1 November 2020
Penulis —  diono_cilik

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 4 : Hantu Zifa

Kejadian tempo lalu membuatku tak tidur tenang. Pertama kalinya Aku menyentuh wanita. Menyentuh langsung di payudaranya. Payudara yang pernah Ku sentuh hanya Ibuku waktu masih menyusu dulu. Tapi, ini beda. Aku benar – benar terangsang. Aku ngaceng kuat. Aku tak tahu apakah Ibunya Zima merasakan saat Joniku ngaceng.

Dio… Dio…”

Seseorang samar memanggilku. Kepalaku terasa berat. Ku lihat seseorang memanggilku. Ah, payudara. Aku melihat payudara. Payudara memanggilku. Oh, Ibunya Zima membangunkanku.

Plak!

“Oh, Ibu… kenapa Bu?” ternyata Ibuku yang membangunkanku. Ibu mengeplak dahiku.

“Makan dulu Nak. Kamu, dibangunin Tia gak bangun – bangun.”

“Oh, iya.” Aku pun bangkit dan bergabung bersama dengan keluarga untuk makan malam.

Saat inginku duduk, Ku lihat Tia menatapku geram.

“Apa sih Lo? Orang Gw lagi tidur.”

“Au Ah!” balas Tia.

“Eh, mau makan malah ribut.” sergah Ibu.

Oh tidak. Ibu memakai daster dengan tali tipis. Ku kernyitkan dahiku menatapnya. Ternyata Ibu memakai bra. Uh, untung saja. Jika tidak, pusing kepalaku. Aku pun makan. Ku lihat Tia masih saja menatapku tajam sembari memasukan makanannya ke mulutmya.

***

“Zim, kapan nih nonton LOTR?” sapaku pada Zima yang sedang makan di kantin.

“Oh, liburan aj. Minggu depan kan Kamis libur tuh. Nah, Jum’at kan kejepit, pasti libur. Enak tuh.”

“Nginep? Boleh Zim?” tanyaku.

“Boleh. Sekalian ntar bantuin Gw ngerjain tugas.”

Kami pun melanjutkan obrolan hingga bel masuk kembali berbunyi.

***

Aku sudah berada di depan pintu rumah Zima. Hari Kamis ini Aku mengunjungi Zima. Aku juga membawa beberapa pakaian untuk ganti. Aku memencet bel. Aku gugup sekali. Sejak kejadian itu, pola tidurku tak tentu. Rasa saat menyentuh tubuh wanita pertama kali membuatku takut tapi Aku juga menginginkannya kembali.

“Masuk bro.”

Aku pun duduk di ruang tamu. Kami mengobrol – ngobrol di sini. Zima menawarkanku untuk makan, tapi Aku tolak karena Aku masih kenyang. Sebelum menonton film, Kami mengerjakan tugas. Tugasnya lumayan banyak. Harusnya di tahap akhir ini Kami sudah tidak perlu lagi mengerjakan tugas. Kami harusnya berkonsentrasi untuk persiapan ke perguruan tinggi.

Sepanjang waktu Kami mengerjakan tugas. Sepertinya Ibunya Zima tidak ada. Sedari tadi rumah tampak sepi.

“Nyokap Lo gak ada kayaknya?” tanyaku.

“Iya, Nyokap Gw ke Kota B. Tante Gw lagi sakit dirawat. Semalem dijemput sama Om Gw.” jawabnya.

“Wah, berarti Lo harusnya juga ikut dong?” tanyaku sungkan.

“Oh, ya gaklah. Orang cuma sakit kecapean kerja. Nyokap Gw aja yang cuma pengen ke sana, udah lama juga gak ke sana. Biasanya yang ke sana Gw doang sama sepupu.”

“Oh..” Wah, untungnya Aku tak segera bertemu dengan Ibunya Zima. Entah apa tatapannya padaku jika bertemu dengannya. “Balik malem?” kembali Ku tanya.

“Jum’at malem kemungkinan.”

“Oh.” Sabtu Aku pulang. Apa Aku pulang Jum’at saja ya biar tidak bertemu. Tapi Aku penasaran. Tapi ada Zima di sini. Seandainya hanya Aku dan Ibunya di sini, yang kemarin pasti lebih bahaya.

Selesai mengerjakan tugas, Kami pun menonton film yang sudah lama ditunggu. Kami menonton berjam – jam. Aku pun tak bosan. Zima benar – benar mempersiapkan cemilan. Banyak sekali. Kadang Kami membahas banyak hal di film. Sesekali Aku bertanya pada diriku apakah Zima tahu. Bagaimana jika Ia tahu.

Setelah dua set film, Kami berhenti sejenak. Sepertinya Kami akan melanjutkan esok. Waktu sudah cukup malam. Aku pun tidur di bawah.

“Lo ngapain?” tanyanya.

“Ya tidurlah.”

“Oh ya, lupa Gw. Lo tidur di sana. Di kamar depan.”

“Kamar siapa??” tanyaku heran. Jangan – jangan kamar Ibunya.

“Itu, kamar bekas Kakak Gw.” jelasnya.

What? Kamar Kakak Lo?!” protesku.

“Napa? Takut Lo?? Biasa aja. Gw kadang juga tidur di sono. Nyokap juga kadang ketiduran di sana. Di sana sekarang buat naro barang, tapi bersih kok. Gw gak mau lo tidur di sini. Tidur tuh di tempat tidur. Gak enak Gw Lo tidur di bawah. Ayo.” Ajaknya.

Aku merebahkan diri di atas kasur. Kasurnya besar. Sejenak Aku cek, tak ada foto Kakaknya. Ah, semoga Aku bisa tidur nyenyak. Tapi, bagaimana jika hantunya di sampingku?

***

Esoknya, sepanjang hari yang Kami lakukan hanya menonton film dan mengerjakan sisa tugas. Waktu ternyata sudah menunjukkan jam lima. Kami pun keluar untuk membeli makan malam.

“Zifa. Nama Kakak Lo Zifa?” tanyaku.

“Loh, kok tahu Lo? Dia ngomong apa aja?”

“Sialan Lo, kampret!” dia pun tertawa. “Nyokap gak Lo jemput?”

“Gak, ntar dianterin Om Gw.” Jawabnya.

Setelah membeli makan Kami pun kembali. Saat berada di seberang jalan komplek, Ku lihat di depan rumah ternyata Ibunya Zima sudah pulang. Ibunya membawa banyak barang. Kami segera menghampirinya.

“Loh, Mah. Cepet nyampenya?” tanya Zima sembari membantu Ibunya.

“Halo Tante.” sapaku.

“Eh, Dio. Ini bantuin Tante masukin barang.” pintanya.

“Iya, Tante.” Aku pun menjinjing kardus ke dalam. Zima sudah masuk. Aku pun masuk bersama Ibunya Zima. Tiba – tiba Ibunya menepuk halus pundakku.

“Lebar ya bahu Kamu Dio. Tegap lagi.” Ibunya mengelus pundakku. Aku diam seribu bahasa. Pasti sesuatu akan terjadi nih. Aku ngaceng dielusnya.

Kami lalu membuka – buka barang – barang yang dibawa Ibunya Zima di ruang tamu. Ibunya sebenarnya hanya ingin berbelanja. Adiknya yang sakit hanya sebagai alasan agar Ibunya bisa belanja banyak. Aku pun diberikan banyak barang. Tapi di dalam kantong yang diberikan padaku terdapat minyak zaitun. Ku pikir ini milik Ibunya Zima.

Setelah membereskan semuanya. Aku dan Zima kembali menonton film. Beberapa jam berlalu Aku pun sepertinya mengantuk berat. Ku lihat Zima sudah terlelap. Aku memanggilnya untuk pamit tidur, tapi Zima sangat lelap. Aku pun kembali ke kamar. Aku pun merebahkan badan dan tidur.

Dio… diooo…”

Sayup – sayup Ku dengar ada yang memanggil. Perlahan Ku lihat siapa yang memanggilku. Aku sedikit takut, jangan – jangan Zifa Kakaknya Zima yang datang. Ternyata yang membangunkanku adalah Ibunya Zima!

Yang lebih kaget, Ia hanya memakai pakaian yang tipis dan dasternya hanya sepaha. Aku bisa melihat pahanya dengan jelas.

“Oh! Tante, maaf Tante. Tante ngapain di sini?” Aku pun kaget gelagapan. Ibunya mendatangiku di saat masih ada Zima di kamarnya.

“Ini, Tante baru pulang agak pegal. Kamu bisa gak bantuin pijitin Tante?” rayunya.

“Tapi, ada Zima. Jangan Tante, takut Saya. Lagian ini sudah malem banget Tante…”

“Tenang, Zima klo tidur itu susah bangun. Apalagi capek. Tante juga udah kunci kamar Tante dan kamar ini. Jadi Zima gak akan bangun. Tante gak bisa tidur klo belum rileks. Mau ya? Bentar aja.”

Aku menelan ludah beberapa kali melihat Ibunya Zima di hadapanku. Aku pun mulai memijatnya. Badannya menghadap ke depan dan Aku memijatnya dari belakang. Oh tidak, Ibunya memakai parfum. Ia wangi. Aku pun ngaceng berat. Oh tidak. Aku lupa. Aku hanya memakai celana pendek tak memakai celana dalam. Ini pasti kena pantatnya.

Ibunya kemudian menyandarkan tubuhnya ke badanku. Oh Tuhan, pipi Kami lekat bersentuhan. Tangannya mengarahkanku untuk menyentuh dadanya.

“Tangannya belum Tante..”

“Gak usah, yang ini (sambil memegang tanganku yang telah memegang payudaranya) lebih butuh… ouh… aaah… sshh… uuh… terus… Dio… trruuss… yang kuat… ough… mmmmhhm..”

Oh Tuhan, kali ini kembali terjadi. Aku terangsang dibuatnya. Nafasku memburu cepat. Aku nafsu meremasnya. Erangan suaranya membuatku bernafsu. Aku tak peduli Zima mendengar atau tidak. Aku terus meremasnya. Aku sedikit memelintir putingnya.

“Ough… ssshhh… iya… iya… hmmm..” hidungnya menghadap pipiku. Napasnya benar – benar membuatku bernafsu. Kemudian Ibunya mengarahkan tangan kiriku untuk menyentuh pahanya. Oh my, pahanya mulus. Aku seperti diminta memijat bagian pahanya. Perlahan dengan sedikit gemetar, Aku memijat pahanya.

“Aaah… aah… sini.. kurang dalem…”

Deg! Telapak tanganku menyentuh vaginanya. Oh Tuhan, tanganku menyentuhnya. Tanganku gemetar tapi juga nafsu. Ibunya Zima tak memakai celana dalam. Bulunya halus dan sedikit. Pelan tapi pasti jemariku mencari belahan vaginanya. Oh tidak, vaginanya basah. Aku semakin bernafsu. Ku elus – elus bagian bibir vaginanya.

Ibunya seperti mengajariku untuk sedikit memutar pijatan pada vaginanya. Gila, Aku ngaceng parah. Tanpa sadar Aku menggerakan batang penisku yang sudah ngaceng parah begesekan dengan dengan pantatnya. Tiba – tiba Ibunya Zima bebalik menghadapku. Aku terkejut. Matanya sayu memandangku. Ia kemudian mendorong badanku untuk rebahan dengan perlahan.

“Tangan Kamu pasti capek.”

Aku bingung maksudnya apa. Ibunya merebahkan dirinya di sampingku. Lalu perlahan, Ia menurunkan dasternya. Oh Tuhan, Aku sekarang melihat payudaranya dengan jelas. Bentuknya bulat tapi tidak terlalu besar. Putingnya cukup menonjol dan sangat menantang. Jarinya lalu menyentuh bibirku.

“Pakai ini pijatnya (Ia meminta bibirku untuk memijat payudaranya).”

Oh tidak, ini pertama kalinya Aku menyentuh payudara wanita dengan mulutku. Begitu terangsangnya diriku. Aku menyedot payudaranya perlahan. Tangan Ibunya Zima pun mengelus – ngelus rambutku.

“Ooughh… ssshhh… iya sayang… begitu caranya… terus… pelan – pelan… sedot perlahan… aughh… sshhhh”

Aku seperti dulu yang menyusu pada Ibu, tapi ini lebih tegang dan merangsang. “Mmmhh…”

Mataku kemudian terbelalak. Ibunya Zima telah menggenggam batang penisku. Batang penis yang sedari tadi tegak sempurna. Seperti ingin lepas. Menyadari kulumanku berhenti, Ia membujuk, “Hei… lanjutin…”

“Hmm…(Aku pun melanjutkan lumatanku pada putting payudaranya).”

Genggaman tangan Ibunya Zima benar - benar hangat. Jari telunjuknya menelusuri kepala penisku. Sesekali tangannya mengelus kantung bijiku. Ugh… nikmatnya.

“Uhh… punya Kamu keras sekali Dio. Tegak menjulang lurus. Uuh…(perlahan tanganya mengocok batang penisku)

Napasku semakin memburu dengan kocokan Ibunya Zima. Aku pun tak tinggal diam. Ku cari vaginanya. Ku elus – elus vaginanya yang telah basah. Semakin lama kocokannya semakin kuat. Aku semakin tak kuat. Napas Kami saling beradu cepat.

“Oh… terus Dio… mmhh… terruss…”

Aku semakin liar melumat payudara Ibunya Zima. Aku berusaha menandingi rangsangan tangannya penisku. Aku seperti ingin keluar. Aku tak tahan. Aku benar - benar tak kuat. “Oh… oh… oughhh… AAHHHHHH!”

Aku muncrat. Muncrat sekuat – kuatnya. Aku seperti kejang tak karuan. Tangan Ibunya Zima masih terus mengurut – ngurut batang penisku. Pelan napasku mereda. Aku menatap atap kamar dengan penuh ketidakpercayaan. Aku baru saja dikocok oleh Ibunya Zima. Aku pun menatap Ibunya Zima. Ia terlihat senyum. Jemari tangannya yang berlumuran spermaku diarahkan ke bibirnya.

“Manis.”

Belum aku berkata, Ibunya Zima bangkit. “Muncrat kemana – mana. Kamu bersihin ya. Sepreinya Kamu taruh di dalam mesin cuci, nanti Tante yang nyuci.”

Ibunya Zima pun kembali ke kamarnya. Aku segera bangkit dan membersihkan sisa – sisa cairan sperma. Duh, penisku masih berkedut – kedut. Cairan sperma masih keluar berjatuhan. Spermaku banyak ternyata.

***

Paginya, Aku, Zima, dan Ibunya sarapan pagi. Makanan kali ini adalah oleh – oleh dari Ibunya Zima. Setelah ini Aku harus pulang. Aku sudah janji mengantarkan Ibu ke rumah Tanteku.

“Lo, tidur di depan pintu ya?” tanya Zima tiba – tiba.

“Kagak, tidur di kasur Gw.” Aku pun menatap Ibunya Zima. Ibunya menatapku curiga.

“Oh, mungkin lem yang kemarin Gw taro bocor kali kegenjet pintu. Gw pikir iler Lo.” jelasnya.

Ohok… ohhok (Aku tersedak mendengar perkataannya. Itu sperma kok bisa lolos. Sial. Untung Zima gak nyadar. Nanti Aku cek).”

Setelah makan, Aku pun segera mengecek ke kamar. Spermanya sudah tidak ada. Mungkin Zima yang membersihkan, tapi bisa ketahuan jika itu sperma. Tapi Dia tidak tahu.

Aku pun kemudian pamit pulang. Zima keluar rumah untuk menyalakan dan menurunkan mobil. Saat akan keluar Aku pun berpamitan dengan Ibunya Zima.

“Tante yang ngebersihin. Kamunya sih keluar banyak banget. Udah dibilang.” jelas Ibunya.

“Makasih Tante.” pamitku tersipu malu.

Aku pun mencium tangannya. “Sini, Tante cium dulu pipinya.” Ia pun mencium pipiku lembut. “Makasih ya, udah nemenin Zima… Makasih udah nemenin Tante juga..cup!”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu