1 November 2020
Penulis —  DemitKembar

Namaku Syam

Bagian 10 : Kejutan

Tidak ada hal lain yang terpikir selain secepat mungkin meninggalkan Pulau Madura secepatnya. Aku hanya berkata sekali kepada Cak Kandar, “Langsung Tulungagung!” Setelah itu aku diam, mataku memang terbuka namun kesadaran dan logikaku melayang-layang hinggap di kenangan satu ke kenangan yang lain dan semuanya adalah peristiwa mistis yang terjadi di Gili Labak.

Citra yang disenggamai oleh Pak Tabak hingga kemudian berubah menjadi entah siapa yang anggun sekaligus angkuh dan berkuasa. Pak Tabak yang berhasil mengambil harta karun ghaib berupa keping-keping emas dan seuntai tasbih giok yang diberikan kepadaku. Aku yang disetubuhi wanita berwujud mirip Calon Arang pada sendratari yang sering dipentaskan di Pulau Bali.

Pondok mertuaku di Tulungagung lah yang terpikir untuk aku datangi guna menenangkan diri. Sebuah pondok kecil tua di pinggir kota, didirikan oleh kakek mertuaku atau kakek buyut Umi, istri pertamaku. Pondok ini berdiri setelah kakek buyut Umi pulang haji entah tahun berapa, yang pasti di jaman Belanda, kakek buyut tersebut adalah penduduk Pulau Bawean kala itu yang menyusup ke kapal pengangkut haji yang bersandar sebentar di pulau Bawean guna mengisi air tawar.

Kala itu kakek buyut masih berusia belasan tahun, tahu kalau kapal yang dia bantu mengisi air adalah kapal menuju Mekkah dan beriai jamaah haji dari Nusantara dia sembunyi dan mengikuti seluruh ritual hingga kembali ke Pulau Jawa dan kemudian bersama seorang Kiai dia mendirikan pondok pesantren yang kelak terkenal akan spesialisasinya sebagai pondok para pejuang kemerdekaan untuk mengisi ilmu kebal dan memompa nyali.

Tengah malam baru saja terlewati, begitu pula kota Kediri. Melewati kuburan Ngujang sebagai batas wilayah Kediri dan Tulungagung aku seperti melihat puluhan sosok hitam memegang tombak, berdiri berseliweran diantara pepohonan. Mereka serentak bergerak ke arah jalan raya di mana mobil yang aku tumpangi akan lewat, semua makhluk menyeramkan yang tak tampak raut wajahnya itu menundukkan badan, berlutut dengan satu kaki dan meletakkan tombak masing-masing sejajar tanah saat aku melewati mereka.

Memasuki kampung di mana Pondok Pesantren mertuaku berada, aku mulai gelisah. Berbagai kenangan terlintas, bagaimana dahulu aku bisa diterima masuk ke lingkungan pesantren hanya karena seragam menwa.

Kala itu banyak kiai dibunuh oleh sosok tidak dikenal, disebutlah pasukan ninja pembunuh kiai. Mulai dari Banyuwangi hingga ke barat pulau jawa, lingkungan pesantren waspada dan bersiaga. Banyak korban berjatuhan, sosok orang gila lah yang banyak tewas dibantai dituduh sebagai “ninja” yang pura-pura gila.

Ketika suasana memanas, kala itu aku dan kawan-kawan kuliahku yang aktif menjadi menwa, sedang melakukan kunjungan liburan ke salah satu anggota menwa yang berasal dari kampung di lingkungan pesantren itu, kakaknya menikah saat itu. Kami berseragam PDL menwa lengkap dengan sepatu laars dan baret ungu hanya untuk gaya-gayaan dan supaya aman di jalan, maklum toyota hardtop yang kami pakai saat itu tidak bersurat.

Memasuki gerbang pesantren, suasana khas bulan puasa sungguh terasa, beberapa santri tampak membaca kitab, sementara dari arah dapur terdengar suara santriwati memasak dengan ditemani para pengasuh. Setelah parkir, aku memasuki rumah utama, Cak Kandar sehera mencari tempat merebahkan badannya yang aku yakin sungguh penat.

Mertua dan ibu mertua tampak masih berada di kamar mereka, mbok Ratmi pembantu tua yang sudah mulai pikun dan telah ikut di keluarga ini semenjak bapak mertua masih kecil melihat ke arahku laku mulai bergumam, “Lungo! Lungo! Metu! Metu! Ojo nang kene!” Mulai dari suara pelan hingga kini histeris dan menarik perhatian seisi rumah.

Aku dibawa istriku masuk kamar, dia menjelaskan bahwa Mbok Ratmi memang telah sepuh dan pikun, jangan diambil hati kata-katanya. Di dalam kamar, pakaianku yang memang sudah kotor dan kacau, kurang lebih sama dengan pikiranku, dibuka oleh istriku perlahan, sambil dia bertanya, “Mas Syam dari mana saja to?

Aku mengiyakan, lalu dengan hanya bercelana dalam aku duduk di kursi dekat pintu kamar mandi. Di dalam kamar yang besar ini memang bentuknya seperti satu rumah sendiri, area private bagi keluarga dalam pondok. Ada ruang tv, tempat duduk dan kamar mandi tersendiri. Tak lama, istriku masuk, menggotong ember besar berdua dengan seorang santriwati yang berusia sekitar 20 an tahun.

Aku mandi ditemani Umi, dia dengan telaten membersihkan tubuhku yang dekil dan letih, layaknya seorang istri yang berbakti pada suami. Sebenarnya perasaanku iba muncul, mengingat bagaimana kelakuanku di luar sana yang menghianatinya dalam hubungan antara suami dan istri yang seharusnya saling menjaga kepercayaan.

Walau Umi menggosok tubuhku menggunakan spom mandi dan sesekali menggosokkan tangannya, aku tidak sedikitpun meresponse dengan gairah birahi layaknya lelaki dan perempuan, entah karena badan dan pikiranku yang begitu letih entah karena kenangan bagaimana hubungan ranjangku dengannya yang tidak pernah hangat.

Semenjak malam pertama, dia tidak meresponse sebagimana layaknya betina lain yang bergairah dengan seks, dia sekedar melaksanakan kewajiban, dingin dan hambar. Tidak ada tantangan untuk membuatnya terangsang dan mau bersetubuh, karena dia selalu mau. Namun ibaratnya aku bercinta dengan boneka berkerudung, pasif dan nurut dan tidak tampak menikmati.

Kali ini, ada sedikit kejutan, dia membuka seluruh bajunya dan berkata, “mumpung belum subuh mas… Wow, ada apa ini? Tubuh Umi kecil dan cenderung kurus, payudaranya menyembul tak lebih besar dari bak pao yang dijual keliling pakai gerobak. Tubuhnya bersih mulus dan putih tentu karena selalu terlindung pakaian serba tertutupnya.

Setelah kami mengeringkan badan, berpindahlah kami ke tempat tidur, Umi memijatku perlahan, mulai dari kaki betis paha dan dada. Lama kelamaan kelakianku bangkit juga, perlahan namun pasti batang kelaminku berdiri mengeras. Aku memejamkan mata, terlentang pasrah dan menyambut ciuman bibir lembut dari Umi, aku pun meresponse selayaknya lelaki.

Aku menuntaskan persetubuhan ini dalam posisi missionari, Umi tampak menikmati dan tidak seperti biasanya desahan dan lenguhannya kini terdengar. Setelah dia tampaknya mencapai orgasme dan aku pun ejakulasi di dalam liang vaginanya, usai sudah hak dan kewajiban ini tertuntaskan. Ketika dia memelukku, terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup lagi, dan itu di ruang private kami.

***

Terbangun oleh suara dua perempuan yang tampaknya saling beradu argumen di ruang tv, masih di dalam ruang private kami. Walau mereka merendahkan suara, namun emosi membuat mereka kadang lupa mengontrol suara. Aku mendengarkan seksama adu pendapat antara mereka berdua, yang rupanya salah satunya adalah Umi.

“Demi topan badai!!!” Aku berteriak dalam hati, dari apa yang aku dengarkan rupanya satu perempuan itu memprotes Umi yang bersetubuh denganku tadi, dia menangis terisak-isak dan Umi terdengar judes sekali meresponse, “Makanya, kamu itu nurut sama aku, kalau nurut kamu gak akan tersakiti, kalau gak nurut aku kembali ke Mas Syam!

Perempuan yang rupanya Siti yang tadi pagi dikenalkan istriku, hanya terisak sambil berbisik, “Mbak Jahaaaat”.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu