1 November 2020
Penulis —  yakuza58

Memaksa Mama Eksib

Aku tidak tahu setan apa yang merasuki pikiran anakku. Ia terlihat seperti anak SMA pada umumnya, sering bermain di luar rumah, dan sesekali mengurung diri di dalam kamar seharian. Ia tidak pernah melakukan sesuatu yang aneh, hingga sampai saat ini. Masalahnya, aku sebagai ibunya adalah korban dari keanehannya.

Semua bermula saat dia menunjukkan foto anusku dan mengancamku akan menyebarkannya ke grup WA keluarga kalau aku tidak menuruti kemauannya. Tentu saja aku tidak punya pilihan selain mematuhi perintahnya, tidak peduli seaneh apa pun itu.

Sejak saat itu, ia sering mempermalukanku di depan umum. Ia menyuruhku jongkok di pinggir jalan sambil memperlihatkan pantatku yang telanjang, ia memintaku berjalan tanpa mengenakan bawahan, teman-teman sekelasnya memuntahkan sperma ke seluruh tubuhku, dan kejadian-kejadian memalukan lainnya. Awalnya aku merasa malu luar biasa, harga diriku sebagai wanita pelan-pelan terenggut.

Sore nanti aku harus menghadiri arisan yang biasa dilakukan sebulan sekali. Anakku akan ikut dan aku mencium niat busuk darinya.

Aku mengenakan pakaian panjang dan jilbab yang merupakan pakaian standar ibu-ibu di kampung ini. Tadinya aku menduga anakku akan menyuruhku tidak memakai beha dan sempak, atau tidak memperbolehkanku mengenakan celana seperti yang biasa ia minta. Namun, hari ini ia tida meminta aneh-aneh dan aku berpakaian seperti biasa.

“Wah Mama cantik sekali,” puji anakku. Aku tahu di balik pujiannya itu tersimpan niat jahat.

“Mama harap kamu tidak meminta yang aneh-aneh di sana,” kataku.

“Ya kita lihat saja nanti,” ujarnya. “Emangnya yang ikut arisan ada berapa orang sih?”

“Palingan sekitar lima atau enam orang,” jawabku.

“Yah segitu cukuplah,” kata anakku. Entah apa maksudnya.

Kami pergi ke rumah Ibu Ria yang dijadikan tempat arisan. Di sepanjang perjalanan, aku bersyukur berada di kampung terpencil yang mana jumlah penduduknya hanya sedikit. Tidak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi kalau aku disuruh memamerkan tubuhku di tengah kota.

Tidak berapa lama, kami tiba di rumah Ibu Ria. Di luar sudah terlihat empat ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di teras rumah. Mereka adalah Ibu Minarti, Ibu Ani, Ibu Lina, dan Ibu Teja. Ibu Ria sendiri tidak kelihatan, mungkin ia sedang menyiapkan kue-kue untuk arisan.

“Loh itu Ibu Romlah,” sahut Ibu Ani.

“Assalamualaikum,” kataku sambil membuka pintu pagar. Mereka berempat membalas salamku secara bersamaan.

“Wah tumben anaknya ikut?” tanya Ibu Lina. “Kemarinan kayaknya kalian asyik banget boncengan.” Terdengar nada menyindir dari mulutnya.

“Dia lagi bosan di rumah,” kataku. Sebisa mungkin aku menghindari topik soal boncengan yang membuatku malu itu. Aku punya firasat mereka berempat pasti sebelumnya sedang memperbincangkanku.

“Kalau ditinggal suami melaut memang jadi lebih bebas ya,” ujar Ibu Teja.

Aku tertawa kecut. Ibu-ibu keparat ini apa tidak bisa diam?

“Ayo ibu-ibu, yuk masuk ke dalam,” ujar Ibu Ria sambil menepuk tangannya memanggil kami. Ibu-ibu itu masuk ke dalam, sementara aku menyusul belakangan.

“Mama tunggu sebentar,” panggil anakku. Ia turun dari motornya, lalu masuk ke halaman rumah.

“Ada apa?”

“Aku mau tetek mama kelihatan begini.” Tangannya meraih kerah pakaianku, lalu menurunkannya. Tenaganya kuat sekali sampai aku bisa mendengar suara kain dan beha yang tertarik.

“Ja-jangan.” Aku menolak tangannya, tapi tenaganya terlalu kuat. Tiba-tiba saja salah satu tetekku sudah berada di luar pakaian. Kerah pakaianku ternyata sobek dan membuat tetekku menyembul keluar.

“Nah begini kan keren,” kata anakku sambil memuntir-muntir pentilku. “Dua-duanya harus keluar.”

Ia menarik lagi kerah bajuku sampai sobek dan mengeluarkan tetekku yang satunya lagi. Kedua tetekku kini menyembul di luar.

Aku berusaha menutupi kedua tetekku dengan sobekan kain yang menggantung, tapi mau bagaimanapun aku tutupi, tetap saja sobekan kain itu melambai ke bawah. Kepalaku langsung pusing memikirkan apa yang bakal terjadi.

“Ibu Romlah kok masih di luar? Ayo masuk ke dalam,” sahut Ibu Ria dari dalam rumah.

“Tuh Mama udah dipanggil tuh,” kata anakku. Ia mendorong badanku agar masuk ke dalam rumah. Aku tidak punya pilihan selain masuk ke dalam dengan keadaan tetek menggantung keluar.

Begitu masuk ruang tamu, ibu-ibu itu kaget menatapku.

“Ibu Romlah kok teteknya kelihatan begitu?” tanya Ibu Minarti. “Ternyata bener apa kata orang-orang. Ibu Romlah ini wanita cabul!”

“Say-saya bisa jelaskan.” Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya dan itu membuat kedua kakiku bergetar.

“Saya sering dengar dari orang-orang kalau ibu akhir-akhir ini sering bertingkah aneh,” ujar Ibu Teja. Suaranya terdengar marah. “Bapak-bapak sering membicarakan Ibu Romlah. Anak-anak juga. Ibu adalah aib bagi kampung ini!”

“Tapi…”

“Sudah sudah jangan bertengkar di sini.” Ibu Ria berusaha menenangkan. “Tidak bisakah kita membicarakan ini baik-baik?”

Ibu-ibu yang lain tampaknya sudah memendam kebencian sehingga mereka tidak mendengarkan Ibu Ria. Tatapan mereka kepadaku seolah aku adalah manusia paing hina yang pernah mereka lihat.

“Lepas jilbab itu! Ibu gak pantes pakai itu!” seru Ibu Ani. Ia berusaha menarik jilbabku. Aku berusaha menjauh, tapi tangannya berhasil meraih ujung jilbabku dan menariknya sampai terlepas.

“Duduk kamu! Orang yang bikin rendah martabat wanita seperti ibu harus dihukum biar gak makin keterlaluan!” Ibu Minarti menekan pundakku sampai aku terduduk ke lantai.

Ibu Ria hanya melihatku dengan pandangan kasihan. Keempat ibu-ibu ini tenaganya luar biasa menegrikan saat lagi marah.

“Pantat lonte macam kayak kamu sudah gak perlu lagi ditutupin gini!” Ibu Ani menarik bagian bawah bajuku ke atas. Aku bisa merasakan punggungku terbuka.

“Segitu mah kurang.” Ibu Minarti menarik celanaku keras-keras. Karet celanaku meluncur melewati paha. Belum sempat aku menahan celana itu agar tidak terbuka terlalu jauh, sekarang ia menarik sempakku sampai melewati dengkul.

“Bu jangan…” Aku berusaha keras menahan tarikan di sempakku agar pantatku tidak terlalu kelihatan. Namun, apa daya, kekuatan Ibu Minarti yang terbiasa mengangkat berkarung-karung singkong setiap hari tentu jauh lebih unggul dibandingkan aku yang hanya ibu rumah tangga biasa.

“Nih pantat begini nih yang bikin laki-laki di kampung kita tergoda,” ujar Ibu Minarti sambil menunjuk ke pantatku yang telanjang. “Mentang-mentang pantatnya lebih semok dari kita-kita, eh dia pamerin gitu aja.”

Rasa takut, khawatir, dan malu campur aduk di kepalaku. Aku hanya bisa menangis sesenggukan dan berharap mereka tidak melakukan sesuatu yang lebih buruk dari ini. Tidak hanya aku yang kebingungan, Bu Ria pun terlihat syok melihatku setengah telanjang di dalam rumahnya.

Gantian Ibu Teja yang menarik kerah bajuku. Aku meronta-ronta berusaha agar satu-satunya baju yang menutupi bagian atas tubuhku tidak terlepas, tapi ia dibantu oleh Ibu Lina sehingga bajuku terlepas dan menyisakan beha merah yang menutupi kedua tetekku.

“Saya ada ide!” seru Ibu Lina. “Kalian tahan dia. Saya punya asesuatu buat ngehukum lonte kampung ini.” Ia berjalan masuk ke dapur Ibu Ria, lalu keluar dengan membawa dua jagung.

Aku merasa bakal terjadi sesuatu yang buruk. “Kamu mau apa?”

“Tahan kedua tangan dan kakinya,” ujar Ibu Lina. Ibu Teja memegang tanganku, sementara Ibu Minarti dan Ibu Ani memegang kedua kakiku. “Lebarin memeknya!”

Ibu Minarti dan Ibu Ani merentangkan kedua kakiku sehingga lubang memekku menganga.

“Ja-jangan!” teriakku histeris.

“Nih hukuman buat kamu yang haus kontol!” Ibu Lina menancapkan kedua jagung itu ke dalam memekku. Aku menggelinjang kesakitan. Selain ukurannya yang cukup besar, bulir-bulir di jagung itu menggesek bibir memekku sehingga rasanya perih sekali.

“Kamu pasti mau diginikan sama laki-laki di kampung ini kan?” Ibu Lina menggesek jagung itu keluar-masuk di memekku. Gesekan itu membuat tubuhku semakin menggelinjang. Ingin sekali kabur secepatnya dari tempat itu, tapi tenaga ibu-ibu itu terlalu kuat.

“Ampun bu!” Aku hanya bisa menangis.

Ibu Lina menggeleng-gelengkan kepala. “Dasar memang lonte. Masa digituin malah becek.” Ia menarik kedua jagung itu. Aku menghela napas lega. Memekku terasa kosong dan longgar.

“Ibu Romlah pulang saja sekarang,” ujar Ibu Ria. Matanya berkaca-kaca karena melihatku diperlakukan tidak senonoh. Ia mengambil pakaianku yang tergeletak di lantai, lalu memberikannya kepadaku.

“Bu jangan berikan baju itu!” seru Ibu Teja. Ia merampas pakaianku dari tangan Ibu Ria, lalu melemparnya keluar jendela. “Biarin aja dia pulang telanjang bulat begitu. Dia memang doyan begitu kok.”

“Kasihan dia.” Ibu Ria memungut sempakku yang tadi belum diambilnya. “Setidaknya tutupi aurat Ibu pakai ini.”

Aku mengambil sempak itu dan langsung mengenakannya. Aku segera berlari meninggalkan ruang tamu sambil menutupi kedua tetekku yang telanjang dengan kedua tangan. Air mataku bercucuran, sama sekali tidak menyangka tingkah mereka bisa sedemikan beringasnya.

“Wow Mama pasti habis bersenang-senang di dalam,” ujar anakku. Wajahnya terlihat tenang. Ingin sekali kutampar anak durhaka itu, tapi mau bagaimanapun dia masih anakku.

“Cepetan naik,” kata anakku. “Badannnya Mama luka-luka gitu. Harus segera diobati.”

Sepeda motor itu pun melesat meninggalkan halaman rumah Ibu Ria. Angin menerpa tubuhku yang telanjang dan mengeringkan keringat yang daritadi memenuhi sekujur tubuhku.

Aku menangis di sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak tahu apa lagi yang akan terjadi esok hari.

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu