1 November 2020
Penulis —  DemitKembar

Namaku Syam

Bagian 6 : Pantura dan Madura

Sebagaimana lazimnya layanan tempat hiburan, termasuk massage dan spa tutup sepanjang bulan puasa. Eni pun pulang ke Gantar Indramayu tempat asal dia berasal. Di sana masih ada kedua orang tua, anak perempuan kelas 3 SD yang merupakan kebanggaannya dan kumantan suaminya yang dahulu menghabiskan uang Eni hasil bekerja di Saudi untuk mabok-mabokan, main cewek dan gonta-ganti motor.

Begitu Eni pulang, setelah merantau selama total 4 tahun di Saudi, duit habis, anak perempuannya terlantar dititipkan orang tua Eni yang miskin dan Wanto, nama lelaki itu semakin menyengsarakannya dengan berbagai kelakuan minus lainnya.

Diajak oleh kawan sepermainannya dulu, Eti, untuk bekerja ke Jakarta, uang habis dan derita membuatnya, segera menyetujui ajakan itu. Malam sebelum betangkat, digendongnya Fitria anak perempuan kesayangannya, berjalan menyusuri pematang, melihat bintang sambil menyenanduntkan ungkapan sayang dan mengutuki Wanto lelaki berengsek yang membuatnya penuh dendam.

Janji Eni kepada Fitria sederhana, dia akan menghantarkan Fitria tumbuh besar, sekolah, menikah dengan lelaki baik entah darimana namun tidak dari kampungnya dan tidak akan melewatkan Lebaran tanpa mereka berdua bersama.

Esoknya, Eni berangkat bersama Eti, naik bis Luragung Jaya dari pertigaan Patrol. Sepanjang jalan Eni terdiam meratapi penghianatan suaminya. Perjalanan ke Jakarta sepenuhnya di bawah kendali Eti, dia hanya mengantongi uang 50 ribu, hasil dia menjual berbagai barang hasil bekerja di Saudi yang masih tersisa.

Sampai di Terminal Pulo Gadung pukul 15:00, setelah berdua membeli sepotong semangka dari pedagang buah grobak dan minum air mineral kemasan dilanjukanlah perjalanan. Sampailah mereka di sebuah kampung bernama Pademangan, sebuah perkampungan padat terletak di antara Kemayoran dan Mangga Dua. Sebuah rumah petak berisi 3 ruangan, satu depan sebagai ruang tamu, ruang tengah tempat dimana lemari besar dan sebuah tempat tidur terletak, dan paling belakang adalah kamar mandi dan dapur.

Inilah rumah tinggal Eti di Jakarta, banyak barang bagus menurut Eni, ada kipas angin, magic jar, televisi besar dengan pemutar dvd di ruang tamu dan tempat tidur empuk bersprei pink yang tampaknseperti di sinetron.

Setelah mandi dan makan pecel lele, Eni menonton tv sementara Eti pergi entah ke mana. Pukul 22, Eti pulang bersama seorang lelaki kekar yang dipanggilnya Bang Rudi. Lelaki ini naik motor Tiger, gagah sekali, rambutnya pendek rapi, berkalung emas besar dan ketika membuka jaket terselip pistol di pinggangnya.

Setelah basa-basi sejenak, Eti bilang ke Eni, “En, kamu tidur di depan ya, gelar kasur lipat nanti kursinya di pinggirin aja, malam ini Bang Rudi nginep sini soalnya sudah kangen …“.

Motor Tiger Bang Rudi dibawa masuk, membuat ruang tamu yang sempit menjadi semakin sempit karena penuh, Eni mematikan lampu ruang tamu, Eti minta Eni ke kamar mandi sekarang, karena nanti mungkin akan sungkan lewat ruang tengah yang terbuka.

Lampu tempat tidur Eti pun berganti redup dengan nuansa biru hangat dari cover lampu dinding berbentuk lumba-lumba berwarna biru.

Eni tidak bisa tidur, semakin gelisah karena suara-suara desah yang tampaknya sengaja diperkeras oleh Eti untuk memprovokasi. Antara tersulut birahi dan takut Eni terduduk di kursi dalam posisi terpojok oleh susunan ruang yang berantakan oleh keberadaan motor besar Bang Rudi. Pikirannya memgembara dan berpetualang menelusuri segala kemungkinan pekerjaan macam apa yang akan dia dapatkan dari Bang Rudi.

Sementara suara kecipak dan dengusan Eti sepertinya sedang mengulun, menghisap dan menjilat kelamin Bang Rudi mengalahkan takut dan menyulut penasaran. Eni berdiri perlahan, mencari posisi yang pas untuk bisa mengintip adegan ruang sebelah. Pas di suatu titik dia bisa melihat pantulan adegan Eti dan Bang Rudi dari spion Tiger yang stangnya serong ke kanan terkunci stang.

Paha bagian dalam hingga selangkangan Bang Rudi diciumi Eti dengan penuh nafsu, dijilat, dihisap dikecup. Bang Rudi tampak terlentang seolah tak peduli, pasif dan matanya terpejam. Sementara Eti melata-lata telanjang seolah menghisap energi dari setiap pori Bang Rudi sambil sesekali mendongakkan kepalanya melihat reaksi mengharap sekedar wajah puas atau tatapan nikmat.

Eni berdiri gemetar perasaannya campur aduk antara gairah liar dan takut, dia berpikir, apakah perkerjaan seperti ini yang akan dia lakukan, pekerjaan menjilati Bang Rudi sampai licin tandas? Ah aku tidak peduli, batin Eni yang penting aku bisa punya uang membalas dendam kepada Wanto dan menyekolahkan Fitria.

Tiba-tiba, suara Bang Rudi terdengar penuh emosi,

“He perempuan kampung! Kamu ngentot sama siapa di Kampung? Sama tua bangka itu lagi? Brengsek! Perempuan tak tahu diri!”

“Ampun Abangku sayang, diriku hanya milikmu baaang!”

“Bohong! Kamu pasti ngentot berkali-kali sama Rusdi! Mentang-mentang dia kaya, juragan padi! Memang kontolnya masih bisa ngaceng?!”

“Nnggak Bang! Cuma dua kali, aku gak terpuaskan kok, Pak Rusdi cepet keluarnya dan kontolnya lembek… Hu hu hu…” Eti mulai menangis tersedu.

Pak Rusdi memang tuan tanah di kampungku, orang tua Eti bekerja di tempat Pak Rusdi.

“Bangsat kamu ya…! Rasakan ini!”

Eni melihat ke pantulan spion Tiger, Bang Rudi menjambak rambut Eti, ditarik nya ke belakang, badan Eti disuruhnya nungging, pantatnya mendongak sedang kepalanya juga mendongak akibat dijambak. Kelamin Bang Rudi besar dan tegak mendongak, diarahkannya dengan tangan kiri memasuki memek Eti, disodokkannya dengan kasar, lalu dipompa dengan sekuat-kuatnya, otot-otot Bang Rudi tampak bertonjolan, posenya sungguh lelaki, tangan kanan menjambak rambut, tangan kiri memegang pinggang sementara kedua kakinya setengah jongkok mengimbangi posisi pantat Eti.

Eti tampak meronta, dia seperti kehabisan nafas, Bang Rudi menahannya sambil tetap menggenjot dan tiba-tiba Bang Rudi meraung dalam, “Aaaaaaaaah… Enak gak sekarang? Enak mana dengan Rusdi?”

Eti kehabisan nafas dan mengalami_almost death orgasm_yang luar biasa. Keduanya ambruk bermandi peluh, Eti tersenggal-senggal Bang Rudi terkapar dengan nafas-nafas dalam dan panjang.

Eni berpeluh dan wajahnya terasa tebal, dia gak bisa tidur tentu saja, ada hasrat ingin diaetubuhi Bang Rudi yang sangat kuat, ingin menyusul ke tempat tidur dan ikut menjilati kontol besar Bang Rudi, namun dia tidak berani.

Eni berbaring di kasur lipat, tangannya meraba klitoris, permukaan bibir vagina hingga tepi anus. Terasa basah dan nikmat, dicarinya posisi jari yang pas, lalu dengan menggigit bibir dia menggosok kuat-kuat memeknya dengan tangan kiri hingga terasa nikmat dan Eni terlelap.

----

Di apartemen Eni Kalibata City, apartemen yang kosong membuatku segan berkunjung. Namun pekerjaan dari Mida terkait penelusuran leluhur di Madura membuatku perlu tempat untuk bekerja.

Aku masuk apartemen tempat tinggal Eni dan Citra, ruangan kosong.

Bekerja mempelajari berkas awal, menyeduh kopi dan mendengarkan lagu, keheningan yang jarang aku nikmati.

Malam menjelang, aku sengaja hendak tidur di sini menunggu Citra, hmm terbayang apa yang akan aku lakukan kepadanya. Aku akan ajarkan dia menjadi dewasa.

Citra pun datang, pukul 22:30 an. Namun dia tidak sendiri, ah sungguh menyebalkan. Citra datang bersama seorang kawannya, lelaki gemulai teman kerjanya. Citra mengatakan bahwa temannya dan dirinya baru saja mendapat SP2, karena mereka berdua dituduh lalai dalam menyajikan hidangan hingga tekonya terjatuh di depan tamu.

Setelah sesi ngobrol usai, laki-laki melambai itu pun pamit sambil nyerocos hebo, “eh citra kamu ya katanya gak punya lekong… Huuh! Boong!” Sambil keluar pintu.

Citra duduk di seberangku, kepalanya tertunduk, terbawa suasana heboh so lelaki gemulai tadi, dia masih tanpak ceria namun menahan diri. “Sini…” Tegurku sambil merentangkan tangan kode untuk memeluk. Citra mendekat, tersenyum dan menyambut pelukanku.

Dia duduk miring di pangkuanku, tangannya melingkari leherku dan aku memegang kedua pinggulny. Aku kecup bibirnya lalu keningnya. Citra tidak berreaksi. “Sudah sana mandi, nanti kita cari makan sambil ngobrol”

Aku masih meneruskan menelaah dokumen, Citra selesai mandi dan ketika kuajak makan dia tidak mau. Akhirnya kita minun air putih dingin sambil makan jambu air.

“Citra, kamu keluar saja lah besok, gaji dipotong, gak dapat THR, buat apa diterusin”

“Lalu aku kerja apa Kak? Kini ia memanggilku kakak, hmmm pertanda baik.

“Jadi asistenku aja, aku ada proyek di Madura selama sekitar 10 hari, kamu atur-aturlah, nanti aku ajari.. yang penting nanti lebaran kamu bisa pulang kampung dan bawa uang..”

“Okeee kakaaaak, terimakasiiih” dia mendekat memelukku dan menciumiku.

Baiklah, aku akan membimbingku menjadi asisten sekaligus partner dan tentu saja kuajari kamu untuk menjadi dewasa.

“Kamu WA Kak Eni, bilang kamu dikeluarkan kerja dan mau kerja ke Madura ikut Kak Syam” aku berkata sambil melucuti baju Citra.

Ketika aku menjilati puting kecil pinky Citra, terdengar hpnya berbunyi bahwa ada pesan masuk. Dari Eni katanya, “Ya wis nok, kerja bae nang Mas Syam, kalau dia mau gituan kasih aja… kamu kan sudah kepengen dari kapan tau”

Citra menyodorkan hpnya untuk kubaca.

Hmmm aku yg bertipe dominan, menjadi sedikit illfeel melihat pesan itu. Tapi ya sudahlah, aku sudahi cumbuanku, aku ajari Citra pesan tiket dan hotel ke Surabaya, lalu membayarnya dan aku pun tidur tanpa menyentuhnya lagi malam ini. Entah besok di Madura.

Masih akan bersambung…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu