2 November 2020
Penulis —  Pemanah Rajawali

Kontradiksi

BAB TUJUH

Kak Dian satu-satunya faktor yang membuat hubungan kami tidak bisa secara bebas diumbar. Hanya bila Kak Dian pergi ke luar rumah, maka kami bisa memadu kasih bagaikan orang baru pacaran dengan terbuka. Di hari-hari biasa, aku harus membatasi kemesraan kami di kamarku ataupun ibu. Sore hanya sekali saja kami dapat berkasih-kasihan, setelah jam 9 dan Kak Dian tidur, maka barulah aku akan ke kamar ibu dan kami akan bercinta minimal dua kali dan aku akan dibangunkan ibu jam 4 ketika ia bangun, di situ kami akan berhubungan seks secara cepat (quickie) biasanya kami langsung bersenggama tanpa foreplay.

Sebulan berjalan, suatu siang Kak Dian memanggilku ke dalam kamarnya. Saat itu ibu pergi karena ada pengajian dari siang. Aku disuruhnya duduk di tempat tidur. Kak Dian berdiri.

Kak Dian: “Kakak mau tanya kepada kamu. Kenapa kamu dan ibu melakukan hubungan keji yang terlarang?”

Bagaikan petir di siang bolong, aku terdiam tak mampu berkata-kata.

Kak Dian: “Tiap malam Kakak denger kalian mengerang-ngerang, mendesah-desah… Apa kalian pikir Kak Dian ga tahu? Bahkan sore sebelum ibu mandi, kalian juga berhubungan intim macam binatang saja! binatang itu mengawini ibunya sendiri!”

Aku masih duduk melongo saja. apa yang akan terjadi? apakah Kak Dian akan mengadu pada ayah? apakah keluarga ini akan hancur?

Kak Dian: “Ayah membanting tulang demi kita semua, kalian berdua melakukan perbuatan biadab! tak tahu malukah kalian?!”

Kak Dian kuperhatikan memakai gaun tidur baby doll tipis putih, dan putingnya menerawang. Kak Dian lebih tinggi sedikit dariku, berbeda dengan ibu, tubuhnya ramping dan payudaranya walau tak sebesar ibu, tampak bulat dan mancung tegak. Kulitnya pun putih, seperti kulit ayah, aku sendir sawo matang seperti ibu.

Kak Dian terus mengomel, tetapi aku malah asyik melihat siluet tubuhnya dari balik gaun. hmmm, apakah dia ga pakai celana dalam, pikirku. Entah apa yang ia ucapkan karena aku lebih memperhatikan putingnya yang menonjol itu.

Tiba-tiba Kak Dian menamparku.

Kak Dian: “Apa kurang tetek ibu? sekarang kamu merhatiin tetek Kak Dian? tetek Kak Dian kecil, ga sebagus punya ibu!”

Aku bengong, namun rasa sakit di pipi tak membuatku jera menatap pentilnya yang masih tertutup gaun tidurnya. Ia menamparku lagi. tapi kali ini tak sekeras tadi.

Kak Dian: “Bajingan kamu! otakmu sudah bejat!”

Bau tubuh Kak Dian berbeda dengan ibu. ini bau gadis muda. aku tak dapat menahan emosi. Kak Dian yang di depanku tak menyangka juga, karena saat itu aku memeluk dia yang berdiri di depanku tanpa aku merubah posisi duduk, lalu aku mengenyot pentil Kak Dian yang kecil itu walau masih dibalik gaunnya.

Kak Dian menampar pundakku walau tak terlalu keras dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mendoront kepalaku walaupun tidak terlalu keras sehingga mulutku masih menempel di putingnya.

Kak Dian: “Hentikan! Ksmu mau apa? hentikan! Nanti Mbak teriak minta tolong!”

Aku terus mengenyot pentilnya, Kak Dian terus menampari pundakku, namun makin lama makin pelan, sementara suaranya masih terdengar walau tidak berteriak keras.

Kak Dian: “Hadi! udah donk… lelaki bajingan kamu! Kakak sendiri mau diperkosa!”

Aku tersentak. tadi aku cuma mau isep aja teteknya, tapi dia malah bilang mau perkosa.

Aku: “Kak Dian mau aku perkosa?”

Aku masih duduk menatapnya dari tempat tidur, sementara tangan kirinya masih memegang kepalaku.

Kak Dian: “Aku ini bukan Ibu yang gampang dirayu lelaki jelek macam kau ini!”

Aku memeluk pinggangnya, Kak Dian menggunakan kedua tangannya mendorong pundakku, tetapi tenaganya tak cukup untuk melepas aku.

Kak Dian: “Lepasin dong…”

Aku: “Kan mau Hadi perkosa, masa dilepasin?”

Kak Dian: “Hadi! ga lucu ah!”

Aku tarik dan banting dia perlahan ke tempat tidur. Kak Dian masih meronta, tapi tetap saja dia bagai setengah hati, karena tidak cukup kuat untuk mendorongku. Aku curiga bahwa Kakakku ini sama saja dengan ibu, di mulut ngomong ini kenyataannya malah melakukan itu.

Aku menindih Kak Dian yang meronta kemudian aku cium mulutnya. kami ciuman selama beberapa saat, lidahku menyapu bibirnya yang tak mau dibuka. Kak Dian lalu memalingkan mukanya.

Kak Dian: “Apaan sih nyium-nyium?”

Aku menciumi wajahnya yang cantik, sementara Kak Dian menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, terkadang aku dapat menciumnya sejenak sebelum ia menjauhkan bibirnya dari bibirku. tali gaunnya kutarik ke bawah, Kak Dian meronta, namun anehnya dengan rontaan dia malah membuat tali itu lepas dari tangannya!

Kak Dian menampari mukaku pelan.

Kak Dian: “Berhenti! kamu bener-bener biadab! udah ah!”

kupegang kedua tangannya dengan kedua tanganku dan ku taruh di atas kepala. ketiak putih dan licinnya terlihat. wow. aku ciumin bibirnya namun ia masih berusaha meronta.

Aku: “Kalau ga dikasih bibirnya, ga jadi Hadi perkosa nih!”

Kak Dian: “Cis! siapa lagi yang mau diperkosa kamu.”

Aku pagut bibirnya, kali ini dia hanya menggeleng pelan tetapi bibir kami tetap menempel. aku keluarkan lidahku namun Kak Dian menutup rapat mulutnya”

Aku: “Cium ga?”

Kak Dian: “Ga! pergi ga?”

Kak Dian mendorongku walau pelan, aku pura-pura duduk saja. Aku buka kaos dan celanaku. akhir2 ini aku ga pakai celana dalam, jadi dalam beberapa detik, aku sudah bugil.

Kak Dian: “Hadi! kakak teriak nih!”

Aku bergerak untuk menghampiri dia dengan merangkak di kaki dan tangan bagai hewan, Kak Dian meronta-ronta, tetapi malah kedua kakinya terbuka, aku tarik bagian rok gaunnya keatas sehingga kini gaun itu berjumbel di perut dan ternyata kulihat memeknya tidak tertutup sehelai benangpun, selangkangannya hanya dihiasi sedikit jembut di atas kelentitnya.

Kak Dian: “Hadi! tolong Kakak! jangan perkosa kakak!”

Aku pikir kalau dia mau belagak gila dengan pura-pura ga mau, aku juga bisa pura-pura.

Aku: “Aku ga akan perkosa kalau Kakak French Kiss aku..”

Kak Dian: “Ga Mau! mulutmu bau!”

Aku: “Ya udah…”

Aku pegang kontolku dengan tangan kanan dan kugesekki bibir memeknya dari atas, ternyata memeknya sudah basah.

Kak Dian: “Oke… Oke… berhenti… Kakak Cium kamu!”

Aku tidak menaruh kontolku lagi di jembutnya, tetapi ketika kugesek bibir memeknya, bibir memeknya membuka, aku lalu menaruh kontolku di bibir memeknya, tepat di depan lubang kencingnya, lalu berhenti.

Aku pagut bibirnya dan kini ia mendekap kepalaku dan mulai membalas ciumanku. lidah Kak Dian lebih halus dibanding lidah ibu, namun mulutnya tidak sewangi ibu yang sering gosok gigi dalam sehari bisa 5 kali, karena tiap selesai makan ibu akan gosok gigi. Namun walaupun aku dapat merasakan sisa gulai di mulutnya, aku merasakan kenikmatan juga kala kami berciuman.

Kak Dian menghentikan ciumannya.

Kak Dian: “Katanya ga mau perkosa kalau kakak kasih ciuman?”

Aku: “Cuma digesek, kan. ga ditusuk. tenang aja, Kak.”

Aku menciumnya lagi dan mulai menggeseki liang persenggamaan milik kakak kandungku itu. lama kelamaan kepala kontolku menancap juga di depan liang vagina.

Kak Dian: “Jangan dimasukkin!”

Aku: “Cuma dorong pelan ga bakal bisa masuk, percaya deh.”

Aku memagut lagi bibirnya. kami kembali asyik berciuman sementara aku maju mundur, menancapkan kepala kontolku lalu menarik keluar. lama kelamaan, memek Kak Dian banjir juga, ia mulai ikut juga mendorong dan menarik selangkangannya. Satu ketika, Kami yang sedang asyik-asyiknya ciuman tak merasakan bahwa kami saling mendorong sedikit lebih kuat, sehingga tiba-tiba lubang memeknya diterobos kepala kontolku.

Kak Dian: “stop! katanya ga dimasukkin?” Ia bermasuk mendorongku, tapi aku yang lebih berpengalaman mampu bereaksi cepat.

Aku: “Ga sengaja, Kak. jangan didorong dulu, sempit, kalau aku sakit dan ga tahan nanti malah kaget dan bergerak maju makin ke dalam deh…”

Memeknya sangat sempit, kulihat ia meringis, maka aku berkata.

Aku: “Sambil ciuman kak, tar ilang sakitnya.”

Kami berciuman lagi, kali ini dengan kepala kontolku masuk sedikit di vagina kakakku itu. Mula-mula kakakku hanya merespons sedikit, namun setelah beberapa menit kami tenggelam lagi dalam ciuman kami. memek kakakku semakin banjir, dan aku mulai mengocok kontolku pelan.

Kak Dian: “Nyeri… stop…”

Aku yang memeluknya kini memegang kedua pantatnya dari belakang dan walaupun pantatku berhenti seakan mengikuti keinginannya, sebenarnya aku ingin memerawani kakakku itu. biarin lah konsekuensi nanti.

selama dua tiga menit, kami berciuman lagi, tanpa menggoyangkan pantatku. setelah tampaknya tubuh kakakku melemas dan tidak tegang lagi, sambil mempererat dekapanku di pantatnya, aku menarik pantatnya ke arahku sambil aku hujamkan pantatku ke depan kuat-kuat. kurasakan ada yang robek ketika kontolku amblas ke dalam memek yang sangat sempit milik kakakku itu.

Aku: “Aduuuuuuuhhhhh… lepasin!”

Tapi ia tetap menggigitku, sementara memeknya mencengkram erat kontolku. akhirnya setelah beberapa menit ia melepas pundakku yang sedikit berdarah dan perih.

Kak Dian: “Bajingan kamu! katanya ga perkosa. ini apa?”

Aku: “Ini namanya perawanin, kakakku cantik.”

Aku menciumi wajahnya.

Kak Dian: “tititmu jangan gerak dulu. masih perih banget. makanya gue bales gigit. dikira ga sakit apa?”

Aku tertawa, lalu mulai menciumi bibirnya. kami berciuman sebentar lalu Kak Dian melepaskan ciumannya.

Kak Dian: “Binatang kau…(kucium lagi kemudian ia melepas lagi)… biadab kau…(kucium lagi)…”

Setelah puas beberapa kali memakiku diselingi ciuman. kami berciuman lagi. setelah beberapa menit, kakakku mulai menggerakkan pantatnya, dan aku mengimbangi. setelah itu tak ada kata-kata lagi, karena kami berdua sedang dirundung birahi. kami hanya mengerang nikmat sambil saling mengentot kemaluan lawan dengan sekuat tenaga, seakan ingin menghancurkan kemaluan lawannya.

Memek Kak Dian sangat rapat dan panas di samping licin. Bau tubuh Kak Dian yang sedap membahana seruangan, membuat aku semakin nafsu. lidah kami saling menjilat, mulut kami saling mencium, menyedot dan menghisap sehingga air liur kami sudah menyatu dan menjadi jus liur bersaudara. kerap kali mukanya yang cantik aku jilat-jilat, karena aku sangat birahi melihat kecantikan kakakku itu.

telinga kakakku juga kubersihkan dengan telaten, tak ketinggalan lubang hidungnya yang mancung itu. terkadang aku sedot leher ataupun hidungnya, rambutnya kukunyah dan kuhisap-hisap, kujilati kulit di antara rambut hitamnya yang panjang. pendek kata, yang terjangkau lidahku saat itu akan kujilati sampai bersih.

Entah berapa lama kami bersetubuh saling menjelajah mulut, wajah dan leher dengan lidah kami, kemaluan kami bersatu dan saling mengocok dengan nafsu, kedua tangan kami meraba dan meremas apapun yang dapat diraih, pada akhirnya ketika Kak Dian orgasme, kontolku yang serasa dijepit dinding beludru, tak kuat lagi untuk menahan air mani yang akhirnya menyembur-nyembur ke dalam rahim kakak kandungku itu.

setelah aku ambruk menindih Kak Dian, terdengar suara.

Ibu: “Kalau sudah mandi dulu baru nanti kita makan malam.”

Dengan terkejut kami lihat ibu yang masih memakai baju gamis berdiri di depan pintu. Ibu kemudian pergi, namun aku segera berlari menghampirinya dan menarik tangannya sehingga ibu berbalik menghadapku.

Aku: “Ibu… Ibu marah?”

Ibu tersenyum.

Ibu: “Enggak. kamu berdua tampaknya bahagia. Ibu bahagia kalau kalian bahagia.”

Aku: “Kalau gitu, ibu buka baju, dan jangan pakai apa-apa. nanti ketemu kita di bawah.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu