2 November 2020
Penulis —  dejongos

Ibu Lestari

Lanjutan…

Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga. Sampai suatu hari Pak Fajar tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya. Seharian itu aku dirundung nafsu dan cemburu. Seperti biasanya jika dilingkungan perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Tari akan menjadi penerima tamu.

Rasanya aku gelisah terus melihat kesintalan tubuh Bu Tari yang terlilit pakaian adat Jawa yang ketat itu. Jika berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapa kali kutebar pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda, entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya.

Semua itu membuatku pingin marah saja rasanya. Tetapi sebelum seremoni perkawinan itu usai, tiba-tiba pembantu Bu Tari, yang biasanya aku panggil Mbak Suti datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon di rumah yang mengabarkan adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas.

Sesampainya dirumah, Pak Bagong dan Ibu Tari menelepon balik ke kota P untuk mengkonfirmasi berita tersebut. Ternyata adik Pak Bagong bersama anaknya yang bernama Dorti yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis antar kota yang selip. Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai anak tertua di keluarganya diminta datang.

Teman sekamarku Yon sendiri ingin ikut nengok. Yon naksir berat pada Dorti dan ia pernah menyatakan cinta dua kali walaupun dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Tari sendiri harus tetap tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit di kantornya. Ibu Tari adalah key person yang harus ada.

Pak Bagong dan Yon berangkat ke kota P dengan mobilnya dan akan mampir ke rumah Pak Sarmin supirnya dulu untuk diajak berangkat. Aku, Bu Tari dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik Pak Bagong dan anaknya. Sampai Mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari busungnya dada Bu Tari dengan payudaranya yang montok dan sedikit terlihat.

Bu Tari tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan saja, bahkan seolah justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan kegusaranku. “Sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Fajar kok Ti, wong hampir selesai kok” ucapnya pada Mbak Suti. Bu Tari beranjak pergi katanya mau pipis.

Mbak Suti langsung pamit tidur. Tinggallah aku di ruang tengah itu, sendiri dan melamun. Sekian lama hubungan kami berjalan, selama itu pula kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling tindih di ranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa coitus. Entah berapa kali penisku menekan-nekan dan menggesek-gesek di vaginanya yang basah di celana.

Entah berapa kali spermaku membasahi celana dalamku sendiri dan celana dalam Bu Tari. Lantas walaupun penisku belum pernah sekalipun masuk ke vaginanya, kecuali hanya menggesek-gesek dan aku orgasme, masih perjakakah aku? Langkah Bu Tari terdengar dan terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggak-lenggok, dari kepala sampai kaki ketika dia berjalan kearahku.

“Kamu melihat Ibu, kaya Ibu ini apaan sih?”, ucap Bu Tari genit mengibaskan tangan kanan di mukaku.

“Ibu cantik sekali, makin seksi, seksi sekali berkebaya dan Saya terangsang sekali” ucapku asal saja menunjuk ke penisku.

“Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin Ibu”, ucap Bu Tari sembari duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya.

Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, langsung aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan dan Bu Tari kadang menggeliat keenakan. Makin lama pijitanku makin turun, ke punggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, ke pinggangnya. Tak lama kutarik pundaknya dan kusandarkan punggungnya ke dadaku, kutempelkan pipi kananku ke pipi kirinya.

Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai ke pinggulnya, sementara Bu Tari hanya memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua tanganku merambat naik dan berhenti di dadanya untuk meremas-remas buah dada yang kurasakan besar dan kenyal itu. Mukaku kugesek-gesekan di rambut dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya.

Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja di kepalanya. Kubuka kancing baju kebayanya hingga tersembul sepertiga buah dada yang indah sekali dari BH-nya. Aku makin terangsang. Penisku yang berdiri sejak tadi ingin meledak rasanya. Kutarik baju kebayanya turun ke belakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan kujilati.

Ibu Tari mengerang nikmat. Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu Tari yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung lidah kami beradu dan kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk ke rongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian. Aku dan Bu Tari mulai tak tahan, kurebahkan dia disofa.

“Jangan disini sayang. Nanti kalau Suti bangun…” ucap Bu Tari tiba-tiba tanpa menyelesaikan kalimatnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu