1 November 2020
Penulis —  perverts

Three Sisters

Selasa siang sekitar pukul setengah satu, tiga minggu setelah aku dan keluargaku berlibur ke resort tepi pantai, ponselku bergetar di saku kiri depan celana kerjaku. Kurogoh saku celanaku dengan tangan kiriku dan kutarik ponselku keluar. Kulihat layar sentuh ponsel pintarku yang tertulis nama Mba Dita di sana.

“Halo, ya Mba?”, jawabanku atas panggilan telepon Mba Dita.

“Halo. Gue tunggu besok sore di Bandung ya. Bye”, sahut Mba Dita di seberang sana, singkat dan padat. Telepon sudah tidak tersambung lagi. Setengah tidak percaya kupandangi layar ponselku, meyakinkanku kalau memang sudah tidak terkoneksi lagi dengan Mba Dita. “Cah gendeng”, gumamku pelan sambil menatap layar ponselku yang saat ini hanya menampilkan foto kedua anakku sebagai wallpaper ponselku.

Aku menduga-duga kira-kira apa yang diinginkan Mba Dita dariku. Seluruh dugaanku semuanya bermuara ke arah selangkangan. Aku pun jadi membayangkan bagaimana bentuk tubuh Mba Dita yang mungil tapi padat. Payudaranya yang besar berukuran tiga empat c masih terasa kencang dan kenyal. Vaginanya yang sedikit tembam dan masih rapet dengan ototnya yang bisa menjepit batang penisku.

Kemudian kusentuh ibu jari kiriku ke homebutton untuk membuka ponselku yang terkunci. Kubuka aplikasi Calendar untuk melihat agendaku untuk minggu ini. Ada beberapa undangan rapat yang kesemuanya bisa dihadiri cukup oleh stafku. Dengan posisi jabatanku saat ini, aku dapat pergi keluar kota tanpa menunggu perintah ataupun meminta persetujuan terlebih dahulu kepada direksi perusahaan tempat aku bekerja.

**

Esok harinya aku tiba di Bandung sekitar jam sembilan pagi. Aku langsung menuju kantor cabang yang ada di Bandung untuk menyelesaikan beberapa hal terlebih dahulu. Sekitar jam dua siang, aku coba menghubungi Mba Dita dengan meneleponnya. Akan tetapi teleponku malah dia tolak. Tak lama, muncul notifikasi pesan masuk dari aplikasi bergambar pesawat kertas.

Beberapa saat kemudian muncul pesan dari Mba Dita. “Elo udah sampe?”, tulisnya.

“Udah, dari jam 9 pagi”, balasku.

“Sorry gue reject, lagi rapat”, balas Mba Dita.

“Gue nginep di hotel Lux**n daerah Dago”, tulisnya lagi. “Jam limaan lah gue udah balik hotel lagi”, lanjut Mba Dita.

“Ok Mba”, balasku.

Setelah kulihat tulisanku terhapus secara otomatis, aku pun keluar aplikasi itu dan bergegas memesan hotel yang sama dengan tempat menginap Mba Dita melalui aplikasi yang ada di ponselku. Aku memesan dan membayar langsung untuk dua malam. Aku berencana langsung menuju hotel, bermaksud untuk istirahat terlebih dahulu, menyimpan tenaga dan menjaga stamina untuk pertempuran sore nanti.

**

Teett.. teett.. teett.. teett.. teett.. suara alarm berteriak nyaring dari ponselku sukses membuatku terbangun di jam lima sore. Kuraih ponselku yang tergeletak tak jauh dari tubuhku dan mematikan alarm yang masih terus berbunyi. Kulihat layar di ponselku dan ada beberapa pesan yang masuk termasuk dari Risa, istriku.

Sejenak aku habiskan waktuku untuk membaca surel yang masuk dan obrolan di grup serta pesan pribadi langsung kepadaku. Lalu aku menelepon istriku untuk menanyakan kabar darinya. Kemudian aku memutuskan untuk pergi mandi, membersihkan seluruh tubuhku supaya bau keringatku tidak menjadi pengganggu kenikmatan yang akan kuperoleh dari Mba Dita.

Selesai mandi, aku kembali mengambil ponselku. Kulihat ada notifikasi pesan masuk dari Mba Dita enam menit yang lalu. Kubuka pesan itu dan tertulis: “Gue udah di hotel. Kamar 708. Elo dimana?”.

“Sorry Mba, tadi lagi mandi. Gue juga di hotel. Kamar 516”, balasku.

“Elo ke sini ya”, balas Mba Dita tidak lama kemudian.

“Ok”, jawabku singkat.

Lalu aku mengambil pakaian yang hendak aku pakai dari travel bag milikku. Kupilih celana pendek longgar warna hitam dan kaos oblong warna abu-abu. Sengaja aku tidak memakai celana dalam, toh nanti akan dilepas-lepas juga hehehe, pikirku.

Kuambil kedua ponselku dari meja dan dompetku. Tidak lupa kucabut kartu akses kamar dari tempat untuk mengaktifkan listrik di kamar ini, lalu kubuka pintu kamar dan melangkah ke lift menuju kamar Mba Dita di lantai tujuh.

Sesampainya di depan pintu kamar yang disampingnya terdapat tulisan 708, aku memencet bell. “Bentar”, terdengar suara wanita dari dalam kamar.

Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan kulihat Mba Dita berada di balik pintu. Mba Dita masih memakai pakain seragam kerjanya yang kemeja putih lengan pendek dan rok pendek selutut warna biru tua. Tetapi ujung bawah bajunya sudah tidak dimasukkan lagi ke dalam roknya. “Masuk”, sahutnya. “Kunci pintunya”, perintah Mba Dita lagi lalu masuk ke dalam kamar.

Kamar Mba Dita ini ternyata sama jenisnya dengan kamar yang tadi kutempati. Kamar dengan ukuran tiga puluh dua meter persegi dengan kamar mandi berada di sisi kiriku dan lemari pakain di sisi kananku. Terlihat sebuah kursi yang rangkanya terbuat dari kayu dengan lengan kursi dan sandarannya menjadi satu bagian.

Sandaran kursi dan sisi lengan kursinya terdapat busa yang dibalut kulit warna coklat kekuningan. Kursi itu menghadap ke arah tempat tidur yang letaknya di sebelah kiri dan di seberangnya terdapat televisi yang menempel pada dinding. Di sudut rungan terdapat meja tempat biasanya kursi itu berada. Mba Dita berjalan ke arah kursi itu.

Langkahku langsung terhenti, saat kulihat sesosok wanita sedang duduk di sisi tempat tidur berhadapan dengan kursi dan memakai seragam yang mirip dengan Mba Dita pakai, tetapi yang dipakai sosok itu berupa baju lengan panjang dan celana panjang ditambah hijab dengan warna senada dengan celananya.

Wanita itu pun sama terkejutnya denganku saat mata kami menatap satu sama lain. Wajahnya menjadi pucat pasi. Membuat wajahnya semakin terlihat berantakan. Karena riasan tipis di wajah dan sekitar matanya sudah terlihat luntur akibat tetesan air matanya yang masih belum mengering. Ya, wanita itu adalah Rani.

Cukup lama kami bertatap mata. Badanku menjadi kaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Lalu Rani pun berpaling melihat ke arah Mba Dita yang sudah duduk di kursi. Lalu kedua tangannya ditangkupkan di wajahnya yang menunduk dan sedikit kepalanya bergeleng-geleng ringan disertai isak tangis yang perlahan terdengar, seolah menyesali kehadiranku di kamar ini.

“Lah dia malah bengong. Duduk Rio”, perintah Mba Dita sambil menunjuk ke arah pinggirian tempat tidur samping kanan Rani.

Aku melangkah lalu duduk di samping kanan Rani yang masih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. “Rani kenapa Mba?”, tanyaku ke Mba Dita.

“Elo tanya aja sendiri”, jawab Mba Dita sambil menggerakan kepalanya seolah menunjuk ke arah Rani.

Tepat setelah Mba Dita menyelesaikan ucapannya, Rani tiba-tiba memelukku. Seketika itu juga tangisnya pecah. Aku pun membalas pelukannya dan kuusap punggungnya berusaha untuk meredakan tangisnya.

“Mba.. Mba Dita udah tau Mas”, sahut Rani terbata-bata.

“Tau apa?”, tanyaku tak mengerti.

“Ta tau ki kita Mas”, sahut Rani masih diiringi dengan tangisnya.

“Terus kalo tau emang kenapa?”, tanyaku lagi sambil melirik ke arah Mba Dita yang masih duduk sambil memainkan ponselnya di hadapan kami berdua.

Rani tidak langsung menjawab, malah semakin mengeratkan pelukannya terhadapku. “Mba Dita ma mau kita berhenti Mas. Aku masih sayang Mas Rio”, sahut Rani dilanjutkan dengan tangisannya yang semakin keras. Aku bingung harus menanggapi apa. Aku memilih untuk diam.

Lama kami bertiga terdiam. Hanya isak tangis Rani saja yang terdengar. Rani tetap tidak mau melepaskan pelukannya.

“Udah belum nangisnya? Jadi gimana? Bisa ngga elo berdua berhenti?”, sahut Mba Dita tiba-tiba saat tangis Rani sudah reda.

Kulihat tatapan Mba Dita hanya kepada Rani. Sekilas kulihat raut wajah Mba Dita tidak ada kesan marah atau pun serius, malah seolah puas seperti setelah mem-bully seseorang. Aku mencoba menebak-nebak apa yang direncanakan Mba Dita.

Aku dan Rani belum menjawab pertanyaan Mba Dita. “Mudah-mudahan bisa Mba”, sahutku. “Tapi yang jelas butuh waktu, ngga bisa begitu aja”, lanjutku.

“Iya Mba, gitu. Butuh waktu”, sahut Rani menimpali.

“Namanya orang putus mah putus aja. Ngga pake waktu-waktuan segala”, sahut Mba Dita ketus.

“Salah kalian sendiri pake hati segala. Kalau mau eM eL mah eM eL aja. Ngga usah pake hati”, lanjut Mba Dita lagi.

Aku dan Rani terdiam mendengar kata-kata Mba Dita yang menusuk. Memang salahku juga. Membiarkan hubunganku dengan Rani sampai kami saling mencintai. Padahal maksudku hanya ingin menikmati tubuh Rani saja. Aku juga tidak menyangka akan menjadi seperti ini.

Mungkin mudah bagiku untuk melepas Rani. Tapi pastinya tidak untuk Rani, kalau melihat riwayat perjalanan cinta Rani sebelum-sebelumnya.

“Gini deh. Gue kasih kesempatan kalian berdua buat eMeL sekali lagi”, ucap Mba Dita.

“Tapi sekarang, di depan gue”, lanjut Mba Dita lagi.

“Haaahhh??”, sahut Rani terkejut sampai melepaskan pelukannya kepadaku dan langsung menatap tajam ke Mba Dita.

“Mba gila apa?!”, sahut Rani agak keras.

Aku juga cukup terkejut mendengarnya. Tidak menyangka Mba Dita berbicara seperti itu.

“Lebih gila mana coba dibanding ngembat suami kakaknya sendiri”, sahut Mba Dita datar. Kulihat raut wajah Rani siap untuk menangis lagi.

“Jadi ngga mau nih gue kasih kesempatan sekali lagi?”, ucap Mba Dita. “Awas ya kalo kalian sampe lanjut lagi. Gue bilangin Risa?!”, Mba Dita melanjutkan.

“Ngga mau Mba”, sahut Rani lirih.

“Kayanya harus mau deh”, ucap Mba Dita menanggapi sambil tetap memainkan ponselnya.

Tiba-tiba terdengar suara dua orang yang sedang berpacu birahi dari ponsel Mba Dita. “Wah gila nih orang malah ngebokep”, pikirku.

Mba Dita membalikkan ponselnya ke arahku dan Rani. Ternyata yang dimainkan adalah bukan video, melainkan rekaman suara. Aku dan Rani saling berpandangan. Kami berdua sama-sama terkejut dan yang membuat kami pucat pasi adalah saat nama kami berdua disebutkan oleh suara dari ponsel Mba Dita, membuat kami tersadar bahwa suara itu adalah suara kami berdua.

“Mba jahat!!”, teriak Rani dan seketika itu juga tangisnya pecah lagi. Rani pun kembali memeluk diriku.

Kulihat Mba Dita tersenyum penuh arti kepadaku. Tanpa suara kuucapkan “elo gila!”, ke arah Mba Dita. Aku bisa menangkap arah dan maksud Mba Dita. Sekarang tinggal keputusan ada pada diriku untuk melancarkan rencana Mba Dita atau tidak.

Aku coba untuk menenangkan Rani. Kupeluk Rani lebih erat. Kuusap kepalanya turun sampai kepunggungnya dengan tangan kananku. Terus berulang kali sampai tangisnya sedikit reda. “Udah gapapa tenang aja”, sahutku menenangkan. “Mba Dita ngga akan macem-macem kok”, sahutku lagi.

Rani masih saja sesegukan. “Sekarang semuanya balik lagi ke kamu. Kamunya mau ngga?”, ucapku setengah berbisik di telinga kiri Rani.

“Ini juga buat kebaikan keluarga kita. Bisa kacau kalau Risa atau Doni tau”, lanjutku meyakinkan Rani.

“Iya Mas. Terserah Mas Rio aja”, bisik Rani pasrah.

“Tapi malu Mas”, lanjut Rani.

“Udah gapapa. Anggep aja Mba Dita itu nyamuk hehehe”, bisikku sambil melirik ke arah Mba Dita yang kembali sibuk dengan ponselnya. Rani menanggapinya dengan menyarangkan cubitannya di pinggang kiriku.

Lalu kulepas pelukan kami dan kupandang sejenak wajah Rani, kulihat Rani tersenyum tersipu saat kuucapkan, “kamu tetep aja cantik”. Kuusap wajahnya dengan punggung telunjuk kananku. Lalu kubelai kepalanya yang masih tertutup hijab dengan tangan kananku, terus sampai dengan tengkuknya. Kemudian kukecup bibir Rani perlahan.

Rani pun membalas mengecup bibirku. Perlahan tapi pasti, kecupan itu berangsur-angsur berubah menjadi ciuman. Kulumat bibir bawah Rani sementara Rani juga melumat bibir atasku. Kucoba memainkan lidahku di mulutnya. Rani pun merespon dengan ikut memainkan lidahnya beradu dengan lidahku. Nafasnya sudah memburu tak beraturan, mencoba melampiaskan birahi yang sejak tadi ditahannya.

Tangan kananku mulai bergerilya di tubuh Rani, sementara tangan kiriku tetap di punggunya menjaga agar tubuhnya tetap di dekatku. Kubuka satu persatu kancing baju seragam hingga seluruhnya terlepas. Dibalik baju seragamnya, ternyata Rani memakai tanktop warna putih sebagai lapisan. Rani ikut melepaskan kancing di lengan panjang bajunya dengan kedua tangannya.

Lalu tangan kananku beralih ke celana panjangnya. Kubuka ikat pinggangnya, kubuka kancing celananya dan kuturunkan resletingnya hingga terlihat celana dalam warna biru muda yang dipakainya. Kemudian kutarik ujung bawah baju seragamnya dan tanktop-nya bersamaan keluar dari himpitan celana panjangnya.

Tanpa aku minta, Rani melepas kait bra-nya di punggungnya, lalu dilepaskannya dari tubuhnya hingga payudaranya yang indah berukuran tiga empat b menggantung bebas, sementara puting imutnya yang berwarna merah muda kecoklatan menggoda untuk segera menghisapnya.

Kemudian kembali kucium bibir Rani sambil sedikit kecondongkan tubuhnya ke arah tempat tidur, lalu kulorotkan celana panjang sekaligus dengan celana dalamnya oleh kedua tanganku dengan dibantu Rani yang sedikit mengangkat pantatnya untuk memudahkanku melepas celana panjang dan celana dalamnya dan kujatuhkan ke lantai.

Selanjutnya Rani berdiri berdiri di hadapanku di antara kedua pahaku yang terbuka. Kemudian dipegangnya kedua pipiku dengan kedua tangannya dan memberikanku ciuman sesaat.

Dibukanya kaos oblong yang masih kupakai dengan kedua tangannya, dilanjutkan dengan aku sendiri yang melepas celana pendekku. Batang penisku yang sejak tadi sudah mengeras akhirnya dapat terlihat bebas. Rani menaikkan kaki kanannya ke atas tempat tidur di samping paha kiriku, aku pun menarik mundur pantatku sampai ujung bawah pahaku menyentuh pinggir tempat tidur agar aku bisa duduk lebih dalam ke arah tempat tidur, dan kurapatkan kedua pahaku hingga Rani dapat duduk di kedua pahaku dengan kakinya ditekuk di atas tempat tidur di samping kedua pahaku.

Rani langsung menyambar mencium bibirku dengan ganasnya, kedua tangannya berada di kepalaku mengusap-usap tak tentu arah. Sementara pinggulnya bergoyang maju mundur membuat gesekan antara bibir vaginanya dengan batang penisku yang mengacung ke atas bersandar pada perutku. Gesekan vagina Rani hanya menyentuh area pangkal penisku, membuat sekitar pangkal penisku menjadi basah oleh cairan kenikmatan Rani.

Aku membalas ciuman Rani tak kalah ganasnya. Tangan kananku aktif melakukan remasan-remasan ke payudara kiri Rani yang kurasakan agak keras.

“Jangan kenceng-kenceng Mas. Sakit. Dari pagi belum pumping soalnya”, sahut Rani disela-sela desahannya.

Benar saja, kulihat ada cairan yang sedikit keluar dari ujung puting kiri Rani saat kuremas payudara kirinya.

“Kalo gitu buat gue aja”, sahutku sambil mengarahkan mulutku ke arah puting kiri Rani, dan Rani pun meninggikan posisi tubuhnya dengan bertumpu pada kedua lutut dan tumitnya mensejajarkan posisi putingnya dengan mulutku. Dengan dibantu remasan tangan kananku di payudaranya, aku menghisap cairan ASI dari puting kirinya.

“Aacchh.. ”, desah Rani saat aku hisap ASInya dari putingnya langsung dengan ganasnya bagaikan bayi yang menahan dahaga seharian. Aku hisap dengan rakusnya diselingi gigitan kecil di putingnya. Puting Rani yang mungil membuat ASI yang keluar tidak terlalu banyak walaupun aku sudah menghisapnya dengan kuat.

Setelah puas menghisap ASI dari payudara kiri Rani, aku beralih ke payudara kanannya dan kembali menghisap ASI dari puting kanannya tanpa dibantu tanganku, karena tangan kiriku berada di punggung Rani menjaga agar tubuhnya tetap di dekatku. Sementara itu tangan kananku kembali menjelajah tubuh Rani dan berhenti di bongkahan pantat Rani sebelah kiri, lalu diremasnya bongkahan pantat itu diselingi sedikit tamparan ke pantat kiri Rani.

Petualangan tangan kananku pun terhenti di area selangkangan Rani. Diawali dengan sentuhan lembut di belahan pantatnya menuju permukaan lubang anusnya. Kumainkan sebentar jari tengah tangan kananku di sana yang sudah basah terkena lelehan cairan kenikmatan dari vaginanya. Lalu jari tengah tangan tanganku terus bergerak menuju lubang vaginanya yang sudah basah akibat bergesekan dengan batang penisku sebelumnya.

Kucelupkan ujung jariku sedalam satu ruas jari di lubang vaginanya lalu kukocok dengan kecepatan sedang yang membuat Rani semakin mendesah tidak beraturan. Tidak hanya kukocok, lubang vagina Rani juga kukorek-korek dengan ujung jari tengahku sambil sesekali kumainkan klitorisnya yang sudah mengeras dan kurasakan cairan kenikmatan Rani yang beberapa kali merembes keluar dari lubang vaginanya.

Rani melonjak-lonjak saat jari tengahku masuk seluruhnya dalam vaginanya dan kukocok dengan agak cepat sementara mulutku masih terus menghisap puting kanannya. Kocokan jari tengahku di vaginanya kulanjutkan dengan gerakan memutar jari tengahku dalam vaginanya. Kurasakan dinding lubang vaginanya yang bergerenjal dengan sesekali ujung jariku menyentuh mulut rahimnya.

“Aach aach aachh”, desah Rani seiring dengan pergerakan jari tengahku di vaginanya.

Tidak lama kemudian tubuh Rani terlonjak-lonjak semakin cepat dan bergetar seperti orang yang menggigil kedinginan dan diakhiri dengan tubuhnya yang mengejang sambil kedua tangannya meremas samping kanan kiri kepalaku dengan mulut dan hidungnya ditempelkan di bagian atas kepalaku. “Ooouuugghhhh… ”, jerit Rani panjang.

“Haah haah haah”, nafas Rani terengah-engah. Setelah tubuhnya melemas kembali, kedua tangannya di tempatkan di kedua pipiku lalu menarik wajahku untuk kemudian diciumnya bibirku sambil mengucap “i love you Mas”.

“Love you too”, sahutku sambil membalas ciumannya.

Setelah beberapa saat berciuman, aku berkata, “aku masukin ya?”. Rani pun menjawab dengan anggukan dan senyuman yang membuat wajahnya semakin cantik dan berkilau saat itu.

Lalu kuarahkan batang penisku yang sudah keras sempurna dan basah akibat semprotan cairan vagina Rani saat orgasme tadi. Kutempelkan ujung kepala penisku ke vaginanya untuk mencari letak lubang vaginanya. Rani membantu dengan menggerakan pinggulnya agar posisi penisku tepat pada mulut vaginanya. Setelah dirasakan pas, Rani menurunkan tubuhnya perlahan-lahan sehingga perlahan pula batang penisku tenggelam ditelan lubang vaginanya.

“Aaacch”, desah Rani saat kepala penisku menyentuh ujung dinding vaginanya. Dinding vaginanya yang hangat terasa sedikit berkedut saat menyelimuti seluruh batang penisku. Lalu dia pun kembali mencium bibirku.

Saat Rani menciumku itu, bisa kulihat posisi Mba Dita yang sempat terabaikan. Dia masih tetap duduk dihadapanku berjarak sekitar satu setengah meter. Tapi kondisinya sekarang sudah berbeda dari terakhir kulihat.

Mba Dita duduk bersandar di kursi dengan baju yang sudah terbuka seluruh kancingnya. Terlihat payudaranya yang besar masih terbungkus oleh bra warna hitam. Puting kanan Mba Dita sudah menyembul keluar dari bra akibat remasan-remasan tangan kirinya di payudara kanannya yang saat ini masih berlangsung.

Sementara itu kedua kakinya terbuka lebar sehingga terlihat jelas daerah selangkangan Mba Dita yang masih memakai celana dalam berwarna hitam berenda. Celana dalam Mba Dita tidak lagi menutupi vagina Mba Dita, karena tersingkap ke arah kiri tubuh Mba Dita sehingga aku dapat melihat jelas ketika lubang vagina Mba Dita terlihat basah itu dirojok berkali-kali oleh jari tengah dan jari manis tangan kanan Mba Dita.

Mata Mba Dita berulang kali terpejam dan kemudian terbuka memandang aku dan Rani dengan penuh hasrat nafsu birahi.

Sambil tetap mencium Rani, mataku terpaku memandang apa yang sedang Mba Dita lakukan. Aku memang sangat menyukai melihat wanita yang sedang bermasturbasi. Sementara itu, Rani perlahan-lahan mulai menggoyangkan pinggulnya ke depan dan ke belakang, membuat gesekan antara batang penisku dengan dinding dan bibir vaginanya.

“Ugh ugh ugh ugh”, desah Rani seiring dengan bertambahnya tempo kecepatan kocokan vagina Rani terhadap batang penisku. Rani tidak kuasa untuk menciumku lagi. Dirinya fokus pada goyangan maju mundur pinggulnya. Sepertinya Rani mencoba meraih orgasmenya yang kedua malam ini.

Sementara itu dihadapanku Mba Dita mengocok vaginanya dengan kedua jari tangan kanannya semakin cepat. Tangan kirinya semakin agresif meremas payudaranya dengan sesekali memilin-milin puting kanannya. Tubuh Mba Dita semakin melonjak-lonjak dan bergetar hebat hingga “aaacchh.. ”, dengan satu jeritan panjang Mba Dita mencapai orgasmenya dan mencabut kencang kedua jarinya dari lubang vaginanya hingga dari vaginanya menyemprot cairan kira-kira setengah meter hampir mengenaiku dan Rani.

Tubuh Mba Dita kejang-kejang tak karuan. “Hah hah hah uugh”, desahnya menikmati orgasme hasil karyanya sendiri. Ditepuk-tepuk vaginanya di area klitorisnya yang membuat muncrat cairan yang masih keluar meleleh dari dalam liang vaginanya. Lalu diputar-putar klitorisnya dengan telunjuk kanannya menikmati sisa-sisa orgasme yang tadi didapatnya.

Melihat pemandangan itu, aku menjadi tidak sabar untuk merasakan jepitan vagina Mba Dita. Kucoba membantu Rani mempercepat meraih orgasmenya. Kuletakkan kedua tanganku di bongkahan pantatnya. Kutambah kecepatan goyangan pinggulnya dengan bantuan kedua tanganku. Sambil kucengkeram pantatnya, kumajumundurkan pantat Rani sehingga gesekan antara vaginanya dengan batang penisku semakin cepat.

Batang penisku merasakan semakin banyaknya cairan hangat yang berada dalam liang kenikmatan Rani hingga menambah licinnya gesekan penisku dengan vaginanya. Ditambah lagi, kumasukkan satu ruas jari tengah tangan kananku di lubang anusnya, yang juga seolah-olah ikut mengocok lubang anus Rani saat tanganku menggerakkan maju mundur pantat Rani.

“Ach ach ach terus Mas”, desahan Rani semakin semakin keras dan goyangan Rani semakin cepat.

“Akh akh akh khu sampe Mas”, jeritnya dengan tubuhnya yang melonjak-lonjak dan bergetar hebat diakhiri dengan tubuhnya yang mengejang sambil memeluk erat tubuhku. Aku pun membalas memeluk erat tubuh Rani. Batang penisku merasakan dinding vagina Rani yang berdenyut-denyut. Cairan kenikmatan dari vagina Rani merembes keluar membasahi pangkal penisku dan area pangkal pahaku.

“Hah hah enak banget Mas”, sahutnya masih dengan nafas yang terengah-engah. “Lemessh”, sahutnya lagi. Rani pun menyandarkan kepalanya di bahu kiriku dengan wajah menghadap ke wajahku hingga hembusan nafasnya yang masih tersenggal-senggal bertiup ke leherku. Batang penisku masih menancap setia di dalam lubang vagina Rani.

“Udah, gantian”, tiba-tiba suara Mba Dita dari belakang tubuh Rani. Tubuh Rani sontak tegak kembali dan kepalanya menengok ke arah sumber suara. “Mau ngapain Mba? ”, sahut Rani terkejut saat melihat Mba Dita berdiri di samping kanannya dengan tubuh telanjang bulat. Rupanya Rani tidak menyadari apa yang tadi Mba Dita lakukan selama Rani dan aku bercinta.

“Sstt”, sahut Mba Dita dengan memberi aba-aba tangan kepada Rani untuk segera menyingkir dari pangkuanku.

Dengan perasaan kesal dan tak rela, Rani beranjak dari pangkuanku. Flop, batang penisku yang masih tegak sempurna tercabut dari vagina Rani. Terlihat bulu kemaluanku yang basah kuyup dan lengket oleh cairan vagina Rani. Lalu Rani pun berpindah ke atas tempat tidur di belakangku. Aku bisa melihat raut wajah Rani yang cemburu.

Mba Dita mengambil posisi yang sama dengan Rani, menempatkan kedua kakinya yang sudah ditekuk di samping kanan dan kiri pahaku. Diraihnya batang penisku dengan tangan kanannya dari belakang tubuhnya, lalu diarahkannya ke arah liang vaginanya. Diturunkan pantatnya ke bawah agar vaginanya bisa menelan batang penisku.

Berbeda dengan vagina Rani, vagina Mba Dita terasa lebih sempit. Ini dibuktikan usahanya untuk memasukan batang penisku ke dalam vaginanya. Berkali-kali pantatnya diturunkan kemudian dinaikan lagi sedikit, lalu diturunkan lagi lebih ke bawah lalu di naikan lagi sedikit. Terus sampai hampir seluruh batang penisku masuk ke dalam lubang vagina Mba Dita.

“Ugh”, lenguh Mba Dita saat kepala penisku menubruk dinding terdalam vaginanya.

Dimulai dengan goyangan pinggulnya maju mundur secara perlahan, Mba Dita mengocok batang penisku dengan vaginanya. Otot vaginanya menjepit batang penisku, mengocok batang penisku dengan eratnya.

Masih tak rela aku menyetubuhi kakak kandungnya, Rani memeluk tubuhku dari belakang. Menciumi pundakku dan leher belakangku. Payudara Rani menempel dipunggungku, bisa kusarasakan kedua putingnya yang kembali mengeras. Begitu pula payudara Mba Dita yang menempel di dadaku. Kedua putingnya bergesekan dengan dadaku seiring dengan goyangan pinggulnya yang maju mundur kadang bergoyang naik turun.

Lubang vagina Mba Dita yang awalnya masih terasa kesat, sedikit demi sedikit menjadi licin, tapi tetap tidak mengurangi cengkramannya di batang penisku. “Haahh sshhh haaahh”, desah Mba Dita seiring goyangan maju mundur pinggulnya yang bertambah cepat. Kutempatkan kedua tanganku di kedua bongkahan pantatnya yang montok, turut membantu goyangan pinggulnya dan juga menjaga agar tubuh Mba Dita tidak jatuh ke bawah.

“Haah haah haah”, desahan Mba Dita sedikit tertahan, karena selain menggoyangkan pinggulnya, Mba Dita juga menekan tubuhnya ke bawah agar lubang vaginanya semakin membenamkan batang penisku. Seolah-olah Mba Dita sedang mengulek-ulek batang penisku. Aku bisa merasakan benturan-benturan kepala penisku dengan mulut rahimnya, membuatku merasakan sedikit ngilu di kepala penisku.

Sejak tadi tangan kiri Mba Dita berada di pundak kananku, ikut menjaga keseimbangan tubuhnya yang terus menggoyangkan pinggulnya. Sementara tangan kanan Mba Dita terus meremas-remas payudara kanannya dan memilin-milin puting kanannya, sedangkan puting kirinya terkadang bergesekan dengan dada kananku, tulang punggungnya yang melengkung ke depan, serta matanya menatap mataku dengan pandangan sayu dan sesekali terpejam menikmati pergulatan birahi ini.

“Mas.. mau lagi..”, bisik Rani tiba-tiba di telinga kananku. Rupanya Rani kembali bergairah melihat pergulatanku dengan Mba Dita.

“Aku oralin aja mau?”, tanyaku ke Rani.

“He eh”, jawab Rani sambil mengangguk.

Aku pun berpaling ke arah Mba Dita. “Sebentar Mba, ganti posisi”, sahutku ke Mba Dita.

“Gangguin orang lagi enak aja elo Ran”, sahut Mba Dita sambil memanyunkan bibirnya ke arah Rani. Lalu Mba Dita pelan-pelan bangkit dari pangkuanku.

“Eegh”, desah Mba Dita pelan saat seluruh penisku keluar dari lubang vaginanya.

Kemudian Mba Dita beranjak dari kedua pahaku ke atas tempat tidur di samping kiriku. Sempat kulihat vagina Mba Dita yang sedikit tembem dengan area labia mayora yang gundul dan labia minoranya yang basah oleh cairan kenikmatannya.

Rani yang sejak tadi berada di belakang tubuhku, segera bergeser sedikit ke kanan tubuhku, memberikanku ruang untuk memindahkan tubuhku ke tengah tempat tidur. Kutarik tubuhku ke tengah tempat tidur. Kemudian kutempatkan bantal di pojok tengah kepala tempat tidur, lalu kurebahkan kepalaku di bantal dengan posisi tubuh terlentang.

“Aku pipis dulu”, sahut Rani. Segera Rani turun dari tempat tidur dan setengah berlari menuju kamar mandi.

Mba Dita sudah berada di atas tempat tidur di samping paha kiriku. Digenggamnya batang penisku dengan tangan kirinya. Lalu dikocoknya batang penisku pelan-pelan. Mba Dita meludahi telapak tangan kirinya, kemudian dilumuri kepala penisku dengan air liurnya yang ada di telapak kirinya. Selanjutnya Mba Dita mengangkangi tubuhku dengan bertumpu pada kedua lututnya.

Blesshh. “Ach”, jerit Mba Dita tertahan saat vaginanya menelan batang penisku. Mba Dita menyondongkan badannya ke arahku dengan bertumpu pada kedua tangannya di kanan dan kiri tubuhku, mendekatkan bibirnya ke bibirku. “Menang banyak lo ya”, sahutnya pelan sebelum bibirnya yang mungil melumat bibirku penuh nafsu.

Mba Dita mulai menggoyangkan pinggulnya, membuat vaginanya yang rapat mengocok batang penisku naik turun. Aku membalas serangan Mba Dita dengan meremas-remas payudara kirinya dan memilin-milin puting kirinya dengan tangan kananku. Putingnya yang keras dan payudaranya yang besar masih terasa kenyal menjadi sasaran pelampiasan rasa gemasku.

“Mba, geser, aku juga mau”, sahut Rani tiba-tiba. Aku tidak menyadari sejak kapan Rani ada di samping kananku. Rani duduk bersimpuh di atas kedua kakinya.

Tangan kananku kualihkan ke arah Rani. Kuusap kedua pahanya bergantian, lalu menjalar ke arah payudaranya. Kuremas-remas dan kumainkan putingnya bergantian kiri dan kanan, sambil tetap bibirku meladeni ciuman ganas Mba Dita. Kemudian tangan kananku beralih ke arah perut Rani, terus menuju ke arah pangkal pahanya.

Bulu-bulu vaginanya yang tercukur rapih masih terasa lembab dan kesat akibat terkena siraman air. Kuusap-usap permukaan vaginanya dengan jari-jari tanganku. Kuputar-putar tanganku memainkan vagina Rani. “Hhh hhh hhh”, nafas Rani semakin berat Saat kumainkan klitoris Rani dengan jari tengahku. Kemudian kusorong jari tengahku ke arah lubang kenikmatan Rani.

Kumainkan lubang vagina Rani dengan ujung jari tengahku. Ke depan ke belakang, kemudian berputar, membuat Rani ikut menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama jari tengahku.

Mba Dita menyudahi ciumannya dengan satu kecupan panjang di bibirku. Lalu Mba Dita menegakkan badannya. Selanjutnya Mba Dita memutar tubuhnya perlahan ke arah kanannya, tanpa melepaskan penisku dari lubang vaginanya.

Aku merasakan batang penisku seperti diplintir, mengingat lubang vagina Mba Dita yang sempit. Seperti halnya diriku, Mba Dita pun terengah-engah saat memutar tubuhnya. Sepertinya Mba Dita merasakan sensasi tertentu yang hanya dia sendiri tahu.

Sekarang tubuh Mba Dita dalam posisi memunggungiku. “Lurusin kaki lo”, perintah Mba Dita kepadaku. Aku pun meluruskan kedua kakiku, sehingga kedua kaki Mba Dita berada di samping kanan dan kiri pahaku, sementara bokong Mba Dita yang montok duduk di tulang selangkaku dengan vaginanya yang masih tertancap batang penisku.

Mba Dita mulai menggoyangkan pinggulnya maju mundur, sambil sesekali membuat gerakan berputar, membuat kepala penisku mengaduk-aduk lubang kenikmatannya. Berkali-kali kepala penisku berbenturan dengan mulut rahimnya, hingga Mba Dita mendesah dan meracau terus menerus.

“Sini meki kamu Ran”, sahutku ke Rani. Kulepaskan tangan kananku dari vagina Rani. Rani pun bangkit dan mengangkangkan kakinya di atas kepalaku dan bertumpu pada kedua lututnya. Sementara kedua tangannya berpegangan pada kepala ranjang. Vagina Rani dengan labia minoranya yang sedikit keluar, hanya berjarak beberapa centimeter dari mulutku.

Dengan sedikit menarik kedua pangkal pahanya dengan kedua tanganku, kudekatkan vagina Rani ke arah mulutku. Dapat kucium aroma harum khas vagina.

Kumainkan klitoris Rani dengan ujung lidahku, Rani pun menggelinjang. Kuteruskan dengan sapuan dari lubang vaginanya ke klitorisnya. “Ach ach ach”, desah Rani saat kubenamkan mulutku di vagina Rani dan lidahku mulai berputar-putar di dalam lubang vaginanya, sambil sesekali kusedot klitoris Rani yang sudah mengeras.

Sementara itu di bagian bawah tubuhku, kurasakan goyangan Mba Dita semakin cepat. Jepitan vaginanya semakin kencang meremas batang penisku. Mba Dita semakin meracau tidak karuan. Hinggaa… “Aaacchh”, jeritan panjang Mba Dita kudengar, batang penisku terlepas dari cengkraman vagina Mba Dita diiringi semburan cairan hangat menerpa daerah pangkal pahaku.

Selanjutnya Mba Dita sepertinya beranjak dari atas tubuhku, berpindah ke samping kananku. Aku tidak dapat melihat posisinya, tapi aku masih mendengar suara nafasnya yang masih tersenggal.

Aku masih berusaha memuaskan nafsu birahi Rani. Mulutku tetap kubenamkan dalam vagina Rani, terus menggaruk-garuk vagina Rani dengan mulutku. Menyedot dengan kuat klitoris Rani, menghisap kuat bibir vagina Rani, diiringi sapuan-sapuan lidahku di dalam lubang vagina Rani. Saat itu, aku kembali merasakan kehangatan pada batang penisku.

Penisku kembali terasa dikocok. Tapi kali ini bisa kurasakan ada benda keras sesekali menyentuh batang penisku. Mba Dita mengocok penisku dengan mulutnya. Sesekali Mba Dita menghisap kepala penisku dan dimainkan lidahnya di kepala penisku. Salah satu tangannya berada di pangkal penisku, membantu mulutnya mengocok batang kenikmatanku.

Batang penisku mulai berkedut-kedut. Aku merasakan spermaku sudah sampai dipangkal penisku, mendesak untuk segera menyemprot keluar. Mba Dita sepertinya merasakan itu. Dia mengocok batang penisku menggunakan tangannya semakin cepat, sementara mulutnya menghisap-hisap kepala penisku. Dan… “aaacchh”, aku mengerang disertai tubuhku yang mengejang.

Orgasmeku ini berefek pada daya hisapku di vagina Rani. Hisapanku semakin keras ke klitoris Rani, tubuh Rani menggelinjang cepat. “Ach ach ach aaaacchh mmhhaasss”, jerit Rani diiringi tubuhnya yang mengejang dan disertai derasnya cairan vagina Rani yang keluar dari lubang kenikmatannya. Tidak sederas Mba Dita, tapi cukup membuatku gelagapan menerimanya dengan mulutku.

Kemudian Rani beranjak dari kangkangannya di kepalaku. Merebahkan tubuhnya di samping kiriku, karena Mba Dita sedang berbaring di kananku sedikit ke bawah. Lalu Rani menciumku dengan mesranya. “Enak banget Mas, makasih”, sahut Rani pelan sambil menciumku. Selesai menciumku, Rani memelukku dan merebahkan kepalanya di dadaku.

Aku memegang daerah di sekitar penisku dengan tangan kananku. Terasa lengket. Kucoba menciumnya dengan mendekatkan tangan kananku ke hidungku, tapi aku tidak mencium adanya bau sperma. Aku merasakan ada kejanggalan. Ya, aku tak merasakan adanya spermaku yang menetes di sekitar penisku. Rupanya Mba Dita menghisap dan menelan suruh spermaku yang keluar, karena dia sama sekali tidak beranjak dari tempat tidur.

Kulihat mata Rani terpejam, terdengar dengkuran halus dari hidungnya. Mba Dita pun sedang memejamkan mata. Kubelai kepala Mba Dita dengan tangan kananku. Aku mencoba memejamkan mata pula, menikmati momen saat ini bersama kedua saudari kandung istriku sendiri.

**

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu