1 November 2020
Penulis —  DemitKembar

Namaku Syam

Bagian 5 : Tarian Mida

Hari ke dua aku di rumah muak sudah kurasa, Surya sering pamit keluar dengan alasan ngantar belanja Lis lah, ambil laundry lah dan semua selalu bersama Lis lama-lama bunting itu anak orang. Mami berangkat pagi sekali dan pulang hampir tengah malam, entah kerja benar entah kerja sama Banu aku tidak lagi penasaran.

Perempuan bernama Mida ini walau kulitnya tidaklah putih, namun bersih mulus layaknya orang Indonesia Timur, manis enak dipandang. Kami bertemu di sebuah Kedai Juice di Melawai, lokasinya ada di pojokan blok, cukup ramai namun di lantai 2 memungkinkan untuk leluasa berbicara.

Laporan tentang Sofia aku paparkan tentu tidak semua, hal-hal yang kurasa belum saatnya aku simpan. Mida mengagumi cara kerjaku dan berkata bahwa kinerjaku beyond expectation menurutnya. Aku menjawab bahwa ada tim yang mendukungku.

Pembayaran diselesaikannya dengan uang cash, ditambahkannya segepok rupiah berwarna biru, aku perkirakan berjumlah 5 juta rupiah, untuk bonus katanya. Berkat hasil kerjaku yang cepat dia bisa melakukan misi pribadi, mencari keluarga Ayahnya di Madura.

“Syam, sebelum misi Sofia tahap 2 aku jalankan, aku akan melapor dulu ke Bos, nah sementara menunggu maukah kamu menjalankan misi pribadiku, mencari silsilah keluarga bapakku di Madura? Kemaren aku mencari ke sana semuanya buntu. Fee nya terserah, kamu WA aja quotationnya ya…?”

“Berikan aku data awal, nanti aku kembangkan sendiri.”

Mida menyerahkan file beberapa lembar berisi data-data ayahnya dan kakeknya, kubaca sekilas, hmm pekerjaan yang mudah dengan fee terserah, cocoklah bisa buat mengisi tabungan.

Aku coba menggali latar belakang bossnya Mida ingin mencari tahu perihal Sofia, siapakah boss Mida ini? Apa hubungannya dengan Sofia? Namun Mida masih berputar-putar tidak menjawab langsung. Secara umum adalah Bossnya adalah istri seorang pengusaha besar kelas dunia, istrinya itu curiga ada hubungan antara suaminya dengan Sofia, karena beberapa kali ada log video call di hp suaminya.

Pembicaraan berlanjut ke hal-hal tak penting lainnya, aku memperhatikan wajah Mida lekat-lekat, giginya sungguh putih kontras dengan bibirnya yang disapu warna merah maroon lembut, jika dia berbicara atau tersenyum seakan ada cahaya keluar dari rongga mulutnya itu.

Kulitnya bersih mulus berwarna ebony muda, mirip orang Flores atau Maluku namun seperti ada unsur India di sana. Memamau blues putih yang tampak mahal dipadu celana panjang coklat muda membuatnya tampak sigap dan pintar.

Aku membayangkan menelanjanginya di atas sprei putih, menjilat dan mengecup leher dada dan susunya, membayangkan menggelitik putingnya yang pasti legam, seperti biji kelengkeng ketika mengeras, dengan lidahku. Hmm seperti apa rongga vaginanya? Merah tua kah? Merah muda kah? Hitam kah? Aku menjadi bergairah feromonmu berpendar mencoba menarik perhatian Mida.

Ada nafsu dan gairah namun hormat dan seganku masih dominan. Bagaimanapun Mida adalah klienku, klien potensial aku harus menjaga hubungan agar tetap profesional.

“Syam, aku bisa membaca pikiranmu! Tidak akan kau dapatkan itu, tidak sekarang, entah nanti!”

Sialan, dia bisa menebak apa yang kupikirkan dan aku dijeratnya dengan pesona dan gertakannya yang menjanjikan. Namun aku paham, apa yang dikatakan Mida benar adanya. Tidak sekarang, entah besok. Seperti penari erotis yang memancing birahi namun tidak akan terjangkau untuk menuntaskan.

Kami berpisah, aku menuju Grand Wijaya, ingin aku berendam dan bersauna sambil berkoordinasi dengan jaringan dan rekan kerja. Aku masuk sebuah spa paling besar di sana, mengikuti alur loker, ganti piyama, duduk di lounge, kirim dan terima pesan sambil minum juice lalu menuju room untuk pijat.

Di dalam ruangan, Santi nama therapisnya, entah benar entah tidak, mulai mengurut kaki dan betisku. Aku sengaja diam menikmati tidak membuka pembicaraan. Hingga Santi mulai mengakrabkan diri.

“Kakak siapa namanya?”

“Namaku Syam”

“Syamsuddin ya kak? Hihihi sama dengan nama pacarku dulu di kampung”

“Oh ya? Waduh CLBK dong ini”

Penasaranku terhadap Mida aku lampiaskan kepada Santi, aku sudah sangat berpengalaman menaklukkkan therapist agar mau mengikuti kemauanku, dengan teknis dasar mirroring, aku mengikuti pembicaraanya, menyamakan thema, pilihan kata dan gaya bahasa. Hingga mereka merasa setara, tidak dalam hamba dan tuan namun punya kuasa untuk bertindak atas kemauannya.

Aku menghentikan pijatan Santi, “Udah berhenti dulu, sini berbaring di sebelahku, peluk aku sini”

Ketika dia berbaring, dia memeluk dengan canggung, aku membalas memeluk lembut dan kadang terlelap sejenak. “Enak ya kak tidurnya”

“Iya nyaman banget, lebih enak dipeluk daripada dipijit”

Aku memijat lembut bahu Santi, kupijat kepalanya seperti tukang cukur memijat kepala pasiennya. Dia terpejam keenakan, bibirnya tersenyum sedikit. Aku mengecup bibirnya, dia melengos namun tersenyum. Aku kecup lagi, dia menghindar lagi dan yang ketiga dia tidak lagi menolak, aku mengulum pelaaan sekali, memperlakukan Santi seolah dia kekasih jaman SMA, menciumnya dengan ragu dan takut.

Santi mengikuti irama ciumanku, sambil kuraba punggung hingga pantatnya. Di saku belakang terasa benda kenyal melingkar, hmm ada kondom rupanya, okay dia bisa memang diajak bersenggama, namun aku tidak dengan cara biasa, tidak dengan tawar menawar harga atas jasa, aku mau bercinta bukan jual beli. Soal nanti aku kasih uang untuk dia belanja itu lain cerita.

Ciuman dan rabaan terus berlanjut, Santi di atasku, aku terlentang telanjang, dia masih memakai baju. Santi menciumiku dengan mata terpejam, dia tampak sungguh menikmati, aku berusaha meresponse dengan seminim mungkin, kubiarkan dia memegang kendali, kubiarkan dia menjadi superior.

Nafas Santi mulai memburu, matanya terpejam sambil lidahnya menggelitik puting kecilku. Entah siapa yang dia bayangkan namun aku benar-benar menjadi obyek. Aku bahkan tidak berupaya membuka baju, bra ataupun rok pendeknya. Aku berada dalam posisi menyerah.

Santi sendiri yang membuka baju, namun masih pakai bra, ketika dia mau membuka bra, aku berkata, “eh mau ngapain? Wani Piro?” Santi tertawa geli, sebuah kalimat yang seharusnya keluar dari mulutnya. Dia tetep membuka bra, sambil membungkuk mengarah ke kelaminku dia berujar, “bodo amat, pokoknya aku perkosa!

Kedua susunya digesek-gesek menjepit kelaminku, menjadikannya tegak keras mengacung, Santi mengambil condom membuka rok pendek yang juga sekaligus celana itu, laku menyarungkan memeknya ke kelaminku dan langsung dihajarnya dengan goyangan beritme tinggi.

Tanpa jeda dia memaju mundurkan pinggulnya dengan kecepatan dan tekanan yang cukup tinggi. Aku menahan otot jalur sperma agar tidak segera keluar, kutahan hingga santi tiba-tiba mendesis laksana ular betina raksasa, mengeliat bertumpu ke belakang dengan kedua tangannya dan mengurut kelaminku dengan memeknya, aku juga melepas jepitan otot kelamin sehingga ejakulasi pun terjadi.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu