1 November 2020
Penulis —  DemitKembar

Namaku Syam

Bagian 7 : Berbantal Ombak

Menapaki Surabaya di terik siang hari menguras energi dan membuatku hanya fokus segera sampai tujuan, kamar hotel yang dingin. Citra yang sedang berperan menjadi asisten pribadi dan baru kali ini naik pesawat tampak canggung, sengaja aku tidak tegur dia, kubiarkan belajar dari melakukan, Learning by doing.

Mobil rental yang dipesan Citra sudah tersedia, pengemudinya Cak Durakim, bapak-bapak asal Sampang Madura kira-kira berusia 65 tahunan. Cak Dur, demikian aku memanggilnya, ramah dan pandai berkelakar, rupanya beliau pensiunan sopir bis AKAP Sumber Kencono yang legendaris, terkenal karena kenekatan dan kecepatannya.

Setelah berhenti sebentar mengisi bahan bakar dan membeli minuman, kami melanjutkan perjalanan menyeberang Jembatan Suramadu. Targetku adalah sampai di kota Bangkalan sebelum maghrib. Dari berkas yang diberikan Mida kepadaku, salah satunya adalah selembar kulit, entah kulit apa, bertuliskan rajah dan semacam ijazah berhuruf arab gundul yang dikenal juga dengan arab pegon atau huruf jawi.

Sampai di rumah kenalanku yang juga pengasuh madrasah dan pesantren sekitar jam 17:00, basa-basi sejenak dan Muhtar kawanku itu mengerling dan berbisik, “Sudah nambah satu lagi istrinya?” sambil kembali mengerling, kali ini ke arah Citra, aku hanya tersenyum dan Citra tampak bingung namun dia menyesuaikan dengan senyuman juga.

Sambil duduk dan basa-basi, kuutarakan maksudku datang ke Madura ini, mencari tahu darimana asal rajah yang kubawa dan siapa tahu ketemu atau mengenali pemiliknya. Muhtar melihat sejenak, lalu bilang, “Nanti aku tanya-tanya saudara-saudaraku, besok pasti sudah ada info, rajah seperti ini khas dan pasti ada tanda siapa yang mengeluarkan, tenang saja…

Kami pun melanjutkan obrolan, ketawa-ketawa mengenang masa lalu ketika kami pernah terombang-ambing ombak di atas pompong yang mati mesinnya di Selat Malaka antara Port Dickson dan pulau Rupat ketika kami masih menyelundupkan orang dari dan ke Malaysia. Bagaimana pompong kami dikejar speed boat patroli polisi Malaysia dan berhasil lolos dengan mengecoh mereka menggunakan terpal biru dan jerigen kosong yang dilempar ke laut.

Cak Dur diminta tidur di kamar tamu dekat mushola keluarga Muhtar, setelah Isya’ Muhtar mengantar aku dan Citra ke sebuah mercusuar di Pantai Sembilangan, tak jauh dari Bangkalan. Sebelumnya Muhtar membelikan bekal minuman dan biskuit untuk di atas katanya.

Sebuah mercusuar tegak menjulang, lampunya menyala terang sementara lingkungannya tenang tidak tampak aktifitas orang. Pintu masuk ke dalam mercusuar terkunci dengan gembok besar, Muhtar bercerita bahwa sementara ini mercusuar ditutup untuk umum, alasannya sih karena konstruksinya sudah mulai lapuk, padahal Muhtar membayar penjaga Mercusuar sewa 2 bulan, karena dia sedang senang bercinta di pucuk mercusuar itu.

Menara suar itu dibangun pada jaman Belanda, tepatnya tahun 1879, terdiri dari 17 lantai dengan tangga putar untuk naik ke atas. Muhtar membuka pintu, menyerahkan gembok dan lampu senter, “Nanti kalau sudah mau balik ke rumah, telepon aja, gembok lagi pintunya lalu jalan ke arah tempat mobil kita parkir tadi, aku jemput di sana”

Aku dan Citra menaiki menara setinggi 78 meter ini tangga demi tangga dengan bantuan penerangan lampu senter yang aku bawa.

Cukup menguras tenaga dan menghabiskan nafas, namun kami sampai juga di selasar paling atas. Ada segulung tikar dan sebuah bantal di sana, serta sebuah kompor camping serta alat masak, ada mie instan, air mineral, kopi dan STMJ. Kami pun duduk menghela nafas, minum air mineral lalu melihat melalui jendela selat madura yang bertabur cahaya di pinggir-pinggirnya.

Kami terlindung dari cahaya mercusuar, namun angin malam terasa sejuk berhembus.

Aku memutar musik dari gadget mengisi dengung lampu dengan nada dan lagu berirama rock-nya Janis Joplin, Piece of My Heart. Citra tampak termangu di jendela, memandang kejauhan, entah apa yang dipikirkannya. Akankah kusetubuhi Citra di atas menara bikinan Belanda ini? Aku tersenyum sendiri, selain Muhtar, adakah orang lain yang cukup gila bercinta di puncak mercusuar?

Terbersit ide untuk mengerjai Citra, aku akan telanjang bulat dan tiduran di tikar, kira-kira apa yang akan dilakukannya? Kubuka seluruh pakaianku, benar-benar bugil.

“Mas ngapain? Kok telanjang”

“Ini syarat untuk mendapatkan wangsit di mercusuar ini, harus telanjang dan benar-benar konsentrasi memikirkan apa yang dicita-citakan”

“Oh… Gitu ya?”

“Iya, kamu dong sekalian mumpung di sini”

Citra mengikutiku, membuka seluruh pakaiannya, namun dia tidak membuka celana dalamnya.

“Kok gak dibuka cdnya?”

“Aku kan lagi mens Mas.. nanti belepetan!”

Bangsat betul, aku kehilangan selera. Akhirnya aku pun bersemedi telanjang sementara Citra bingung mau ngapain. Pukul 22.00 kami pulang ke rumah Muhtar.

****

Dinihari waktu madura, suasana pesantren Muhtar tidak begitu ramai, santri sebagian besar libur hanya tersisa mereka yang mau terus belajar hingga lebaran menjelang. Kami dijamu makan sahur, aku hanya minum kopi, Citra sambil mengantuk juga hanya minum teh manis secangkir. Sementara Cak Dur dan Muhtar makan Nasi berlauk udang dan bandeng serta sambel tempe penyet dengan porsi besar.

Setelah subuh, Citra diajak istri Muhtar ke pasar sambil jalan-jalan dan akupun duduk di beranda bersama Muhtar menyambut matahari madura yang walau hari masih pagi sudah mulai terasa menyengat.

Muhtar bercerita bahwa berdasarkan informasi yang dia kumpulkan, rajah atau jimat berkulit kijang itu dibuat oleh seorang Kyai di Kalianget, ujung timur Madura, disitu tertera tanda yang merujuk kepada tahun ijazah dari jimat/rajah tersebut, yakni awal tahun 1965. Kiai Soleh Solihun nama pemberi ijazah itu.

Aku keluat bersama Cak Dur, membeli beras, minyak goreng, gula dan sejenisnya untuk aku berikan ke Muhtar, selain sebagai tanda terimakasih juga ikut membantu mencukupi kebutuhan madrasah. Menjelang siang kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Kalianget.

Menyusuri pantai selatan Madura, melewati Sampang dan Sumenep, setelah 5 jam perjalanan kami sampai di Kalianget. Kali ini Cak Dur berperan mencarikan alamat Kiai Soleh Solihun, bertanya di beberapa tempat hingga akhirnya diketahui Kiai Soleh telah berpulang 2 tahun lalu, namun kami mendapat alamat tempat tinggalnya, tidak jauh dari pelabuhan Kalianget.

Menurut Cak Dhori, lelaki seusia Cak Dur, cantrik atau asisten Kiai Soleh saat itu, rajah seperti yang aku bawa ini waktu itu dibuat untuk sekelompok pelaut, jumlahnya 5 orang, mereka berniat merantau ke Singapura waktu itu dan memohon bekal jimat kepada Kiai Soleh. Cak Dhori masih ingat nama-nama para pelaut itu, yakni Sardju, Keleng, Odeng, Tarbak dan Sanusi.

Sardju dan Keleng meninggal karena sakit tua di kampung halamnnya. Odeng meninggal di tempat anaknya yang bisnis besi tua di Jakarta, Tarbak sekarang menjadi pertapa di Gili Labak, sebuah pulu kecil yang sering diziarahi di timur pulau Madura. Sedangkan Sanusi entah di mana dia berada. Aku tanya asal usul orang per orang, Cak Dhori tidak ingat atau memang tidak ada info tentangnya, yang dia ingat kelima orang itu diantar tentara KKO yang bekerja di Surabaya.

Titik terang nama terduga Bapak Mida sudah aku kantongi, sekarang tinggal mencari asal-usul Pak Sanusi, salah satu jalan adalah melalui Pak Tarbak sang Pertapa.

Setelah Citra memberikan uang dan rokok buat Cak Dhori, kami menuju pelabuhan Kalianget untuk mencari pompong menyeberang ke Gili Labak. Kudapatkan seorang pelaut lokal yang pintar bercerita, bahwa Pak Tabak ada di sisi timur Gili Labak, sekarang jarang sekali muncul mungkin karena sudah tua. Cak Dur mencari penginapan dan aku menyewa pompong lelaki itu untuk menuju pulau bernama Gili Labak yang konon cantik sekali.

Mengitari Gili Labak mencari sisi Timur dan tempat dimana Pompong bisa buang jangkar atau ditambat dengan aman. Pantai di Gili Labak memang cantik, pasir putih dengan pohon cemara udang di beberapa sisi pulau.

Aku menyandarkan pompong di dekat sebuah pohon di atas karang yang cukup kuat untuk mengikat, sekaligus aku pasang jangkar di buritan agar pompong stabil tidak menghantam batu karang. Air di bawah Pompong biru tua menandakan lautnya cukup dalam. Aku minta Citra tinggal di perahu, sementara aku dengan hanya bercelana pendek terjun ke laut dan menggapai pantai untuk kemudian mengeksplorasi Pulau Labak dari pucuk pohon, melihat kemungkinan lokasi Pak Tabak berada.

Kembali ke pompong, aku berenang-renang di seputar dan Citra tampak tertarik, “Kak Syam, aku ikut berenang yaaa tapi gak bawa baju renang…”

“Udah telanjang aja, gak ada orang ini…”

Citra melucuti bajunya, telanjang bulat nyebur ke laut.

“Katanya lagi mens… Dicaplok hiu nanti memekmu”

“Gak kok, aku tipu… Soalnya aku takut digituin di atas menara… hihihi” Citra berenang menjauh.

Gerak tubuhnya yang basah mengkilat oleh air laut jernih sungguh indah, dia berenang gaya katak, dengan kaki yang membuka menutup memuncul hilangkan memek berjembutnya memancingku untuk berreaksi. Aku mengejar dan kupeluk dia dibagian kaki lalu kutenggelamkan. Citra berontak, dan ketika kami muncul bersama di permukaan, mulut mungilnya yang megap-megap kucium lembut.

Asin air laut, hangat dan lembut bibir Citra sungguh menggetarkan. Laksana dua ekor lumba-lumba kami saling bercumbu sambil berenang, menyelam menggesekkan tubuh dab berpelukan. Adrenalinku meluap-luap, kami naik ke atas pompong, beralaskan karpet plastik tubuh Citra yang tersucikan oleh air laut tergolek.

Kami berciuman lama, seolah kami pasangan kekasih, padahal bukan. Aku hanya ingin mengajarinya untuk matang dan dewasa. Sempat aku kuatir, bagaimanapun perempuan itu pengabdi rasa dan selalu membunuhi logika, entah apa jadinya. Yoni yang telah siap, basah oleh cairan pelicin, tanpak merah muda mengkilap.

Kulebarkan kedua paha Citra dengan lutut tertekuk, perlahan aku gesekkan kepala kelaminku di permukaan memeknya, ketika posisi pas kutekan perlahan. Sungguh seksi wajah pasrah Citra, terpajem, kening terkerut dan menggigit bibir bawah. Sangat perlahan aku melakukan penetrasi, kunikmati setiap mili pergerakan penismu menusuk vaginanya.

Tiada desahan, tiada rintihan, hanya hening dan debur perlahan ombak yang berkecipak. Ketika penisku sudah masuk penuh, perlahan kutarik lagi dan kutusukkan lagi dengan ritme pelan nan hikmat, jika ibarat lagu iramnya adalah seperti lagu Padamu Negeri. Aku merubah posisi, kurapatkan kedua kaki Citra, sementara aku mengkangkanginya dan kelaminku masuh tertancap di liang senggama.

Aku sesuaikan irana dengan irama goyangan perahu, seakan berbantalkan ombak Citra menggelengkan kepala dan mendesah ketika mencapai titik orgasme dan segera kugenjot lebih cepat ritme goyanganku hingga aku pun ejakukasi bersama dengan orgasme kedua Citra.

Lalu hening lagi sesaat dan tiba-tiba ada suara deburan batu jatuh dua kali di sisi perahu. Byuuur! Byuur! Aku segera meraih Walther andalan dari tas selempang, mencari siapa yang melempar namun tidak kutemukan. Kutembakkan 2 kali ke atas sebagai peringatan bagi siapapun yang menganggu. Lalu aku berpikir mungkin itu pak Tabak.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu