1 November 2020
Penulis —  yakuza58

Memaksa Mama Eksib

Sluuurp… Sluuuurp…

Aku membuka mata. Kontolku terasa hangat dan basah di saat bersamaan. Kutengok ke bawah dan kulihat Mama sedang menjilati batang kontolku.

“Selamat pagi Ma,” kataku sambil menguap.

Mama membersihkan batang kontolku dengan kerah dasternya. Gabungan antara sentuhan tangan dan kain dasternya membuat kontolku semakin mengeras dan akhirnya menyemprotkan sperma ke wajah Mama.

“Aaaaaah,” aku menghela napas lega. Mama memang kuminta untuk menghisap kontolku di pagi hari sampai aku terbangun. Itu benar-benar membuat suasana hatiku baik.

“Masukkan itu ke mulut Mama, lalu telan,” kataku sambil menunjuk ke sperma yang berceceran di wajahnya. “Lumayan buat sarapan Mama.”

Mama mengusap sperma yang menempel di pipinya, lalu memasukkan ke mulut. Ia memejamkan mata saat menelannya. Ia pasti tidak terbiasa dengan rasanya.

“Gitu dong, itu baru Mama yang baik,” kataku sambil menggesek-gesek memeknya. Sesuai perintahku, selama Ayah tidak ada di rumah, Mama hanya boleh mengenakan kaus merah ketat tanpa celana.

“Mama mau masak nasi dulu,” ujar Mama. Ia keluar dari kamarku, lalu menutup pintu. Aku masih berbaring di kasur sambil memikirkan apa yang harus Mama kerjakan hari ini. Mumpung Ayah tidak ada, barangkali ini saat yang tepat untuk melatih Mama di tempat umum.

Usai sarapan, aku meminta Mama mengganti pakaiannya.

“Kita jalan-jalan sebentar yuk,” kataku. “Mama pakai baju yang tertutup deh.”

Ia terlihat lega saat mendengar kata “baju yang tertutup.” Mama langsung masuk ke kamarnya tanpa banyak tanya.

Selagi menunggu Mama berganti pakaian, aku pergi mandi agar badan lebih bersih dan pikiranku tidak mengantuk. Begitu aku selesai mandi, Mama sudah menungguku di ruang tamu. Ia mengenakan kaus lengan panjang berwarna hitam dan celana yang menutupi seluruh kakinya.

“Kita mau ke mana?” tanya Mama.

“Palingan cuma ke sawah-sawah di belakang,” kataku.

Kuraih bagian bawah kaus Mama, lalu kugulung ke atas sampai melewati dadanya. Rupanya Mama tidak mengenakan beha sehingga kedua teteknya langsung bergelayutan ke bawah.

“Mulai sekarang, tetek ini jadi milik kampung sini,” kataku sambil memuntir-muntir pentil Mama. “Begitu juga memek Mama.”

Kuturunkan celana Mama sampai ke dengkulnya. Memeknya masih sedikit merah karena diacak-acak Bang Jaka kemarin.

Mama menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kenapa kamu sejahat ini sama Mama? Memangnya Mama ada salah apa sama kamu.”

“Salah Mama kenapa punya tetek sebesar ini ditutupin mulu,” kataku. “Tetek seindah ini harusnya ditunjukkin aja, bukannya ditutupin.”

Kami berjalan menuju hamparan sawah-sawah di belakang rumah. Di kejauhan terlihat beberapa petani yang sedang bekerja. Seekor kerbau memandang Mama dengan tatapan heran. Barangkali ia baru pertama kalinya melihat tetek dan memek manusia.

“Mama takut,” kata Mama sambil bersembunyi di belakangku. “Banyak orang di sawah.”

“Santai saja, toh mereka tetangga kita. Gak mungkin deh mereka ngejahatin Mama.”

“Justru karena mereka tetangga kita, makanya Mama lebih malu lagi,” bisik Mama. Ia mencengkram pundakku kuat-kuat. “Kita pulang saja yuk.”

“Kita baru pulang kalau Mama berhasil jalan kaki sendirian dari sini sampai ujung sana,” kataku sambil menunjuk ke ujung jalan yang letaknya cukup jauh. “Tenang saja, aku pasti ngawasin Mama kok.”

“Tapi Mama takut.”

“Mama mau cepat pulang atau nggak?” aku mulai mengeraskan suara. “Dari sini ke sama palingan cuma dua puluh menit.”

Kudorong Mama agar bergerak Maju.

“Nah lanjutin dah jalannya. Aku ngawasin Mama dari sini,” kataku sambil melangkah ke semak-semak di pinggir jalan. “Aku pasti keluar kalau ada yang jahatin Mama.”

Aku berjalan sambil menundukkan badan agar tidak kelihatan petani-petani di sawah. Mama berjalan pelan sekali. Ia terus mengawasi petani-petani tersebut, khawatir kalau ada yang melihatnya jalan kaki sambil memamerkan tetek dan memek.

“Ayo jangan lambat-lambat, biar kita semakin cepat pulang,” bisikku dari semak-semak.

Mama menganggukkan kepala, lalu melangkahkan kakinya lebih cepat. Aku tersenyum melihat keberaniannya. Kuatur langkahku agar seirama dengan langkahnya.

Tangan Mama tampak gemetaran dan bergerak-gerak gelisah. Tampaknya ia menahan hasrat untuk menutupi kedua pentilnya yang telanjang. Keringat bercucuran di sekujut badannya. Kegelisahan dan keringat deras justru membuatnya semakin seksi.

“Bu Romlah?” Suara itu mengejutkanku. Kuintip keluar dan kulihat Bu Painem sudah berdiri di depan Mama.

“Bu Romlah gak apa-apa? Kok teteknya dipamerin gitu?”

“Ba-badan saya gatal-gatal. Harus kena sinar matahari,” jawab Mama. Ia rupanya masih ingat saran jawaban yang kuberikan kemarin.

Bu Painem menggelengkan kepala. “Gak gini caranya. Ibu bisa mengundang laki-laki mesum nanti.”

“Di sini kan kita tetangga. Ka-kayaknya aman,” jawab Mama.

“Tetep aja berbahaya, Bu.”

“Sa-saya mau ngelanjutin jalan. Bu Painem mendingan minggir dulu,” kata Mama.

“Tapi Bu Romlah mengundang bahaya kalau teteknya terus dipamerin begitu,” ujar Bu Painem. Ia menurunkan pandangannya ke bawah. “Ibu juga sampai ngeliatin memek pula. Ibu gak malu?”

“Saya malu, tapi kulit saya tetap butuh kena matahari,” ujar Mama.

“Tutupi pakai sarung saya ini Bu,” Bu Painem menyodorkan sehelai sarung yang menggelantung di pundaknya.

“Gak usah,” tolak Mama.

“Pakai Bu. Ini demi keselamatan Ibu sendiri.”

“Gak usah!” Mama mendorong Bu Painem ke samping, lalu berlari.

Aku kaget dengan reaksi tak terduga Mama. Kupercepat langkahku agar bisa mengejarnya. Untung saja ia hanya sebentar saja berlari. Ia berhenti di tengah jalan sambil menutup wajahnya dengan tangan. Aku mendengar isakan tangisnya.

“Bagus sekali Mama,” bisikku. “Ayo lanjutin jalannya.”

Baru berjalan beberapa meter, terdengar siulan dari arah sawah. Rupanya Pak Bejo yang sedang bersantai di gubuk peristirahatan melihat Mama.

“Wah wah wah,” ujarnya sambil menghembuskan asap rokok. “Mimpi apa saya sampai ngelihat Bu Romlah jalan kaki telanjang gitu.”

Mama pura-pura tidak mendengar. Ia terus berjalan tanpa menolah.

Pak Bejo mencengkram tangan Mama.

“Baru ditinggal suami beberapa hari ternyata Bu Romlah sudah nakal ya.”

“Lepaskan!” seru Mama. Ia berusaha mengibas-ngibaskan tangannya.

“Mampir dululah ke gubuk,” kata Pak Bejo. Tangan kanannya menarik Mama, sementara tangan kirinya meremas tetek Mama.

“Lepasin!”

Mama menampar wajah Pak Bejo sampai rokok di mulutnya terlepas. Pak Bejo melepas cengkramannya. “Dasar lonte! Awas ya, tak kasih tahu suamimu kalau istrinya ternyata lonte yang suka pamer tetek di kampung!”

Mama menangis sambil berlari menjauh. Ia sempat terjatuh karena celana yang tersangkut di dengkulnya. Aku yang tadinya sudah siap keluar untuk menolongnya, langsung beralih mengejarnya. Kali ini Mama berlari lebih cepat dan lebih lama. Aku sampai kewalahan mengejarnya karena tetap harus menjaga tubuhku agar tersembunyi di semak-semak.

Mama berhenti di ujung jalan. Tubuhnya belepotan keringat dan napasnya tersenggal-senggal. Aku segera menghampirinya.

“Bagus Mama!” kataku. “Tuh jadi cepat selesai kan kalau Mama cepet jalannya.”

“Mama takut bener tadi,” isak Mama.

Kupeluk Mama. “Aku tadi udah mau ngelindungin Mama kok, tenang saja. Yuk kita pulang.”

Kutarik jembutnya, lalu kami pun melangkah pulang lewat jalan lain yang tidak melewati sawah.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu