1 November 2020
Penulis —  DemitKembar

Namaku Syam

Ijin melanjutkan kisah Syam duhai para Suhu…

Bagian 11 : Cinta Mati

Aku memasuki ruangan di mana Umi dan Siti terlihat bersitegang, “Sudah, apa yang kalian ributkan? Ini bulan puasa, tahan diri ya, apa yang ada di ruangan ini tetap tinggal di sini, jangan di bawa keluar sana, nanti malam kita bicarakan, sudah sekarang kalian keluar semua aku juga mau bertemu bapak ibu”

Mereka menunduk, lalu bergerak. Aku sok bijak dan sok paham persoalan.

Aku mandi lagi, berganti baju khas pondok, kain sarung dan kaos cap kidang putih dan tentu pake peci hitam. Keluar ruang private, bertemu warga pondok, bertegur sapa dan sowan Bapak Kiai dan Ibu Nyai. Berbicara banyak hal, fokusku berangsur-angsur kembali normal. Aku tampak wajar seperti biasanya.

Lalu, Mbok Ratmi masuk ruangan sambil membawa sapu lidi dan secara dramatis menyerang ku dengan sapu sambil berteriak, “Minggaaaaaat! Ayo Minggat!” Satu gebukan sapu yang tidak keras mendarat di punggungku, Ibu Nyai merespon dengan segera menangkap tangan Mbok Ratmi dan menyeretnya keluar ruangan. Bapak Kiai berkata, “Ada yang tidak wajar pada dirinya, mohon maklum dan aku lihat ada sesuatu yang menempel padamu nak Syam, cobalah berdiam diri dan bertafakur”.

Sore hari, suasana pondok tidak seramai awal puasa, banyak santri yang sudah pulang ke rumah masing-masing. Hari ini adalah puasa hari ke 27, 3 hari lagi lebaran. Aku juga tak paham dunia luar sana, duniaku di luar pondok, seluruh gadgetku masih mati, aku belum siap kembali menjadi Syam yang biasa, aku masih menikmati menjadi Gus Syam, anak mantu Kiai.

Saat buka puasa bersama, aku tidak melihat Mbok Ratmi, aku hanya melihat Siti dan Umi yang canggung melayani keluarga inti pondok. Bapak dan Ibu tampak banyak diam. Selesai rangkaian malam bulan puasa, jam 22:00 aku sudah berada di dalam kamar, tak berapa lama Umi dan Siti masuk, mereka menunduk setelah menutup pintu dan duduk.

Siti tertunduk, Umi sesekali memandangku dan tampak ragu untuk memulai pembicaraan. Aku paham situasinya dan langsung saja aku berujar, “Kalian mau berbicara tentang hubungan kalian? Silahkan, aku orang yang berpikirian terbuka, Umi kan tau sejak dahulu aku adalah orang yang biasa berdiskusi, ayo jangan ragu”

Mulailah Umi mengungkapkan segalanya, bagaimana dia memiliki kecenderungan untuk menyukai sesama jenis, yakni perempuan tentu saja, sejak dahulu. Berawal dari bagaimana ibu tirinya, yakni istri pak kiai yang sekarang, memberikan pengalaman seksual pertama ketika usia remaja. Memang ibu kandung Umi telah meninggal ketika dia masih balita, lalu Bapaknya menikah lagi dengan salah satu santrinya ketika Umi berusia 12 tahun.

Bu Nyai itulah yang memberikan belaian dan usapan erotis padanya ketika hormon di tubuhnya mulai berkembang. Kejadian itu membekas dan terus membayangi kehidupannya hingga masa-masa kuliah di Perguruan Tinggi Islam di Ponorogo. Ketika kemudian bapaknya, yakni Pak Kiai menjodohkannya denganku, Bu Nyai berhenti menyentuh Umi dan dia pun berusaha menikmati sensasi berhubungan dengan lelaki, aku.

Lalu, ketika suatu saat Umi sakit demam, aki tidak pulang-pulang, dia dirawat oleh Siti. Hubungan pun semakin jauh, hingga terjalinlah hubungan asmara di antara mereka. Siti yang sebenarnya cenderung normal akhirnya terbawa menjadi penyuka sesama.

Lalu, masalah timbul ketika Siti hendak dikawinkan oleh oramg tuanya bulan Syawal nanti. Siti tidak peduli siapapun jodohnya, yang penting bisa menuruti kehendak orang tua dan meningkatkan drajad dan martabat keluarga. Kebetulan calon suaminya ini adalah seorang pengusaha tambang batu kapur yang lumayan kaya dan baru setahun menduda.

Umi meradang, melarang namun tidak punya alasan yang cukup kuat untuk diutarakan secara terbuka. Makanya dia memprovokasi Siti dengan menyuruhnya melihat Umi berhubungan badan denganku, sambil mengancam akan membuka kisah asmara mereka kepada semua orang agar gagal perkawinan Siti dengan sang pengusaha.

Siti mulai terisak, dia berkata “Aku menyayangi Mbak, tapi aku juga harus mengabdi kepada bapak ibuku mbak… Tidak ada jalan lain yang cepat dan mungkin selain menuruti kehendak mereka”

“Jadi karena harta? Kau mau menyerahkan dirimu pada lelaki tua itu? Apa beda dengan pelacur?” Umi menyahut lantang.

“Sudah, diam semua, aku ingatkan apa yang ada di ruangan ini, tetap ada di sini, segala cerita dan peristiwa tetap ada di sini menjadi rahasia kita bertiga”

Lalu aku mulai berkata bijak, bahwa aku memahami hubungan lesbi adalah suatu hal yang manusiawi. Aku tidak menyalahkan mereka, aku menawarkan jalan keluar agar semua bisa menerima. Juga bercertia soal azab yang akan mereka terima akan dibayar tunai jika persoalan ini sampai keluar ruangan. Mereka akan dikucilkan dan akan berantakan segala rencana.

Umi mengiyakan, dia tampak lega aku berpihak kepada mereka lalu Siti pun mengangguk setuju akan menerima saran dan masukannku. Memang mereka tidak punya pilihan lain selain tunduk dan taat di situasi seperti ini.

Pertama aku sampaikan soal situasi, bahwa Umi bersuami dan Siti akan bersuami, itu setara, gak usah diributkan. Hubungan harus adil agar langgeng dan tidak menjadi emosi berkepanjangan antar mereka yang akan menjadi pintu masuk menuju neraka.

Kedua, aku sampaikan bahwa mereka harus taktis, memiliki strategi yang baik agar tidak menimbulkan curiga. Menjaga rahasia diantara kami bertiga, lalu membuat alasan untuk saling berjumpa kelak menuntaskan rindu. Umi memprotes, mengatakan bahwa itu gak fair, karena Siti bakal dikekepin terus sama Pak Tua juragan kapur sementara dia sangat jarang bertemu denganku.

Suasana menjadi lebih cair, Siti pun protes bagaimana dia emosi ketika Umi aku setubuhi semalam, dia cemburu berat. Lalu berkata, “Pokoknya mbak hutang nonton aku gituan sama suamiku nanti…”

“Ora sudi!” Umi menyahut ketus. Siti tersenyum, aku tertawa dan Umi cemberut.

“Wis ya, semua sepakat, apa yang terjadi di sini tetap di sini! Tidak keluar dari ruangan ini dengan alasan apapun!”

Mereka berdua menyahut, “Nggih, setuju”

Lalu aku berdiri, berpindah ke kamar tidur, mereka masih di ruang duduk. Aku menyalakan tivi sambil berpikir, jadi selama ini Umi hanya seperti boneka seks saja, pantesan dia gak hamil, atau jangan jangan dia pakai kontrasepsi tanpa sepengetahuanku. Ah, bodo amat, toh aku juga bukan orang suci, benar kata Tuhan dalam kitab sucinya, lelaki benar hanya untuk perempuan benar dan begitu juga sebaliknya.

Lalu aku melihat, mereka berpelukan, saling terisak mengungkan emosi terpendam. Tapi, kenapa aku jadi bergairah karenanya. Kelaminku mengeras, hasratku berkobar. Bagaimana kalau aku menyetubuhi mereka malam ini? Dua tubuh perempuan lesbi dan satunya masih perawan, apakah mereka juga pernah memakai sex toy?

Kupanggil Umi dan Siti ke dalam, aku sudah merebahkan diri di tempat tidur, hanya memakai sarung dan kaos oblong cap kijang. “Sekarang kita istirahat, di sini bersama-sama, apa yang terjadi di sini…”

“Tetap ada di sini!” Mereka menyaut cepat dan kompak.

“Ayo, bersih-bersih sana kalian, lalu tidur bareng-bareng kita”

Berdua mereka masuk kamar mandi, setelah keluar, Umi sudah melepas kerudungnya, begitu pula Siti yang tampak malu-malu. Umi duduk dan kemudian berbaring di sebelah kananku, Siti ragu namun aku menyuruhnya tidur di sebelah kiriku. Kami berada dalam diam sekitar 3 menit, lalu aku memulai berbicara, “kalau kalian bercinta, bagaimana caranya?

Tidak ada yang menjawab, Umi memelukku, “Sudah, tidur!”

“Wah ini gak adil, Siti juga boleh peluk aku”. Tangan kiri Siti kutarik agar memelukku, sempat menyenggol susunya yang terasa lebih sintal dari punya Umi.

“Bagaimana kalau Siti kunikahi saja? Jadi gak perlu kawin sama juragan kapur itu dan kalian tetap bisa bersama, rahasia terjaga? Bagaima?”

Umi, mengangkat tangannya, lalu duduk tiba-tiba, “Benar juga Ti! Kamu mau tidak? Toh akan sama saja nanti keluargamu aku dan Mas Syam bantu!”

Siti menjawab, “terserah mbak saja…”

Lalu, suasana menjadi lebih hangat, candaan mesum pun dikeluarkan, rencana-rencana diungkapkan, aku sih peduli setan, yang penting bisa ngewe dua lesbian. Ha ha ha ha!

“Ya sudah, Siti sekarang jadi istri keduaku, urusan penghulu besok kita atur!”

***

Lalu, aku mulai dengan membuka kaos dan sarung, telanjang bulat aku diapit dua perempuan, yang satu kurus putih yang satu agak gelap sintal. “Ayu kita lakukan malam pertama kita ti, kamu bisa balas dendam sama Mbak mu, biar dia nonton” satu cubitan kecil mendarat di pinggangku, Umi yang melakukan.

Aku mulai mencium kening Siti, matanya, pipinya, bibirnya, lehernya. Dia terdiam, matanya terpejam. Kemudian aku beralih ke Umi, kucium dia perlahan dan kubuka seluruh pakain yang dikenakannya. Kuangkat dia di atas tubuhku, badannya yang kecil menggeliat namun tangan dan wajahnya justru ke arah Siti yang masih terpejam.

Siti membalas ciuman Umi, tangan kiriku mengusap permukaan kelamin Siti dari atas permukaan kain rok panjang yang dia pakai. Rok berbahan kaos itu tidak cukup tebal untuk menyembunyikan texture vagina Siti yang tembem dan hangat, terasa juga rambut kemaluannya dari permukaan kain. Mungkinkan Siti tidak memakai celana dalam?

Aku menggeser Umi agar dia kembali terlentang, lalu Siti kutarik, agar naik ke atas tubuhku yang terlentang. Sambil aku buka seluruh kain yang menempel di tubuhnya. Kami bertiga telanjang bulat tanpa kata, hanya sesekali terdengar kecupan, jilatan dan lenguhan. Sensasi bergumul dengan dua perempuan bugil sungguh luar biasa, aku laksana kesurupan sesuatu, antara sadar dan tidak, antara terpejam dan melek.

Empuknya kasur membuat pergumulan ini menjadi tidak leluasa, tidak ada tumpuan kokoh untuk posisi-posisi sulit. Aku minta mereka turun dari ranjang, kutarik selimut tebal ke lantai, lalu kami berpindah. Aku memposisikan diri terlentang, Umi aku minta berlutut di atas kepalaku, menghadap ke arah kakiku lalu aku arahkan Siti pada posisi yang sama namun menghadap Umi.

Aku jilat dan kecup bergantian kedua kelamin yang sama-sama memerah, melembab dan menghangat di wajahku. Sesekali aku gigit dan sapu dengan lidah klitoris mereka, juga sapuan-sapuan basah di kedua lobang anus yang aku yakin sudah bersih permukaannya. Kelaminku yang keras mendongak terabaikan.

Umi mulai meracau tampaknya dia akan mencapai orgasme, tercium aroma kacang goreng samar-samar dari kelaminnya, Siti pun melenguh-lenguh dan tercium bau bayclin samar-samar dari lobang kelaminnya. Aku menggeser pinggul Siti ke arah pinggangku, kuarahkan kelaminku pada lobang kelamnnya yang sudah licin basahdan hangat.

Desahan kuat Umi, dibarengi jerit tertahan Siti ketika kelaminku berhasil menembus hymen selaput keperawanan Siti. Gerakan pinggulku kupercepat, agak kesulitan dengan posisi ini, namun kemudian Umi membantu Siti agar pinggulnyalah yang bergerak naik turun.

Emosi, rasa, gairah dan sensasi sensual menyelimuti kami, ketika kemudian Siti mencapai orgasme yang kedua kalinya dan aku mencapai ejakulasi. Lalu terasa gelap, entah tertidur entah pingsan yang kurasakan karena saking enaknya.

***

Aku terbangun oleh ketukan di pintu kamar, aku melirik jam dinding, kulihat pukul 8:30. Hari telah berganti pagi rupanya, aku memakai sarung dan kaos yang tercecer. Lalu membuka pintu kamar, suasana ramai di luar, Bapak Kiai tidak tampak, yang kelihatan Ibu Nyai dikelilingi santri putri, tampak lemas terduduk dan berlinang air mata.

Akhirnya aku mengetahui bahwa, Umi, Siti dan Mbok Ratmi telah tewas. Mobil Carry Pick Up yang disopiri Umi menabrak pohon Randu di Kuburan Ngujang, ketika mereka membawa Mbok Ratmi ke RS di Kediri karena mengamuk dan kemudian pingsan setelah dicegah masuk kamarku untuk memburuku.

Aku terduduk tertegun, gelang manik-manik batu kristal yang kudapat dari Pak Tabak berpendar dan tiba-tiba 3 butirnya berubah menjadi berwarna merah terang sementara yang lain tetap putih bening.

Masih akan berlanjut …

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu