1 November 2020
Penulis —  diono_cilik

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 8 : “Halo?”

Bruk!

Aah, leganya.

Rasanya sungguh lega dan sangat nikmat. Gila juga ya, jika saat sedang berhubungan seks tidak tertuntaskan. Bagiku yang seorang laki – laki muda seperti ini bisa sangat pusing dibuatnya. Aku berpikir, apa yang dirasakan Ibunya Zima ya yang kemarin juga mengalami hal yang sama, kentang seperti Ku. Kalau laki – laki kan bisa dengan

ngocok atau seperti kemarin, Aku mimpi basah. Memang wanita bisa juga ya mimpi basah? Ah, yang penting Aku benar – benar lega. Tapi, egois juga ya, selama ini yang meminta dan menunjukkan keinginan untk berhubungan seks adalah Aku. Maafkan Aku Tante.

“Mas?”

Ku buka kelopak mataku yang baru saja menyapa gravitasi. Sedikit berat dan yang Ku peroleh di ujung pandanganku adalah Tia. Ku lihat beberapa buku sudah di pangku di kedua lengannya.

“Apa lagi sih? Baru aj balik Gw.” protesku dan kembali memejamkan mata.

“Iiih, orang mau tanya doang juga.”

Tia pun duduk di sampingku. Walaupun sudah Ku tolak, tapi Tia tetap saja membujukku. Dia ini pintar tapi tetap saja suka mencuri ide – ideku. Dasar ambis.

“Mas?”

“Apa sih?!” Ganggu aj!”

“Ish!” dicubitnya perutku. “Ini, mau tanya. Dikit doang.” Jelasnya.

“Dikit – dikit! Tuh, liat! Yang Lo bawa seabrek begini, Lo bilang dikit. Lagian Lo tuh bisa. Ngapain sih masih suka nanya. Udah rangking tiga aja masih nanya gw. Ambis banget sih Lo?” protesku.

“Iih, apa seh? Udah deh, jangan bawa – bawa rangking. Mas? Ayo ih, ini bantuin. Gak ngerti.”

Ah, akhirnya Aku pun membantunya memahami materi – materi yang Tia tak paham. Terus terang Aku selalu saja ribut dengannya. Apalagi jika melihat keambisiusannya terhadap akademik. Nilai tujuh saja dianggap aib olehnya. Kurang ajar, Aku saja yang sering dapat tujuh mendengar hal itu seperti dilecehkan.

Aku pun dengan berat hati membantu Tia. Sepanjang Ia bertanya dan sepanjang itu pula Aku ribut saja dengannya. Ribut yang tidak pernah ada habisnya. Sering sekali Ia memukul kepalaku dengan pensil atau penggaris. Bahkan kadang perutku ditusuk – tusuk oleh pensilnya.

***

“Tadi nomor dua belas, Lo jawabnya apa?” tanya Beni.

“Gak yakin Gw. Kalo gak B ya C. Gw udah ngitung gak ketemu jawabannya.” Jawab Andri.

Ah, baru saja selesai ujian masih saja dibahas sama anak – anak. Segitu pentingnya harus dibahas sepertinya. Aku tak begitu peduli dengan pembahasan ini, yang jelas Aku telah berusaha dan menunggu saja hasilnya. Bagiku usaha tak mengkhianati hasil.

“Eh, Lo tau gak? Kemaren Gw ke pasar depan, sekalian Gw makan di warteg di dalem. Nih liat!” Beni pun menunjukkan sebuah foto ke anak – anak yang saat itu bersama sedang makan di kantin. Ku lihat ada foto seorang wanita dengan perawakan matang sedang berdiri di depan toko sembari membawa barang belanjaan.

“Apa kira – kira yang ada di bayangan Lo semua? Mantep gak?”

“Beh, gokil. Mantep banget kayaknya. Gila Lo ya, Ibu – Ibu Lo doyan juga.” ledek Andri.

“Uh, klo dapet mah, Gw bakalan doggy. Gak tahan Gw liat bempernya. Montok banget. Liat deh toketnya. Gila ya, gede juga. Bakalan Ge kenyot abis, haha.”

Hah, obrolan mereka ini, selalu saja mengkhayal. Apalagi jika mendengarkan Beni, si muka mesum. Omongannya tidak jauh – jauh dari seks, masturbasi, dan foto. Sering sekali Ia menunjukkan koleksi foto – fotonya dengan penuh bangga. Apalagi jika foto yang diperolehnya adalah wanita paruh baya yang montok, aduh, pasti cerita selanjutnya coli, coli, dan coli.

“Gimana Lo? Mantep kan?” Beni pun menanyakan padaku tentang foto tersebut.

Aku hanya menanggapinya dengan lirikan mata lugu dan berusaha untuk tak menunjukkan ketertarikan.

“Jiah, Dio Lo suruh nanggepin. Pacaran aja belom pernah Dia.” ledek Andri sambil masih menyeruput es teh manis kesukaannya.

Aku pun melirik ke arah Andri dengan lirikan lugu tapi sedikit memprotes dalam hati. Tak ada yang salah dengan perkataannya, memang Aku belum pernah berpacaran di sini. Lagipula sekarang Aku sedang berkonsentrasi dengan banyaknya ujian dalam dua bulan terakhir ini. Aku juga heran mereka bisa dengan santainya seperti ini.

Aku kemudian mengamati anak – anak yang sedang jajan di kantin. Salah satu yang membuatku teralihkan adalah Zima yang baru saja membeli minuman kaleng.

“Oi, Zim!” Ku panggil Zima.

“Oh. Oi!” sambutnya dari jauh.

Dengan gerakan yang percaya diri Aku tengokan kepalaku ke arah Beni dan Andri yang dari tadi meledekku. Ku tatap mereka dengan banyak hal di kepalaku.

Lo Lo pada masih amatiran! Tau gak Lo, Gw udah sering ngentot sama Ibunya Zima! Imajinasi Lo pada ketinggian. Ibu – Ibu di pasar pake segala Lo koleksi, trus di coliin lagi. Payah Lo pada!

Aku pun mengakhiri tatapanku dengan senyuman meledek dan pergi berlalu. Pergi meninggalkan kawan – kawanku yang terus selalu berimajinasi. Imajinasi dan imajinasi.

Drrt… drrt…

Ada WA masuk.

Oh, ternyata Bapak. Ah, Bapak ini sering sekali dadakan jika ada perlu. Paling Aku diminta untuk ngecek barang – barang bengkel. Hanya saja titipannya tidak bisa ditunda, harus segera diberikan secepatnya. Yah, walaupun memang tak ada kegiatan siang ini, tapi harusnya sejak pagi Bapak memberi tahu keperluannya.

***

“Bisa sih gak Pak dari pagi bilangnya?” tanyaku sembari memberikan pesanan padanya.

“Ya ilah, disuruh gitu aja. Lagian juga sekalian.” Bapak mengambil tanpa menatapku, Ia terlalu sibuk di bengkel.

Ah, banyak sekali motor – motor yang berjejer di depan bengkel untuk diminta service. Setiap siang, kadang Aku mampir untuk sekedar meminjam kunci. Kadang Aku juga membantu Bapak di sini. Walaupun ada dua orang yang bekerja di sini, Aku juga ingin tahu tentang otomotif.

Bapak banyak mengajariku dan Tia tentang banyak hal. Dia selalu menasehati untuk dapat bekerja secara mandiri walaupun Kami masih sekolah, minimal Kami tak merepotkan orang lain. Jika Kami berbuat salah, Bapak tak banyak bicara, tapi sekaliya bicara benar – benar menusuk jantung. Pelan dan

jleb. Jika sudah kebangetan, uang jajan distop selama sebulan. Rasanya sungguh menyiksa. Siksaannya memang tak parah, karena Kami juga diajari untuk menghemat uang dan menabung. Jadi Kami benar – benar tak dibuat manja. Agak berbeda dengan Ibu, Ibu selalu perhatian dan tentunya baik. Jadi, Kami merasa lengkap dengan kehadiran mereka.

“Ujian semua sudah selesai kan yang di sekolah?” tanya Bapak yang duduk sedang mencopot ban belakang.

“Iya, sudah semua. Tinggal tes buat masuk PTN nanti.” Jelasku sembari memberikan kunci 19.

“Gratis juga kan tes? Dibayarin sekolah?”

“Mana ada gratis Pak. Ini kan tes mandiri dari kampusya. Yang nasional aja juga bayar.” Jelasku.

“Oh, kirain. Siapa tahu. Semua tes ikut?” tanya Bapak kembali.

“Gak semua, yang deket sama yang dipengen aja.”

“Jangan jauh – jauh. Ibu ntar kasihan.”

“Lah, Bapak bukannya nyuruh minggat??” tanyaku heran karena Bapak yang malah memintaku merantau untuk mandiri.

“Minggat… udah bosen jadi anak?” protes Bapak.

“Ngerantau maksudnya. Paling jauh daerah J.” jelasku.

“Ya gapapa, asal jangan luar pulau.” Pinta Bapak.

Aku pun mengiyakan permintaan Bapak yang ingin Aku tidak terlalu jauh merantau. Yah, ini semua demi kemandirian yang selama ini Bapak ajarkan.

Lama – lama Aku bosan juga di sini. Yang ada hanya mengamati orang – orang memperbaiki motornya. Daripada tidak melakukan apa – apa di sini Aku memutuskan pulang saja. Aku pun berpamitan pada Bapak jika Aku akan pulang. Ia pun mengijinkanku pulang sembari menitipkan rantang makanan.

Hah, sudah selesai. Sekarang Aku harus fokuse dengan tes – tes yang akan Ku hadapi ke depan. Aku tak tahu apakah Aku bisa lolos. Kadang Aku juga iri dengan teman – teman yang mengambil les tambahan untuk memperkuat dan memperbesar peluang agar bisa masuk ke perguruan tinggi yang mereka inginkan. Aku hanya bermodal buku – buku dan otakku saja.

Saat Ku berjalan menyusuri gang – gang menuju rumahku, Aku teringat akan kertas yang pernah diberikan Ibunya Zima. Kertas itu masih ada dan Ku letakkan dengan baik di dalam dompetku. Gila juga, akhirnya Aku dapat menghubungi Ibunya Zima. selama ini Aku berusaha keras agar bisa bertemu dengan Ibunya Zima.

Alasan main ke rumahnya Zima selalu jadi andalanku. Tapi hal itu akan sangat bahaya jika suatu saat Zima tahu. Ibunya Zima benar – benar membaca pikiranku. Pikiran anak muda yang baru memiliki pengalaman baru. Pengalaman tentang rahasia seorang wanita yang ingin Ku telusuri. Pengalaman menyentuh dan sekaligus membuatku ketagihan.

Sepi. Jalanan sudah sepi. Aku kemudian mengeluarkan kertas yang diberikan Ibunya Zima dari dalam dompet. Tapi apa iya, ini nomor Ibunya Zima? Apa jangan – jangan bukan? Tapi kan yang memberikannya langsung Ibunya Zima, masak bukan.

“lain kali Kamu beritahu Tante ya jika ingin datang”

Aku ingat betul apa yang dikatakannya. Ibunya yang memberi tahu jika akan datang, menghubunginya dulu. Tapi kurang ajar sekali Aku, menghubungi hanya untuk seks saja. Orang gila. Masak Ibunya Zima dianggap alat saja. Dia kan yang mengajariku banyak hal. Ah, sudahlah Ku hubungi saja. Lagian, Aku juga ingin mencba membangun komunikasi dengan Ibunya Zima.

Ah, sudah benar. Hmm? Tidak ada nomor WA-nya. Masak iya. Iya benar sudah benar. Ternyata tidak ada nomor WA-nya. Wah, bagaimana ini? Apa iya harus sms? Apa harus telepon saja?

Duh, Aku jadi bingung. Ah, coba saja. Jika benar maka Aku beruntung. Jika tidak, ya sudah.

Tuuut… tuuuuut…

Aku memutuskan untuk menelpon Ibunya Zima. gila, kurang ajar sekali Aku, menelepon Ibu temanku hanya sekedar say halo. Pengalaman yang baru bagiku menelepon Ibu – Ibu. Walaupun Kami beberapa kali berhubungan seks, tapi masih saja terasa canggung. Duuh, Aku deg – degan.

“Halo?”

Tlut!

Siapa itu?!

Aku pun secara spontan menutup teleponku. Siapa itu?! Itu bukan Ibunya Zima! Suara itu… suara laki – laki.

Ya, suara laki – laki!

Aku tidak salah mendengar. Suara itu berat. Suara bapak – bapak. Suara siapa itu?!

***

Teeeeet!

Suara bel istirahat berbunyi. Semua anak – anak bergegas keluar kelas dan berhamburan tak tentu arah. Aku pun memilih kantin yang agak jauh di sebelah belakang sekolah. Beberapa anak berpergian bersamaku dan salah satunya Zima. aku pun memandanginya dari belakang sembari bertanya – tanya.

Siapa yang kemarin itu ya? Masak Zima? Jelas – jelas suaranya berat begitu. Di rumahnya hanya ada Zima dan Ibunya. Masak tukang service? Tapi bener nomornya. Gak mungkin juga Ku tanya Zima.

Kami pun makan di kantin seperti biasa. Aku pun masih saja tak tenang. Aku seperti berada di dunia lain di dalam obrolan – obrolan Kami. Sesekali Aku memandang Zima. Kok, jadi penasaran begini.

Setelah beberapa lama, Kami pun kembali ke kelas karena sebentar lagi bel akan berbunyi. Aku juga berjalan di belakang.

“Eh, Lo ada kegiatan siang?” tanya Zima yang tiba – tiba menepuk pundakku dari belakang.

“Oh! Hmm.. gak tahu Gw. Kadang suka ada WA dari nyokap atau bokap. Kenapa emang?” tanyaku.

“Oh, temen les Gw. Dia mau kuliah di luar, jadi lesnya ditinggalin. Pas Gw tahu Dia kagak les, Gw dikasih buku – buku les nya ke Gw. Minta kasih ke temen Gw yang kira – kira pengen. Mau Lo? Lo kan kagak les.” tawarnya. Mendengar tawaran itu, Aku pun tertarik. Ini kesempatan buatku untuk seberapa dalam buku – buku itu.

“Oh.. mmh…”

“Apa Gw bawa aja besok?” tawarnya sebelum Aku menjawab.

“Oh! Ah, boleh deh nanti sekalian balik.”

“Oh ya udah, balik bareng ntar.”

Ini bisa jadi jadi kesempatan bagiku untuk mengetahui apa nomor yang diberikan Ibunya benar atau tidak. Siapa tahu Ibunya salah. Jika salah Aku bisa meminta nomor yang seharusnya. Wah, beruntung sekali Aku. Awalnya tadi Aku ingin kembali bermain di rumah Zima tapi Zima menawarkan dahulu padaku. Tapi kalau kesempatan untuk kembali berhubungan seks sepertinya tidak.

***

Seratus meter lagi. Ya, jarak rumah Zima dari pintu utama komplek memang agak jauh. Walaupun ada tukang ojek, tapi Zima selalu memilih berjalan kaki. Katanya biar hemat.

Kami sudah berada di depan pintu. Zima pun membuka pintu rumah dan masuk ke dalam diiringi olehku dari belakang.

“Ah, sudah pulang!”

Ku lihat sosok paruh baya matang dengan putihnya rambut serta jenggot terawat menyambut Kami yang baru datang. Wajahnya berbinar putih dan sedikit kemerahan. Aku tak asing dengan raut wajahnya. Walaupun dengan pakaian yang berbeda, Aku dapat mengenalinya. Aku mengenalinya selama ini di dinding ruang makan dan ruang tamu.

“Hallo? Wie geht es dir? Wer bist du?” sapanya padaku sembari mengulurkan tangannya.

“Oh… hehe.” Aku tak tahu apa yang dikatakannya. Aku benar – benar terkejut. Akhirnya Aku benar – benar bisa bertemu dengan Ayahnya Zima. ayahnya yang selama ini bekerja di luar dan jarang pulang, akhirnya datang. Aku pun beruntung sekali bisa bertemu pertama kalinya.

“Hei, hei. Dio gak ngerti Pap.” Zima pun membelaku sembari mengajakku duduk di ruang keluarga di belakang. Ayahnya pun mengikuti Kami sambil membawa minuman.

“Ah, maaf, maaf, Papa hanya bercanda. Maksudnya halo? Apa kabar? Kamu siapa? Haha…”

Suara itu!

Aku benar – benar ingat suara itu! Ya, tak salah lagi. Itu suara yang mengangkat teleponku kemarin. Apa iya? Tapi bicaranya benar. Tapi, kok? Ah, Aku benar – benar tak mengerti maksudnya. Nomor, Ibunya Zima, Ayahnya.

“Oh, Dio! Ada Kamu di sini.” Sambut Ibunya Zima menghampiri Kami.

Ibunya Zima terlihat sangat senang sekali menyapaku. Ku rasa Ibunya senang karena suaminya telah pulang dari negeri jauh dan sudah lama pasti tak bertemu. Wah, menyaksikan Ayah Zima ada di sini Aku merasa senang dan sedikit tersentuh. Ternyata, sosok Ayah begitu dinantikan dalam sebuah keluarga. Pembawaanya benar – benar atratktif dan rumah ini entah kenapa terasa hidup.

“Ah, jadi Kamu temannya Zima? Wah, terima kasih, terima kasih. Papa tak tahu Kamu punya teman.” Ledek Ayahnya sama seperti Ibunya yang sering meledeknya. Yah, namanya anak

hommy, jarang sekali keluar rumah jika tak penting.

Kami pun mengobrol – ngobrol banyak hal selama Aku di sini. Suasananya benar – benar hidup. Ayahnya Zima tentu banyak berbicara. Ia memberikan banyak pandangan tentang bagaimana kehidupan yang dijalaninya selama di Eropa. Benar – benar keluarga berbeda dan berkelas. Gaya bicara Ayahnya sangat percaya diri, berat, dan berwawasan luas.

Apa yang diceritakan oleh Ayahnya benar – benar pengalaman baru bagiku. Kehidupan yang dijalaninya di Eropa membuatku sangat tertarik. Wah, apa jadinya jika suatu saat Aku juga bisa bekerja di sana. Benar – benar sangat menarik.

“Ah, hampir lupa. Jadi Kita ke sana?” tanya Ayahnya Zima pada Zima yang sedang menuangkan minuman di ruang makan.

“Oh, ya. Sekarang aja Pap. Sekalian nganterin Dio ke depan.”

“Oh? Memangnya Dio sudah mau pulang. Papa pikir Dio main ke sini?” tanya Ayahnya Zima.

“Oh, enggak Om. Saya kebetulan mau ambil buku saja.” Jelasku.

“Hmm.. tidak, tidak. Papa baru saja bertemu dengan temannya Zima dan Dia akan segera pulang? Tidak, setidaknya hingga makan siang ini. Das ist eine gute gelegenheit.”

Ayahnya Zima sama ternyata dengan Ibunya Zima, selalu mengajak makan. Aku pun sepertinya tak enak menolak tawarannya.

“Ayo, Pap. Sekarang aja, mumpung Bank belum tutup. Makan siangnya nanti saja. Sebentar ini di depan.” Jelas Zima sambil mengajak Ayahnya.

“Ah, iya benar. Maaf Dio ya, Kamu harus menunggu. Ada yang harus diambil di Bank di depan. Tidak apa – apa kan? Kamu mau ikut?”

“Dio di sini aj Pap, biar cepet juga.” Jelas Zima.

“Oh, ya benar. Oke ayok. Mama mau ikut?” ledek Ayahnya Zima pada Ibunya Zima.

“Ih, Kalian sajalah. Ngapain Mama ikut. Mama mau mandi dulu, dari pagi belum mandi nih.”

Ayahnya Zima dan Zima pun sebentar berpamitan untuk mengambil sesuatu di Bank di ruko seberang komplek. Aku pun ditinggal sebentar. Yah, Aku tak diijinkan pulang sebelum makan siang bersama. Ibunya Zima pun juga masuk ke dalam kamarnya untuk mandi.

Wah, ini baru pertama kalinya Aku bisa bertemu dengan Ayahnya Zima. Luar biasa. Karakternya, cara bicaranya, pandangannya. Ternyata begitu ya jika sudah lama hidup di negeri orang, pasti berpengaruh dalam diri Kita.

Cklek!

Pintu kamar terbuka. Ku lihat Ibunya Zima keluar dari kamar dan melintasi pandanganku. Ku lihat Ibunya Zima hanya memakai kimono tipis dengan rambut yang masih basah menetes. Ibunya masih mandi sepertinya. Ibunya menuju dapur dan seperti mengambil sesuatu. Saat akan kembali, Ibunya menoleh padaku dan menundukkan kepalanya sembari tersenyum lembut dengan maksud.

Gila! Tiba – tiba Aku menjadi gelisah. Seluruh inci saraf permukaan kulitku menjadi tegang. Aku tak tenang. Apa itu tadi? Apa Ibunya Zima berusaha mengajakku kembali atau hanya sekedar senyum karena Aku memperhatikannya.

Berapa lama? Setengah jam? Atau lama? Tidak! Mereka hanya sebentar. Tidak mungkin sempat. Tapi apa iya? Ah, Aku tak tahu. Aku tak tahu!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu