wajahku ditariknya mendekat ke wajahnya. Aku tahu Ia ingin menciumku. Aku pun juga menyambutnya. Pelan bibirku menyentuh bibir Ibunya Zima. Bibirnya tipis. Tipis dibalut dengan lipstik merah muda yang wangi. Aku tak tahu bagimana berciuman yang benar. Beberapa kali bibir Ibunya Zima membimbingku untuk tak terus sekedar saling menempel.

“Mmhmmm… ccpcp… mmmh… aah… mmmh.” Lenguhan Kami pun seperti berirama.

Ia mendorong jauh tubuhku. Aku menatapnya bingung. Ia kemudian mengelus dadaku. Ia menarik kaosku ke atas. Ia membuka kaosku. Ia menatap dadaku yang bidang. Telapak tangannya menjamah setiap bagian bidang dadaku. Ibunya Zima menatapku. Perlahan Ibunya Zima membuka tali dasternya. Ia turunkan dasternya.

Kini kedua payudara dengan putingnya yang menantang terpampang jelas di depan kedua mataku. Pemandangan yang membuat tenggorokanku serak dan terus menelan ludah. Ibunya Zima lalu membimbing kepalaku untuk mendekat dan melumat kedua payudaranya. Aku pun datang menghampiri payudaranya. Ku sambut putingnya dengan lidahku.

“Mmmh… Ahhh.. ahh… sshhhh… ohhh… shhhh… mmmmh… ohhh… shhhh.”

Pelukanku semakin erat. Tangan kanan ku bergerak dengan sendirinya untuk menggenggam payudara sebelah kiri Ibunya Zima yang masih bebas dari jamahan. Pelan Ku remas – remas sembari sedikit memelintir putingnya.

“Ough! Ssshh… Ahhhh… ugh… terus Dio… mmmh…” Hanya lenguhan nafsu yang keluar dari bibir Ibunya Zima tanpa kata – kata.

Ku lirik matanya hanya terpejam. Nafasku semakin menjadi – jadi. Zima maaf, Ibumu kini Ku kuasai. Aku ingin melakukannya.

Kulumanku semakin menjadi – jadi. Aku pun bergantian mencumbu payudara kanannya. Payudara kirinya kini yang Ku remas – remas.

“Ough… Ughh… Mmmmhh… Shhhhh… ohh…”

Tiba – tiba tangannya meraba – raba bagian selangkanganku. Sejenak Aku pun kaget. Tapi Aku biarkan. Ia pernah mengocok penisku. tak berapa lama Aku merasa celanaku melonggar. Ibunya benar – benar pintar membuka celanaku hanya dengan satu tangan. Tangannya seperti memberi kode untuk segeraku membuka celana.

Kepala penisku lalu disentuh lembut oleh tangan Ibunya Zima. Setiap inci batang penisku dijelajahi oleh jari – jarinya. Aku menjadi semakin tegang. Aku seperti ingin segera bersetubuh dengan Ibunya Zima. Bersetubuh layaknya yang Ku lihat di dalam film – film porno yang sering Ku lihat. Tegak menjulang seperti ingin menusuk – nusuk.

Ku lihat Ibunya membuka lebar kedua pahanya. Daster tipisnya tersingkap dengan jelas. Kini Aku bisa melihat dengan jelas sebuah tujuan dari penisku yang sedari tadi dibuat pusing olehnya. Vaginanya terlihat dengan jelas. Aku dengan jelas melihat vagina Ibunya Zima. Vagina yang dulu melahirkan temanku Zima.

Tangan Ibunya Zima kemudian menarik pelan batang penisku. Ia membimbingku untuk memasuki lubang vaginanya. Aku pun juga membantunya mendorong penisku masuk ke dalam vagina Ibunya Zima. Aku dapat merasakan vaginanya terasa licin. Ada perasaan aneh bagiku menyentuh vagina seorang wanita. Ini pertama kalinya Aku berhubungan seks.

Pelan Aku mulai memasuki vaginanya. Rasanya basah dan hangat. Sangat nikmat. Ugh… aku merasa sangat nikmat.

“Haaa…” Ku lihat Ibunya Zima membuka mulutnya seperti kaget. Ia lalu memandangku dengan tatapan sayu.

Kedua tangannya memegang pinggulku. Ibunya Zima membimbingku. Ia memintaku untuk mendorong dan menarik batang penisku di dalam vaginanya. Ugh… rasanya nikmat luar biasa. Seluruh batang penisku benar – benar terangsang. Ada rasa geli nikmat hangat yang belum pernah kurasakan. Aku benar – benar berhubungan seks dengan Ibunya Zima.

“Ough… terrruussss… Diii… oo… Uh… mmmmm… shhhh… terus… oughh…”

Ucapannya benar – benar membuatku bernafsu. Aku pun seperti cengan cepat mendorong mundur batang penisku di dalam vagina Ibunya Zima. Oh Tuhan, ternyata nikmat sekali berhubungan seks itu. Perasaan nafsu yang selama ini hanya bisa Ku bayangkan benar – benar enak dan nikmat. Batang penisku semakin tegang padahal sudah tegang.

Keringatku mulai bercucuran. Ku lihat tubuh Ibunya Zima juga mulai berkeringat padahal ruang tamu ini ada AC-nya. Cahaya pantulan sinar dari kaca membuat payudara Ibunya Zima semakin terlihat indah di mataku. Segera Ku kembali melumat kedua payudaranya.

“Ough!… Shhh… pelan… sayang… pelan… uh… shhh… ya… terus… terus dorong… mmh…”

Lumatanku benar – benar tak malu – malu lagi. Aku benar – benar melumatnya dengan lidahku. Aku kenyot. Aku jilat. Aku sedot. Aku pelintir putingnya dengan lidahnya.

“Auhhh… shhhh… mmmh…”

Aku pun seperti otomatisnya mencumbui bagian atas payudara Ibunya Zima. Aku cumbu lehernya. Suara lenguhan nafasnya semakin Aku keras menghantam – hantam vagina Ibunya Zima. Aku lumat bibir tipisnya.

“Mmmhh… mmmmh…”

Lidahku menjulur masuk ke dalam mulutnya. Aku benar – benar nafsu. Lidahnya menyambut lidahku. Bibirku digigit – gigit olehnya. Sesekali lidahku disedot – sedot. Ugh…

Aku merasakan batang penisku dijepit kuat oleh vagina Ibunya Zima, hangat dan nikmat. Ia kemudian melepas ciumanku. Aku merasa Ibunya kesulitan bernapas.

“Ahh… haa… ha… ha… ugh… terus.. Dio… mmh… dorong yang kuat… mmmh… ugh…”

Aku menjadi semakin menjadi - jadi menggenjot vagina Ibunya Zima. Mulutku yang tak bertuan harus menghampiri sesuatu. Aku kembali menyedot – nyedot payudara Ibunya Zima. Nafas Kami semakin berat dan terasa. Ugh… Aku seperti ingin keluar. Aku merasakan vaginanya semakin kuat menjepit – jepit penisku yang dari tadi keluar masuk.

“Uh… hhh… shhhh… ugh…”Aku menggebu.

“Ugh.. Dio. Terus Dio… Kamu mau keluar… terus Dio… keluarin. Dorong terus yang kuat.”

“Ugh… mmh… ugh… erghh… erghhh.”Aku mau keluar. Akuuuu maun keluar. Keluar… kellluarrr…“AAAAHHHHHHH…!!!!!”

Ah, Aku keluar. Aku bisa merasakan aliran spermaku muncrat deras di dalam. Spermaku sangat banyak keluar di dalam vagina Ibunya Zima. Ku lihat Ibunya masih terengah – engah dengan mata terpejam. Kepalanya direbahkan di sofa. Aku lihat batang penisku masih berkedut – kedut keluar sperma di dalam vaginanya.

Aku merasa seperti plong. Kepalaku yang tadinya pusing benar – benar terasa ringan. Aku capek tapi segar di kepala. Aku seperti terbebaskan dari rasa penat. Rasa puas yang benar – benar tak tergambarkan. Seperti sehabis berolah raga tapi sangat nikmat. Aku benar – benar telah berhubungan seks.

Nafasku perlahan mereda. Ku cabut pelan penisku dari vagina Ibunya Zima. Ku lihat Ibunya Zima masih terpejam. Menyadari penis Ku cabut, Ia membuka matanya. Menatapku sayu sembari masih terengah – engah. Aku tak bisa berkata apa – apa. Aku duduk bersimpuh di lantai menghadap Ibunya Zima yang kakinya masih mengangkang.

Ibunya Zima lalu perlahan mengatupkan kedua kakinya. Tubuhnya bangkit duduk di hadapanku yang juga masih terengah – engah. Tangannya menyentuh wajahku dan tersenyum. Ibunya mencium bibirku pelan dan dalam. Ia kemudian bangkit dan menuju kamar mandi.

Aku hanya memandanginya. Aku masih tak percaya. Seks barusan itu adalah pengalaman pertama kalinya. Aku kemudian bangkit dan segera kembali berpakaian. Walaupun badanku dipenuhi keringat Aku tetap berpakaian. Ku lihat sebagian spermaku yang jatuh di sofa segera Ku bersihkan dengan tisu.

Tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka dan Ibunya Zima datang.

“Loh, Kamu udah pakaian?” tanyanya.

“Eh, Iya Tante…”

“Oh, Tante pikir Kamu mau nginep di sini.”

“Oh… Uh… mmm… itu.. Saya bawa motor. Saya gak bilang klo mau nginep.”

Duh! Harusnya Aku bilang mau. Tapi apa boleh buat. Motor masih mau dipakai dan gak boleh dibuat nginap sama Bapak. Seandainya tahu bakal begini, Aku harus lebih cerdas lagi.

Aku seperti kurang ajar saja. Setelah berhubungan seks Aku lalu pamit. Tapi Aku juga tak bisa menginap. Karena Aku bingung, Aku terpaksa bilang pamit. Maafkan Aku Tante, lain kali Aku akan naik angkot dan menginap nanti.

Aku pun pamit dan diantar Ibunya Zima ke depan pintu. Aku pun mencium tangan Ibunya Zima.

“Hei, Kamu lupa ya?” tanya Ibunya Zima yang masih mengenakan daster tadi, keringatnya masih membasahi tubuhnya sedikit.

“Oh, uhm…”

“Ini, Kamu kan ke sini mau ambil oleh – oleh yang ketinggalan kemarin.” jelasnya.

“Oh! Iya! Maaf Tante, Saya kok lupa ya.. hehe.” malu Aku menjawabnya.

“Iya, gapapa. Tante juga sempet lupa. Kita sama – sama kepengen sih.” senyumnya membuatku tak ingin pulang. Oh Tuhan Aku menginginkannya lagi.

Aku pun mencium tangannya.

“Sini, cium dulu.” Ibunya Zima mencium bibirku lembut sembari mengelus pipiku. Memberi salam pisah dan rindu bersamaan, mengantarkanku menjauhi rumahnya untuk pulang.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu