1 November 2020
Penulis —  d4ry4v4ri4

Mbak Yem

Hari sedang beranjak malam saat aku keluar dari plaza dan sialnya lagi mulai gerimis. Nekat aja ku terobos tirai rinai lari ke motor yang ku parkir di pojokan plaza karena sore tadi tempat itu cukup teduh namun saat malam ternyata agak sepi dan gelap. Saat aku tiba dekat motor, hujan turun dengan deras.

“Boleh minta minumnya dik” suara itu asli ngagetin. Aku cepat berbalik dan melihat seorang wanita paruh baya yang terlihat kucel. Aku menyodorkan minuman kaleng padanya.

“Makasih dik” katanya sambil dengan cepat membuka dan langsung minum. Dari cara berpakaiannya, aku tau kalo dia dari kampung. Mengenakan baju terusan berbahan jeans yang kaku, bersendal jepit dan satu tas ukuran sedang. Kembali ku sodorkan sebungkus makanan ringan. Agak ragu ia mengambil namun dengan cepat juga makan itu habis.

“Laper ya mbak”. Ia tersenyum namun terlihat sedih.

“Iya dik, dari tadi pagi blon makan” sahutnya dan tanpa ku minta dia cerita. Namanya sariyem, 39 tahun dan emang tadi pagi baru dateng dari luar kota buat nyari lakinya yang kerja di kota ini. Mbak yem ini blon punya keturunan dan saat mendatangi alamat ysng diberikan suaminya, terlihat bahwa lakinya itu dan nikah lagi dan punya anak.

“Kok gak pulang aja mbak”

“Gak ada lagi tempat lagi dik. Udah dijual semua oleh laki ku” jawabnya iba.

“Jadi mbak mo tinggal dimana”

“Gak tau juga sih”. Entah napa aku kepikiran usahaku sebuah laundry mungil yang baru ku rintis beberapa bulan ini.

“Maaf mbak, kalo mau mbak ikut aku aja”. Dia terlihat curiga.

“Gini lho mbak, aku punya usaha dan karena aku masih kuliah, gak terlalu keurus. Kalo mbak mau, mbak kerja ama aku aja sekalian tinggal dan beres2 juga”. Walau terlihat masih ragu, dia ngangguk juga.

“Ya udah mbak nurut aku aja tapi kita makan dulu ya. Aku dah laper dan gak ada makanan di rumah” kataku sambil stater motor maticku. Ku ambil tasnya dan meletakkan di depan. Mbak yem duduk nyamping. Aku pun mengarahkan motorku ke warung makan yang biasa dipakai orang mojok. Nasi goreng disini sangat enak buatku dan biasanya aku mbungkus tapi aku pengen makan disini aja.

“Yang biasa dua mas”

“Bungkus kan” tanya yang jual

“Makan sini sekali2”. Mas yang jual senyum aja. Ku ajak mbak yem ke dalam. Tempat makan ini terdiri dari kamar berdinding tepas bambu yang bagian depannya tertutup dinding setinggi dada dengan pintu yang tingginya sama. Setiap dua ruang, ada penerangan lampu redup dan pepohonan juga setinggi dada. Cukup sepi.

“Kamu sering makan disini ya” tanyanya tersenyum.

“Iya mbak sama pacarku dulu, sekarang dah bubaran”

“Ngapain aja” senyumnya makin merekah

“Biasalah mbak anak muda” jawabku cengengesan

“Kok sekarang yang tua dibawa juga”.

“Kan mau makan”

“Kan bisa dibungkus” godanya makin sengit.

“Ya udah kalo mbak gak mau, kita bungkus aja” kataku sambil berdiri. Mbak yem nahan tanganku dan tertawa.

“Wah juraganku ngambekan”. Aku kembali duduk disampingnya.

“Kamu betulan mo nampung mbak” Aku ngangguk.

“Namamu siapa”. He.. he.. he.. aku dah ngambek ma dia tapi blom ngasih nama.

“Adit mbak”

“Kamu emang serius punya usaha dit, karena kalo gak, mbak bingung mo kemana. Tapi mbak seneng kamu ajakin makan.

“Beneran mbak” dan aku ceritain tentang papa yang udah meninggal, tentang perusahaannya yang tengah dikelola adik papa, tentang mama yang nemenin adik perempuanku kuliah di aussie dan ruko yang kutempati. Makan dateng.

“Makan dulu aja yuk. Dah laper nih” ajakku. Kami makan dengan lahap. Gak pake lama. Mbak yem terlihat kekenyangan. Kunyalakan sebatang rokok sambil bersandar. Mbak yem menelungkup ke meja sambil menatapku dan karena tempatnya cukup sempit, toketnya terasa di pahaku.

“Makasih dit” ucapnya perlahan. Aku menoleh padanya tersenyum. Ku jepit rokok dengan bibirku dan meletakkan tangan kananku ke punggungnya mengelus. Mbak yem tersenyum namun dalam remang cahaya, aku melihat air matanya.

“Kok nangis”. Mbak yem langsung menyembunyikan wajahnya dilipatan tangan kanannya diatas meja sementara tangan kirinya mencubit paha ku. Aku terpekik pelan. Tangan kirinya tetap berada di paha ku. Ku dekatkan wajahku ke arahnya sehingga kontieku menekan lengan kirinya.

“Kenapa nangis mbak”. Dia hanya menggeleng. Ku sibak rambut yang nutupin lehernya dan menaruh wajahku disana. Tangan kanan ku memeluk pinggangnya. Dia menarik tangan kanannya yang dipakainya sebagai alas di meja dan mengelus pipiku.

“Kamu baik banget dit, padahal baru kenal”

“Wong ada maunya” candaku. Dia menoleh hingga wajah kami berhadapan. Sangat dekat.

“Jadi kamu boongin mbak ya dit” walau pelan tapi terasa nada marah. Aku terkekeh dan merapatkan wajahku. Walau belum berciuman namun bibir kami telah bersentuhan. Tangan kanannya meraih tangan kananku. Mencubit lembut dan menyelipkan jemari.

“Kamu gak boong kan dit” saat dia berbicara, aku merasakan gerak bibirnya dengan bibirku. Jemari tangannya terasa meremas jemariku. Aku menggeleng lembut yang mengakibatkan bibir jami bergesekan. Mbak yem lah yang pertama mencium dan kami langsung tenggelam dalam ciuman yang penuh nafsu. Ku tarik lengan kirinya agar menekan kontieku yang ngaceng sempurna.

“Kamu sering begini ya ma pacar kamu dit” bisiknya. Aku menggeleng.

“Lebih” sahutku sama lembut. Mbak yem senyum dan kami kembali berciuman. Kedua tangannya mencari sleting celanaku. Cukup susah karena posisi duduk kami. Aku kini yang melepas ciuman dan melonggarkan tali pinggang, membuka kancing serta sleting celanaku. Ku tarik kolorku ku bawah sehingga kontie tegangku mengacung ke wajahnya.

“Gak mau di emut ya dit”

“Mau mbak tapi lututku gak kuat”. Dia tersenyum dan kami berciuman dan tangannya secara brutal ngocok kontieku. Ku cari kancing bajunya dan ku buka. Ku keluarkan toketnya dari dakam bra dan ku pilin cukup kuat kedua putingnya.

“Awww…” Bisiknya lirih. Ku tekan kepalanya agar dia ngoral kontieku dan kumiringkan tubuhnya biar toketnya bisa ku emut. Mbak yem cukup ngerti dan mulai ngemut dan cukup jago. Memainkam lidahnya mengikuti kontur kepala kontie, menggigit halus dari batang ke arah atas dan menghisap kuat dan lembut bergantian.

“Mbak, aku mo keluar” bisikku lirih. Mulutnya menjepit kepala kontie dengan lidah bermain di bagia bawah serta kocokan yang mantap pada batang kontieku memaksa spermaku menyembur. Ku remas kedua toketnya sambil mengejan2 baguan pantatku saat spermaku keluar dalam mulutnya. Setelah mereda, nafasku memburu kencang. Mbak yem masukin kontie ke dalam celana dan menutupnya. Dia beberes bajunya.

“Nanti di rumah, mbak pengen di entot lhi dit” bisiknya. Aku ngangguk tersenyum.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu