2 November 2020
Penulis —  soundingsea

Banjir pun Melanda

Ane merapikan laptop dan beberapa perangkat kerja untuk ane taruh di dalam tas kerja, sudah 2 bulan ane pindah dari ibu kota menuju kota ‘S’. Yang tidak ane sangka karena ane begitu betah tinggal di kota ini.

Suasana yang tidak begitu padat jika dibandingkan ibu kota, ditambah dengan penduduknya yang ramah ramah tidak seperti di ibu kota yang langsung memasang wajah menyeramkan ketika bertemu di jalan raya, terlebih kalau saling menyenggol kendaraan, walaupun kendaraannya tidak mengalami rusak atau lecet tapi bisa dipastikan akan ada yang langsung nyerocos mengeluarkan makian kalau itu yang terjadi.

Hidup ane pun sangat tenang dan tentram disini, sehari hari hanya pergi kerja dari pagi sampai sore, walaupun beberapa kali pulang malam kalau ada lembur atau acara kantor tetapi karena jarak yang dekat membuat ane tidak selelah seperti waktu berada di ibu kota.

Kalau weekend ane hanya menghabiskan waktu di kosan saja bermain game atau biasanya setiap hari minggu pak Dar mengajak ane untuk makan siang dirumahnya dan ngopi ngopi sebentar sampai maghrib tiba sembari menikmati hasil buah dari pekarangan rumahnya.

Situasi sama bu Heni pun cukup membaik, bu Heni nampak sudah mulai pulih dari rasa malunya waktu ane melihat dia sedang bermasturbasi ria di malam sebelum ane pindah kesini, tetapi ane tidak sampai hati untuk menggodanya terlalu jauh.

Ya pesan tante Puri ane pegang teguh, ane tidak akan mengganggu hubungan rumah tangga seseorang lagi mengingat apa yang sudah terjadi ke diri tante Puri sebelumnya.

Berbicara mengenai tante Puri, ane berusaha untuk tidak menghubungi dia lagi, ane ingin menghargai perjuangannya untuk memperbaiki hubungannya sama om Herman, yah mungkin hanya sekedar ‘like’ di sosial media masih kami berdua lakukan di sosial media.

Dan sekitar dua bulan ane disini, ane belum pernah lagi melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan, bahkan niatan awal untuk menyetubuhi budhe Lastri pun harus ane kubur karena begitu susahnya mendapatkan kesempatan untuk bisa berdua dengan budhe Lastri kalau sedang di kosan.

Wanita berumur 46 tahun itu betul betul membangun ‘tembok’ yang susah ditembus di kosan. Setiap hari, ternyata bukan dia yang mengantarkan teh atau kopi ketika sarapan, tetapi mbok Ratih, wanita paruh baya berumur 40 tahun yang juga berjilbab lebar itu mengantarkan makanan setiap harinya, dan ia pula yang mencuci pakaian anak anak kos dua kali seminggu.

Mbok Ratih sendiri memang sudah ikut budhe Lastri dari 20 tahun yang lalu, budhe Lastri yang waktu itu baru menikah membutuhkan seorang pembantu dirumahnya dan salah seorang kerabatnya menawarkan mbok Ratih ini untuk bekerja di rumahnya budhe Lastri.

Hanya datang pagi, untuk memasak, mencuci, mengepel, menyetrika dan kemudian sebelum maghrib ia pun pulang dari rumahnya budhe Lastri. Budhe Lastri hanya masuk kosan kalau sudah jam 9 malam untuk membereskan makan malam yang telah disiapkan mbok Ratih sebelum ia pulang itu atau hanya sekedar menagih uang para penghuni kos.

Ane hanya bisa tersenyum menerima keadaan kalau ane akan ‘puasa’ disini untuk beberapa waktu ke depan, mungkin betul apa yang tante Puri bilang, kalau ane harus segera mencari yang serius dan meninggalkan kehidupan wanita berumur.

“Pak Reno.. besok jangan lupa yo.. kita jalan pagi..”, celetuk pak Dar ketika ane sedang membereskan tas ane.

“Iyo Pak.. jam 7 apa 8..?”, tanya ane dengan logat yang sudah mulai berubah.

Untuk urusan berkomunikasi pun ane sudah mulai bisa mengikuti omongan orang orang sini, walaupun tidak fasih karena memang ane bukan asli orang sini, tapi ane sudah bisa mulai mengikuti secara logat.

“Yah.. jam 7an saja pak.. biar sampe sana sebelum makan siang..”, jawab pak Dar yang jawab dengan anggukan.

Pak Dar pun pamit duluan meninggalkan ane yang masih berberes, besok adalah pertama kali ane melakukan kunjungan pabrik yang ada di daerah, perjalanan yang panjang dan infrastruktur seperti lampu jalan yang belum memadai membuat kunjungan besok harus berakhir dengan menginap di sana.

Beruntung kantor cabang mempunyai mess karyawan yang melakukan kunjungan kesana, jadi ketika malam menjemput, ane dan pak Dar akan bermalam disana sebelum besok paginya akan pulang menuju kota ‘S’ lagi yang untungnya ane dan pak Dar mendapatkan kompensasi dengan liburan sehari setelah kunjungan.

Ane lalu keluar dari gedung kantor sembari berpamitan dengan orang orang disitu dan langsung menuju parkiran tempat motor ane diparkir. Ane dapat kendaraan dinas disini yang walaupun hanya berupa motor bebek tetapi sangat membantu ane secara finansial karena artinya ane tidak harus mengeluarkan uang lebih untuk transportasi.

Motor pun keluar gedung kantor menuju tengah kota, atau biasa orang sini sebut alun alun, ane lagi kepingin membeli makanan khas sini yang selalu ane beli seminggu sekali karena saking enaknya dan sangat cocok dengan lidah ane.

Tidak terlalu lama, hanya memakan waktu 10-15 menit buat ane untuk sampai ke alun alun tempat makanan khas itu dijual, ane langsung memarkirkan motor ane dan langsung masuk ke tempat yang berbentuk tenda kaki lima itu tapi sangat ramai orang yang mengantri karena rasanya yang enak.

Disaat ane sedang mengantri, tiba tiba ada wanita yang menghampiri dan menyolek ane dari samping dan kemudian menyapa ane dengan ceria.

“Hey.. Reno..”, sapa wanita tersebut yang membuat ane menoleh dan terkejut.

“Eh.. mbak Windy.. mbak ngapain disini..?”, tanya ane yang heran.

Windy namanya tapi biasa ane panggil mbak Windy, dia dulu teman kantor ane waktu masih bekerja di perusahaannya bu Vivi. Orangnya baik dan ceria, umurnya 36 tahun sudah menikah selama hampir sepuluh tahun tapi baru mempunyai anak yang berusia 4 tahun.

Sedikit flashbak ketika ane masih bekerja sama bu Vivi, mbak Windy ini terkenal dengan keromantisannya bersama sang suami dan kepintarannya menjaga rahasia rumah tangganya, bahkan disaat teman teman kantor yang perempuan sibuk membuka aib-nya masing masing, mba Windy hanya tersenyum dan menggeleng kalau orang orang kepo dengan rumah tangganya.

Setiap harinya pun dia selalu diantar jemput oleh sang suami, bahkan terkadang si suami ikut kalau ada acara kantor kalau memang diperbolehkan, makanya rumah tangganya menjadi panutan buat orang orang kantor yang seumuran dia atau yang lebih muda dari dia yang ingin membina rumah tangga.

“Ini.. kampung halamanku Reno.. kamu apa kabar Ren..? kamu sendiri ngapain disini..?”, tanyanya yang sebelumnya menjawab kalau kota ‘S’ adalah kampung halamannya.

“Ohh.. mbak orang sini..?”, tanya ane yang dijawab dengan anggukan.

“Baik mbak.. aku pindah kesini mbak baru dua bulan sih… eh mbak apa kabar nih.. udah lama juga ya kita gak ketemu..”, jawab ane dan kembali melemparkan pertanyaan.

“Baik juga kok Ren.. alhamdulillah.. tapi yaa biasa lah bu Vivi.. kayak gak tau aja..”, jawabnya yang membuat kami berdua tertawa karena membicarakan begitu hectic-nya kerja dibawah bu Vivi.

“Oh jadi kamu sekarang pindah kerja disini..?”, lanjutnya dengan bertanya.

“Iya nih mbak.. tadinya kirain bakal suntuk tinggal disini, eh tapi malah cocok aku ternyata..”, jawab ane sambil tertawa.

“Disini enak tau Ren.. gak seribet di ibu kota..”, jawabnya dan ane pun setuju dengan pendapatnya.

“Suami mbak kemana nih..? biasanya nempel mulu..”, tanya ane dengan bercanda tetapi raut wajahnya mbak Windy mulai berubah menjadi tersenyum kecut.

“.. Gak ikut.. aku berdua sama anakku..”, jawabnya dengan suara datar yang membuat ane terdiam karena merasa ada sesuatu hal.

“Hooo.. Sorry mbak asal ngomong.. eh, mbak mau mesen juga kan? Sekalian nih sama aku.. aku traktir deh mbak Windy..”, kata ane berusaha mengembalikkan suasana yang sempat gloomy itu.

“Bener yah? Asik..”, jawabnya dengan nada yang sudah kembali ceria.

Ane lalu memesan untuk dua porsi ditambah minumannya, dan kami lalu duduk di meja terdekat sembari mengobrol ngobrol menanyakan kabar masing masing setelah ane resign dari perusahaannya bu Vivi.

“Kamu tiba tiba banget keluar dari kantor.. sampai pada kaget tahu satu kantor..”, ucapnya.

“Iya.. mbak.. habis mau gimana lagi.. udah jalannya kali ya..”, jawab ane seadanya karena tidak mungkin menceritakan alasan sesungguhnya ane resign karena bu Vivi.

“Eh.. kamu tau nggak.. beberapa bulan dari kamu keluar ada lagi loh yang keluar tiba tiba kayak kamu.. persis gak berapa lama dari kunjungan ke cabang..”, ucap mbak Windy yang membuat ane kaget.

“Oh ya? Siapa mbak..?”, tanya ane yang penasaran.

Mbak Windy bercerita tentang teman ane yang resign setelah kunjungan, dan ane lumayan kenal sama orangnya karena sering kumpul dan bercanda bareng di kantor. Dalam hati ane hanya bisa menebak kalau teman ane masuk di situasi yang sama seperti ane dulu.

Situasi dimana bu Vivi memancing untuk bertukar lendir tetapi setelah beberapa hari setelahnya bu Vivi tidak bisa mengkontrol dirinya (setidaknya begitu alasannya) dan mulai memohon pegawainya untuk mengundurkan diri secara ikhlas.

“Mirip kan sama kamu ceritanya.. pada heran tau anak anak kantor Ren..”, lanjut mbak Windy.

Ane tidak habis pikir sama bu Vivi, kenapa dia berbuat seperti itu lagi, apa dia ketagihan dengan sensasi meniduri bawahannya ketika sedang kunjungan keluar kota? Atau mungkin saat itu dia hanya butuh seseorang untuk mengisi kebutuhannya?, tapi kenapa kejadian resign ini hanya terjadi kalau yang dibawa kunjungan adalah laki laki yang seumuran ane.

“Bengong aja sih.. kamu keingetan sesuatu Reno?”, celetuk mbak Windy yang melihat ane terdiam, ane pun cuma menggeleng mendengarnya.

Mbak Windy melihat jam di hapenya yang sudah menunjukkan jam setengah 8 malam, masih pagi tentunya kalau ini di ibu kota, tetapi di hari biasa, disini agak sedikit berbeda. Makanya setelah melihat jam mbak Windy ingin pamit untuk pulang.

“Mbak pulang naik apa?”, tanya ane.

“Aku naik angkot Ren.. rumahku deket kok dari sini.. satu kali naik angkot doang.. makanya jangan kemaleman.. keburu gak ada lagi angkotnya..”, jawabnya memberikan alasannya.

“Aku yang anter aja ya mbak pulangnya.. aku juga udah mau balik juga nih..”, balas ane sembari menawarkan mengantarnya pulang.

“Aduh jangan ya Ren.. disini beda sama di ibu kota.. jadi omongan nanti..”, katanya menolak tawaran ane.

“Cuma anterin doang.. bilang aja ojek kalo ditanya tanya..”, jawab ane asal.

“Kamu nih ngomongnya.. jadi gak enak aku sama kamu kalau gitu..”, jawabnya yang membuat ane nyengir.

“Lagian udah lumayan malem mbak.. kalo mbak kenapa kenapa dijalan aku ngerasa berdosa nih gara gara nggak nganterin mbak dengan selamat..”, balas ane mencoba membujuk mbak Windy.

“Hmmm.. ya udah deh.. terserah kamu aja.. susah bener dikasih tau..”, jawabnya dengan terpaksa.

Dengan terkekeh ane lalu menuju ke motor ane yang diikuti mbak Windy, dia pun duduk dibelakang dengan jarak yang agak kebelakang supaya payudaranya tidak menyentuh ke badan ane.

Memang tidak terlalu jauh ternyata dari alun alun kerumahnya mbak Windy, seperti yang dia bilang hanya beberapa menit saja kami sudah sampai di gerbang pintu rumahnya. Tetapi sialnya pas ane mau memutar balik motor, hujan mengguyur tiba tiba dengan volume yang sangat deras.

“Eh.. eh Reno.. ayo masuk dulu aja Ren.. deres ini..”, ucapnya terburu buru yang langsung ingin membukakan gerbang.

“Gak usah mbak.. tadi kata mbak kan gak enak sama tetangga..”, jawab ane yang ingin mengingatkan mbak Windy.

“Udah gak papa.. buruan masuk.. udah mulai lepek nih..”, ujarnya yang didukung dengan intensitas hujan yang semakin deras membuat ane menuruti ajakannya.

Motor pun ane masukkan ke dalam halaman rumahnya dan kami langsung berlari menuju teras.

“Waduh.. baru dari gerbang kesini aja udah lepek begini yaa..?”, celetuk ane yang sudah kebahasan.

“Kamu sih sok tahu.. udah aku bilang aku pulangnya naik angkot aja.. aduh..”, jawabnya komplain.

Mbak Windy pun membuka tas-nya dan merogoh rogoh isinya, dan tidak beberapa lama dia berhasil mencari apa yang ia cari, sebuah kunci yang merupakan kunci rumahnya dan langsung membukanya.

Lampu ruang tamu langsung dinyalakan begitu kami berdua masuk ke dalam rumah yang lumayan luas itu.

“Duduk dulu Ren.. aku ambilin kamu handuk sama kaos ganti buat kamu..”, tegasnya dan ane pun hanya bisa mengangguk.

Tidak beberapa lama, mbak Windy keluar dengan membawa handuk kering, kaos laki laki dan kantong plastik kresek, langsung diberikannya ke ane.

“Nih.. kamu keringin kepala kamu di kamar depan.. baju kamu yang lepek taro aja di kresek.. trus ini kaos suamiku buat baju ganti.. kebetulan nyisa disini.. terserah lah mau kamu apain, mau dibuang kek.. mau di bakar kek.. terserah..”, ujarnya dengan sedikit emosi.

Ane mengangguk dan mengucapkan terima kasih ke mbak Windy, ia pun berlalu menuju kamar mandi, sepertinya ingin mencuci kepalanya dan berganti pakaian, sementara ane langsung masuk ke kamar depan yang sepertinya merupakan kamar tamu dirumah ini.

Tentu saja karena ane tidak perlu mencuci kepala maka ane pun yang keluar pertama dan duduk menunggu mbak Windy di ruang tamu. Melihat intensitas hujan yang tampaknya makin deras dan awet, ane lalu mengambil hape untuk mengabarkan teman kosan ane untuk menitipkan kunci sama pak satpam karena sepertinya ane akan pulang terlambat.

Tidak beberapa lama mbak Windy pun keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan kepalanya dengan handuk. Ane pun menelan ludah dibuatnya, karena mbak Windy menggunakan kaos tank top ketat warna abu abu dengan bawahan celana piyama yang walaupun panjang tapi karena bahan piyama biasanya tipis maka tercetaklah celana dalamnya disana.

Ane lumayan tertegun melihat bentuk tubuhnya mbak Windy, sama seperti waktu bersama bu Vivi, ane memang tidak pernah memperhatikan bentuk tubuh lawan jenis di kantor, buat ane itu hal yang biasa tapi kali ini ane baru menyadari kalau mbak Windy ini mempunyai tubuh yang sangat sintal.

Kulitnya lumayan putih ternyata, payudaranya juga lumayan besar dan membulat, bongkahan pantatnya pun terlihat berisi dan kenyal, seperti bentuk tubuh wanita yang telah mempunyai anak tapi bedanya, bentuk badannya masih terlihat kurus karena pinggangnya yang masih membentuk.

Sontak batang ane bereaksi melihat pemandangan seperti ini, puasa selama 2 bulan di kosan ikhwan yang apa apa serba tertutup membuat batang ane lupa diri dan ingin menunjukkan eksistensinya.

“Sorry ya Ren.. aku pake beginian aja.. masih basah rambutku.. nanti aku pakai kaos kalo udah kering..”, ucapnya karena melihat ane yang terdiam.

“Ah.. iya gak papa kok mbak.. begini terus juga.. aku oke kok..”, jawab ane setengah bercanda.

“Huuu.. ngeres dasar.. keenakan di kamu..”, balasnya yang membuat kami tertawa.

Mbak Windy pun langsung bergegas ke dapur dan membuatkan teh manis hangat untuk kami berdua, dia tahu rupanya di cuaca yang dingin karena hujan ini, meminum teh hangat memang alternatif yang baik buat menghangatkan badan.

“Minum dulu nih Ren..”, ujarnya sembari meletakkan cangkir teh buat ane dan dia pun duduk di bangku tamu sebelah ane.

“Iya mbak.. tengkyu..”, jawab ane dan langsung menyeruput teh hangat tersebut, sembari melihat seisi rumah dan ane merasa heran dengan keadaan rumah tersebut.

“Kok sepi ya mbak..? ini rumah siapa ya..?”, tanya ane yang baru tersadar kalau tidak ada orang disana.

“Rumah orang tuaku.. rumahku kecil dulu.. orang tuaku lagi pergi ke ‘yy’ sama anakku Ren.. jalan jalan.. nginep disana 3 hari..”, jawabnya.

“Ohh.. katanya enak tuh di ‘yy’.. bagus alamnya.. emang cocok buat jalan jalan.. kok mbak gak ngikut? Malah sendirian disini..”, tanya ane lagi.

“Tuh..”, jawabnya singkat sembari wajahnya menunjuk kearah meja yang terletak tidak jauh dari situ yang diatasnya tergeletak laptop dan beberapa kertas yang menumpuk yang membuat ane tertawa terpingkal pingkal.

“Puas lo ye ketawa.. boss lo tuh kerjaannya..”, ujarnya kesal karena melihat ane yang tertawa senang melihat penderitaan yang dikasih bu Vivi.

“Enak aja.. bossnya mbak tuh.. aku mah udah bebas dari begituan..”, jawab ane sembari tertawa lagi.

Bu Vivi memang terkenal kejam buat urusan pekerjaan, bahkan di cerita ane pun ane disuruh merubah laporan yang ane buat langsung dihadapan beliau dan harus selesai saat itu juga, yah walaupun gara gara itu ane berhasil meniduri mantan boss ane itu tapi tetap saja hectic bekerja sama bu Vivi memang bisa kebawa sampai keluar kantor.

“Aku tuh kesini ada urusan pribadi sekalian refreshing.. eh ternyata bulan depan giliran cabang sini yang mau dikunjungi sama dia.. jadilah aku disuruh ambil data disini trus dibuat laporan buat dia gara gara kampungku disini.. kan gila tuh dia..”, ujar mbak Windy sembari ngedumel.

“Yah.. mau gimana lagi kalo sama dia.. terima aja.. gak bisa ngapa ngapain lagi.. eh ngomong ngomong.. mbak sampai kapan disini? Boleh nih temenin aku jalan jalan disini..”, tanya ane sembari berharap kalau mbak Windy mau jadi guide ane disini sementara.

“Aku datang hari minggu Ren.. sampai kamis rencananya.. jadi guide kamu? Berani bayar berapa kamu?”, tanyanya balik sembari bercanda.

“Wah kebeneran.. aku kan besok ke pabrik di daerah.. baliknya lusa.. nah biasanya abis balik dari pabrik, yang kunjungan kesana dapet kompensasi libur satu hari mbak.. masalah bayaran gampang kok.. mbak mau dibayar pake apa? pake hati? pake cinta?”, jawab ane dengan bercanda gurau.

“Cuiiihh.. bosen aku sama hati sama cinta.. jijik banget dengernya..”, balasnya dengan nada yang lumayan serius.

Ane lagi lagi terkejut mendengar omongannya mbak Windy, pertama ketika di tempat makan, dia menjawab datar ketika ditanya dimana suaminya, kedua waktu ngasih ane baju suaminya dia bilang kalau bajunya boleh dibuang atau dibakar dan sekarang dia bener bener sensitif sama urusan hati dan cinta walaupun ane juga bercanda waktu bicara seperti itu, tapi melihat responnya membuat ane jadi sangat penasaran.

“Ini.. sebenernya ada apa sih mbak..? maaf yah mbak.. bukannya mau ikut campur.. tapi aku dari tadi heran sama respon responnya mbak..”, tanya ane dengan sangat berhati hati.

Mbak Windy pun menarik nafas mendengar pertanyaan ane, sepertinya dia sangat maklum karena sudah lama tidak bertemu dengannya terkesan ane sangat tidak up to date dengan yang terjadi di hidupnya.

“Aku… lagi ngurus cerai Ren…”, jawabnya singkat yang membuat ane terkejut.

“Hah? Gak salah? Loh?”, jawab ane yang sangat heran.

Mbak Windy akhirnya mulai bercerita kenapa ia memutuskan untuk menggugat cerai suaminya yang sudah dinikahinya selama hampir satu dekade itu.

Semuanya berawal dari kenaikan jabatan suaminya beberapa tahun yang lalu, dilimpahi harta dan kuasa rupanya membuat suaminya mbak Windy gelap mata, dimulai dari alasannya yang selalu lembur sehingga tidak pernah mengantar jemputnya lagi sampai yang paling parah suaminya sampai jarang pulang kerumah dengan alasan kerja.

“Sekalinya pulang.. pasti abis minum minum.. kalo aku tegur dia emosi, sampe aku ditampar Ren sama dia..”, kata mbak Windy.

Kecurigaan mbak Windy semakin menjadi ketika temannya mbak Windy ada yang memergoki suaminya mbak Windy jalan dengan perempuan lain, tetapi mbak Windy mencoba untuk tidak terhasut dengan kiriman gambar dari temannya.

Sampai ketika waktu suaminya mbak Windy sedang kebetulan dirumah dan tengah tertidur, mbak Windy dengan penasaran membuka buka dan juga termasuk membaca baca isi chat hape suaminya yang biasanya tidak pernah ia lakukan karena percaya 100% dengan suaminya.

“Kaget juga.. ada foto mereka berdua lagi pelukan di hotel.. langsung aku damprat aja suamiku pas lagi tidur.. udah emosi aku..”, ujarnya dengan emosi.

Suaminya mbak Windy yang kaget karena emosinya mbak Windy akhirnya mengakui perbuatannya, dan menceritakan ke mbak Windy siapa si perempuan tersebut.

“Kamu tau gak Ren.. gilanya.. abis ketauan begitu.. bukannya minta maaf ya.. eh dia malah minta ijin buat nikahin itu perempuan.. sakit tuh orang..”, lanjut mbak Windy yang membuat ane mengernyitkan dahi.

“Mbak diajak poligami? Terus?”, tanya ane yang ingin mbak Windy melanjutkan ceritanya.

“Aku gak mau lah.. masalahnya ini perempuan jelas perempuan gak bener.. suamiku gak punya alasan khusus buat poligami selain karena nafsu Ren.. terus aku suruh pilih akhirnya..”, jawabnya yang kemudian terhenti sebelum melanjutkan melanjutkan ceritanya.

“Eh.. enteng banget dia lebih milih yang baru.. ya udah aku bilang ke dia.. kalo aku mau gugat cerai dia.. makanya sekarang aku ada disini..”, ujarnya sembari menyelesaikan ceritanya.

“Tapi kenapa di kampung halaman mbak? Emang mbak nihah disini ya?”, tanya ane yang dijawab dengan anggukan dari mbak Windy.

“Dia itu temen SMA aku disini.. gak pernah kenal malah pas SMA, pas kuliah di ibu kota ketemu dan kebetulan satu jurusan.. ya karena dari kampung yang sama akhirnya kita deket terus pacaran.. karena aku liat dia orangnya gak macem macem selama pacaran.. makanya aku mau diajak nikah sama dia.. ”, ujarnya.

“Aku sama dia ‘hilangnya’ pas nikah loh Ren.. percaya nggak kamu.. kita pacaran lumayan lama tapi pas nikah baru ‘begituan’..”, lanjut mbak Windy sambil tersenyum mengenang cerita dia dan suaminya.

Ane terdiam mendengar apa yang terjadi sama mbak Windy, ketika seorang laki laki kaget dengan harta dan kekuasaan maka godaan selanjutnya yang datang pasti perempuan, celakanya kalau si laki laki dan suami ini ketika pada masa mudanya tidak punya pengalaman yang cukup dengan lawan jenis maka bisa dipastikan akan terjerumus ketika godaan wanita datang.

“Aneh juga ya.. denger cerita mbak.. setau aku.. mbak gak pernah cerita masalah rumah tangga mbak secuil pun waktu aku kerja di kantor lama..”, celetuk ane yang masih dalam keadaan lumayan terkejut.

“Sebenernya.. aku juga cerita ini ke kamu.. karena kebetulan kamu ketemu aku disini.. orang orang kantor gak ada yang tau.. bu Vivi juga gak tau.. aku cari alasan lain supaya dapat ijin.. makanya aku dikasih kerjaan..”, jawabnya.

“Tapi… mungkin sebenernya aku stress kali ya Ren.. masalah kayak gini emang gak bisa disimpen sendiri.. sakit banget..”, lanjutnya dengan suara yang lirih.

Ane yang terenyuh melihat mbak Windy ingin mengucapkan sepatah dua patah kata untuk menghiburnya, tetapi yang terjadi malah tiba tiba badan ane bergerak dengan sendirinya mendekati mbak Windy, dan langsung mendekatkan bibir ane ke bibirnya mbak Windy.

Tidak ane sangka, mbak Windy menerima bibir ane dengan lembut dan melumatnya, kami akhirnya berciuman diruang tamu rumah orang tuanya dan hujan yang deras malah menambah sensasi hangat ketika kami berciuman.

Dalam hati ane berprasangka kalau ane akan buka ‘puasa’ malam ini, ane lalu mulai menjalankan tangan ane untuk menyentuh payudaranya yang sedari tadi membuat ane penasaran ingin meremasnya.

Tetapi mbak Windy yang sadar sama apa yang akan ane lakukan, menepis tangan ane dan parahnya ia pun melepaskan ciumannya pula.

“Hah… stop Ren… aku gak boleh khilaf… aduh.. kok gini ya..?”, ujarnya yang tersadar sama perbuatannya.

Tapi bukan ane namanya kalau tidak membujuk dan memaksa, dengan sedikit mendekatkan lagi bibir ane ke bibirnya ane mencoba untuk menciumnya sekali lagi tapi mbak Windy memalingkan mukanya, ane pun berusaha untuk mencupang lehernya.

“Reno.. udah.. stop.. stop.. Ren.. aku.. masih belum bisa Ren..”, ujarnya yang memohon untuk menghentikan cumbuan ane di lehernya.

Mungkin karena merasa kalau kata kata tidak akan membuat ane berhenti, mbak Windy lalu mendorong tubuh ane kebelakang dan…

Plaaaaaaaakkk…

Ane pun akhirnya tersadar karena tamparan keras dari mbak Windy yang membuat ane berkesimpulan kalau mbak Windy betul betul tidak ingin berbuat sejauh itu malam ini. Ane lalu duduk di bangku tempat ane duduk sebelumnya.

Suasana tiba tiba menjadi sangat awkward, tidak ada yang membuka suara, bahkan untuk sekedar nyeletuk omongan ringan pun tidak ada. Kami berdua terdiam berusaha mencari cara bagaimana suasananya kembali seperti semula.

“Maaf… mbak… aku… kelewatan…”, akhirnya ane yang membuka omongan dengan meminta maaf.

“A.. a.. aku juga Ren… kelepasan aku..”, balasnya sembari tertunduk.

Kami pun lalu terdiam kembali untuk beberapa saat sampai akhirnya mbak Windy mulai membuka omongan.

“Jujur… tadinya aku pengen ngelampiasin emosi aku malam ini… aku… tadi sempet mikir… kalo kamu terusin sampe ML… gak akan aku tolak…”, ujarnya membuka omongan yang membuat ane melihatnya dalam.

“Tapi.. tiba tiba aku sadar.. kalo aku ML sama kamu… apa bedanya aku sama si bajingan itu.. malah lebih parah.. aku gak mau disamain kayak dia Reno..”, lanjutnya yang membuat ane mengerti.

“Iya mbak.. aku.. minta maaf juga ya mbak..”, jawab ane yang hanya bisa meminta maaf.

Sejurus kemudian mbak Windy berdiri dari duduknya dan menuju belakang rumahnya, entah apa yang dicarinya. Ane hanya terduduk lemas di bangku, berpikir apakah tindakan ane barusan kelewatan atau tidak, kalau ane bercerita ke tante Puri kira kira solusi apa yang akan diberikannya ke ane?.

Mbak Windy pun kembali dengan membawa jas hujan yang sepertinya punya bapaknya dan memberikannya ke ane, ane langsung menangkap maksudnya yang mungkin ingin ‘mengusir’ ane dari rumahnya.

“Reno.. sorry banget ya.. tapi.. mending kamu pulang aja ya Ren.. aku takut..”, ujarnya sembari memberi jas hujan tersebut.

“Aku lagi ngurus cerai disini.. aku gak mau nodain hukum hukum perceraian..”, lanjutnya dan ane pun mengangguk mengerti.

Akhirnya ane pun memakai tas kemudian menutupi tas dan badan ane dengan jas hujan yang mbak Windy berikan lalu berjalan keluar rumahnya.

“Reno.. makasih yah udah nganter.. aku minta maaf ya sama kamu sekali lagi.. tapi lusa kalo jadi aku mau kok jadi guide kamu disini.. selama kita gak berduaan kayak tadi..”, ujarnya sambil tersenyum ketika sedang mengantarkan ane ke depan teras.

“Iya mbak.. aku juga minta maaf ya sama mbak udah kelewatan.. sip mbak, nanti lusa aku kabarin ya.. oh iya.. bawa aja laptop sekalian.. nanti aku bantuin kerjaan mbak.. paham juga aku kan sama kerjaannya bu Vivi..”, jawab ane dengan tenang yang membuat suasana diantara kami cair kembali.

“Iya.. tengkyu yah.. hati hati kamu Ren..”, balasnya sembari mengantar ane ke pintu gerbang dengan menggunakan payung.

Singkat cerita ane lalu balik ke kosan dan langsung ganti pakaian yang masih basah dengan baju tidur, lalu langsung menuju alam mimpi dan berharap kalau besok ane gak kesiangan.

Keesokan harinya ane sukses sampai di kantor sesuai rencana dan pak Dar pun sudah menunggu di mobil kantor yang sudah ada supirnya itu.

“Ayo pak.. kita langsung jalan..”, ujarnya yang ane jawab dengan anggukan.

Kami pun mulai berjalan menuju salah satu daerah yang lumayan jauh dari kota ‘S’, yang pak Dar bilang pun benar, hanya aspalnya yang bagus tapi sepanjang mata memandang hanya ada hamparan sawah, diselingi hutan, kemudian sawah lagi, sepenglihatan ane belum ada lampu jalanan, hanya di beberapa titik yang memang ada rumah warga disitu yang sudah ada lampu jalan tapi selebihnya hanya sawah dan hutan.

Begitu sampai disana, kami langsung disambut sama orang yang bertanggung jawab sama pabrik tersebut, dia dan keluarganya memang tinggal di daerah ini dan hanya sesekali ke kota ‘S’.

Ane pun melihat jam yang hampir menunjukkan makan siang, ane pun menyarankan untuk orang orang pabrik untuk istirahat makan siang dulu sebelum inspeksi yang ane dan pak Dar lakukan dan orang pabrik menyutujui usul ane dengan senang.

Inspeksi pun kami lakukan setelah makan siang, dan singkat cerita akhirnya inspeksi itu baru rampung sebelum jam makan malam.

“Ayo pak.. kita ke mess saja.. makan malam sudah disiapkan disana..”, ajak pak Dar dan ane pun menyetujui usulannya.

Kami pun sampai di mess, supir kantor tidur di bangunan terpisah dari mess, sedangkan ane dan pak Dar dapat jatah di rumah yang bentuknya seperti kontrakan itu hanya ada dua kamar di dalamnya.

Ane lalu menyuruh pak supir untuk gabung makan malam sama ane dan pak Dar, ane merasa kasihan kalau dia makan terpisah.

Kami lalu duduk di meja makan dan makanan pun dibawa masuk sama seorang perempuan muda yang kata pak Dar ditugaskan mengurus mess tempat kami menginap.

“Ini Ningsih pak.. dia dari kecil udah kerja disini..”, kata pak Dar dan disambut anggukan sama si yang punya nama.

“Dari kecil?”, tanya ane yang beranggapan kalau Ningsih bekerja disitu sedari dia betul betul anak kecil.

“Dari umur 17 tahun pak.. ndak mungkin toh kalo beneran cilik..”, jawab pak Dar yang membuat kami tertawa.

“Oh.. gitu.. jadi kamu udah kerja berapa lama disini Ningsih?”, tanya ane kepada Ningsih.

“Masuk tahun ke 7 pak.. pak Dar yang nyuruh aku kerja disini abis lulus SMA..”, jawabnya malu.

“Betah disini?”, tanya ane lagi yang heran karena biasanya anak seumuran dia kalau di kota besar pasti ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari sekedar menjaga mess karyawan.

“Betah pak.. ndak ribet kerja disini.. hanya mengurus rumah.. kan bapak bapak dari kota juga datangnya bisa sebulan atau dua bulan sekali.. gaji dapet perbulan.. jadi yo enak pak..”, jawabnya sambil tersenyum.

Ane hanya tersenyum mendengar jawaban Ningsih, betapa sederhana dan simple-nya pola pikirnya, tetapi itu sudah membuat dia betah dan bahagia tinggal dan kerja disini.

Ningsih pun pamit undur diri untuk menuju ke tempatnya, dia bilang akan balik lagi untuk memberesi piring piring bekas makan kami sekalian meja makannya.

Kami pun makan malam hanya bertiga disana, ane, pak Dar dan supir kantor, dan setelah makan malam selesai supir kantor pun undur diri menuju tempatnya untuk istirahat. Tiba tiba pak Dar berbisik ke ane.

“Sudah ndak ada orang kan..? saya panggil ‘mas’ yo..”, ijinnya dan ane pun mengangguk.

“Mas Reno.. pegel ndak badannya?”, tanyanya tiba tiba yang membuat ane kaget.

“Nggak terlalu sih pak.. kenapa?”, jawab ane dan berbalik nanya ke pak Dar.

“Yaa.. ndak papa sih.. cuman kalo mas Reno kiranya puegel.. tak suruh Ningsih mijetin.. apik mas pijetane..”, bisik pak Dar yang sepertinya menyimpan maksud.

“Ahh.. nggak usah pak.. saya mau langsung tidur saja.. monggo kalo pak Dar yang mau dipijat.. jangan malu malu..”, jawab ane dengan maksud memberikan pak Dar kebebasan di malam ini.

“Oh.. gitu toh.. yowess.. nanti aku saja kalo gitu yang dipijat sama Ningsih..”, ujarnya dengan ceria.

Ane lalu ijin masuk kamar dan berganti pakaian kemudian mematikan lampu, hape pun ane ambil untuk melihat melihat sosial media, tapi sialnya sinyal yang tidak begitu bagus disini membuat ane kesal sendiri. Akhirnya ane memutuskan untuk memejamkan mata.

Tidur ane pun tidak terlalu nyenyak sebetulnya, tidur sebentar kemudian terbangun lalu tidur lagi dan bangun lagi beberapa jam kemudian begitu seterusnya sampai kira kira jam 12 malam ane yang terbangun, mendengar suara desahan dari luar kamar, tepatnya dari arah ruang tamu mess karyawan ini.

Ane mengendap ngendap keluar kamar untuk mencari tahu sumber suara desahan itu berasal, lebih tepatnya ingin menangkap basah pak Dar dan Ningsih yang sedang enak enakan karena ane tahu alasan pak Dar berbisik tadi soal dipijat Ningsih sepertinya mengarah kesana.

Dan benar saja, begitu ane sampai di sumber suara itu berasal ane melihat pemandangan yang tidak asing buat ane, pak Dar yang tengah rebahan sedang ‘diulek’ sama Ningsih yang tengah berada diatasnya pak Dar.

Nampak tubuh mereka mengkilat, mungkin karena baluran minyak yang dipakai untuk pijat oleh Ningsih, ane amati gerakan tubuhnya Ningsih yang luar biasa cepat dan menggila, mungkin karena usianya yang masih muda, jadi permainannya pun lebih cepat dan beringas.

Sebetulnya, tubuhnya Ningsih ini sangat bagus dan padat, sayang ane tidak tertarik sama ‘anak kecil’, jadi setelah melihat dengan mata kepala sendiri ane pun merasa puas dan cekikikan dalam hati dan masuk kamar untuk mencoba melanjutkan tidur yang tentu saja susah karena suara desahan Ningsih makin lama makin keras ketika dia akan orgasme.

Tiba tiba ane jadi teringat sama bu Heni, terlebih di malam ketika ane menangkap basah bu Heni sedang bermasturbasi, pertanyaan tentang kenapa bu Heni bermasturbasi semakin menyeruak dan membuat ane penasaran.

Tidak ada masalah dengan pak Dar, dia bahkan masih bisa membuat wanita yang umurnya setengah dari umurnya keenakan sampai berteriak teriak, jadi apa alasannya bu Heni bermasturbasi di malam itu?.

Sampai sekitar pukul 2 malam ane terjaga tidak bisa memejamkan mata, suara desahan dan teriakan Ningsih berangsur angsur mulai hilang, pak Dar juga sepertinya sudah masuk ke kamarnya, entah sendiri atau berdua dengan Ningsih.

Akhirnya sekitar pukul 3 pagi baru ane bisa tidur, mungkin karena merasakan lelah seharian ini, akhirnya fisik ane pun menyerah dan menyuruh mata ane untuk terpejam.

Paginya sekitar pukul 6, ane dibangunkan pak Dar yang sudah bersiap siap menunggu diluar, tetapi ane merasa badan ane tidak mau diajak bekerja sama, mata ane berat badan pun terasa ngilu, ane lantas memegang dahi untuk memeriksa suhu tubuh dan benar saja suhu tubuh pun terasa panas.

Ane memaksakan untuk beranjak dari tempat tidur dan berganti pakaian, tidak ada keinginan sama sekali untuk mandi pagi ini. Sesaat kemudian setelah ane keluar kamar, pak Dar pun sudah menyambut ane dengan senyum sumringahnya seperti biasanya dan menyuruput kopinya.

“Pak.. mau kopi apa teh pak?”, tanyanya.

“Teh panas saja pak Dar..”, jawab ane dan kemudian dia pun menyuruh Ningsih menuangkan tehnya buat ane.

Teh yang panas itu ane hirup dan masuk langsung melalui kerongkongan tetapi anehnya lidah ane sama sekali tidak bisa mengecap rasa dari teh tersebut, ane langsung berkesimpulan kalau ane sedang sakit. Mungkin karena semalam kurang tidur dan ditambah malam sebelumnya ane kehujanan dan gak sempet mandi begitu sampai kosan.

“Pak Reno ndak enak badan yo..? pucet mukanya..”, tanya pak Dar yang melihat keadaan ane.

“Kayaknya nih pak.. kurang tidur kayaknya.. semalam ada yang teriak teriak jadi gak bisa tidur saya..”, jawab ane yang masih bisa meledek pak Dar.

Wajah pak Dar berubah pucat, Ningsih pun yang mendengar celetukan ane tertunduk malu dan pergi menuju belakang.

“Maksud pak Reno opo toh.. siapa yang teriak..?”, tanyanya dengan gugup.

“Haha.. udah bapak santai saja ya.. nggak marah kok saya.. maklum banget malah.. udah tenang.. gak bakalan bocor juga kok..”, jawab ane sembari tertawa padahal badan udah ngilu banget.

“Aduh.. saya jadi malu ini.. ketauan yo pak..?”, tanyanya dan ane jawab dengan anggukan.

Tidak berapa lama setelah sarapan ane langsung mengajak pak Dar untuk kembali lagi ke kota ‘S’, ane bener bener pengen istirahat di kosan supaya bisa segera sembuh dan pak Dar langsung mengangguk setuju dan menyuruh Ningsih untuk memberi tahu supir kantor untuk memanaskan mobil.

Diperjalanan ane teringat janji ane dengan mbak Windy, dan mengabarinya mengatakan dengan terpaksa kalau ane harus membatalkan janji ane karena ane sedang sakit. Tak disangka balasan pesan chat itu malah menyuruh ane memberikan alamat kosan dan mengabari kalau nanti siang sehabis menaruh berkas cerainya di pengadilan, dia langsung ke kosan ane.

Singkat cerita, kami sudah sampai lagi di kota ‘S’, ane meminta untuk diturunkan di kosan karena sudah tidak kuat kalau harus bawa motor lagi yang ane taruh di kantor.

Selepas itu, ane langsung masuk kamar dan tertidur di kasur dengan badan yang menggigil, sampai siangnya ane dikejutkan oleh suara budhe Lastri yang membangunkan ane dari luar kamar, yang memberi tahu kalau ada yang berkunjung ke kosan ane.

Dengan sekuat tenaga ane berusaha membuka pintu kamar kosan ane untuk bertemu dengan budhe Lastri, tadinya mbak Windy disuruh menunggu di ruang tamu, tapi melihat kondisi ane yang sedang sakit akhirnya mbak Windy diijinkan untuk masuk ke kamar ane dengan pintu terbuka supaya bisa di pantau.

“Sekali ini yo nak Reno.. ini kamu lagi sakit.. ndak tega aku ngeliat kamu.. inget tapi nak.. jangan macem macem kalian disini.. tak usir kamu sampai macem macem disini..”, ujarnya mengingatkan ane tentang peraturan kos dengan nada mengancam.

Ane dan mbak Windy pun mengangguk dan mengucapkan terima kasih ke budhe Lastri, dan sekejap budhe Lastri pun meninggalkan kami berdua saja di kosan yang kalau siang hari ini tidak ada penghuninya karena semuanya sedang bekerja.

Mbak Windy memegang dahi ane dan leher ane untuk memeriksa kondisi tubuh ane, dan menanyakan beberapa pertanyaan tentang apa yang ane rasakan. Setelah ane jawab, dia lalu mengeluarkan kotak makanan dari dalam kantong plastik yang ia bawa yang ternyata isinya bubur yang masih hangat.

“Bisa makan sendiri nggak..?”, tanya mbak Windy.

“Nggak nafsu mbak.. gak berasa apa apa mulut..”, jawab ane dengan lemas.

Akhirnya mbak Windy pun berinisiatif menyuapi ane untuk makan bubur yang dibawanya, ane menolak suapannya pertama karena nafsu makan ane bener bener tidak ada, tapi dia berserikeras kalau ane harus makan supaya bisa minum obat yang sudah dibawa juga olehnya.

Mulut ane pun terbuka untuk makan bubur yang ia bawa, karena ane berpikir mungkin kalau ane makan sesendok atau dua sendok lalu setelahnya minum obat, ane bisa sembuh besoknya dan langsung berangkat kerja.

“Makasih ya mbak.. ngerepotin banget nih..”, ucap ane setelah selesai makan dan minum obat.

“Iya nggak papa.. aku kan anak rantau dulu.. jadi tau kalo hidup sendirian di kosan pas lagi sakit itu gak enak.. makanya mumpung aku lagi disini.. ya aku jengukin.. anak kota kayak kamu pasti berat kena kondisi kayak begini..”, jawabnya dan ane pun mengangguk mendengarnya.

“Trus mbak kapan lagi nih.. bisa pulkam? Besok mbak udah harus balik kan ke ibu kota..”, tanya ane.

“Bulan depan aku kesini lagi kok sama bu Vivi.. buat kunjungan ke cabang aja sih kayaknya.. tapi.. aku pengen minta stay disini lebih lama nanti.. soalnya ada sidang ceraiku bulan depan..”, jawabnya yang membuat ane melihat mbak Windy dengan seksama.

“Kalo gitu.. mbak juga harus cerita sama bu Vivi soal situasi mbak.. kalo mbak gak cerita bu Vivi gak bakal paham sama situasi mbak juga yang lagi seperti ini..”, usul ane ke mbak Windy.

Mbak Windy terdiam mendengar usulan ane, buat dia menceritakan masalah seperti ini ke orang kantor merupakan hal yang sangat tabu, tetapi tidak lama dia pun mengangguk menyetujui usulan ane.

“Iya yah.. kayaknya emang harus cerita sama bu Vivi.. kalo nggak.. aku gak bakalan dikasih ijin lagi sama dia..”, ujarnya yang setuju dengan usulan ane.

Dan tidak beberapa lama mbak Windy akhirnya mohon pamit sama ane, tidak lupa mengucapkan supaya ane cepat sembuh, ane pun membalas supaya dia hati hati selama di perjalanan balik ke ibu kota, dan berjanji akan menemuinya bulan depan ketika dia balik lagi ke kota ‘S’.

Dia pun bangkit dan keluar dari kamar ane tidak lupa menutup pintunya untuk membiarkan ane beristirahat. Ane pun mendengar mbak Windy mengucapkan terima kasih ke budhe Lastri ketika bertemu diluar dan ijin pamit ke budhe Lastri.

“Pacarmu..?”, tegur budhe Lastri yang membuka pintu kamar ane yang membuat ane terkejut karena ingin tidur setelah minum obat.

“Bukan budhe.. temen kantorku dulu waktu di ibu kota.. orang sini ternyata.. yah.. jengukin aja kok..”, jawab ane.

“Ohh gitu.. perhatian banget.. yowes kamu istirahat saja nak Reno.. ini pintunya tak tutup lagi..”, balasnya sembari menutup pintu yang membuat ane heran.

Beruntung obat yang diberikan mbak Windy ke ane sangat mujarab, ane pun tertidur dengan lelap sembari badan ane mengeluarkan keringat yang menandakan kalau racun racunnya sedang terbuang bersama keringat, dan terbangun ketika pas sebelum meja makan di benahi budhe Lastri.

Esok harinya ane sudah sangat segar dan berenergi, sedari pagi ane sudah bangun dan siap siap berangkat kerja, setelah menanyakan ke penghuni kos angkot nomor berapa yang harus ane naiki untuk menuju kantor, ane pun langsung bergegas menuju kantor dengan semangat dan kembali memulai hari hari ane seperti biasanya.

Sampai sekitar dua minggu kemudian, di pagi yang sedang tenang di kantor, ane yang seperti biasa sedang mengerjakan pekerjaan kantor tiba tiba di kagetkan pak Dar yang nampak sangat panik.

“Pak.. ada masalah pak di pabrik..”, ujarnya dengan panik.

“Ada apa toh pak..? bikin kaget aja nih..”, jawab ane.

Pak Dar lalu memberikan ane laporan yang ia dapatkan, yang setelah ane liat dengan seksama memang betul ada sedikit masalah disana dan harus diselesaikan langsung di pabrik. Kami lalu bergegas menuju ruangan kepala cabang, untuk menanyakan apa yang harus dilakukan di situasi seperti ini.

“Balik lagi ke pabrik.. gak usah berdua.. salah satu saja dari kalian yang balik lagi kesana.. tinggal di bandingkan sama data disana terus diralat.. jadi gak perlu rame rame lah..”, kata kepala cabang.

Ane dan pak Dar pun keluar dari ruangan kepala cabang untuk berdiskusi siapa yang akan pergi ke pabrik, karena siapa pun yang akan pergi kesana bisa dipastikan salah satu dari kami harus menginap dan pulang besok pagi.

Sebetulnya ane lebih condong untuk pergi ke pabrik, karena selain ane atasannya pak Dar, di kehidupan pribadi pun ane masih belum berkeluarga jadi seharusnya tidak ada masalah kalau harus menginap di daerah, tetapi karena ane sedang ada yang dikerjakan dan tidak bisa digantikan mau tidak mau ane mengutus pak Dar yang pergi kesana dan untungnya pak Dar menyanggupi permintaan ane.

“Sekalian.. bisa ketemu Ningsih pak..”, bisik ane sembari bergurau sama pak Dar.

“Ojo kenceng kenceng mas.. tapi yo.. okelah.. lumayan bisa minta ‘pijetin’ lagi malem.. tumben nih.. sebulan dua kali.. sueneng saya mas..”, jawabnya sambil terkekeh.

Pak Dar pun langsung terbirit birit mengambil tasnya dan pergi dari kantor berdua saja dengan supir kantor, sementara ane kembali mengerjakan pekerjaan ane.

Tapi tidak beberapa lama, ane mencari cari laporan yang harusnya sudah ada di meja ane dari kemarin tapi tidak bisa ane temukan. Ane langsung menelpon pak Dar yang telah berangkat untuk menanyakan laporan yang seharusnya sudah dia letakkan.

Dia pun bilang mungkin ada di mejanya, dan dengan segera ane langsung mencari cari di mejanya dan tidak menemukan apapun disana. Pak Dar kemudian ane hubungi lagi karena tidak menemukan apapun di mejanya.

“Waduh pak.. maaf sekali pak.. belum saya print_yo.. ini_flashdisk-nya juga kebawa sama saya.. maaf sekali pak Reno..”, ujarnya meminta maaf.

“_Back up_gak ada pak? Saya butuh sekali hari ini.. piye pak..?”, tanya ane yang sudah mulai panik.

“Ada di komputer rumah.. waktu itu saya kerjakan disana pak.. mungkin masih ada..”, jawabnya yang membuat ane tenang.

“Yowes pak.. ibu bisa dimintain tolong anterin nggak ya?”, tanya ane lagi.

“Ibu mah orang kuno pak.. ndak paham dia buka buka komputer.. piye trus iki pak?”, jawabnya dengan bingung pula.

“Ya udah.. saya saja yang ambil kerumah bapak.. ada ibu toh pak dirumah?”, tanya ane mengusulkan kalau ane yang akan mengambil datanya dari rumahnya pak Dar.

“Ada.. ada kok pak.. nanti biar tak kabari si ibu kalo bapak mau kerumah.. muaaf bener yo pak.. saya lupa.. sampe lupa kasih fd juga ke bapak..”, jawab pak Dar sembari meminta maaf lagi karena kealpaannya.

“Makanya toh pak.. jangan Ningsih terus yang dipikirin.. ya udah nggak papa pak Dar.. nanti jam makan siang saya ambil..”, balas ane sembari berbisik untuk meledek pak Dar.

“Ahh.. pak Reno ini.. bisa saja.. sekalinya ketauan diledek terus saya..”, jawabnya.

Telpon pun ane tutup dan ane mengerjakan yang lain sembari menunggu jam istirahat makan siang tiba yang terasa lama sekali karena ane betul betul ingin mengerjakan pekerjaan ane dari pada harus ane kerjakan besok besok.

Begitu jam makan siang tiba, ane langsung berlari menuju parkiran motor dan langsung tancap gas menuju rumahnya pak Dar, sebelumnya pak Dar juga sudah memberi tahu kalau bu Heni ada dirumah sekitar jam 12, karena paginya mau mengikuti pengajian rutin yang biasa diadakan di daerah rumahnya.

Tidak lama kemudian ane sudah sampai di depan rumahnya pak Dar, ane langsung membuka gerbang rumahnya seperti yang biasa ane lakukan kalau berkunjung kerumahnya di hari minggu dan langsung mengetuk ngetuk pintunya.

Bu Heni pun menyaut ketukan ane dari dalam dan langsung membuka pintu depan rumahnya.

“Assalamualaikum bu Heni..”, ucap ane memberi salam ketika pintu dibuka oleh bu Heni.

“Walaikum salam mas Reno.. aku udah dikabari sama bapak.. ayo mas masuk dulu..”, jawab ane sembari mempersilahkan ane masuk.

“Silahkan mas kalau mau langsung.. itu komputernya di situ..”, ujarnya sembari menunjuk pojok ruangan yang terdapat meja kerja dan komputer pak Dar.

Ane lalu permisi untuk langsung menyalakan komputer dan menunggu komputer_booting_yang terasa sangat lama dikarenakan begitu ane masuk ke_windows_banyak_start up_bermunculan.

Hape dan fd pun ane keluarkan untuk memindahkan data, tapi ane terdiam ketika melihat ada printer tercolok disana, ane lalu mengecek tinta printer yang ternyata masih penuh dan memutuskan untuk langsung mencetak ditempat supaya menghemat waktu.

Ane melihat chat pak Dar sebelumnya yang menunjukkan dimana ia taruh file kerjaannya tapi sialnya karena terburu buru, ane salah masuk folder dan malah menemukan folder pak Dar yang berisikan foto foto mesumnya bersama Ningsih yang membuat ane mengernyitkan dahi.

Ternyata kejadian waktu ane mengintip pak Dar sedang ‘dipijat’ bukanlah yang pertama kali ia lakukan bersama Ningsih, dilihat dari tanggal tanggal di foto foto tersebut, kegiatan pijat memijat itu sudah ia lakukan selama beberapa tahun kebelakang.

Folder mesum itu langsung ane tutup sembari menggeleng mengetahui kelakuan pak Dar sebenarnya dan melihat hape ane lagi dimana dia menyimpan file file kerjaannya.

Ane lalu menemukan satu file yang sepertinya merupakan laporan yang ane cari, lalu ane buka dan melihat dengan seksama isi dari laporan itu, ane tidak mau sudah capek ke rumah pak Dar malah mencetak laporan yang salah.

“Mas Reno.. masih lama ndak disini..?”, tanya bu Heni menegur ane yang membuat ane sedikit kaget.

“Lumayan bu.. mau sekalian nge-print.. boleh yah bu..?”, tanya ane meminta ijin.

“Yo ndak papa.. aku ndak paham urusan begituan.. anu mas.. kalo mas Reno masih lama.. ibu mau masakin buat mas Reno.. mas Reno belum makan siang toh?”, tanya bu Heni.

“Nggak usah bu.. ngerepotin.. nanti saya makan aja di kantor..”, jawab ane sopan.

“Halah.. udah ndak papa.. kayak sama siapa saja.. bentar ya mas.. tak masaki dulu..”, ujarnya sembari melenggang ke dapur dengan baju gamis yang sepertinya belum ia ganti sehabis pulang pengajian.

Ane membaca file itu dari atas sampai bawah dengan teliti, bunyi suara sodet bertemu dengan permukaan wajan pun sudah mulai terdengar dari arah dapur dan tidak lama wangi makanan mulai menusuk hidung ane yang membuat perut ane berbunyi karena memang ane belum makan.

Setelah yakin kalau itu adalah file yang ane cari, ane langsung mencari kertas kosong untuk ane masukkan ke printer dan mencetaknya.

“Ayo sini mas.. makan dulu nih.. sudah matang..”, ujar bu Heni sembari meletakkan masakannya di meja makan.

Ane langsung menghampiri meja makan, bu Heni lalu memberikan ane piring untuk ane isi dengan nasi dan lauk pauk yang masih hangat itu.

“Ibu tinggal dulu yo.. gerah nih mas Reno.. belum ganti.. makan yang banyak mas Reno..”, lanjutnya lalu masuk ke kamarnya.

Singkat cerita setelah selesai makan dan minum ane mengecek prinan yang ternyata berhenti karena membutuhkan tambahkan kertas yang ane langsung masukkan lagi kesana. Tiba tiba ane ingin buang air kecil dan langsung menuju kamar mandi tapi kali ini ane berhati hati karena tidak ingin mengulang kejadian yang sama seperti waktu itu.

Pintu kamar mandi pun ane ketuk pelan sembari memanggil bu Heni untuk meyakinkan ane kalau tidak ada orang di dalam sana, tapi ketika ane mengetuk dan memanggil nama bu Heni ternyata dia keluar dari kamarnya yang tidak jauh dari situ.

“Ono opo mas Reno..?”, tanyanya begitu keluar dari kamar tidurnya.

“Oh nggak bu.. saya mau ke kamar mandi.. mau mastiin.. biar gak kejadian lagi..”, jawab ane berusaha sopan tapi sepertinya jawaban ane malah membuat bu Heni salah tingkah.

“I.. i.. iyo mas.. silahkan..”, jawabnya dengan gugup karena teringat kejadian memalukan bagi dirinya.

Pintu kamar mandi ane buka dan ane langsung menyelesaikan urusan ane disana, setelah itu ane keluar dan bu Heni sudah menunggu duduk di sofa ruang keluarga dengan menggunakan daster plus jilbab untuk dirumah.

“We.. we.. wess.. mangannya mas..? itu tadi ibu.. sudah buatin teh juga..”, ucapnya dengan gugup sembari menawarkan teh hangat yang ternyata sudah ada di meja di depan sofa dari tadi tapi ane tidak sadar dengan keberadaannya.

“Udah bu.. enak banget..”, jawab ane yang berusaha memuji masakannya supaya suasananya kembali cair dan bu Heni hanya mengangguk.

Ane lalu duduk di sofa yang sama sembari meminum teh buatannya, kami berdua terdiam tanpa suara, ane juga sadar kalau ane salah bicara tadi ketika waktu mau ijin ke kamar mandi, akhirnya ane beranikan untuk meminta maaf.

“Bu.. maaf ya.. saya tadi salah ngomong yah sama ibu.. nggak maksud ngingetin ibu atau meledek ibu.. saya bener bener takut gara gara kesembronoan saya main nyelonong..”, kata ane membuka obrolan.

“Iyo tapi mas Reno katanya sudah melupakan kejadian waktu itu.. aku.. jadi keingetan.. kan aku malu mas..”, jawabnya.

“bu Heni.. nggak usah malu.. kan tidak sengaja bu..”, kata ane yang ingin membuat bu Heni menganggap kejadian itu merupakan hal yang biasa.

“Tapi yo gimana.. moso mas Reno yang laki laki dewasa.. ndak ada hubungan darah sama aku.. memergoki aku sedang tidak senonoh.. kan isin toh mas..?”, jawabnya yang membuat ane berpikir keras bagaimana menjawab pertanyaannya.

“Ya.. iya sih bu.. tapi kalo buat saya sih.. udah biasa bu melihat yang seperti itu..”, akhirnya ane menjawab seadanya karena sudah mentok.

Bu Heni terdiam melihat ane, persis ketika dia mendengar hal yang sama terakhir kali waktu ane menginap dirumahnya.

“Maksudnya.. opo.. toh mas Reno..? dari yang waktu itu.. ibu ndak paham sama maksud mas Reno..”, tanyanya penasaran.

Akhirnya ane menceritakan sedikit pengalaman ane di ibu kota dengan wanita seumuran dirinya, hanya sedikit tidak sampai detail dan tidak menyebutkan siapa siapa saja yang terlibat.

Bu Heni tercengang mendengar cerita ane, sepertinya cerita ini memang terlalu berlebihan buat dia. Dia berusaha mengumpulkan rasa terkejutnya, tetapi tampak di wajahnya kalau sebetulnya dia ingin menanyakan perihal ini lebih lanjut.

“Mas Reno.. sukanya yang tua? Opo enaknya toh mas..?”, tanyanya yang membuat ane tersenyum.

“Beda aja bu.. lebih gimana gitu rasanya..”, jawab ane sambil terkekeh yang akhirnya membuat bu Heni tersenyum.

“Hoalaahh.. ndak nyangka aku.. mas Reno.. aneh sekali seleranya..”, jawabnya sambil terkekeh.

“Eh.. tapi.. aku jadi tambah malu toh mas.. kalau.. seleranya mas Reno sama yang tua.. aduh.. maaf.. jadi kepedean aku.. belum tentu aku seleranya mas Reno yo..?”, lanjutnya sambil tersipu.

Mendengar dan melihat ekspresi wajahnya ane berasa ditampar angin topan, bukan angin segar lagi. Betul apa yang tante Puri bilang, bu Heni sudah 95% akan mau, sisa 5% dimana itu adalah keputusan ane untuk bertukar lendir dengan bu Heni atau tidak.

Dan setelah menimbang nimbang dengan seksama, berdasarkan fakta fakta yang ane tahu kalau pak Dar juga bermain diluar, ane akhirnya memutuskan kalau ane harus buka ‘puasa’ hari ini dengan bu Heni.

“Iyo yo.. siapa juga toh yang mau sama perempuan seumuran aku? Ndak usah orang lain.. suami sendiri saja sudah ndak kepengen sama aku..”, lanjutnya yang membuat ane sepertinya mengerti alasan dia bermasturbasi.

“Siapa bilang bu?”, tanya ane singkat menjawab ucapannya.

Bu Heni memperhatikan muka ane dalam dalam seperti ingin menegaskan apa yang ia dengar barusan.

“Ibu ini ayu kok.. masih cantik.. masih muda lagi bu Heni ini.. saya aja mau sama ibu..”, lanjut ane menggoda bu Heni.

“Aduh.. mas Reno ngomongnya.. moso toh mas? Ah pasti mas Reno cuman mau meledek ibu deh..”, jawabnya masih tidak percaya padahal ane sudah berbusa menggombal.

Akhirnya capek menggombal terus, ane menunjukkan keyakinan ane dengan menghampiri wajahnya untuk mencium bibirnya, bu Heni terkejut dengan apa yang ane lakukan karena ane langsung melumat bibirnya dengan ganas.

“Aduh.. mas Reno… hemmmppf.. sabar mas… hemmppf..”, ucapnya begitu ane melumat bibirnya.

Ane yang sudah ingin ‘berbuka’ tidak mempedulikan ocehannya dan langsung meraba raba tubuh bu Heni dari luar daster.

Lambat laun ciuman ane pun mulai diterimanya dan membalasnya dengan ganas, bu Heni sepertinya sudah sangat haus sekali ingin disentuh laki laki, mungkin pak Dar sudah lama tidak memberikan kenikmatan kepada istrinya ini.

“Mas Reno.. sabar toh mas.. aku sampe kaget..”, ucapnya ketika melepaskan ciuman ane dan ane hanya tersenyum mendengarnya.

“Ibu.. sudah lama yah.. nggak disentuh..? langsung galak juga.. ”, tanya ane dan bu Heni pun mengangguk.

“7 tahun mas bapak ndak pernah nyentuh aku lagi.. ndak paham aku juga.. aku yo mikirnya umur bapak yang sudah lanjut.. jadi malas dia ngelonin aku..”, jawabnya.

Ane terdiam mendengar jawaban bu Heni, sekitar 7 tahun yang lalu adalah saat dimana Ningsih mulai bekerja menjadi pengurus mess karyawaan di daerah. Pak Dar melupakan kewajibannya meladangi istrinya yang bisa ia lakukan setiap hari hanya demi melampiaskannya ke perempuan yang walaupun memang lebih muda tetapi mungkin hanya bisa ia lakukan sebulan atau dua bulan sekali.

“Kalo gitu.. biar saya ya bu.. yang ngelonin ibu..?”, tanya ane sembari menciumi bibirnya bu Heni.

“Tapi mas Reno.. aku ndak berani.. dosa mas.. selingkuh itu namanya.. ibu ndak sampai hati khianatin bapak..”, jawabnya yang membuat ane setengah kecewa.

Ingin rasanya ane membongkar kelakuan suaminya karena mendengar jawaban bu Heni, tapi ane tidak tega untuk melakukan hal itu, lagi pula tidak gentle juga menurut ane cara seperti itu.

“Nggak selingkuh kok bu.. kan saya cuma pengen bikin ibu lega.. udah lama kan gak lega..? masalah dosa.. kita udah ciuman begini juga dosanya sama bu.. nanggung toh bu..? enakan berhenti disini apa dituntasin aja..?”, tanya sembari menggodanya dengan memberikan pilihan.

Dan reaksi yang ditunjukkan bu Heni persis seperti yang ane harapkan, ia bimbang dan ragu mengambil keputusan antara melampiaskan nafsunya yang sudah tidak pernah tersalurkan selama 7 tahun atau memegang teguh prinsipnya sebagai istri terhadap suaminya.

Ane lalu berinisiatif mengetahui jawabannya dengan mencium bibirnya kembali, kalau ditolak berarti dia lebih memilih prinsipnya sebagai istri, tapi kalau diterima, bu Heni memang sudah betul betul ingin melampiaskan hasratnya.

Mungkin Tuhan ingin membuat situasi rumah tangga pak Dar dan bu Heni menjadi impas, karena jawaban yang ane terima adalah dia menerima dan membalas ciuman ane dengan sangat bernafsu. Ane pun kini sudah tidak segan segan melumat bibirnya sembari sesekali menyedot bibirnya dan mengadu lidah kami berdua di dalam.

Sembari berciuman di sofa ruang keluarga, tangan ane mulai menjamah kembali tubuhnya bu Heni yang sangat indah itu dari luar, dan langsung meremas payudaranya yang ternyata tidak menggunakan BH tanpa sungkan.

Mulut ane pun bersembunyi dibalik jilbab siap pakainya itu untuk mencumbu dan menjilati lehernya untuk menambah rangsangan yang ane berikan ke bu Heni.

“Ahhh.. mas.. Reno.. ini.. bernafsu sekali… sama ibu… seneng.. aku.. hemmm.. ssshh..”, ucapnya.

Tangan ane yang sedang meremas payudaranya merasakan kalau puting susunya bu Heni sudah mengeras dan menonjol dari dalam, tidak ane sia siakan kesempatan ini dengan langsung memutar mutar putingnya.

Tubuh bu Heni pun ane tarik untuk ane dekap, tangan yang tadi memainkan putingnya ane turunkan ke bawah untuk menggoda memeknya dari luar, sedangkan tangan satunya memainkan putingnya sembari mendekap bu Heni.

Ane merasakan kalau tangan ane menyentuh gundukan yang seperti menyerupai rambut dari luar daster, bu Heni tidak menggunakan apa apa di balik dasternya, tubuh padatnya itu hanya ditutupi daster semata.

Bu Heni hanya pasrah menerima apa yang ane lakukan ke dia, dia betul betul ingin menikmati apa yang ane berikan tanpa rasa ingin melawan, ane pun tidak berkeberatan dengan hal ini tentunya.

“Aaaahh.. ma.. ma.. ssiiih.. lama ndak maaasss..? hmmm.. ssshh.. sudah ndak tahaaaann..”, desahnya yang membuat ane berhenti untuk sedikit menggodanya.

“Bener ibu udah nggak tahan..?”, tanya ane yang ia jawab dengan anggukan dengan wajah yang memerah.

“Katanya dosa bu..?”, pancing ane lagi dengan jahil.

“I.. i.. yoo.. tapi.. sudah terlanjur.. aku.. pengen dienakin sama mas Reno.. ayo dong mas.. dimasukkin burungnya..”, jawabnya dengan suara mulai merengek.

“Sabar ya bu.. pokoknya ibu diem aja.. nanti ibu keenakan.. janji..”, kata ane dan bu Heni pun mengangguk mendengar ucapan ane.

“Janji yo mas aku bakal keenakan..?”, tanyanya dengan penuh harap dan ane pun tersenyum mengangguk mendengar pertanyaannya.

Tangan yang dibawah mulai membelai belai pahanya sembari menarik kain daster dari bawah dan mengangkatnya sampe setinggi perut sehingga terlihatlah rambut kemaluannya bu Heni yang lebat meskipun tidak selebat seingat ane.

“Dicukur ya bu..? kayaknya terakhir lebih rimbun..”, celetuk ane sembari mencium bibirnya.

“Iyo mas.. kemarin sudah lama ndak cukur..”, jawabnya singkat kemudian melumat bibir ane lagi.

Sembari berciuman jari ane pun mulai ane masukkan ke lubangnya bu Heni yang bahkan menggunakan jari, ane bener bener merasakan betapa sempit lubang senggamanya bu Heni karena sudah lama tidak disinggahi pak Dar.

“Aduh maaass.. oouuhh.. ahhh.. ueenaaak masss..”, desahnya begitu jari ane masuk memeknya yang dibarengi dengan gerakan tubuhnya yang bereaksi.

Dasternya yang terangkat seperut itu ane angkat lebih tinggi supaya ane bisa menyusu di payudaranya yang kenyal itu, bu Heni yang tahu kalau ane ingin menyusu segera mengangkat dasternya untuk dilepasnya dan tubuh bu Heni pun sudah benar benar bugil di depan ane dan hanya menyisakan jilbabnya saja.

Mulut ane langsung menyusu di payudaranya dengan cepat, tubuhnya bereaksi lagi bersamaan dengan datangnya hisapan dari ane. Jari yang tercolok dibawah pun mulai ane gerakkan maju mundur.

Tubuhnya bu Heni langsung merespon gerakan dan hisapan ane, dia hanya bisa mendesah, mulutnya menganga, matanya menutup, bu Heni benar benar sedang menikmati permainan ane di tubuhnya.

“Ouuuhh.. ueenaaakk maaasss.. aaahhhh.. ayoooo.. terus mas Renoooo.. ibu.. sebentar lagi nih..”, ujar bu Heni yang mulai meracau.

Ane mengeluarkan jari ane dari dalam memeknya, dan berpindah dengan memainkan klitorisnya dan menggosoknya dengan cepat. Tubuhnya bu Heni pun mulai bergerak tidak beraturan kesana kemari.

“Aduh.. mas.. aku.. ndak tahan nih.. aaaahhh.. keluar kayaknya maaasss.. ooouuuuhhh..”, desahnya dan tidak beberapa keluarlah air dari dalam memeknya bu Heni.

Seeerrrr… seeerrrr..

“Aaaaahhhh.. uenaaaakkk.. aduuuuhh.. aaaaaakkhhh… aaaaaaahhh..”, desah bu Heni ketika orgasme dengan mengangkat pinggulnya yang membuat cairan maninya menetes jatuh ke lantai.

Dan setelah cairan yang keluar itu habis, bu Heni pun kembali terduduk lemas di sofa dengan nafas yang tersengal.

“Enak nggak bu..?”, tanya ane sembari menciumi tubuhnya bu Heni.

“Uenak mas Reno.. ayo dong.. sekarang burungnya dimasukin.. ibu sudah ndak tahan..”, jawabnya dengan kembali merengek.

Ane tersenyum mendengar permintaannya, benar benar manja bu Heni ini seperti yang pak Dar katakan, ketika permintaannya tidak dipenuhi maka ia pun akan merengek dengan memelas.

Tapi ane tidak akan langsung memenuhi permintaannya, wanita seperti bu Heni ini akan lebih menyenangkan kalau mendengar rengekannya terus menerus meminta untuk dipenetrasi.

Maka mulut ane pun langsung turun dari putingnya perlahan menuju selangkangannya dan mulai menciumi bagian kemaluannya.

“Aahhh.. mas Reno.. mau.. diapain lagi toh.. mas Reno ndak mau masukin burungnya yo..?”, lagi lagi bu Heni merengek.

“Nanti ya ibu.. sabar.. biar enak..”, balas ane singkat.

Badan ane pun sudah turun berjongkok di lantai dengan kepala ane tepat berada di depan kemaluannya yang sudah siap ane lahap dan lumat itu. Dan tanpa aba aba terlebih dulu ane langsung menjilati dan melumat memeknya bu Heni yang tentu saja membuat tubuhnya merespon keenakan.

“Waauuhhh.. a.. a.. apaaa ini maaaasss..? pake.. mulut toh maaaasss… a.. a.. da.. ada saja mas Renooo.. aaaaahhhh..”, begitu ucapnya ketika ane mulai melancarkan mulut ane dibawah sana.

Ane terheran dengan racauannya bu Heni, pak Dar tidak pernah mengoral istrinya sendiri?, sungguh sangat disayangkan, apa jangan jangan pak Dar ini tipe yang ingin dipuasi tapi tidak pernah memuasi pasangannya?, begitu kata ane dalam hati.

Tapi ane tidak ambil pusing dulu, tujuan ane sekarang hanya ingin ‘bukber’ sama bu Heni, kami berdua sudah ingin melampiaskan nafsu birahi dan syahwat yang tertahan beberapa waktu, terlebih bu Heni yang tertahan dalam waktu yang sangat lama.

Ane mengangkat pahanya bu Heni dan mengalungkannya di sekitar kepala ane, supaya mulut ane juga lebih leluasa bergerak di daerah sensitifnya itu. Dan jilatan pun ane lakukan dengan sangat bernafsu di memeknya bu Heni yang membuatnya meronta keenakan.

“Aaaaaahhh… uenak maaasss.. nikmaaaaatt.. ini enaaaaaaakk.. ibu suka diginiiiiinn.. oooouuuuuwwwhhh..”, teriaknya sambil menjepit kepala ane dengan pahanya.

Lumatan dan jilatan ane makin lama makin cepat dan beringas, gerakan tubuhnya bu Heni pun makin menjadi jadi, badannya bergerak kesana kemari lagi, jepitan pahanya mulai kencang di kepala ane yang membuat ane susah bernafas sebenarnya.

“Aduuuhh maaaassss… piyeee ikiiii… ibuuuu.. ndak tahan lagi.. mau pipiiiisss lagi.. maaasss.. aaaaaahhh..”, teriaknya yang berarti dia akan orgasme lagi.

Mendengar teriakannya ane malah memutar mutar puting susunya sembari terus menjilat, menghisap dan memainkan lidah ane di klitorisnya bu Heni. Dan tidak berapa lama tubuhnya mengejang kebelakang sembari pahanya menjepit kepala ane dengan kencang.

Seeerrrr… seeerrrr..

“Ouuuuuuwww… maaaaasss.. keluaaaaaar… duuuhh.. aaaaaahhh.. pipisnya banyaaaaakk.. lega ibuuuuuu.. aaaaaahhh..”, desahnya begitu bu Heni mendapatkan orgasmenya.

Cairan dari kemaluannya bu Heni pun mulai keluar lumayan banyak, dan langsung melumat habis cairan yang keluar itu tanpa sisa, betul betul sampai habis.

Kepala ane pun akhirnya bisa terlepas dari cengkraman pahanya bu Heni setelah tubuhnya melemas akibat orgasmenya. Ane langsung menciumi perutnya dan naik untuk menyusu sebentar.

“Wahh.. mas Reno ini jorok.. moso pipisnya diminum toh mas.. iihh.. ndak jijik opo..?”, celetuknya yang heran karena kelakuan ane.

“Nggak papa bu.. enak kok.. suka aku..”, jawab ane sambil tersenyum.

Bu Heni terheran heran mendengar jawaban ane, dia masih bingung tapi dia juga tidak mempertanyakannya lebih lanjut. Cukup buat dia sepertinya sudah bisa merasakan nikmat yang luar biasa walaupun itu membuat dia heran.

Ada sesuatu yang kurang yang akhirnya ane ingat, sedari tadi bu Heni sama sekali tidak memegang bahkan menyentuh batang ane yang sudah sangat mengeras dan membuat celana kerja ane menjadi sempit.

“Bu.. mau burungnya nggak..?”, tanya ane.

“Yo.. mau toh mas.. moso gitu aja ditanyakan..”, jawab bu Heni dengan polos.

“Kok nggak dipegang bu dari tadi..? katanya mau..”, balas ane sedikit menggoda.

“Mas Reno ndak membuka celananya dari tadi.. aku ndak enak..”, jawabnya sambil tersipu.

Ane tersenyum mendengar jawabannya, ane lalu berdiri di depan bu Heni yang masih terkulai lemas di sofa.

“Monggo bu.. jangan malu malu.. dibuka aja kalo ibu bener bener mau..”, kata ane.

“Ahhh.. mas Reno meledek terus toh.. ndak sopan mas..”, jawabnya yang membuat ane bingung sebetulnya.

“Ya udah.. saya buka bajunya.. ibu buka celananya.. gimana?”, tanya ane dan bu Heni akhirnya mengangguk setuju.

Dibukanya ikat pinggang ane dengan pelan, setelah itu kancing celana pun ia buka lalu diturunkanlah celana ane yang terdapat boxer di dalamnya dengan batang ane yang sudah mengeras pula dari balik boxer.

“Mas Reno.. gede ya mas burungnya..? ini sampe nonjol begini..”, tanyanya dengan suara sedikit takut.

“Nggak tau bu gede apa nggaknya.. coba ibu liat sendiri.. takutnya kalo saya jawab, saya disangka bohong sama ibu..”, jawab ane sambil tersenyum nakal.

Dengan wajah sedikit khawatir bercampur penasaran, bu Heni pelan pelan membuka boxer ane untuk diturunkannya, dan seperti biasa setiap kali ada wanita yang baru melihat batang ane pasti reaksinya akan sangat memuaskan untuk ane.

“Waduh mas.. iki opo mas..? guede banget burungnya mas.. besarnya…”, ujarnya yang membuat ane terkekeh mendengarnya.

Bu Heni coba memegang batang ane, tatapannya penuh nafsu tapi ada keraguan sepertinya dibalik nafsunya.

“Kenapa bu.. kok ragu?”, tanya ane.

“Ndak mas.. ibu.. takut gak muat masuk mulut atau tempik mas.. tebel soalnya..”, jawabnya.

“Dicoba saja dulu masuk mulut pelan pelan bu..”, usul ane dan ia pun mengangguk.

Bu Heni mencoba membuka mulut mungilnya untuk menerima batang ane, tapi nampaknya susah buat bu Heni bisa menghisap dan mengulum batang ane dengan mulutnya. Akhirnya dia mencoba dengan menjulurkan lidahnya terlebih dulu untuk membasahi batang kontol ane.

“.. Wah.. enak bu..”, ucap ane ketika lidahnya bu Heni mendarat di batang ane.

Melihat ane yang keenakan sepertinya memberikan bu Heni keyakinan untuk mencoba melahap batang ane yang sudah sangat keras itu. Secara perlahan dengan menjilat merata ke semua bagian batang ane, lama lama dia mulai berani untuk memasukkan batang ane ke dalam mulutnya.

Ane merasakan sensasi hangat dari mulut mungilnya bu Heni di kepala batang kontol ane, yang ternyata tidak bisa di kulum sampai pangkal batangnya hanya sampai setengah saja mulutnya berhasil menampung.

Lalu dengan cepat bu Heni mulai menaik turunkan kepalanya, sembari tangannya bermain di batang dan buah zakar ane. Mata ane hanya bisa terpejam diperlakukan seperti itu sama bu Heni.

“Terus bu.. enak..”, hanya itu yang bisa ane katakan ketika di hisap sama bu Heni.

2 bulan tidak menyetubuhi perempuan membuat ane ingin cepat keluar walaupun hanya mendapat oral service. Akhirnya ane memutuskan untuk mempenetrasi bu Heni sekarang juga.

Ane menyuruh bu Heni untuk kembali rebahan di sofa dan melebarkan pahanya supaya ane bisa memasuki liang senggamanya dengan mudah.

“Saya masukin ya bu.. saya juga nggak tahan..”, ucap ane dan bu Heni pun mengangguk setuju.

Ane mengarahkan batang ane ke arah lubang kemaluannya yang tertutupi rambut rambut lebat. Tapi ane terkejut ketika batang ane sudah menempel di bibir memeknya dan hendak akan mendorongnya ke dalam.

Lubang peranakan bu Heni sangat sempit yang membuat batang ane susah masuk, bahkan kepala batang ane sangat susah untuk menerobos memeknya, betul betul seperti bersetubuh dengan perawan.

“Kok.. ndak dimasuki mas Reno.. cepet mas.. sudah ingin sekali..”, protesnya karena ane belum memasukkan batang ane ke dalam.

“Ini.. sempit banget bu.. bener bener kayak perawan…”, jawab ane sambil berusaha untuk mendorong batang ane.

“Mo.. moso toh mas.. aahh.. iyo gitu mas.. dikit lagi mas.. ssshhh..”, balas bu Heni yang mulai merasakan batang ane yang mencoba memasuki lubangnya.

Ane tidak mau merusak reputasi ane dengan kegagalan memasukkan batang ane ke dalam memeknya bu Heni. Akhirnya ane merubah posisi sedikit dan bu Heni juga melebarkan pahanya lagi untuk membantu batang ane.

Kepala batang ane akhirnya bisa melewati bibir memeknya, betul betul sempit sekali liang senggama wanita yang sudah tidak disentuh selama 7 tahun. Meskipun kepala batang ane bisa merasakan cairan pelumasnya sudah mulai membasahi kepala kontol ane tapi tetap saja sangat susah untuk membuatnya bisa sampai masuk ke dalam.

“Ouuhh.. ayo mas.. sedikit.. lagi.. aaahhh.. dorong saja mas.. sik penting masuk semua.. ndak tahaaann.. ssshhh.. aaahhh..”, rengek bu Heni.

“.. Tahan ya bu.. agak sakit..”, jawab ane.

Sesuai perintahnya akhirnya ane memaksakan mendorong batang ane untuk menerobos ke dalam memeknya bu Heni yang bak perawan itu.. dan…

Bleeeesssss…

“Aooouuuuhhh Gustiiii.. guedeeeee.. aaaaaahhh.. penuh maaaaasss.. gede banget burungnyaaaa.. oooouuuuhhh..”, teriaknya begitu batang ane menerobos masuk sampe mentok ke dalam memeknya bu Heni.

Ane betul betul tidak percaya sama yang ane rasakan, basah dan sempit sekali di dalam sana, sensasi ini persis ketika ane berhasil mengambil keperawanan mantan ane di kelas 2 (XI) SMA dulu.

“Aduh bu.. bener bener hebat bu Heni.. kayak perawan aja bu..”, ujar ane ketika mendiamkan batang ane di dalam memeknya.

“Sssshhh.. bener mas..? enak ndak mas..?”, tanyanya yang ane jawab dengan anggukan dan membuat bu Heni tersenyum.

“Seneng.. aku.. yowes mas.. digoyang toh mas Reno.. ibu pengen ngerasain dikenthu mas Reno..”, ucapnya.

Ane tersenyum mendengar perintahnya, bu Heni ini tidak segan segan memerintah ane kalau ingin mendapatkan kepuasan buat dirinya, bahkan tante Puri saja yang menurut ane jam terbangnya sudah tinggi mulai memerintah ane kalau sudah mulai terbawa nafsunya tidak dari awal begini.

Perlahan pinggul mulai ane gerakkan, ane pengen beradaptasi dengan keadaan liang kenikmatannya bu Heni terlebih dulu. Setelah sudah ane rasa kalau ane bisa mengatasi jepitan dan pijatan memeknya, persneling pun ane masukkan ke gigi-2.

“Aaaahh.. ooouuuhhh.. ssshhh.. hebat mas Reno.. burungnya hebat betul… suka.. aku.. aaaahhh..”, desahnya disaat gerakan pinggul ane sudah mulai stabil.

“Iya kan.. keenakan kan ibu..?”, goda ane sembari mencium bibirnya.

“I.. i.. iyo.. oooouuuhhh.. bener mas.. ke… enakan akuuu.. uuuuhhh.. tempikku penuuuhhh.. aaaaahhh..”, balasnya sembari mendesah.

Melihat bu Heni yang keenakan menikmati apa yang ane lakukan, ane menambah lagi kecepatan gerakan pinggul yang sekarang membuat dia tidak bisa apa apa selain mendesah dan meracau.

“Aoouuuhh.. ampuuuunn.. burungnyaaaa.. aaaaahhh.. aku.. enaaaaakk.. aduuuhhh.. tempikku maaaasss.. keenakaaaann.. ooouuuhhh..”, racaunya dengan berteriak.

“Bohong ah ibu.. bener enak..?”, tanya ane jahil.

“Be.. be.. betul.. maaasss.. mati aku kalo bohooooong.. oooouuuhhh.. ueeenaaakk.. burungnyaaa.. aaaaahh.. terus maaaass.. enak.. enak.. enaaaaaakk!!”, jawabnya.

“Kok burung..? kontol dong bu..”, balas ane.

“Ndak.. aaaaahhh.. so.. sopaaaan maaass.. ooouuhhh.. ssshhh.. aaaaahh..”, jawabnya dengan muka tersipu.

“Kita.. udah.. telanjang lho bu.. ndak sopan juga toh?”, tanya ane dengan logat daerah sini.

Muka bu Heni terlihat ragu mendengar pertanyaan ane, ingin mendengar jawabannya, akhirnya menghajar memeknya dengan sangat kencang, bunyi air pun mulai terdengar lagi ketika batang ane mengocok memeknya berkali kali.

“Aaaaahhh.. aduuuhhh.. iyooo maaasss.. ampuuuunn.. kontolnya uenaaaakkk maaasss.. ooouuuhhh.. ampuuunn Gustiiiii… aku.. ndak.. tahaaaaannn.. mau.. pipiiiisss..”, teriaknya yang membuat ane puas.

Tubuhnya bu Heni lagi lagi mulai bergerak kesana kemari, matanya sudah hanya terlihat putihnya saja, dia akan segera mendapatkan orgasmenya lagi. Ane juga sudah mulai merasakan akan ada yang keluar, tiba tiba entah dari mana kejadian kegugurannya tante Rachma datang menghampiri.

“Bu.. aku udah mau keluar nih.. diluar ya bu..?”, tanya ane meminta ijin.

“Jangaaaann.. di dalam sajaaaa.. ooouuuhhh.. a.. a.. aku mau disembuuuurr.. enak disembur maaaasss.. aaaahhh.. ayo maaaasss..”, jawabnya yang membuat ane kalang kabut.

“Tapi bu.. bahaya bu..”, balas ane panik karena sudah betul betul diujung.

“Ndak pake tapi!.. ooouuuuhhh… aaaaahhh.. tu.. tu.. turuti sajaaaa… yaaahhh.. yaaahhh maaaaasss.. aku sudah mau juga mas.. kita barengi.. aaaaaahhh..”, jawabnya merengek.

Trauma dari masa lalu yang datang kembali, membuat ane bimbang sebetulnya. Ane merasakan kalau anak ane ingin memperingatkan bapaknya untuk tidak mengulang kesalahan di masa lalu, tapi yang terjadi selanjutnya diluar dugaan ane.

Melihat ane yang ragu untuk membuang sperma ane di dalam memeknya, bu Heni dengan cepat menjepitkan pahanya ke pinggul ane, sehingga ane tidak bisa bergerak kemana mana.

“Aaooouuhhh.. aku.. pipis.. sekarang yo mas..”, ucapnya yang membuat ane kaget.

Tiba tiba, batang kontol ane merasakan sedotan dan cengkraman yang sangat kuat dari dalam memeknya bu Heni yang pada awalnya saja memang sudah sangat sempit dan sekarang ditambah orgasmenya membuat batang ane seperti diremas dengan sangat kencang.

“Aduh bu.. aku mau keluar nih..”, kata ane.

Dan setelahnya ane tidak diberikan kesempatan untuk mencabut batang ane dari memeknya malah dia meremas pantat ane dengan tangannya supaya ane membenamkan semburannya dalam dalam.

Croooottt.. croooottt… croooottt…

“Huaduuuuhh.. puanaaaaasss.. aaaaaaahhhh.. uenaaaaaakk maaaasss.. oooouuhhh.. aku.. keluar ikiiiiiii… aduh Gustiiiii.. enaaaaaaakkk.. aaaaaahhhh… oooouuuhhh..”, teriaknya karena orgasmenya akibat semburan sperma ane.

Tangan ane berpegangan ke senderan sofa menahan rasa enak yang ane rasakan karena sudah lega ‘berbuka puasa’. Bu Heni pun sama tubuhnya bergetar kecil dan nafasnya tersengal mendapat semburan sperma setelah 7 tahun lamanya tidak pernah disembur lagi.

“Aduh mas.. bener enak yo.. ndak bohong ini mas Reno.. lega aku.. plong gitu rasanya..”, ucapnya dengan nafas tersengal.

“Iya ya bu.. enak kan ‘buka puasanya’..?, tanya ane bercanda sembari mencium bibirnya bu Heni.

Batang ane masih tertancap di dalam lubang senggamanya bu Heni, sensasi hangat masih terasa dari bawah sana, ketika sperma ane bercampur dengan mani-nya bu Heni dengan posisi kakinya bu Heni masih melingkari badan ane.

“Nggak mau dilepas bu..?”, tanya ane.

“Jangan dulu.. aku masih keenakan.. anget soalnya.. seneng aku kalo disembur..”, jawabnya sembari tersenyum yang membuat ane menuruti permintaannya.

Setelah bu Heni puas merasakan hangat dari sperma ane, akhirnya dia melepaskan kakinya dari ane sehingga batang ane pun bisa keluar dari dalam memeknya.

Ane langsung rebahan disebelah tubuhnya bu Heni dengan nafas yang tersengal, ane melihat kearah tempat jam dinding dirumah bu Heni yang menunjukkan kalau waktu istirahat kantor pun sudah lewat setengah jam yang lalu, tapi ane tidak peduli ane ingin rebahan sebentar sebelum kembali ke kantor.

“Mas Reno…”, panggilnya sembari menyender ke badan ane.

“Kira kira.. kenapa yo bapak ndak mau lagi sama aku..?”, tanyanya yang membuat ane kebingungan mencari alasan yang pas karena ane sudah tau alasan sebenarnya pak Dar tidak mau ‘menyambangi’ istrinya itu.

“Kata mas Reno.. tempikku enak kan..? trus.. opo sing salah sama aku?”, tanyanya lagi dengan nada sedih.

“Nggak tau juga ya bu.. mungkin betul yang ibu bilang.. bapak sudah lanjut.. jadi nggak ada pikiran buat kesana lagi.. tapi kan.. yang penting bapak cinta kan sama ibu..?”, jawab ane sembari memberikan bu Heni semangat agar dia tidak sedih.

Bu Heni mengangguk mendengar pertanyaan ane soal cintanya pak Dar ke istrinya ini. Dalam hati ane juga merasa kasihan sebetulnya sama bu Heni, dia tidak tahu apa apa soal suaminya yang lebih memilih wanita muda sebagai penyalur syahwatnya, ane pun akhirnya mencoba memberikan solusi ke bu Heni.

“Kalo gitu.. buat urusan yang ‘ini’.. kalo ibu Heni mengijinkan.. biar saya saja yang menggantikan pak Dar.. setuju gak bu?”, tanya ane yang membuat bu Heni mencubit ane.

“Ih.. mas Reno ini nakal ternyata.. moso ibu disuruh curangin bapak terus terusan.. ndak adil toh mas.. ini saja karna aku sudah lama ndak disentuh makanya terbawa..”, jawabnya.

“Ibu juga sudah dicurangi kan sama pak Dar.. tidak diberikan hak-nya ibu sebagai istri..”, sepik ane.

Bu Heni pun terdiam, dia betul betul memikirkan ajakan ane untuk terus bisa bertukar lendir dengan dirinya yang jujur ini membuat ane senang, karena kalau sudah begini ane bisa mencari cari momen yang pas untuk kembali menyetubuhi bu Heni.

“Iyo mas.. aku mau deh.. tapi mas-nya ndak papa nih..?”, tanyanya yang sudah membuat ane senang dengan jawaban pertamanya yang mengiyakan.

“Nggak papa gimana..?”, ane tanya balik.

“Sing pertama, bapak masih ada.. jadi ndak mungkin aku bisa berduaan sama mas Reno kalau ada bapak disini.. iya toh..?”, tanyanya ane jawab dengan anggukan setuju karena memang mustahil.

“Nah.. sing kedua.. aku ndak enak kalo nanti aku yang minta.. takut mengganggu mas Reno..”, lanjutnya.

“Kalo yang pertama nanti aku cariin jalan keluarnya bu.. yang kedua, gak papa kalo saya dimintain terus sama ibu.. yang penting ibu inget.. ibu harus utamain pak Dar..”, jawab ane dan dijawab anggukan setuju sama bu Heni.

Bu Heni lalu mencium bibir ane dengan lembut dan mengucapkan terima kasih karena sudah mau membuat dirinya lega dari dahaganya soal kebutuhan biologisnya. Dia tiba tiba teringat waktu ane ingin membuang benih ane diluar.

“Mas.. tadi.. kenapa mas ndak mau nyembur di dalam? Mas ndak pernah yah nyembur perempuan di dalem..?”, tanyanya yang membuat ane tiba tiba terdiam karena teringat trauma yang ane rasakan.

Ane tidak menjawab pertanyaannya, menurut ane bu Heni tidak perlu tahu tentang masa lalu ane, tidak ada urusannya antara dia dan trauma ane dan hal ini membuat dia terheran melihat ane.

“Maaf ya mas Reno.. ibu tadi nyuruh buang di dalem yo.. aku.. memang suka disembur mas.. enak habisnya..”, lanjutnya dengan terkekeh yang membuat ane tersenyum.

“Tapi bu.. bapak rugi lho.. jepitan ibu bener bener kenceng bu.. bikin cepet jebol..”, balas ane yang membuat bu Heni senang mendengar pujian dari ane.

Akhirnya ane dan bu Heni sudah kembali berpakaian, prinan pun sudah tercetak dengan mulus tanpa ada cacat, ane mohon pamit sama bu Heni dan berterima kasih karena sudah diijinkan makan siang dan ‘berbuka puasa’ dan tidak lupa sebelumnya kami pun bertukar nomor telepon jikalau suatu saat nanti ketemu situasi seperti ini.

Tapi sebelum ane pergi, bu Heni yang mengantar ane sampe depan pintu mengucapkan kalimat yang membuat ane tersenyum senang mendengarnya.

“Mas.. bapak nginep toh di daerah?.. nanti pulang kantor mampir kesini lagi yo mas.. buat makan malam sekalian nyembur lagi.. yo mas Reno..?”, ucapnya dengan genit dan manja dan ane mengiyakan ajakannya.

Singkat cerita ane sudah kembali ke kantor yang walaupun telat dan mendapat teguran dari atas tapi tidak ane ambil pusing, kerjaan ane pun akhirnya bisa beres tepat waktu hari ini dan ketika jam pulang, ane langsung kabur kembali menuju rumahnya bu Heni.

Ane mengetuk pintu dan disuruh masuk sama bu Heni yang menunggu di dalam, dan yang membuat ane kaget ternyata di ruang keluarga, bu Heni menunggu dengan bertelanjang badan tanpa ada yang menutupi tubuhnya itu yang akhirnya membuat batang ane kembali mengeras.

Akhirnya ane berhasil menggagahi lagi istrinya pak Dar sampai hampir tengah malam dan hanya dijeda oleh makan malam sebelum akhirnya ane pulang dari rumahnya bu Heni sekitar pukul setengah 12 dan berhasil membuang benih lagi sebanyak 3 kali selama pergumulan.

Ane pun pulang dengan hati yang senang dan badan yang lelah.

Keesokan harinya, ane terkejut melihat kedatangan pak Dar di kantor sebelum makan siang, dia tidak mengambil cutinya dan langsung menuju kantor dari pabrik di daerah.

“Loh.. nggak libur toh pak Dar?”, tanya ane yang heran melihat pak Dar.

“Ndak pak.. mau langsung kasih ini nih.. laporan yang sudah diralat, lagian saya ndak enak sama bapak kemarin.. bapak jadi repot sama urusan kerjaan bapak gara gara saya..”, jawabnya.

Ane hanya mengangguk mendengar alasannya dan melanjutkan pekerjaan, dan pak Dar pun hari itu sama sekali tidak mengambil jatah liburnya malah kembali melanjutkan pekerjaannya di kantor sampai jam pulang kantor.

“Pak Reno.. ngopi dulu yuk.. masih sore iki.. santai sedikit pak..”, ajaknya.

Memang kalau hari dirasa santai ane dan pak Dar dan beberapa karyawan lainnya sering menyempatkan diri untuk nongkrong diluar sekedar ngopi dan makan malam, yah mengangkrabkan diri sembari melepas penat bekerja.

“Ayo boleh pak.. ngopi di tempat biasa aja pak.. enak disitu kopinya..”, jawab ane.

Kami langsung menuju ke tempat kopi yang berada tidak jauh dari kantor, tapi sayang hari ini kami hanya ngopi berdua, teman teman yang biasa menemani nongkrong sedang berhalangan ikut.

Setelah duduk dan meminum kopi, ane sebetulnya pengen menanyakan masalah pribadinya pak Dar, entah itu soal bu Heni atau juga Ningsih, dan alasan dia kenapa lebih memilih Ningsih dibanding istrinya yang kemarin bak perawan itu.

“Pak.. Ningsih piye..? mijet lagi semalem..?”, tanya ane dengan bercanda.

“Mas Reno ini.. diledek terus saya.. yo.. biasa lah pak..”, jawabnya dengan tercengir.

“Kok bisa sih pak..?, dari kapan?”, tanya ane pura pura tidak tahu.

Pak Dar akhirnya menceritakan awal perbuatan mesumnya dengan Ningsih, dan memang betul kalau pergumulannya itu dimulai dari 7 tahun yang lalu, ketika Ningsih baru diterima bekerja sebagai pengurus mess karyawan di pabrik.

“Mess baru dibangun mas Reno.. jadi butuh orang yang bisa mengurus biar terus apik tempatnya.. nah kebetulan Ningsih yang diterima.. dia baru lulus SMA, masih muda, cekatan juga kerjanya, anaknya juga resik..”, kata pak Dar.

Karena waktu itu belum ada orang yang menempati posisi jabatan ane, jadilah pak Dar berdua dengan supir ditugaskan untuk mengecek, sekaligus nyobain mess karyawan kantor ane itu.

“Saya cuapek bener malam itu mas.. terus habis makan malam.. saya tanya si Ningsih, dia bisa mijet ndak.. saya bilang ada bonusnya kalo mau… jujur waktu itu.. saya tok pengen dipijet.. ndak ada keinginan lain.. wong Ningsih masih cilik waktu itu..”, lanjutnya.

Ningsih menyanggupi permintaannya pak Dar, mungkin karena istilahnya pak Dar ini orang dari kantor kota dan juga dia baru diterima bekerja jadi tidak enak buat Ningsih untuk menolak permintaannya pak Dar.

Tetapi pijatan Ningsih di sekujur badannya pak Dar ternyata cukup untuk membuat syaraf kemaluan pak Dar menegang. Pak Dar lantas melancarkan rayuan lawasnya ke Ningsih, yang walaupun Ningsih hanya terdiam tetapi dianggap ‘iya’ oleh pak Dar.

“Kaget aku.. ‘berdarah’ mas.. tapi yo kepalang tanggung.. tak tuntasi sekalian..”, ujar pak Dar sembari berbisik.

Ya.. pak Dar berhasil mengambil keperawanannya Ningsih di malam itu, Ningsih sama sekali tidak melawan dan hanya menerima perlakuan pak Dar ke dirinya. Tetapi pak Dar terdiam begitu ingin melanjutkan ceritanya, ada yang mengganjal pikirannya sepertinya.

“Saya ndak enak setelahnya.. Ningsih nangis mas.. tengah malam begitu mewek yo bingung saya toh..”, lanjutnya.

Akhirnya pak Dar meminta maaf dan berusaha membujuk dan merayu Ningsih supaya berhenti menangis, dan setelah berjanji ini itu akhirnya Ningsih bisa reda dari tangisannya. Ane maklum mendengar kalau Ningsih menangis, siapa yang tidak kalau keperawanan diberikan untuk orang yang baru dikenalnya hari itu juga dan tidak ada status apa apa, hanya status hubungan kerja.

“Tapi.. bulan depannya.. waktu posisi Mas Reno sudah ada yang isi.. aku kesana lagi.. eh si Ningsih yang nawari untuk mijet.. yo aku terima ajakannya..”, ocehnya sembari tertawa.

Dan dari situ petualangan pak Dar dan Ningsih dimulai, Ningsih yang sudah melepas keperawanannya nampaknya menjadi ketagihan dengan kegiatan pijat memijat itu, begitu juga dengan pak Dar yang sampai lupa dengan bu Heni, istrinya dirumah. Dan kegiatan mereka berdua menjadi rahasia mereka berdua, tidak ada lagi yang tahu.

“Loh.. kalo rahasia.. kenapa saya ditawarin kemarin..?”, tanya ane yang heran.

“Tadinya mas Reno mau saya jodohkan sama Ningsih.. siapa tau.. kalau mas Reno dipijat.. mas Reno jadi suka sama Ningsih..”, jawab pak Dar yang membuat ane tersenyum.

“Pak Dar ini.. mau jodohin saya kok.. perempuannya habis dari bapak?”, celetuk ane bercanda yang bahkan ane lupa kalau bu Heni juga ‘bekasan’ pak Dar.

“Jadi si Ningsih ini belum menikah..?”, tanya ane lagi.

“Belum mas.. ndak tau juga anak itu.. di kampung kan umur segitu wes tuwir yo.. mau 25 lho.. padahal kata dia yang ndeketin banyak.. cuman ini anak aneh..”, jawab pak Dar.

“Ketagihan sama bapak itu dia.. cuma dia gak berani ngomong pak.. malu mungkin.. nggak pantes kalo ngomong gitu ke bapak mungkin..”, kata ane berkesimpulan yang membuat pak Dar terdiam.

“Moso toh mas..? aku ndak mikir kesana.. sik penting mah pijet kudu jalan..”, jawabnya sembari tertawa.

“Pak Dar ini.. suka sama yang muda..?”, tanya ane.

“Saya.. jujur… ketagihan mas sama yang muda..”, jawabnya yang membuat ane penasaran.

“Maksud pak Dar?”, tanya ane.

Pak Dar bercerita tentang awal pernikahannya ketika berhasil mengambil keperawanan istrinya, karena pak Dar ini masih perjaka ketika menikah diusianya yang ke-33, momen menjebol memeknya bu Heni menjadi sensasi tersendiri buat dia.

Dia baru mengetahui betapa menakjubkannya rasanya berhubungan badan dan ini membuat dia menjadi ketagihan, tetapi setelah bu Heni melahirkan dan mempunyai dua anak dan terlebih ketika usianya menginjak kepala 3, pak Dar bilang kalau tiba tiba sensasinya hilang begitu saja ketika berhubungan intim dengan istrinya.

Nekat mencari sensasi yang sama, pak Dar bahkan rela mengeluarkan koceknya untuk bermain ‘diluar’ dengan para PSK, tentu saja yang ia cari adalah yang masih muda atau baru terjun ke dunia hitam itu.

“Ya ampun pak.. sampe segitunya..”, kata ane yang tidak percaya.

“Terus ibu gimana..? kan bahaya juga pak buat ibu kalo bapak main diluar..”, lanjut ane yang sedikit ketar ketir juga.

“Ndak papa kok mas.. kan sudah jarang saya keloni juga si ibu.. dulu waktu saya mulai jenuh bisa tiga bulan sekali baru tak ‘siram’ si ibu.. itu juga karena terpaksa..”, jawabnya enteng.

“Tapi setelah kenal Ningsih.. ndak pernah lagi saya jajan diluar.. bikin betah..”, lanjutnya dengan riang.

“Waduh.. enak sekali ini bapak.. dirumah ada bu Heni.. kalo kunjungan ke pabrik.. ada Ningsih.. iri saya pak..”, celetuk ane berpura pura dan pak Dar pun hanya tertawa mendengar kepura puraan ane.

“Saya wes bosen sama ibu mas.. rahasia kita aja yo mas..”, jawabnya sambil berbisik mendekat untuk melanjutkan rahasianya.

“Punya ibu sudah ndak enak.. ndak ada jepitannya.. lah wong tuwir yo begitu memang..”, lanjutnya yang membuat ane tertawa terbahak bahak mendengarnya.

Selain terbahak bahak di depan pak Dar, di dalam hati pun ane juga tertawa puas karena pak Dar tidak mengetahui kalau lobangnya bu Heni sudah kembali seperti perawan karena tidak pernah disambangi lagi olehnya.

Akhirnya ane nekat menyusun strategi buat meminta ijin ke pak Dar untuk bisa menyetubuhi istrinya, yah sembari bercanda supaya tidak ada_no hard feeling_diantara ane dan pak Dar.

“Masa sih pak..? tapi bu Heni masih ayu lho.. badannya juga nggak gombyor..”, jawab ane yang ingin memancing pak Dar.

“Hoalah.. mas Reno ini piye.. dikasih Ningsih ndak mau.. malah muji si ibu..”, jawabnya bingung.

Ane lalu menceritakan soal selera ane ke pak Dar berikut sedikit cerita bersama para wanita berumur, dan seperti istrinya, pak Dar pun tidak mempercayai sama apa yang ane ceritakan.

“Huaduh.. mas Reno doyanannya yang begitu toh.. ndak enak tau mas.. sudah ndak nggigit..”, responnya polos.

“Tapi rasanya beda pak sama yang muda.. makanya saya doyan pak..”, balas ane.

“Eh pak.. bapak kan sudah ada Ningsih nih.. kasian ibu toh pak sudah nggak ada yang siramin.. kalo bapak ijinin.. dari pada bapak kasih Ningsih ke saya mending bu Heni aja yang saya siram..”, lanjut ane mencoba membujuk pak Dar.

“Mas Reno serius ini yo..?”, tanyanya yang ane jawab dengan anggukan.

“Tapi mas.. kalo nanti ibu sama mas Reno jadi sama sama suka.. aku ditinggal toh sama ibu.. piye hidupku..?”, lanjutnya dengan wajah bingung.

“Nggak sampe begitu pak.. pokoknya bapak tetep jadi yang utama buat bu Heni.. saya hanya menyirami saja kok.. nggak lebih.. janji pak..”, jawab ane mengusulkan sama seperti yang ane katakan ke bu Heni, kalau suaminya ini harus tetep diutamakan.

“Lagian bapak nggak kasihan sama ibu..? sudah lama begitu gak bapak kelonin.. malah pak Dar yang kelonan sama yang muda.. jahat pak Dar ini..”, lanjut ane menyindir.

Pak Dar terdiam sambil berpikir, dia sepertinya menimbang nimbang omongan dan usulan ane dengan seksama.

“Tapi mas Reno.. kalau si ibu ndak sesuai harapan mas Reno piye toh..? nanti malah mas Reno jelek jeleki si ibu.. ndak kuat saya dengernya.. kasihan..”, ujar pak Dar yang sepertinya masih ragu.

“Pak Dar.. bu Heni itu masih muda.. 42 tahun.. masih pengen kelonan.. nggak mungkin mengecewakan saya pak.. tau saya pak.. wes tenang pak..”, balas ane yang memang betul tahu soal onderdilnya bu Heni.

“Tapi nyiramnya kalo ada kunjungan tok yo pak..? nanti saya minta biar kita jalan berdua saja..”, jawabnya yang bikin ane bingung.

“Lah.. si ibu dibawa ke pabrik gitu..? bapak ini mau cari enak apa cari masalah pak.. bikin si ibu ketemu sama Ningsih..”, tanya ane dengan maksud usulnya.

“Ndak gitu.. maksud saya besok besok kita misah saja kalo kunjungan mas.. biar saya sendiri ke pabrik.. mas Reno disini saja ‘jagain’ ibu..”, jawabnya sambil memberi usul.

“Yakin pak Dar bisa sendiri kesana..? trus saya ijinnya gimana?”, ane tanya balik karena bingung sama ide-nya pak Dar.

“Wes.. gampang itu mah.. orang orang sana ndak bakal laporan kok sama kacab kalo saya datang sendiri..”, jawabnya enteng.

“Kalo gitu.. pak Dar bisa nggak bikin alasan buat jemput saya di kosan aja? Jadi saya gak usah ke kantor kantor pak.. bener gak?”, ane menambahkan dan ia pun mengangguk setuju.

“Mas Reno sendiri nanti.. gimana caranya ngajak ibu..?”, pak Dar lanjut bertanya.

“Ntar saya pikirin.. pokoknya bisa atau nggaknya nanti saya kabarin bapak..”, jawab ane cepat, pak Dar pun hanya mengangguk.

Dan ditetapkan lah rencana lendir kami berdua, ane jujur merasa sedikit lega karena tidak harus bermain dibelakang pak Dar yang sudah begitu baik sama ane semenjak ane pindah kesini.

Tapi terus terang ane tidak menyangka kalau pak Dar rela membagi istrinya dengan laki laki lain supaya jalannya ke Ningsih lebih mulus. Karena dengan pak Dar yang jalan sendiri maka bisa dipastikan tidak akan ada yang menganggu acaranya disana.

Untuk jadwalnya sendiri pak Dar yang meminta kalau hanya dilakukan ketika ada kunjungan ke daerah yang berarti hanya sebulan sekali atau dua kali saja karena dia tidak mau istrinya digagahi sama ane kalau dia sedang ada di kota ‘S’ dan ane sanggupi syaratnya sembari memberikan syarat pula ke pak Dar.

“Pak Dar.. kalo bapak ketauan sama ibu.. jangan bawa bawa saya ya.. maksudnya jangan dibalikin juga ke ibu.. kasihan ibu.. bisa hancur martabatnya pak..”, ujar ane memberikan syarat.

“Iyo mas.. ndak bakal ketauan juga.. ibu polos orangnya.. kalo sampe ketauan yo mungkin tau dari mas Reno..”, balasnya.

“Nggak bakalan pak.. kemaren kemaren rahasia selalu aman.. wong temen saya aja sampe gak tau kalo saya ngelonin mamahnya..”, jawab ane yang membuat pak Dar tertawa.

“Cah gendeng ini mas Reno.. ibu temene dewe kok yo di kenthu juga.. haha..”, celetuknya dan kami pun tertawa sembari berjabat tangan yang menandakan kalau perjanjian kami dijalankan.

“Wah.. kita jadi kayak di pilem pilem bule yo mas.. partners inkerem..”, celetuknya lagi.

“…_In crime_pak..”, jawab ane membenarkan ucapanya.

“Yo itu maksudnya.. podo wae lah mas..”, balasnya dan kami tertawa sembari merokok dan mengopi disore itu.

Ane menjadi semakin betah saja tinggal disini dan berharap kalau bu Heni bukanlah menjadi cerita ane yang terakhir di kota ini.

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu