1 November 2020
Penulis —  toketmania

Perkumpulan Rahasia 2 - Home Robbery

Namun sekali lagi pesta belumlah usai. Mereka melepaskan ikatan mama dari kursi, mendirikannya, lalu tanpa ampun menurunkan celana stretchnya hingga tinggal celana dalam, di saat yang sama T shirt yang ku kenakan pun disobek hingga aku kini benar-benar bugil di hadapan mama dan dua perampok biadab tersebut.

Kembali salah seorang perampok menyisipkan pisau ke sisi samping celana dalam mama dan merobeknya, lalu berpindah ke sisi lain. Bentuk perlawanan terakhir mama adalah merapatkan kakinya agar celana dalam itu tidak lepas namun percuma, karena di hadapanku bulu-bulu kemaluan mama nampak dengan jelas sedemikian lebatnya.

Baru kali ini aku menatap jelas area di mana aku lahir dari situ 21 tahun yang lalu. “ah,” mama menjerit ringan ketika si Jun merenggut paksa celana dalam tersebut dari jepitan paha mama. Dan dengan kasar tangannya segera hinggap mengelus-elus jembut mama dan terkadangi menjambaknya ringan hingga mama sesekali berteriak kecil dan menggeliat, membuatnya semakin nampak sexy dan menggairahkan, membuat perlahan-lahan batang kontolku yang tadi lemas mulai berdiri tegak.

Lalu kembali mama berteriak ketika dengan paksa jemari si perampok mulai mengorek-ngorek rongga vagina mama dan mengocok-ngocoknya dengan kasar pula, wajah mama mengernyit menahan sakit dan malu diperlakukan semena-mena seperti itu, di hadapan anaknya pula. ”Nah… sekarang gue pengen liat lo berdua ngentot”, ujar perampok di belakangku sambil kembali ujung pisaunya ditekan ringan dipantatku..

“mama… maafkan aku ma”, ujarku dengan wajah tertunduk walau dalam hati aku menginginkan hal ini terjadi, ingin kurasakan kembali dalam liang dimana aku dilahirkan walau dengan cara berbeda. “sshh… ini bukan salahmu, den,” jawab mama, yang tiba-tiba memegang kemaluanku lalu sedikit berjingkat ia arahkan kepala penisku ke bibir vaginanya, perlahan tapi pasti ujung kepala jamur itu menyeruak masuk ke dalam liang senggama mama..

“ouuhh… pelan-pelan Den.. ooh”, mama mengeluh dengan wajah seperti menahan rasa sakit. Mama kemudian merangkul leherku dan aku pun memeluk mama hingga payudaranya ketat menempel di dadaku. Jujur keperjakaanku berakhir pada saat itu dan sialnya di tempat yang salah, bukan oleh gadis idamanku namun justeru ibu kandung yang seharusnya kuhormati.

Sensasi berada dalam genggaman ketat rongga yang hangat dan basah itu jangan ditanya lagi, namun aku tak melakukan gerakan apapun sampai akhirnya si perampok memerintahkan kami berdua mengayunkan pantat kami masing-masing.. “ayo, goyang yang bener,” ujar si Ron sambil sedikit mendorong ujung pisaunya di pantatku, karena di picu rasa sakit sontak aku hentakan pinggulku ke depan, demikian juga mama pun mendapatkan perlakukan yang sama sehingga terdengar teriakannya.

Beberapa menit mereka mempermainkan kami berdua sambil tertawa-tawa, sampai akhirnya kami lakukan sendiri gerakan layaknya orang berhubungan sex dalam keadaan berdiri tanpa ancaman. Dan sungguh kali ini aku begitu menikmatinya, entah apa yang dirasakan mama selain nafasnya ikut memburu disela-sela isakan tangisnya.

Dan perlahan-lahan aku mulai merasakan rasa geli bercampur ngilu di sekitar kemaluanku tanda orgasmeku akan tiba… “mama… maafkan Deni ma, aku mau keluaarr… ahhss”… gak pa-pa Den, keluarin aja… mama relakan Den.. nnghh”, jawab mama setengah berbisik ditelingaku.. dan “ahhss… aahss… mamaa”, eranganku sambil memeluk mama erat-erat mengiringi semburan demi semburan air mani yang membanjiri liang vagina mama hingga beberapa detik ke depan sampai kurasakan denyutan demi denyutan ejakulasiku mereda dan menghilang seiring dengan mengerutnya batang kontolku.

“hahaha… ini baru adegan menarik… hahaha”, tawa dua orang perampok tersebut menikmati pemandangan erotis secara live di depan mata mereka. “eitt… tunggu dulu, jangan dilepas,” kembali ujung pisau menempel dipantatku ketika berusaha menjauh dari mama, mau tak mau aku kembali merangkul erat mama sementara kontolku masih berada di dalam lubang vagina mama.

Si Jun entah dari mana mengambil lakban, lalu mulai melakban sekeliling pinggang berkali-kali kami agar kami tetap melekat, kemudian ganti paha kami berdua juga diikat dengan lakban, lalu pergelangan tangan kami yang tengah merangkul punggung masing-masing, lalu bagian punggung persis di bawah tangan kami yang saling berangkulan itu, sepertinya mereka benar-benar berniat membuat kami melekat erat dan sangat sulit melepaskan diri.

Kemudian mereka menyuruh kami berjalan keluar ke halaman samping rumah, agak sulit kami berjalan dengan kondisi seperti itu dan beberapa kali nyaris terjatuh namun dua perampok jahanam itu membantu memapah kami, dan setibanya di teras mereka membaringkan kami, memutar piringan CD di ruang tamu dengan volume yang cukup keras lalu kemudian pergi.

Tinggal kami berbaring dengan posisi menyamping pasrah, keringat mulai bercucuran membasahi tubuhku dan mama, apalagi perlahan matahari mulai menyinari kami. Sempat aku berdiskusi dengan mama agar berteriak minta tolong, namun suara musik akan meredam suara teriakan kami ditambah kamipun merasa malu jika orang-orang mendapati posisi kami seperti ini.

“kita tunggu Pak Ujang dan Bi Imas aja sampai besok pagi, biarlah kita sabar nungguin, tembok pagar rumah kita kan tinggi jadi mustahil ada tetangga yang liat”, ujar mama. Dan sepertinya kami tak punya pilihan lain selain menunggu sepasang suami isteri paruh baya yang bekerja sebagai tukang kebun dan tukang cuci kami yang biasa bekerja dari pagi hingga siang hari.

Hanya mereka berdua lah harapan kami karena papa masih berada di luar negeri sementara adik-adikku tengah berlibur dengan neneknya. “Mama… kita harus bergerak biar gak kepanasan dan dehidrasi,” ujarku. “iya Den, tapi bagaimana? ”, tanya mama. Hmmm… iya juga pikirku. Keringat kian membanjiri tubuh kami hingga akhirnya terlintas ide, “ma…

kita berguling aja ya sampai bisa masuk ke dalam”, ujarku. Mama mengangguk setuju, lalu dengan susah payah akhirnya kami bisa berguling sekali, dua kali, terus hingga mendekati pintu. Namun kini muncul hal lain, gerakan tadi kembali memicu ereksi batang kontolku dan perlahan memanjang dan mengeras mendesak lubang kewanitaan mama, “maafin aku ma,” ujarku lirih.

”, gak pa-pa Den, udah gak usah minta maaf, ini bukan salah kamu, ”, jawab mama mencoba menenangkanku. Kami beristirahat sebentar dengan posisi kembali menyamping, dan kunikmati jepitan erat liang senggama mama walau tak bergerak. Setidaknya posisi kami aman dari terpaan sinar terik matahari. Persoalan adalah bagaimana memasuki pintu ke ruangan dalam tersebut.

Namun perlahan seiring peredaran matahari kembali tubuh kami menerima siraman cahayanya yang entah mengapa hari ini terasa begitu panas. “Mama… kita harus masuk ke dalam, maaf ma, gimana kalau mama dibawah, biar Deni coba mendorong,” mama hanya mengangguk, lalu kami berguling. Aku pikir mudah mendorong tubuh kami berdua dengan posisi seperti itu, ternyata cukup sulit, dan mau tak mau bertumbu pada gerakan pinggulku dan dorongan pantat mama.

Seinchi demi seinchi kami maju ke dalam dengan kepala terlebih dahulu, namun tentu saja gerakan itu hampir sama dengan gerakan orang bersetubuh, maka setiap gerakan mendorong membuat saraf-saraf sekitar batang penisku merasakan sensasi nikmat bergesekan dengan dinding vagina mama dan tepat separuh badan kami melewati pintu aku harus menghujamkan dalam-dalam kontolku ke dalam memek mama dan sekujur tubuh menegang ”, ahss mama, aku keluar laggihh…

ahhss”, erangku, “keluarin aja Den, mama ikhlas, ” bisik mama di telingaku. Lama aku membiarkan semua semburan spermaku mereda dan melemaskan tubuh, lalu mulai kembali mendorong tubuh mama sampai akhirnya kami berhasil masuk ke dalam. Untuk beberapa saat kami terbaring menyamping mencoba menghemat tenaga sampai akhirnya senja tiba.

Lalu kami mulai bercakap-cakap mengisi waktu, berdiskusi tentang apa yang terjadi pada kami dan bagaimana menghadapi esok pagi sampai obrolan ngalor ngidul, aku tak berani membahas soal seks karena merasa kasihan dengan mama. “Sudah, gak usah kamu pikirkan Den, ini bukan salah mu,” kembali mama meyakinkanku tentang peristiwa memalukan tersebut…“anggap aja rejekimu” ujar mama diikuti tertawa kecil, kali ini aku sedikit terkejut dengan entah bercanda atau serius dengan ucapan mama barusan.

“Mama gak keberatan? ”, tanyaku serius. “Tidak ada ibu yang normal yang menginginkan hal ini, tapi ini kan karena terpaksa Den,” jawab mama. Aku terdiam dan perlahan kembali senjata biologisku bergerak-gerak menuju ereksi yang sempurna. Mama hanya tertawa geli, “tuh kan mulai lagi deh,” ujarnya. Namun agar tidak dituduh tak sopan aku memilih tak melakukan gerakan apapun.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan