31 Oktober 2020
Penulis — king2001
Hubunganku dengan budhe Lilis via teras kamarku berjalan lancar dan bahkan semakin hangat. Jika selama ini aku yang selalu mengambil inisiatif mengajaknya berhubungan, kini Budhe Lilis mulai berani untuk terang-terangan memintaku melayani hasratnya yang masih belum juga hilang. Dalam hubungan kami, aku tidak pernah menanyakan kondisi hubungan seks budhe dengan suaminya, pakde Narto.
Karena aku menganggap, dengan tidak mengetahui kondisi hubungan seks mereka berdua, aku tak bersikap kurang ajar yang berlebihan terhadap pakde. Walaupun apa yang aku lakukan dengan istrinya sudah sangat kurang ajar.
Pernah pada suatu pagi, sekitar pukul 02.30 WIB, suasana sangat gerah. Mendung bergelayut menutupi rembulan, namun tidak juga turun hujan. Aku menghisap rokokku ditemani secangkir kopi, duduk di kursi panjang teras kamarku. Aku menatap kosong kaca jendela kamar budhe yang lampunya masih hidup. Tiba-tiba jendela kamar itu dibuka bude. Mungkin merasa kegerahan yang sangat.
Terlihat jelas kondisi budhe yang sudah acak-acakan, rambutnya sudah tidak teratur lagi. Mungkin habis melayani hasrat pakdhe. Budhe mengenakan kaos ketat dan rok yang sangat longgar, dan beberapa saat kemudian, dengan menyampingi jendela, tampak budhe melepas kaosnya yang sangat ketat. Aku terdiam menyaksikan budhe yang ternyata tidak mengenakan behanya payudara budhe tampak menantang.
Penisku sudah mulai menantang lagi menyaksikan pemandangan sesaat yang cukup menggugah birahi tinggiku. Setelah itu budhe menarik rok longgarnya ke atas sehingga menutupi kedua bukit kembarnya. Budhe beranjak meninggalkan kamar menuju ruang tengah dan akhirnya keluar rumah menuju kamar mandi yang terpisah dari rumah utama. Budhe sepertinya tidak mengetahui keberadaanku di teras kamar.
Saat budhe sudah di dalam kamar mandi, aku berjalan perlahan menuju kamar mandinya, takut menimbulkan suara yang bisa membangunkan pakde Narto. Setelah sampai di depan pintu kamar mandi, aku ketuk perlahan pintu itu
Toktoktok Pak ujar budhe. Adit budhe, ujarku perlahan. Budhe sepertinya bimbang antara membukakan pintu atau tidak. Karena budhe lama sekali di dalam, namun aku tidak mendengar adanya suara tanda budhe melakukan aktifitas apapun. Setelah sekitar 5 menit di depan pintu akhirnya kulihat pintu kamar mandi terbuka, dan budhe masih mengenakan rok yang menutupi dada sekalnya. Adit gerah, numpang mandi ya budhe bisikku di telinga budhe sambil menutup pintu kamar mandi.
Jangan disini Dit, takut nanti pakde bangun, ujar budhe khawatir.
Dengan sedikit kesal, akhirnya aku memelorotkan roknya hingga jatuh ke lantai, kutubruk tubuh budhe dan segera kusiramkan air di tubuh budhe. Budhe sepertinya agak menggigil. Akhirnya kubuka selangkangan budhe, kusentuh vaginanya dan ternyata masih banyak sisa-sisa cairan milik budhe dan sperma pakde. Kulihat budhe tidak begitu menikmati hubungan seks ini Mungkin budhe terlalu lelah. Tanpa pikir panjang, tak peduli kondisi budhe, kumasukkan penisku dalam-dalam blesssss. Tak sampai lima menit, karena dorongan seksku yang menggebu-gebu aku sudah tepar Kutarik perlahan dan kulihat budhe tanpa ekspresi. Akhirnya aku segera berlari menuju teras kamarku dan masuk ke kamar.
Setelah tiga bulan hubungan ini berjalan, tiba-tiba datang berita sedih. Mbah Sir, ibu de Narto jatuh sakit dan cukup parah. Mbah Sir hanya bisa di tempat tidur, tidak kuat kemana-mana lagi. Mas Edo dan istrinya yang selama ini menetap di rumah mertuanya pulang ke rumah. Ditambah lagi bulek Darti, adik de Narto, beserta suami dan kedua anaknya ikut tinggal di rumah tersebut ntuk membantu merawat mbah Sir. Kamar tidur luar di dekat gudang yang berhadapan langsung dengan jemuran ditempati bulek Darti.
Hubunganku dengan de Lilis akhirnya sangat terganggu, hampir empat bulan lamanya aku tidak bisa melakukannya lagi. Hingga suatu malam, ketika bulek Narti, suami, anaknya, menemani pakde Narto ke rumah salah seorang tabib pengobatan alternative, aku berniat melakukannya lagi dengan de Lilis.
Dengan santai aku masuk rumah de Narto melalui pintu belakang. Oooo Adit ayo masuk dik, ujar mas Edo ramah. Kulihat mas Edo sedang menonton televisi, dan istrinya sudah pulas tertidur. Aku duduk bersama mas Edo melihat televise. Mbah gimana mas kondisinya, tanyaku basa-basi. Belum ada perkembangan Dit. Mungkin sudah terlalu sepuh ya ujar mas Edo. Mas Edo sepertinya asyik menikmati siaran televisi, sehingga tidak memahami kegundahanku, melihat kesana kemari mencari keberadaan budhe.
Mas, saya tak liat mbah ya, iseng-iseng kukatakan kepada mas Edo. O ya Dit, silahkan. Gak usah saya antar ya, ujarnya. Eee iya mas. Aku segera beranjak menuju kamar mbah Sir yang berjarak cukup jauh dari ruang keluarga. Saat aku berjalan tiba-tiba mas Edo nyeletuk; Ibu juga di kamar mbah kok Dit. Duaaarrr ketemu juga akhirnya dimana budhe.
Sesampai di depan kamar mbah, kubuka perlahan pintu kamarnya. Kulihat mbah Sir sudah terlelap tidur, dan disampingnya wuiiiihhhhh Budhe Lilis tidur terlentang dengan hanya mengenakan celana olahraga dan kaos panjang ketat nan tipis. Tampak gundukan payudaranya menantang Perlahan aku duduk di dipan. Kubelai rambut de Lilis dan tangan kiriku menuju payudara yang tertutup beha dan kaos Tiba-tiba budhe kaget dan terbangun.
Adit! Kenapa kamu kesini? tanya budhe. Budhe ak sudah tidak kuat, ujarku. Jawaban budhe diluar dugaanku, Budhe lelah Ditkapan-kapan saja ya Dit.. ujar budhe.
Akhirnya kuambil langkah seribu, kembali ke rumahku.
Ketika melewati ruang keluarga, aku pamitan kepada mas Edo dan mengatakan kalau mbah sudah tidur dan saya tidak ingin mengganggunya.
Menjelang kenaikan kelas III, karena aku bersekolah di SMK, aku mempersiapkan segala tetek bengek yang akan aku gunakan untuk Pendidikan Sistem Ganda (PSG) atau kerja praktik di awal kelas III. Aku sedikit melupakan de Lilis dengan banyak keluar rumah dan menyibukkan diri dengan kegiatanku.
Pada saat pengumuman penempatan pabrik tempat PSG, ternyata ada perubahan jadwal. Rencana PSG yang hanya 3 bulan, ditambah menjadi 6 bulan. Namun biasanya kenyataannya PSG ini efektif hanya selama 2 bulan. Dan ternyata aku bersama kedua temanku, dijadikan dalam satu kelompok dan ditempatkan di sebuah perusahaan besar di luar kota. Ternyata ada 3 kelompok yang akan PSG di perusahaan tersebut, dan kelompokku akan PSG terlebih dahulu dengan jangka waktu 2 bulan.
Akhirnya aku berangkat PSG dengan membawa serta computer di kamarku. Salah seorang temanku mengusulkan jika kita kost satu kamar saja bertiga, dan PSG dipersingkat waktunya. Yang penting kita mendapatkan sertifikat dari perusahaan setelah menyelesaikan laporan kerja praktik, ujarnya. Cerdas juga kawanku ***** Dan ternyata PSG dan laporannya dapat kami selesaikan selama satu bulan.
Setelah PSG, otomatis aku libur selama lima bulan.
Ngapain lima bulan di rumah gak ada aktifitas sama sekali batinku. Apalagi hubunganku dengan budhe Lilis yang renggang, menjadikanku malas untuk mengajaknya memulai kembali hubungan indah itu.
Di suatu pagi, sekitar pukul 8, aku hanya merokok dan terbengong di teras kamarku. Tampak budhe Lilis menuju kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang dililitkan di tubuhnya, payudaranya yang besar seperti mau muncrat. Belahan susunya juga terlihat indah walau sebentar. Sekilas bude melirikku dan tersenyum.
Daripada pagi-pagi terbakar nafsu, aku beranjak meninggalkan rumahku menuju rumah om-ku yang berjarak 200 meter dari rumahku. Kulihat rumah omku sepi. Tapi pintu belakang tidak dikunci. Akhirnya aku masuk dan melihat televisi sambil merokok. Sedikit mengalihkan nafsuku yang membuncah.
Tak beberapa lama terdengar pintu belakang diketuk dan kudengar suara ; Dik Adi (nama omku). Aku berlari ke pintu belakang dan kubuka. Ternyata mbok Tun, tetangga belakang rumah omku. Alamak mbok Tun hanya mengenakan beha hitam berenda dan kebaya sambil menenteng rokok. Hal ini jamak terjadi di kampung- kampung dan hal itu adalah hal yang lumrah. Di usianya saat ini sekitar 68 tahun, janda yang sudah hampir 15 tahun tinggal sendirian ini tubuhnya memang sudah cukup kendor di sana-s***** Payudaranya yang terbilang cukup besar namun juga sepertinya sudah menggelantung, namun karena terbantu dengan kecilnya beha hitam berendanya, sehingga payudaranya terlihat besar dan menantang.
Oooo nak Adit. Dik Adi kemana? tanya mbok Tun.
Mataku yang dari tadi tertuju ke gumpalan bukit kembarnya, gelagapan menjawab, Saya tadi kesini sudah sepi itu mbok. Mungkin om lagi mengurusi dagangannya ujarku sambil melihatnya dari ujung kaki ke rambut. Ada apa mbok,? tanyaku. Itu listrik saya kok mati, radio saya jadi tidak bunyi, ujar mbok Tun. Coba saya lihat saja mbok, ujar saya menawarkan diri.
Akhirnya kuikuti langkah mbok Tun dari belakang. Terlihat bokongnya yang masih terbentuk walau ditutupi kain kebaya. Sesampai di rumah mbok Tun, kuperiksa pengaman listrik, ternyata hanya berubah dari posisi 1 ke posisi 0.
Segera saja kubenarkan posisi saklar pengaman tersebut.
Sudah mbok. Dicoba dulu, ujarku. O ya nak Adit, radionya sudah bisa menyala lagi, katanya.
Mbok Tun menyalakan radionya cukup keras, mungkin karena pendengaran beliau yang sudah cukup jauh berkurang. Tanpa canggung aku minta mbok Tun membuatkanku segelas kopi, dan mbok Tun mengiyakannya. Saat mbok Tun merebus air untuk membuat segelas kopi panas, hasratku yang tak tersalurkan sepertinya akan tumpah. Kukunci pintu depan rumah mbok Tun dan aku menuju ke dapur. Kulihat Mbok Tun berdiri membelakangiku menghadap meja dan menuangkan air panas ke dalam gelas. Aduh teriak mbok Tun. Reflek aku berlari menghampiri mbok Tun. Ternyata tangan kiri mbok Tun terciprat air panas tadi. Aduh Dit.. Aku segera mengambil pasta gigi di kamar mandinya dan entah mengapa aku kembali dengan tak lupa mengunci pintu belakang rumahnya.
Kuhampiri mbok Tun yang meringis kesakitan, kupegang tangan kirinya dan kuoleskan pasta gigi untuk mengurangi rasa sakit dan panas di tangannya. Mbok Tun istirahat dulu di kamar, biar lukanya nanti cepat sembuh, saranku.
Perlahan kurangkul tubuh mbok Tun dari belakang, tangan kiriku memegang tangan kiri mbok Tun, sedangkan tangan kananku merangkul pundaknya. Sembari kubimbing berjalan perlahan-lahan, jemari tangan kananku mulai sedikit menyenggol payudaranya. Kuelus perlahan-lahan sembari berjalan. Ahhhh. nyaman sekali.
Sampai di kamarnya, aku segera merebahkannya di dipan dan kututup jendela. Tak lupa kunyalakan lampu kamarnya yang hanya 5 watt. Kulihat Mbok Tun masih meringis menahan sakit. Dengan posisi terlentang, belahan payudara mbok Tun sungguh menggoda penisku yang tegang mulai tadi. Mbok kelelahan, tidur saja mbok. Adit pijitin, ujarku. Tanpa menunggu persetujuannya, kugeser tubuhnya mendekati tembok, dan aku duduk disampingnya. Kuangkat kakiku sehingga naik di dipan.
Ada minyak kayu putih mbok, tanyaku. Ada di meja.
Setelah kuambil minyak kayu putih tersebut, aku segera menuju ke kakinya. Kubuka kain kebaya coklat itu dan mulai terlihat betis mbok Tun yang cukup kenyal walau sudah kendur. Kuoleskan minyak kayu putih itu dan kupijit kaki kirinya. Setelah cukup lama aku bermain di betis kiri dan kanannya, aku berkata kepada mbok Tun; Mbok, ini pahanya diolesin dan dipijit sekalian ya Mbok buka sedikit ya kebayanya ujarku dengan nada sungguh- sungguh.
Sepertinya mbok Tun percaya saja kata-kataku dan tidak menaruh curiga apapun. Mungkin dipikirnya, tubuhnya sudah tidak menarik lagi dan aku tak mungkin macam- macam. Reaksi mbok Tun sungguh diluar dugaanku. Di hadapanku, Mbok Tun tidak mengangkat sedikit keatas kebayanya, namun dengan sedikit menganggat pantatnya, mbok Tun malah membuka ikatan kebayanya menjadi sangat longgar, namun masih menutupi atas vaginanya.
Kulirik mbok Tun ternyata tidak mengenakan celana dalam.
Terlihat sedikit bulu kemaluannya. Hasratku semakin menggelora, aku tak mempunyai akal sehat saat itu, bagiku mbok Tun bagai de Lilis yang masih menyimpan magnet.
Aku sedikit naik ke tubuh mbok Tun, dan penisku yang tegang menempel kuat di paha kirinya. Kuurut paha kanannya perlahan-lahan, sembari sedikit-demi sedikit menyibak kebayanya Akhirnya kebaya itu sudah terbuka dan hanya menutup sedikit vaginanya. Kulanjutkan pijitanku hingga sedikit menyentuh vaginanya Mbok Tun kaget bukan kepalang dan sedikit menarik tubuhnya ke atas.
Namun aku mencengkeram paha itu kuat-kuat dan menariknya kembali ke bawah lagi. Mbok Tun menatap tidak percaya apa yang aku lakukan padanya. Akhirnya dengan tetap pada posisiku, aku percepat pijatanku dari lutut ke pangkal pahanya, sembari terus menerus mencolek vagina mbok Tun. Vagina nenek ini ternyata sudah mulai basah kuyup, dan kudengar nafasnya huga tidak teratur.
Mbok Tun sepertinya serba salah menghadapi situasi ***** Geloranya yang masih tersisa, disulut kembali oleh lelaki ingusan sepertiku. Setelah cukup lama aku hanya bermain di pangkal paha mbok Tun, dan dia sepertinya akan memuntahkan cairannya, saat dia menggelinjang hebat dan menutup pahanya, aku berkata: Mbok Tun, sekarang atas ya, ujarku sambil sedikit menarik kebaya mbok Tun sehingga terpampang jelas vaginanya di hadapanku. Vagina itu sudah cukup kendur.
Mbok Tun kaget, tanpa ada reaksi aku menuju tubuhnya bagian atas. Mbok Tun rebahan saja, ndak usah tengkurap.. ujarku. Tanganku menuju pundak mbok Tun, kuolesi minyak kayu putih dan terus memperhatikan belahan payudaranya didalam beha hitam itu. Perlahan kupijat pundaknya sebelah kiri
Namun karena sudah cukup lama menahan hasrat ini, tanpa piker panjang kubuka kaosku dan mengatakan kepadanya jika aku kepanasan dan gerah karena mengurutnya. Setelah itu, aku perlahan naik ke atas tubuhnya. Penisku yang masih terbungkus cd dan celana pendek tepat menempel di atas vaginanya. Kaki mbok Tun masih ditutup rapatrapat.
Tangan kiriku memijat pundak kanannya dan tangan kiriku di pundak kanannya.
Kurasakan sensasi menggesek-gesekkan penisku di atas vagina mbok Tun, dengan terus memandang buah dadanya yang cukup menyenangkan. Mbok Tun hanya terdiam menyaksikan apa yang sedang kulakukan padanya. Dengan sangat hati-hati, kulepas tali beha mbok Tun bertepatan saat tanganku memijit pundaknya dari pundak menuju lengannya.
Setelah tali beha kirinya terlepas, buah dada kirinya menyembul keluar dari kutangnya. Bergantian tali beha kanannya kulepas dengan pijatan jemari kiriku. Kutarik ke bawah hingga dua bukit kembar itu tampak besar namun sudah kendor.
Aduh nak Adit mau ngapain ujar mbok Tun. Reaksiku, aku sedikit bangkit dan melepas celana dan cdku. Jangan nak Adit, jangan, ujar mbok Tun parau. Mbok Tun berusaha menutup kebayanya, namun karena kebaya itu berada dibawah kakiku, dia kesulitan menariknya.
Tangannya kemudian beralih membenarkan kembali letak kutangnya, namun kalah cepat dengan mulutku yang sudah menyerbu putingnya yang kehitaman itu.
Slruuuupppssssss kuhisap keras putting itu, kubenamkan bergantian di payudara mbok Tun kiri dan kanan.
Kuremas dengan hebat payudaranya yang kendur namun hangat Mbok Tun sepertinya ingin berontak, namun dekapanku cukup kuat. Tanganku bergerilnya di seluruh payudaranya, kuciumi lehernya yang berbau minyak kayu putihdan kukulum bibirnyaslruuuupppsss aaaahhhh. Kumainkan lidahku di mulutnya, dan mbok Tun hanya berkata ups, ups hmf hfm.. ugh agh Tanganku beralih mencari kaitan beha di bagian belakang tubuhnya, setelah ketemu, kubuka kaitannya dan kulemparkan beha hitam itu dengan kuat.
Kubuka paksa kaki mbok Tun, dan vagina itu terlihat cukup basah tanpa piker panjang, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya yang kendur itu blesssss dengan mudahnya penisku masuk ke dalam vaginanya. Mungkin sudah cukup longgar Mbok Tun pasrah dan hanya terdiam, tanpa berkata-kata.
Kugoyangkan pantatku maju mundur plup.. plup.. plupppceplopceploppahhhhh. Mataku binal memandang payudara yang nganggur sangat lama ***** Kuhisap putingnyaberkali-kali dan mbok Tun sepertinya sudah cukup lelah, karena tenaganya tentu sudah sangat lemah.
Plup.. pluppluppp kucepatkan gerakan memompaku.
Kuangkat kedua kaki mbok Tun dan kuarahkan menjepit tubuhku melalui bawah ketiakku Dan akhirnya cruooottttttt.. aku menggelinjang hebat. Kubenamkan penisku dalam vagina mbok Tun hingga pangkalnya.
Ahhhhhh, aku berteriak agak keras. Dan akhirnya aku ambruk di atas tubuh mbok Tun.
Setelah tenagaku mulai pulih, aku menarik penisku dan mengusapnya dengan kebaya mbok Tun. Kuusap juga vagina mbok Tun perlahan. Kulihat sedikit senyuman menyungging di wajahnya Akhirnya kukenakan kembali pakaianku. Suasana kamar saat itu tanpa kata-kata. Aku diam mengenakan pakaian dan mbok Tun menarik kebayanya untuk menurupi tubuhnya yang masih terlentang di atas dipannya. Akhirnya aku membuka suara;
Mbok, aku pulang dulu, ujarku. Mbok Tun tidak menjawab dan aku segera menuju pintu belakang dan berlari pulang ke rumah. Di perjalanan pulang, aku berfikir mungkin mbok Tun sedang berfikir dan berfantasi atas kejadian yang baru saja aku lakukan kepadanya.