1 November 2020
Penulis —  diono_cilik

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 7 : Tahan!

“Terus… terus… Dio… ter… ssshhhahh”

Hah, benar – benar luar biasa. Aku benar – benar merasakan bagaimana nikmatnya berhubungan seks. Seluruh tubuhku gemetar saat – saat hal itu terjadi. Aku tak mengira bisa sangat merinding dibuatnya. Benar – benar berpengalamannya seorang wanita dalam melakukan hubungan seks. Ibunya Zima memberiku banyak hal.

Ibunya tak mengatakan apa pun, hanya lenguhan dan banyak irama membuat kontolku terus bergejolak ingin menyodok – nyodok. Aku tak keberatan keperjakaanku hilang di pelukan seorang wanita paruh baya. Wanita itu tak banyak kata tapi kenikmatan yang diberikannya luar biasa. Mungkin akan sangat canggung jika harus sama – sama kehilangan kesucian di antara sesama sebaya, yang ada hanya kikuk dan bingung.

Padahal kemarin tinggal sedikit lagi. Guru les sialan, bisa – bisanya Dia tak masuk. Padahal hanya beberapa menit lagi Aku keluar. Aku sedang nikmat – nikmatnya menyodok – nyodok vagina Ibunya Zima dan meremas – remas payudaranya, semuanya buyar. Ah, geram!

_Plak!

_

“Aduh! Apaan sih?!”

Tia tiba – tiba mengeplak kepalaku dengan penggaris. Tia membuyarkan lamunanku.

“Itu, pensilnya jangan diremes – remes! Bisa patah tau!” protesnya.

Aku hanya memandanginya dengan merengut.

“Ini! Udah belom?” tanyanya.

“Hah?” Aku bertanya balik heran.

“Iiih, Ini (sambil menunjuk nomor yang dimaskud dengan jari tengahnya)!”

_Plak!

_

“Aduh! Iiih… kok dikeplak sih, Mas?”

“Sengaja Lo ya?! Ngehina Gw Lo!” protesku. Dia menghinaku dengan cara licik. Sial, awas saja nanti.

“Lagian, dari tadi disautin nggak nyaut, malah bengong.”

“Iya, sekarang nomor berapa yang belom?” tanyaku.

“Ini, gimana cara ngitungnya. Tinggal ini doang. Bingung caranya. Tadi udah coba dibuat persamaannya tapi gak dapet…”

Ku lihat pertanyaan yang dimaksud. Ya, pertanyaan itu belum Ku jawab memang. Lagian adikku ini pintar sebenarnya, untuk apa juga Dia bertanya padaku yang biasa saja. Yah, memang sih pertanyaannya biasa saja.

“Friend fries…”

“Iya Mas, jadi berapa yang harus dibayar? Kalo diubah jadi 𝑥 nanti persamaannya berubah, tapi saus tomatnya jadi naik, gak sampe buat dapetin keuntungan maksimumnya..”

“Udah Ah! Lo tanya sama temen Lo aja di WA. Gw capek mau tidur dulu. Susah ini (Sial, kenapa Gw harus ngurusin kentang adek Gw. Kentang Gw aja gak keurus!).”

“Ih! Gitu amat sih.”

Tia pun membereskan buku – bukunya. Aku pun beralasan tak dapat membantu untuk nomor terakhir. Aku hanya sedang tidak

mood.

Plak!

Ia membereskan bukunya dan berpamitan keluar kamar sambil menamparkan bukunya ke mukaku. Sial, awas nanti Tia. Kau akan Ku cabik – cabik nanti.

“Weee…” ledeknya dengan menjulurkan lidahnya.

Bruk!

Tubuh Ku jatuhkan di hamparan kasur empuk. Hah, benar – benar tanggung. Dari tadi Aku dibuat termenung dengan kejadian yang tak tuntas.

“Sabar ya Jon, Kau belum beruntung. Nanti Kita cari cara lagi untuk mempertemukanmu dengan singgasanamu nanti (Ku remas – remas si Joni, penisku).”

“Ssshhaah… ugh… ssshhh… terrus… teruss… sayanggaaaaaagh…”

“Hmm… hmmm… gini Tante? Sshh… gini? Hmmm… hmmm?” tanyaku sambil menghentak – hentakan penisku dari belakang. Rasanya sungguh nikmat dan sempit.

“Gimana kalo gini hah?” Aku pun meremas – remas payudaranya dari belakang.

“Ough! Sssh… Dio… terus… Tante suka… remas terus… yang kenceng nyodoknya… ugh… sshhhh… ahh…”

Bek bek bek… plk plk… plok plok plok

“Ugh! Shhh… enak Tante…”

Plok plok plok

Penisku Ku maju mundurkan dengan cepat. Rasa mengentot dari belakang ini begitu nikmat. Apalagi Kami melakukannya di bawah guyuran air shower hangat. Ugh, nikmatnya tiada tara. Air hangat dan cairan vagina Ibunya Zima bersatu dengan hangatnya menyelimuti seluruh batang penisku yang dari tadi menyodok – nyodok vaginanya dari belakang.

Aku sangat menyukai payudara wanita. Mereka adalah saudara kembar yang pas dan berjodoh dengan kedua telapak tanganku. Kadang mereka begitu genitnya hingga Ku harus memelintirnya. Aku benar – benar terangsang meremas payudara Ibunya Zima dari belakang.

Aku begitu mengagumi kulit puith halus Ibunya Zima. Bahkan air pun tak mampu melunturkan kulitnya yang bercahaya. Ibunya Zima benar – benar merawat dirinya. Luar biasa.

“Ugh…”

Aku memeluk Ibunya Zima dari belakang dengan masih meremas kedua payudaranya.

“Ahh… ssh… enak Dio sayang?” tanyanya dengan melenguh kenikmatan.

“Hmmm? Enak banget Tante…

“Haha… lagi sayang… Tante nikmat banget disodok dari belakang.”

“Ugh!” Ku sodok kembali vagina Ibunya Zima. Dadaku dan punggungnya Ibunya Zima berhimpitan nikmat. Ku dekatkan pipiku ke pipinya. Ku rasakan setiap nafas dan air hangat yang mengalir. Ku turunkan tangan kiriku untuk menjelajahi perut dan menurun menyentuh vaginanya.

“Ough!” Ibunya Zima melenguh kencang saat disentuh vaginanya.

Ku goyang – goyangkan jemariku di bagian klitnya. Ugh, nikmat dan merangsang. Tangan kiri Ibunya Zima pun bergabung di belakang punggung tangan kiriku. Ia menuntun setiap putaran jemariku di vaginanya. Oh, sungguh nikmat.

“Terus sayang… terussshhh…”

“Hmm? Enak Tante? Hmm? Ugh… enak Tante. Ugh… enakkk…”

“Hmm? Enak Dio Sayang?” lenguh Ibunya Zima.

“Ugh… ugh… shhh… ahhh. Ughh…(Aku merasakan seluruh batang penisku menjadi terangsang parah. Aku akan keluar)… Ugh… uuuughhh… hmmmmmm…”

“Keluarin sayang… keluarin…”

“Ugh… sshhh.. ugh… mmmmmm… AHHHHHHH!!!!!”

Aku keluar. Nikmat sekali rasanya. Penisku berkedut – kedut sembari mengeluarkan sperma. Rasanya…

Dok Dok Dok!

Terdengar suara seseorang menggedor pintu kamar mandi. Aku menjadi panik. Aku menjadi takut. Seseorang memanggilku dari luar.

“Dio… dio…”

“Ibu?!!”

Brak!

_

Aku kaget. Aku syok. Aku bingung. Rasanya aneh, tapi rasanya seperti nyata. Aku melamun memandangi langi – langit kamarku. Aku bengong. Aku terdiam. Aku tak tahu ingin mengatakan apa.

Aku bermimpi.

Ah, mimpi yang sungguh nikmat. Aneh juga, rasanya seperti benar – benar terjadi. Bisa juga ya mimpi seks. Rasanya mirip. Tapi akan segera hilang sesaat setelah bangun. Untung saja keluar tadi. Ku pikir Ibu benar – benar tahu Aku berhubungan seks dengan Ibunya Zima hingga menggedor kamar mandi. Aneh juga tadi.

_Dok dok!

_

Suara pintu diketuk. Ternyata benar! Suara itu ada! Ibu yang membangunkanku!

“Ya, Bu…” Aku pun menyambut ketukan kamar oleh Ibu dari dalam.

“Katanya mau berangkat pagi – pagi. Dari tadi digedor gak bangun – bangun Kamu Nak.”

“Iya, sebentar.” Jawabku yang masih kliyengan.

“Segera mandi. Ibu sudah siapin sarapan di meja.”

“Iya, Bu.”

Aku pun bangkit dari tempat tidur untuk segera mandi. Hari ini Kami diminta datang pagi – pagi karena akan diadakan Try Out di sekolah.

Deg!

Apa ini?

“Aku mimpi basah!”

Ku lihat celanaku basah oleh sperma. Iuh! Baunya! Sperma ini yang sejak kemarin meronta – ronta ingin segera keluar. Akhirnya mereka keluar dibantu dengan mimpi. Kurang ajar! Mereka tak mengajakku menikmati kenikmatan secara nyata di dunia nyata. Mereka keluar tanpa izin.

Segera Ku buka pakaianku dan membawanya bersamaku ke kamar mandi. Ku taruh pakaian kotorku di bak dekat mesin cuci. Aku akan segera mencucinya setelah mandi nanti.

Setelah beberapa lama, Aku pun segera berpakaian untuk siap – siap menuju sekolah. Hari ini adalah Try Out. Aku butuh pikiran segar. Untung juga Aku mimpi basah, jadi Aku pun tak lagi pusing. Malah setelah mandi, Aku merasakan kesegaran kembali. Saat akan menuju meja makan, Aku lupa jika pakaian bekas spermaku belum Ku cuci dengan air.

Apa Ibu tahu ya?

“Buuu, baju yang di ember biru Ibu ambil?” Aku menanyakannya dari atas.

“Iya, sekalian Ibu rendem Nak.”

Sial! Semoga Ibu tak tahu jika Aku mimpi basah. Spermanya cukup kental membekas di balik celana. Siapa pun yang melihat pasti yakin jika celana basah itu bukan karena terkena air. Lengketnya terlihat jelas walaupun dari balik celana. Tapi Aku yakin sudah melipat celanaku sehingga tak terlihat.

“… manis?”

“Hah?!” (manis?!)

“Iya, Kamu mau dibuatin teh manis?” tanya Ibu.

“Oh, Iya iya.”

Gila, Ku pikir Ibu juga tahu rasa spermaku yang dikatakan Ibunya Zima manis. Ah, macam – macam saja pikiranku. Sejak mengenal seks, pikiranku jadi mesum begini. Ah, Jon Jon.

Aku pun turun menuju meja makan.

***

Selama Try Out yang dilangsungkan oleh sekolah, Aku benar – benar fokus. Aku tak banyak berkegiatan di luar dari kegiatan yang mendukung akan Try Out di sekolah. Aku memang tak les, tapi Aku yakin dengan usahaku, Aku mampu lolos. Try Out ini sebagai tolak ukur bagiku berbandingan dengan anak – anak yang mengikuti les di luar sana.

Aku juga jarang mengobrol dengan banyak teman, terutama Zima. Kejadian kemarin hampir saja membuatku akan dipecat jadi teman. Jika Aku ketahuan mencuri DVD-nya sih tidak masalah, tapi yang Ku curi adalah Ibunya. Tapi Ibunya terlalu seksi untuk tak dinikmati, apalagi secara eksklusif Aku dapat berhubungan seks dengan Ibunya Zima.

Setelah beberapa hari dari Try Out, Aku masih saja tak berani menegur Zima. Ini Aneh. Hanya Aku teman sekolahnya yang mengunjungi Zima, tapi Aku juga yang sekarang jarang mengaaknya gobrol, kecuali membahas tentang film – film yang sedang beredar di bioskop. Aku masih takut dengan Zima kalau – kalau Dia mengetahui suatu saat nanti Aku pernah dan sering berhubungan seks dengan Ibunya, yah, saat ini satu setengah kali.

Entahlah, Aku masih ingin sekali yang meneruskan yang kemarin. Memang Aku sudah keluar, tapi itu melalui mimpi. Aku ingin merasakan kembali bagaimana spermaku keluar dan menjalar di dalam vagina Ibunya Zima. Aku tak ingin merasakan kenikmatan semu, harus nyata dan real.

Selama beberapa waktu dalam obrolan Aku dengan teman – teman, Aku berusaha mencari tahu tentang kesibukan les Zima melalui teman – temannya yang satu tempat les dengannya. Aku tak ingin menanyakan secara langsung walaupun di sela – sela obrolanku dengan Zima. Hal itu hanya akan menambah risikoku jika suatu saat nanti ketahuan olehnya.

***

Aku benar – benar nekat!

Aku kembali mengunjungi rumah Zima. Aku tahu Zima sedang les. Aku tahu setidaknya Zima pulang sore. Aku tahu hari ini Zima akan pulang jam berapa kira – kira. Aku tahu Aku akan apa hari ini. Aku laki – laki. Badanku tegap. Aku harus berani. Aku ingin kembali merasakan nikmatnya berhubungan seks. Aku harus menuntaskan yang kemarin.

Aku sampai. Kini Aku telah berada di depan rumah Zima. aku pun dengan gemetar nekatnya memencet bel rumah Zima. Aku berharap Ibunya Zima keluar menyambutku.

Tidak! Bagaimana jika Ibunya Zima tak ada. Bodoh! Ngapain juga Aku datang?

_Ckrek

_

Oh Tuhan, seseorang membuka pintu. Aku deg degan. Aku tak tahu kenapa Aku benar – benar tegang begini. Gila, bocah cilik nekat!

Terlihat Ibunya Zima yang membuka pintu. Ibunya menyambutku dengan setengah tubuhnya. Terlihat Ibunya seperti bangun dari tidur. Sial, Aku datang di waktu yang salah. Harusnya Aku tak datang.

Seperti biasa Ibunya Zima memakai dress panjang tipis dengan tali bahu tipis. Oh, kulitnya putih halus. Aku ingin kembali menikmatinya. Ibunya Zima memandangku dalam. Aku gugup. Tatapanku padanya tak fokus. Aku seperti malu tapi tegang bersamaan. Aku benar – benar nekat. Aku tak tahu apakah Ibunya mengerti jika Aku menginginkannya kembali.

“Eh, Eh, Zima ada Tante?” tanyaku gugup.

Ibunya menatapku sesaat, “Zima lagi les. Pulangnya nanti sore.”

“Oh…” Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Kalimat Ibunya seperti menjadi penutup kedatanganku.

Ibunya kemudian terlihat menoleh ke dalam rumah lalu kembali menatapku. “Kamu mau nunggu?”

Tak ada kata terucap. Lidahku kelu. Sialnya, kakiku perlahan bergerak mengatak iya pada Ibunya Zima. melihat hal ini, Ibunya Zima membuka pintu dan mengizinkanku masuk ke dalam rumah. Aku pun masukd dengan gugup dan sedikit berkeringat. Entah apa yang tersirat di benak Ibunya Zima mengetahui Aku datang mengunjungi Zima tanpa Zima.

Aku masuk ke dalam. Ku ikuti Ibunya Zima dari belakang menuju ke arah ruang TV di belakang. Saat akan memasuki kamar Ibunya Zima, Ibunya Zima menoleh sedikit kepadaku. Ibunya Zima lalu masuk ke kamar. Aku melihat bagaimana Ibunya Zima berjalan. Ibunya Zima berjalan dengan penuh kesederhaan dan berkelas.

Ibunya masuk ke kamar. Sedangkan Aku berjalan melewati kamar tanpa menoleh ke kamar dan duduk di ruang TV. Aku duduk. Aku duduk. Ya, Aku hanya duduk diam di ruang TV. Suasananya sangat hening dan tenang. Aku juga bingung. Jika Aku hanya duduk di sini menunggu Zima jelas bukan rencanaku. Jika Aku ingin main, Zima pasti tahu.

Sudah lima belas menit, suasana masih hening tak ada suara, baik itu dariku maupun dari Ibunya Zima. Duh, bagaimana caranya?

Setelah detak jantungku sedikit mereda dan keringatku mulai kering oleh dinginnya AC, Aku mulai tenang. Tak mungkin juga Aku memanggil Ibunya Zima. Aku tahu kamarnya tak ditutup tadi.

Aku pun bangkit. Ku letakkan tasku di bawah. Perlahan Ku langkahkan kakiku menuju depan pintu kamar Ibunya Zima yang tak ditutup. Pelan dan pelan. Hingga mataku menatap ke dalam kamar. Saat Aku diam mematung di depan kamar, Ibunya Zima sedang tiduran menyamping, kemudian menolehkan kepalanya melihatku.

Aku benar – benar gugup.

Dengan nekat Aku langkahkan kakiku mendekati Ibunya Zima di tepi ranjang. Aku diam.

Ibunya Zima lalu kembali menoleh padaku.

Aku sudah nekat. Aku tak peduli jika Ibunya Zima marah mendapatiku lancang masuk ke kamar tanpa izin. Tapi Aku ingin. Aku juga seakan tak ingin mempercayai Ibunya Zima akan memarahiku. Kami pernah berhubungan seks.

Ibunya Zima menatapku dalam dan memutar tubuhnya menghadapku. Ibunya Zima lalu tersenyum.

Tangannya menarik tanganku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pun lalu merendahkan tubuhku dan berpangku pada lututku menghadap tatapan Ibunya Zima. Dengan telapak tangannya, Ibunya Zima mengusap lembut pipi kiriku.

“Yang kemarin ya?” tanyanya serak.

Tangannya seperti menarik pipiku untuk mendekati wajahnya. Wajahku datang mendekati wajah Ibunya Zima.

“Kamu kangen?” tanya Ibunya Zima lembut.

Aku hanya diam dan sedikit tersenyum. Hari ini Aku yakin akan kembali terjadi.

“Mccchhhmm…”

Ibunya Zima mencium bibirku lembut dan dalam. Aku pun menyambutnya dengan ciuman yang lekat dan sangat kangen. Lama Kami berciuman, Aku menjadi sangat bernafsu mencium Ibunya Zima. Aku benar – benar kangen dengan Ibunya Zima. Wanita inilah yang mengenaliku dengan arti nikmatnya seks. Ia begitu lembut dalam menuntunku.

Aku mencium tengkuknya dengan penuh nafsu.

“Ahh… sshhh… ahh… mmmh.” lenguh Ibunya Zima.

Semua bagian tubuhnya yang terlihat Ku ciumi. Tangan Ibunya Zima hanya meraba – raba bagian punggungku dan mengelus – elus rambutku.

“Uh… shhh… mmmh… susssah… Sussah Dio…”

Aku tahu Ibunya Zima ingin membuka pakaianku. Tiba – tiba Ia mendorong kepalaku yang masih asyik menciumi tubuhnya. Ibunya Zima lalu pelan membuka kancing – kancing pakaianku. Aku sudah benar – benar tak tahan. Aku kemudian berdiri dan mencopot semua pakaianku. Selama Aku mencopot pakaian, Ibunya memperhatikanku dengan senyum seperti meledekku.

Ia tahu kemarin Aku yang paling rugi. Sekarang Ia tahu Aku ingin berhubungan seks dengannya. Semua Ku copot hanya meninggalkan celana dalam. Ibunya Zima menatapku dengan tanda tanya. Bola matanya memintaku untuk juga mencopot semuanya. Oh Tuhan, Ibunya begitu nakalnya di pikiranku. Aku pun tersipu malu diminta untuk bertelanjang di depannya.

Penisku begitu tegang menjulang. Sangat keras. Uh!

Aku merangkak mendekati Ibunya Zima hingga berada di atasnya. Aku mencium tubuhnya. Aku penasaran, Aku pun mencium payudaranya. Ku singkap daster atasnya hingga seluruh payudaranya terbuka. Aku begitu mengaggumi kedua payudara ini. Aku pun melumatnya dan menghisap – hisapnya.

“Ough… ssshhh…” lenguh Ibunya Zima.

Ibunya Zima benar – benar membuatku gila. Begitu seksinya Dia. Ibunya hanya melenguh dengan kelakuan seorang remaja yang baru mengenal seks. Sesekali Ibunya Zima tertawa dengan kelakuanku. Aku tak peduli, yang jelas Aku menginginkannya kembali.

Penisku sudah benar – benar tegang. Aku ingin segera memasukannya ke dalam vagina Ibunya Zima. Pelan dan pasti Aku pun membuka paha Ibunya Zima. Aku pun bangkit menghadap Ibunya Zima yang terlentang.

Aku tak menyangka, Ibunya Zima benar – benar tak memakai pakaian dalam, hanya daster tipis. Terlihat jelas vagina Ibunya Zima di mataku. Pikiranku semakin tak karuan. Aku pun mengarahkan penisku untuk memasuki vaginanya. Saat berada di depan vaginanya…

“Pelan…” pinta Ibunya Zima.

Aku pun memathui perkataannya untuk memasukinya perlahan. Ah, gila sudah sangat ingin, Aku diminta memasukinya pelan. Penisku pun Ku dorong masuk ke dalam vagina Ibunya Zima.

“Haaaa…” Lenguhnya dengan mulut terbuka.

Oh Tuhan, Aku benar – benar kembali merasakannya. Dinding penisku terasa geli, nikmat, dan terangsang. Gila. Rasanya begitu nagih. Aku pun memaju mundurkan penisku di dalam vagina Ibunya Zima.

“Mmmhh… mmmh…” lenguhku berat merasakan nikmatnya berhubungan seks.

“Sshhhh… terus Dio… dorong terussshhh… mmmhhh…”

Aku mendorong kuat keluar masuk penisku di dalam. Urat – urat leherku benar – benar tegang dengan penuh nafsu. Joni, Kau beruntung. Kau kembali ke singgasanamu. Nikmati semuanya Joni.

Aku menggenjotnya hingga tubuhku merebah menindih tubuh Ibunya Zima. Nafas Kami saling bersahutan. Nafas yang sama – sama penuh nafsu dan nikmat.

Ibunya Zima kemudian mendorong putar tubuhku. Aku kaget. Ibunya Zima lalu berbalik. Aku yang terlentang dan Ibunnya Zima yang berada di atasku. Ibunya lalu mencium bibirku. Aku pun membalasnya penuh nafsu. Kemudian, bibirnya menelusuri tengkuk leherku, menelusuri dada bidangku, hingga kemudian bibirnya terhenti di atas kepala penisku.

Oh Tuhan, Aku akan kembali merasakan rasanya dikulum. Dikulum oleh bibir mungilnya.

“Aahhhhh…” Aku melenguh dengan nikmat bagaimana mulut dan lidah Ibunya Zima mengulum penisku. Mulutnya dimaju mundurkan. Gila, nikmat sekali. Rasanya kali ini lebih dahsyat, lebih merangsang, lebih geli.

“Ough…”

Aku benar – benar dibuat nikmat oleh kuluman Ibunya Zima. Entah, Aku merasa seperti lebih nikmat dikulum dengan mulutnya daripada vaginanya. Tapi Aku tak ingin menolak keduanya. Keduanya membuatku nikmat. Gila, lama Ibunya Zima mengulum penisku, Aku seperti sudah di ujung jalan. Aku akan keluar. Aku benar – benar tak tahan.

“Mmccc… ah!”

Tiba – tiba Ibunya Zima menghentikan kulumannya dan segera menekan kepala penisku dengan sedikit tekanan. Ibu jarinya menekan bagian tengah lubang penisku.

“Hhaaa… ahh!” Aku seperti dibuat kaget dan bingung. Aku yang tadinya seperti akan keluar sekarang menjadi tertahan akibat sentuhan Ibu jarinya di kepala penisku. Aku tak jadi keluar.

“Tahan ya…”

Dengan senyumnya yang khas, Ibunya Zima memintaku menahan Aku untuk keluar. Bagaimana Ia tahu Aku akan keluar?

Ibunya Zima lalu duduk di atas panggulku. Ia membuka pahanya dan akan memasukkan vaginanya ke penisku dari atas. Pelan dan pelan penisku hilang ditelan vagina Ibunya Zima. Ough!

“Sshhh… mmmmmmh… Dio… ugh… dorong…”

Aku mendorong kuat masuk ke vaginanya. Ibunya Zima menggoyang – goyangkan pinggulnya. Uh, penisku begitu nikmat. Seluruh dinding penisku seperti diremas – remas. Sangat nikmat dan begitu merangsang. Gila! Rasanya lebih nikmat dari yang kemarin.

“Sssh… terussss… Dioooh… Diosssssshhhh”

Suara lenguhan Ibunya Zima benar – benar membuatku semakin kuat menyodok – nyodok vaginanya. Aku benar – benar tak kuat. Aku akan keluar. Aku akan keluar. Aku kellluuuuarrrrrr!

“AAAAHHHHHHHH!”

Aku akhirnya keluar. Spermaku mengalir ke dalam Ibunya Zima. Aku merasakan banyak yang keluar. Aku dapat merasakannya. Gila rasanya sangat nikmat. Nikmat dengan penuh keringat yang selalu berusaha dikeringkan oleh dinginnya AC kamar.

Nafasku benar – benar berat tapi lega. Ibunya Zima jatuh merebah di atas tubuhku. Nafasnya pun sama seperti nafasku yang terengah – engah.

Kepalaku plong dan terasa ringan.

***

“Kamu gak nunggu Zima?”

Ibunya bertanya saat Aku sudah berpakaian lengkap dan duduk di dekatnya. Ibunya Zima juga sudah berpakaian lengkap walaupun hanya daster.

Tangannya Ibunya Zima pun menyentuh pipiku.

“Maaf ya yang kemarin. Gak tuntas. Kamu pasti kebayang – bayang ya?”

Pertanyaannya membuatku tak berkutik jika kedatangan nekatku hanya untuk kembali menuntaskan seks yang kemarin. Aku benar – benar kurang ajar. Aku seharusnya berterima kasih kepada Ibunya Zima. Aku tak tahu balas budi. Wanita inilah yang mengajariku segalanya. Sekarang Aku seperti manusia yang penuh nafsu.

“Mm.. maa… maf Tantee… Saya benar – benar minta maaf. Saya…”

“Sssst. Gapapa, Tante tahu Kamu masih muda. Tante juga yang membuat Kamu mengenal semua ini.”

“Iya, Tante. Saya benar – benar minta maaf. Saya seperti ketagihan. Saya tidak tahu. Saya tidak akan datang lagi untuk hal ini. Saya minta maaf karena nekat.” Jelasku maaf.

Ibunya Zima menatapku senyum. “Hei, it’s okay.”

Ibunya Zima pun memintaku untuk segera pulang. Ibunya Zima khawatir jika Aku tetap di sini akan membuat Zima curiga.

Dengan perasaan bersalah, Aku pun pamit untuk pulang. Aku seperti begitu kurang ajarnya datang hanya untuk berhubungan seks. Dalam benak, Aku bertekad untuk tak lagi berbuat hal ini lagi. Aku akan hanya berteman dengan Zima tanpa mencari kesempatan berhubungan seks dengan Ibunya. Aku ingin menjadi teman yang baik bagi Zima.

“Hey, lain kali Kamu beritahu Tante ya jika ingin datang.” Imbuhnya sembari memberikan secarik kertas di tanganku.

Tak ada apapun yang tertera kecuali sebuah nomor, nomor handphone.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu