2 November 2020
Penulis —  dejongos

Ibu Lestari

Kejadiannya 13 tahun yang lalu, saat aku masih kuliah disebuah kota S di P. Aku mempunyai teman satu angkatan satu jurusan, Yon namanya yang berasal dari kota W. Kami begitu lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor-ngidul, ngapelin cewek satupun sering bersama, hingga kecewapun sering bareng-bareng.

Tinggallah Ibu Tari ini bersama suaminya yang merupakan pengusaha jasa konstruksi dan trading, dan juga bersama pembantu dan sopir mereka. Kebetulan Yon ini keponakan kesayangan, sehingga ajar saja dia suka besar kepala karena jadi tumpahan kasih sayang Ibu Tari. Sampai suatu saat dia minta tinggal di luar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja.

Ruang yang dia minta dan bangun adalah gudang di sebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Yon menawarkan diri agar aku mau tinggal bersamanya. Saat itu Ibu Tari, hanya senyum-senyum saja.

Seperti sebelumnya, akupun menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal di rumah Bu Tari berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, setidaknya di kamar kostku aku seperti manusia merdeka.

Tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang mereka padaku selama ini, akhirnya aku terima juga tawaran itu dengan perjanjian bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Tari yang memang kaya itu.

Ada satu hal sebenarnya yang ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Yon atau Bu Tari untuk tinggal di rumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh di dada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan Bu Tari, perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu.

Buatku Bu Tari bukan hanya sosok perempuan cantik atau setidaknya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya Bu Tari adalah perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar bahkan sampai setua itu Ibu Tari masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai ke pinggulnya suka membuatku susah tidur dan baru lega jika aku beronani membayangkan bersetubuh dengannya.

Gejala apa ini, apakah wajar aku terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan mature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya.

Selama aku tinggal di rumah Bu Tari itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Tari kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Yon. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 bulan. Di suatu malam dari balik jendela kamarku kulihat beberapa kali Ibu Tari keluar masuk rumah dengan gelisah menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.

Aku beranjak ke kamar mandi untuk pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata Bu Tari sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu. Aku hanya meringis ketika Bu Tari meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah.

eh., oh kertasnya aku tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung lagi. Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah.

Setelah selesai, sejenak Bu Tari hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong. Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk di sampingku. Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa. Bu Tari tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu