1 November 2020
Penulis —  yakuza58

Memaksa Mama Eksib

“Mama gak mau,” ujar Mama sambil menangis. “Kamu sudah ngerendahin harga diri Mama.”

“Ma, ayo naik ke motor,” kataku. “Lebih enak mana, pantat Mama diliatin orang sekampung atau diliatin keluarga besar?”

“Gak ada yang enak Nak.” Mama terus menangis. Tangisannya semakin keras. “Apa kata orang-orang nanti.”

“Palingan Mama nanti cuma dipanggil lonte,” kataku. “Santai aja, toh Ayah masih di laut. Selama itu dia gak akan tahu kelakuan Mama.”

Aku naik ke motor duluan. “Ayo Ma, cepetan.”

Mama pun naik ke jok. Teteknya yang besar terasa empuk di punggungku. Kuraba-raba pantatnya untuk memastikan anusnya terbuka lebar.

“Nah itu baru Mama yang pemberani.” Kuputar kunci motor, lalu kutarik gas. Motorku pun melaju meninggalkan sekolah.

Di sepanjang jalan, Mama mendekapku erat-erat. Wajahnya ditempelkan ke punggungku agar tidak mudah terlihat. Aku menjalankan motor santai saja karena momen seperti itu sebaiknya tidak cepat berlalu.

Kami melintasi kebun timun dan di situ aku mendapat ide. Kuhentikan motor, lalu aku turun. Kutinggalkan Mama yang masih duduk di jok belakang.

“Mau ke mana?” tanya Mama.

“Mau mencari timun segar,” kataku.

Kuamatai satu per satu timun yang tumbuh. Kupetik satu timun yang kurasa ukurannya tepat sesuai dengan yang kumau, lalu aku balik lagi ke motor.

“Mama nungging dong,” kataku.

Mama merebahkan badannya di atas motor, lalu menaikkan pantatnya. Kuludahi anus Mama, lalu kuratakan agar merata di anusnya. Pelan-pelan aku masukkan timun tadi ke dalam anusnya. Mama tersentak kaget.

“Sakit!”

“Udah, tahan aja deh,” kataku sambil terus mendorong timun itu sampai benar-benar masuk ke dalam anusnya. “Nah, mantap.”

Aku naik lagi ke motor. Mama memegangi pinggangku. Kedua tangannya bergetar. “Sudah, lakukan apa saja yang kamu mau Nak. Mama sudah menyerah.”

Kunyalakan lagi sepeda motor, lalu kami melanjutkan perjalanan.

Beberapa meter di depan, aku melihat Bu Santi dan Bu Endang sedang berjalan sambil membawa kantong plastik besar. Mereka tampaknya baru pulang dari pasar. Kupercepat sepeda motorku ke arah mereka. Kedua orang tersebut bakal jadi yang pertama melihat pemandangan indah dari Mama.

Begitu dekat, kupelankan motor, lalu berhenti di samping mereka.

“Halo Bu Santi. Halo Bu Endang,” aku menyapa mereka.

“Ya ampun!” pekik Bu Endang. “Siapa itu yang kamu bawa?”

“Ma, jangan malu-malu. Ayo sapa tetangga kita,” kataku sambil menepuk kepala Mama.

Pelan-pelan Mama menjauhkan wajahnya dari punggungku.

“Ha-halo Bu,” ujarnya dengan suara gemetar.

“Astagfiruloh Bu! Kok pantatnya ditancepin timun gitu?” Bu Santi menatap timun di anus Mama. “Kalau dilihat orang lain gimana?”

“Gak apa-apa. Ra-rasanya enak,” jawab Mama.

“Kupikir selama ini ibu orang baik-baik. Ternyata bukan,” ujar Bu Endang sambill menggelengkan kepala.

“Oke, kami pergi dulu,” kataku sambil menginjak engkol motor. “Sampai jumpa lagi bu.”

Kami meninggalkan mereka berdua.

“Kurang ajar kamu Nak,” ujar Mama. “Hancur sudah harga diri Mama.”

Di depan ada rombongan anak-anak SD yang baru pulang sekolah. Jumlahnya sekitar lima orang. Anak desa seperti mereka biasanya suka mampir bermain dulu sebelum benar-benar pulang ke rumah.

Aku berhenti di depan mereka.

“Loh bukannya itu Bude Romlah?” tanya salah satu anak yang ternyata anak Bu Endang. “Itu tetanggaku.”

“Sudah pulang sekolah?” tanyaku ke mereka.

“Sudah om, tapi mau mancing ke sungai dulu,” kata salah satu dari mereka.

“Gak usah mancing dulu deh, om punya mainan yang menarik,” kataku. “Kalian boleh putar-putar timun di anus ibuku ini.”

Anak-anak itu memandang takjub. Mama semakin menempelkan wajahnya ke punggungku. Sebenarnya itu tindakan percuma karena hampir semua orang sudah hapal bentuk badan Mama.

“Buset kayak film bokep aja!” seru salah satu anak. “Beneran ini om?”

“Dasar anak kecil udah nonton bokep,” kataku sambil terbahak. “Beneran. Kalian boleh putar-putar timun di anus ibuku ini. Gantian loh! Jangan rebutan!”

Anak-anak itu berkerumun di belakang Mama. Tidak ada yang menyentuh Mama.

“Loh kenapa? Jangan takut,” kataku. “Putar saja timunnya, nanti ibuku keenakan.”

“Bude Romlah gak sakit nanti?”

“Kagak. Udah jangan takut, puter aja,” kataku.

Salah satu anak menyentuh timun di anus Mama, lalu memutarnya pelan-pelan.

“Aaaah,” rintih Mama.

“Hihihihi Bude suaranya beneran kayak pemain bokep,” ujar bocah tersebut.

“Nah loh benerkan ibuku jadi keenakan,” kataku. “Coba putar lebih kenang atau dimaju-mundurin.”

Anak itu memutar timun di anus Mama lebih cepat. Tangan Mama memegang erat pinggangku. Keringat menetes deras di keningnya.

“Aaaaaah aaaaah,” rintih Mama lagi.

“Wih ada yang keluar dari memeknya tuh,” seru salah satu anak sambil menunjuk ke belahan memek Mama yang terlihat sedikit. Ada cairan bening kental yang menetes ke jok motor. “Bude Romlah kayaknya terangsang.”

“Aku juga mau coba!” seru anak yang lain. Ia mengambil alih timun tersebut, lalu mendorongnya lebih masuk ke dalam.

“Aduh sakit!” seru Mama.

Anak-anak itu semakin bersemangat. Mereka mendekatkan wajah ke pantat Mama untuk melihat apa yang terjadi kalau timunnya semakin masuk ke dalam anusnya.

“Pantatnya Bude Romlah persis pantat ibuku,” komentar anak Bu Endang.

“Sesekali cobalah ke ibumu sendiri,” kataku. “Siapa tahu bisa kamu telanjangin.”

“Seriusan?” Anak Bu Romlah menatapku tidak percaya.

“Cobain aja,” kataku. “Tapi kalau kena gampar jangan salahin aku.”

Salah satu anak mencoba menjilat pantat Mama. “Anjir asin banget!” serunya.

“Ya iyalah ****** namanya juga kena keringat,” timpal yang lain. “Tapi aku juga mau coba.”

Anak-anak itu menjilati kedua pantat Mama. Sesekali mereka bergantian memutar timun di anus Mama dan menertawakan cairan kental yang keluar semakin banyak dari memeknya.

“Sudah ah,” kataku sambil menyalakan motor.

“Yah belum nih om,” keluh mereka. “Masih asyik gini.”

“Nanti lagi mainnya. Gak usah khawatir deh,” kataku.

Saat menjauh, kupandangi wajah anak-anak itu dari spion motor. Mereka terlihat kesal. Yah setidaknya hari ini mereka punya pelajaran baru.

“Kita mau ke mana lagi?” tanya Mama.

“Keliling-keliling aja deh,” kataku.

Kami melintasi rumah-rumah tetangga. Meski hanya melintas, Mama rupanya lebih malu.

“Nak percepat jalannya,” katanya. “Mereka itu teman-teman arisan Mama.”

Aku pura-pura tidak mendengar. Kepelankan laju motor. Ibu-ibu yang duduk di depan rumah melongo melihat kami.

“Loh Bu Romlah bukan?” ujar mereka. “Kenapa pantatnya ditancap timun gitu ya?”

“Stress kalik ditinggal suaminya melaut,” ujar yang lain. Aku tersenyum mendengarnya. Ibu-ibu itu kadang tidak bisa mengontrol volume suara mereka sendiri.

Kami berputar di jalan yang sama tiga kali. Sesekali kujulurkan tangan ke belakang untuk menepuk pantat Mama. Pantatnya terasa licin sekali karena berkeringat dan tercampur ludah anak-anak tadi.

“Minggu ini kalau gak salah Mama ada arisan kan?” tanyaku.

“Iya,” jawab Mama singkat. Suaranya terdengar serak.

“Hmmmm bagus,” kataku. “Bagus sekali.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu