1 November 2020
Penulis —  diono_cilik

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 6 : Kentang 4 kg

Bruk!

Ku lempar tasku di atas tempat tidur dan Ku hempaskan tubuhku di atas kasur. Ku rentangkan kedua tanganku sepanjang sisi tempat tidur.

Ah, Aku tak percaya apa yang baru saja terjadi padaku.

Tatapanku kosong. Langit – langit atap kamarku seperti sebuah lautan yang tenang. Tak ada pesan pada pikiranku. Aku benar – benar tak percaya. Aku menyerahkan semuanya pada wanita paruh baya itu, Ibunya Zima. Aku tak menyangka akan melakukannya dengan Ibunya Zima. Ibunya Zima yang mengambil kejantananku, keperjakaanku.

Hah, rasanya aneh. Rasa yang benar - benar aneh. Ternyata rasanya seperti ini. Aku pikir sangat menyenangkan, setidaknya itu yang Ku lihat di setiap film porno yang sering Ku lihat. Ku pikir rasanya sama seperti Aku sedang mengocok – ngocok penisku. Rasanya berbeda, aneh, tapi nikmat, tapi juga tegang.

Beda sekali rasanya. Rasa dinding penis yang diselimuti oleh jemari tangan dengan dinding dalam sebuah vagina wanita. Oh, ternyata begini rasanya. Basah dan bisa meremas – remas. Penisku tak pernah setegang ini jika Aku sedang mengocok, ini tegang dan sangat terangsang. Rasa basahnya yang menyelimuti seluruh batang penisku benar – benar pengalaman yang baru buatku.

Aku masih tak percaya.

Kepalaku berat. Aku merasa lelah. Temaramnya lampu kamarku semakin redup dalam sela – sela jemariku di balik wajahku. Gila, Aku baru saja mengentot, mengentot dengan Ibu temanku. Hah…

***

Agh!

Kepalaku berat. Aku tertidur. Tubuhku benar – benar pegal dan kecapaekan. Aku seperti malas bergerak.

Ku pandangi penisku yang masih terbungkus dalam celana.Kau baru saja mengunjungi vagina!

Ku lihat jam dinding. Ia menyapaku dengan tandanya ke angka satu. Sudah jam satu malam. Cukup lama Aku tertidur. Ibu pasti tadi membangunkanku tapi Aku terlalu lelah untuk bangun dan bangkit. Perlahan Aku bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Aku masih termenung diam. Aku malas bangkit, tapi Aku haus.

Ku buka pintu kamarku dan perlahan Ku berjalan menuju ruang makan di bawah. Ku buka kulkas dan mengambil sebotol air untuk Ku tuangkan ke dalam gelas bening yang ada di tanganku.

Glek… glek… ah…

Aku duduk di meja makan dan ku tatap ruang tamu di kejauhan yang masih gelap. Ku malas menyalakan lampu. Aku tak dapat berkata – kata.

Ckrek!

Ku lihat seseorang membuka pintu kamar orang tuaku dari dalam. Samar Ku lihat Ibu yang keluar kamar. Ibu lalu pergi ke kamar mandi.

Setelah beberapa lama Ibu kembali dan membuka kulkas.

Deg!

Aku menelan ludah. Mataku yang sayu lelah berusaha bangkit menentang gravitasi Bumi. Ibu terlihat berkeringat. Hal yang membuatku tertegun adalah Ibu hanya memakai sarung putih tipis. Pendaran cahaya kulkas membuat apa yang ada di balik sarungnya terlihat. Siluet tubuhnya jelas terlihat. Hal yang membuatku salah tingkah adalah bentuk payudaranya yang besar terlihat jelas.

Aku tiba – tiba ngaceng. Aku ngaceng berat. Tidak!

“Oh! Dio!” Ibu kaget dengan kehadiranku di meja makan.

Aku hanya diam mematung melihat Ibu.

“Kamu, bukan nyalain lampu. Bikin kaget Ibu saja. Hmm..”

“Iya, baru turun mau minum…” jelasku.

Ibu lalu duduk di seberang meja makan. Jelas sekali Ibu masih berkeringat. Herannya Aku. Bukankah AC di dalam kamar terus menyala. Mengapa Ibu berkeringat. Apalagi ini malam hari. Senam?

Tubuhnya yang hanya dibalut oleh sarung putih tipis harusnya tak membuatnya keringat. Aneh sekali Ibuku ini.

“Ibu sakit?” tanyaku heran.

“Oh, gak Nak. Ini… uhm.. ini tadi tidur selimutan. Pas bangun udah keringetan. Kamu gak ganti baju? Tadi Ibu bangunin gak bangun – bangun Nak. Dikunci lagi kamarnya. Capek?”

“Oh, Iya Bu… capek banyak tugas tadi (Bohong! Aku baru saja begituan Bu! Kejantananku hilang!).” jelasku.

Aku pun bangkit untuk kembali ke kamar. Terus terang Aku merasa tak nyaman duduk di sini. Ibu masih duduk di meja makan dan Aku pun berlalu pergi ke kamar.

***

“Dor!!”

Aku dibuat kaget oleh seseorang dari belakang. Ku lihat Azrul mengagetkanku dari belakang.

“Apaan sih Lo?!” protesku.

“Elo, dipanggilin kagak nyaut.”

“Oh..” Aku masih terngiang dengan apa yang telah Ku lakukan beberapa tempo hari. Hah… sudah empat hari sejak penisku akhirnya menyerah untuk tergoda oleh vagina wanita. Rasanya masih terasa hingga sekarang.

“Ntar, abis bel maen futsal di lapangan, mao?” ajak Azrul.

“Sama siapa ja?” tanyaku.

“Lawan junior kelas bawah.” jelasnya.

“Boleh.”

Setelah beberapa jam, akhirnya bel pun berbunyi. Aku pun tak langsung pulang.

Drtt… drrt…

Ada WA masuk. Oh, ternyata Ibu yang WA. Ibu memintaku untuk berbelanja beberapa barang kebutuhan di pasar dekat sekolah. Ah, kenapa harus sekarang sih??

Aku pun menyusul Azrul yang sedang menuju ke lapangan. Aku bilang padanya jika Aku tak dapat bermain futsal di lapangan dikarenakan Aku harus memenuhi permintaan Ibuku. Ia pun tak apa – apa saat Aku katakan alasanku. Jumlah pemain di lapangan masih banyak. Aku pun segera pulang dan menuju pasar. Aku pun naik angkot dan menuju pasar.

Di dalam pasar Aku tak menemukan beberapa barang yang diinginkan Ibu. Beberapa barang habis. Yah, apa boleh buat Aku pergi ke pasar di tengah hari begini pasti habis barangnya. Ke pasar siang – siang mana panas lagi. Aku mengirim pesan ke Ibu untuk menanyakan jika barang yang diminta tak ada.

“Centang satu. Ibu pasti tidur nih. Ke mana lagi ya? Ke supermarket di dekat terminal angkot mungkin ada.”

Supermarket di dekat terminal angkot sejalan dengan arah pulangku, mudah – mudahan ada di sana.

***

Aku menyusuri koridor – koridor di dalam supermarket. Banyak sekali barang di sini. Aku kemudian menemukan barang yang diminta Ibu. Ternyata barang – barang ini lengkap di sini hanya harganya sedikit mahal. Semoga Ibu mau mangganti uang lebihnya. Ibu agak cerewet jika harga barang sedikit mahal. Yah, mau bagaimana lagi.

Aku pun sedikit terkejut dengan apa yang Ku lihat di ujung koridor. Ibunya Zima!

Ibunya Zima sedang asyik memilih – milih beberapa barang. Ibunya Zima tampak sendirian sepertinya. Tak ada Zima juga. Apa Zima les ya? Apa harus Ku hampiri Ibunya Zima? Tapi Aku harus pulang membawa titipan Ibu.

“Sini Tante, Saya ambilin.”

Sial! Otak kecilku yang ada di kepala penisku menang berdebat dengan otak besar yang ada di kepalaku. Dia curang, sambil berdebat dia mengajak kakiku melangkah mendekati Ibunya Zima. Aku pun mengambilkan barang yang agak tinggi dan menyerahkan kepada Ibunya Zima.

Ibunya Zima melihatku dan tak ada kata yang terucap selain senyumannya yang hangat. Ia cukup lama tersenyum.

“Kamu, belanja juga?”

“Oh, ini Tante. Ibu pesen sesuatu. Barangnya ternyata ada di sini.”

“Oh, ya.” jawab Tante.

“Belanja bulanan Tante? Sini Tante saya yang dorongin.” sial, Aku benar – benar modus.

“Oh, boleh. Makasih ya, Kamu bantuin belanja Tante. Biasanya Tante sama Zima kalau belanja, tapi Zima lagi les, jadi Tante aja yang pergi. Hmm… untung ada Kamu jadi Tante terbantu…”

Aku pada akhirnya menemani Ibunya Zima berbelanja. Cukup banyak yang dibeli Ibunya Zima, sebagian besar adalah sayuran dan buah – buahan. Yang paling banyak kentang empat kilo dan tomat dua kilo.

Setelah selesai Kami menuju kasir dan membayar belanjaan. Ibunya Zima pun menawariku untuk juga membayar belanjaan yang Aku beli. Aku menolak, tetapi Ibunya Zima tetap saja memaksa membayarkan belanjaanku. Sebagai anak sekolah yang pas – pasan, Aku pun mengiyakan saja.

“Sini Tante, Saya bantuin angkat. Saya bantuin sampai rumah ya Tante?” bujukku.

“Oh, gapapa?”

“Iya, Tante..” benar – benar modus.

Kami pun bergegas pulang. Pulang ke rumah Zima. rumah yang mungkin akan kembali terjadi. Hal ini benar – benar mendukung apa yang ada di kepala penis kecilku. Kurang ajar!

Sepanjang jalan tak banyak yang dibahas kecuali adalah hal – hal tentang masakan. Ibunya Zima ini suka sekali memasak. Zima hanya akan memesan makanan jika Ibunya tak ada di rumah. Ibunya selalu memasak di rumah. Aku pun juga tak mengungkit – ngungkit tentang bagaimana Kami pernah berhubungan sex pertama kalinya empat hari lalu.

Sesampainya di rumah Aku membantu memasukkan barang belanjaan ke dalam rumah. Saat Aku selesai Ibunya Zima menawariku untuk makan terlebih dahulu. Sebenarnya Aku ingin segera pamit, tapi ajakannya itu yang menghentikan kemauanku.

“Ini, Kamu potong – potongin kentang, potong dadu sedikit panjang ya.” pintanya.

Ku pandangi cara Ibunya Zima memasak. Ku lihat kulitnya putih terawat. Pakaiannya pun sederhana tapi berkelas. Aku pun tersenyum melihat jemarinya yang sedang memasak. Jemari yang pernah mengocok – ngocok penisku. Ah, Aku tak dapat berkonsentrasi.

Setengah jam lamanya Kami memasak, akhirnya sudah matang. Aku pun akan makan siang di sini. Makan ditemani Ibunya Zima.

Beberapa lama Aku makan, Ku perhatikan Ibunya Zima tak kunjung makan.

“Loh, Tante gak makan?” tanyaku dengan masih mengunyah makanan.

“Gak ah, nanti aja. Kamu makan aja. Enak kan masakan Tante?” senyumnya.

“Hmm… the best Tante. Makasih Tante.”

“Ya udah Kamu terusin, Tante mau ganti baju dulu.”

Ibunya Zima pun berlalu pergi dari meja makan. Aku melihatnya tak berkedip. Ku pandangi kepergian Ibunya Zima menuju kamar. Saat Akan memasuki kamar, Ibunya Zima sedikit menengok ke belakangku.

Oh Tuhan, apakah ini kode atau Ia melihat hal lain. Aku yakin Ia menoleh kepadaku. Tapi Aku sedang makan. Apa yang harus Ku lakukan?

Aku melangkah pelan meninggalkan sisa – sisa makanan yang ada di meja makan. Aku berlalu menuju depan kamar Ibunya Zima. Agar tak terlalu ketahuan modusku, Aku pun berniat pergi ke kamar mandi yang ada di seberang kamar Ibunya. Saat Aku ke depan kamar mandi Aku berbalik melihat kamar Ibunya yang terbuka setengah.

Aku hanya diam mematung. Ku lihat Ibunya menoleh ke belakang dan memandangiku. Ibunya Zima hanya tersenyum dan kemudian kembali membalikan tubuhnya. Apa ini kode ya? Punggungnya seperti memanggilku untuk membantunya membuka resletingnya.

Aku pun pelan berjalan masuk ke dalam kamar Ibunya. Beberapa kali Aku menelan ludah dan gugup. Hingga kini Aku juga tak mengerti mengapa Aku begitu gugup. Padahal Kami pernah berhubungan sex, ini tanda, mengapa Aku harus gugup?

Saat Aku mendekat, nafas berat nafsuku menyapa Ibunya Zima dari belakang. Ibunya kembali menoleh dan senyum. Dengan refleks tanganku Ku arahkan untuk membuka resleting belakangnya. Aku seperti sengaja melakukannya perlahan. Kulit punggungya yang begitu putih terawat benar – benar meningkatkan gairahku.

Ibunya Zima pun kemudian melepaskan pakaiannya di depanku. Oh, bokongnya padat dan seksi. Senam yang selama ini selalu dilakukannya benar – benar membuat siapa pun yang melihatnya langsung akan terkesima dan menahan ludah. Hal yang membuatnya seksi adalah warna pakaian dalamnya yang gelap, warna biru gelap.

Ibunya pun meminta membukakan kait belakang branya. Oh, gila. Aku diminta Ibunya Zima membuka branya dari belakang. Aku membukanya dengan sedikit susah, bingung antara ke kiri atau ke kanan. Akhirnya terbuka.

Ibunya membalikan tubuhnya menghadapku. Jelas terlihat payudaranya yang telah lepas dari branya. Bentukya bulat sedikit besar dan putingnya merah menonjol. Aku benar – benar ngaceng melihatnya. Aku ingin kembali mengemutnya dan menjilatnya. Nafasku benar – benar berat dan nafsuku sudah berada di puncak ubun – ubun.

“Kamu mau melakukannya lagi dengan Tante?”

Perkataannya benar – benar memenangkan nafsuku. Pertemuan tak sengaja di supermarket membuatku ingin kembali bersetubuh dengan Ibunya Zima saat ini. Penisku sudah ngaceng berat.

Aku pun segera memeluknya. Aku mencium – cium tengkuknya yang harum. Tanganku pun aktif menjelajah setiap inci bagian tubuhnya. Punggungnya halus dan wangi. Pelan dan nekat Aku meremas pelan bokong padantya.

“Ough…” lenguh Ibunya Zima.

Entah apa maksudku mencium – cium tak jelas. Aku benar – benar bernafsu. Penisku selalu menghentak – hentak tubuhnya. Padahal Aku masih berpakaian lengkap. Tak sadar Aku pun mendorongnya hingga Kami terjatuh di atas tempat tidur. Aku pun seperti tak peduli. Aku terus saja mencium – ciumi Ibunya Zima.

“Ough.. pelan Dio… pelan.” dengan tiba – tiba tangannya memegang wajahku. Ibunya menatapku tajam.

Menyadari hal itu, Aku pun tersadar dan tertunduk malu. Aku malu karena sangat bernafsu. Nafsu terhadap wanita. Pertama kalinya Aku merasakan hal ini dan semuanya sudah terambil oleh Ibunya Zima.

Genggaman tangannya pada wajahku melunak. Tangannya menggiringku untuk mendekati bibir mungilnya. Ia memintaku menciumku untuk menghiburku. Aku pun dengan tegang mendekati dan menciumnya. Rasanya lunak dan juga kenyal. Ibunya Zima menuntunku berciuman. Bibir bawahku sesekali digigitnya.

Semakin lama nafasku semakin cepat dan nafsuku semakin menjadi – jadi. Ciuman Kami pun semakin panas dan saling menjelajahi. Sambil Kami berciuman, tangan Ibunya Zima begitu cekatannya melepaskan pakaianku dan Aku pun sama, Aku tetap menjelajahi bagian tubuhnya. Kini Aku hanya meninggalkan celana dalam, sama seperti Ibunya Zima yang juga hanya mengenakan celana dalamnya.

“Hah… hah…(nafasku memburu cepat).”

Ibunya Zima lalu bangkit dan mendorongku ke atas tempat tidur. Aku pun terduduk di tepi ranjang. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan oleh Ibunya Zima. Ia pun terlihat senyum padaku. Ia berlutut di depanku. Oh tidak! Apakah ini benar akan terjadi seperti yang pernah Ku lihat di film pono?

“Mmh… Kamu pernah seperti ini?”

Ibunya Zima pun menarik celana dalamku yang dari tadi memenjarakan penisku. Pasti penisku senang dilepasnya. Penisku lepas! Penisku tegang dan tegak menjulang. Kerasnya ngacengku sudah parah. Rasanya seperti kayu yang keras.

Perlahan bibir mungil Ibunya Zima mendekati penisku. Pelan, Ibunya Zima mengecup kepala penisku. Pelan dan pelan. Lalu, dengan mataku yang semakin membuka lebar semakin Ku lihat pelan mulutnya terbuka. Mulutnya perlahan masuk ke dalam kepala penisku.

“OH!…” hanya lenguhan yang bisa Ku utarakan.

Mulutnya berhenti menyembunyikan kepala penisku. Aku benar – benar tak percaya. Aku di-blowjob. Aku disepong! Ini pertama kalinya Aku disepong. Selama ini Aku benar – benar penasaran mengapa laki – laki sangat menginginkannya. Dan Ibunya Zima ada di depanku sedang melakukannya.

Lama kepala penisku didiamkan oleh Ibunya Zima, kemudian mulutnya bergerak menuruni batang penisku perlahan hingga seluruhnya tenggelam.

“OUGHH!!” nikmat rasanya.

Lalu mulut Ibunya Zima dikeluarkan dari penisku. “Mm.. Ccc… Ahhh..”

Lalu kembali Ibunya Zima membuka mulutnya dan mengulum penisku. Ini benar – benar perasaan yang aneh. Ini pertama kalinya. Rasanya geli tapi nagih. Rasa maju mundur di sekitar batang penisku benar – benar unik, basah menjalar di sekitar penisku. Oh ternyata ini rasanya.

Aku hanya dapat memandanginya. Ibunya Zima mengulum penisku dengan penuh perhatian. Ia terlihat terpejam saat mengulum batang penisku. Aku benar – benar dibuat tak berdaya. Aneh, rasanya seperti kemarin, tapi ini di dalam mulut. Sama – sama basah tapi berbeda rasanya. Nikmatnya juga berbeda. Oh, gila.

“Ah…” Ibunya Zima lalu bangkit. Ia memandangiku. Kemudian dengan perlahan tangannya mendorong dadaku hingga tubuhku terlentang di atas kasur. Pelan Ibunya Zima berjalan merangkak di atasku. Bibirku diciumnya dengan nafsu. Nafsu dari seorang wanita matang keibuan sedang berhubungan sex denganku saat ini.

Ia kemudian duduk di atasku. Ia tersenyum dan lalu sedikit mengangkat bokongnya. Ibunya Zima masih memakai celana dalamnya. Dengan sedikit congkelan jarinya, Ibunya Zima membuka bagian bawah celana dalamnya. Ia memperlihatkan vaginanya yang dari tadi tertutup oleh celana dalam seksinya. Warnanya merah dan terlihat sedikit basah di bagian bibirnya.

Pelan.. pelan… Ibunya Zima menggenggam batang tegang penisku dan mengarahkannya untuk memasuki vaginanya.

“Ough…” Aku dibuatnya nikmat. Lalu…bless…

“Ughh… Sshhhhh… Dioo…” Ibunya Zima melenguh.

Pelan batang penisku memasuki vagina Ibunya Zima. Oh Tuhan, penisku kembali memasukinya. Rasanya sangat nikmat. Nikmat luar biasa. Basah dan begitu terangsang. Aku seperti kegelian dibuatnya.

Perlahan vaginanya memasuk keluarkan dari batang penisku. Rasanya luar biasa nikmat. Aku berhubungan seks. Aku pun berusaha mengimbangi goyangan Ibunya Zima yang terus memasuk – keluarkan vaginanya.

“Sssh… Ahhh… Ushh… terus Dioo… Dioshhh.”

Payudaranya bergoyang – goyang saat berada di atasku. Dengan refleks tanganku menggenggam kedua payudaranya.

“Ough!”

Ibunya Zima terperanjat saat Aku tiba – tiba memegang kedua payudaranya.

Aku semakin bernafsu menggenjot vagina Ibunya Zima. Mulutku juga tak mau kalah. Aku ingin mengemut dan menjilat puting payudaranya. Aku bangkit dan duduk berhadapan dengan tubuh Ibunya Zima. Ibunya membuka matanya dan menatap mataku. Ibunya lalu kembali memejamkan matanya dan membiarkanku jika Aku akan melumat kedua puting payudaranya.

Kami benar – benar sangat menikmati hal ini. Nafas Kami saling bergantian membalas satu sama lain. Aku yang paling bernafsu. Aku ingin menindihnya tapi Aku tergantung pada Ibunya Zima. Aku takut jika Aku yang memulai akan mengubah mood-nya. Tapi Aku tak tahan penisku sudah sangat terangsang dan nikmat dibuatnya.

Cklek!

Mata Kami tiba – tiba terbelalak. Ada seseorang yang masuk ke dalam rumah. Nafas nafsuku membuatku tuli, tak menyadari ada yang datang.

“Zima!” Kami sama – sama mengatakan hal yang sama.

Dengan gelapannya Aku kaget dan bingung. Kami sama – sama diam. Ibunya lalu memintaku untuk diam dan jangan mengeluarkan suara apa pun.

“Ssstt… Kamu diam! Zima pulang. Kamu di sini saja dulu. Tante yang akan keluar.”

Ia pun memintaku untuk tetap di dalam kamar. Aku tak menyadari jika Zima pulang. Bodoh! Bagaimana jika ketahuan. Celaka Aku. Habis sudah.

“Ma… mama…”

Ibunya Zima pun berpakian dengan cepat dan menyapa Zima dari dalam kamar.

“Iya, sayang.. sebentar.”

Ibunya pun keluar kamar dan menyambut Zima yang baru pulang. Sedangkan Aku termenung dengan keadaan masih telanjang. Aku bingung. Aku bangkit dan mengambil pakaianku. Duh! Penisku masih tegang. Sial! Aku belum mencapai puncak. Aku belum keluar. Duh, rasanya pusing dan nyut – nyutan.

Perlahan Aku mendekat ke pintu kamar dan samar – samar Ku dengar Ibunya Zima sedang mengobrol dengan Zima.

“Dio ke sini?” Ku dengar Zima bertanya.

Sial! Zima tahu Aku di sini. Sepatu di depan rumah dan tas di ruang tamu. Celaka!

“Iya, Mama tadi ketemu Dio di supermarket. Lama kalau nunggu Kamu pulang, Mama berangkat sendiri aja barusan, eh ketemu Dio. Sekalian aja Mama minta dibantuin bawain barang belanjaan. Lumayan.” jelasnya.

“Ma, kalau bisa jangan ngrepotin orang Ma. Apalagi temenku. Mama nih. Dio nya kemana? Di kamar Aku gak ada.”

“Dio, keluar tadi. Katanya ke warung mau beli sesuatu, gak tahu apa. Tadinya mau pulang, tapi Mama bilang nanti aj nunggu Kamu pulang Zim, sekalian Kamu anter nanti. Kamu cepet pulangnya?”

“Iya, Cuma satu pelajaran. Guru lesnya yang satu lagi gak masuk. Ya udah pulang aja.”

Suara pun hening lama. Aku tak tahu harus berbuat apa di dalam kamar Ibunya Zima. Aku juga sudah berpakaian.

Pintu pun tiba – tiba terbuka.

“Dio! Sini! Kamu, ini! Bawa beberapa barang di plastik. Sekarang Kamu keluar rumah pake sendal apa aja. Ntar balik lagi ke sini. Si Zima sedang mandi. Bilang nanti Kamu abis dari warung ya.”

Aku pun mengangguk dengan gugup dan tegang. Aku bergegas keluar rumah membawa kantung dan kembali lagi dalam beberapa menit.

Setelah beberapa lama Aku kembali memasuki rumah Zima. Sial, semoga Aku tak ketahuan. Aku pun mengelap keringat, berusaha tenang.

“Woi, Dio. Dari mana Lo?” sapa Zima menyambutku saat masuk.

“Oh Zim, baru balik Lo. Dari tadi Gw tungguin.” Aku membalasnya dengan beralasan.

“Beli apaan Lo?” tanyanya.

“Oh, gak. Beli biasa di warung.” jawabku asal.

“Oh, katanya mau balik Lo. Ayok Gw anterin sekalian Gw mau beli chager hp. Charger hp Gw udah putus. Ayo, mumpung mobil masih anget.”

“Oh, ok…(selamat, Aku selamat).”

Aku pun mengambil tas dan memasukkan pesanan Ibuku ke dalamnya. Zima sudah ada di depan sedang menurunkan mobil. Aku pun berlalu meninggalkan rumah Zima. Aku menoleh ke belakang ke arah ruang tamu. Ku lihat Ibunya Zima duduk dengan pakaian lengkapnya. Ibunya Zima memandangku kasihan sambil menggigit bagian bawah bibirnya.

“Woi! Ayo!” panggil Zima.

“Iya Zim.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu