1 November 2020
Penulis —  perverts

Mbak Dita, kakak iparku juga istri sahabatku

Panggilan terakhir kepada penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA tiga nol empat, silahkan masuk ke pesawat melalui pintu tujuh belas. This is a final call for all passengers of Garuda Indonesia flight number GA three zero four for destination to Surabaya, please boarding through gate seventeenth.

Terdengar suara wanita menggema di seluruh bangunan terminal yang baru dan modern ini, memberikan pemberitahuan terakhir untuk naik ke pesawat yang akan kutumpangi sebelum pintu gerbang menuju pesawat ditutup. Kulihat antrian pemeriksaan boarding pass dan kartu identitas di pintu gerbang masih ada sekitar sembilan penumpang lagi yang mengantri.

“Loh, Rio? ”, tiba-tiba suara wanita memanggil namaku. Reflek aku menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara itu. Tepat di arah belakangku berdiri seorang wanita berusia tiga puluh dua tahun, dengan tinggi sekitar seratus lima puluh tiga dan berat empat puluh empat kilogram, berkulit coklat eksotis, yang saat ini menggunakan pakaian rok selutut warna biru tua dengan atasan kemeja putih yang dipadu dengan blazer senada dengan bawahannya.

“Eh ada Mbak Dita, mau kemana Mbak?”, jawabku membalas sapaannya. “Mau ke Surabaya”, sahutnya.

“Lah bareng dong?! Gue juga mau ke Surabaya”, ucapku sambil tanganku menunjuk ke arah pintu pemeriksaan masuk pesawat.

“Bukan yang ini, gue masih nanti sejam lagi. Ngga kebagian tiket yang setengah tujuh”, sahut Mbak Dita.

“Ooo gitu. Rencana berapa hari Mbak di Surabaya?”, tanyaku.

“Cuma tiga hari kok, kamis juga udah balik. Elo sendiri berapa hari?, ucapnya. “Tentative Mbak, yang pasti sih besok masih di sana”, jawabku.

Kulihat lagi antrian di pintu pemeriksaan masuk pesawat tinggal dua penumpang lagi, aku pun berkata ke Mbak Dita, “Gue duluan ya Mbak, udah final call nih. Nanti kabar-kabaran ya”, basa-basiku. “Bye Mbak”, lanjutku.

“Ok, bye. Hati-hati ya”, jawabnya diiringi senyumannya yang manis.

Kulangkahkan kakiku menuju pintu pemeriksaan boarding pass dan disambut sapaan serta senyuman dari petugasnya yang menurutku cantik, kubalas sapaan dan senyumannya sambil menyodorkan boarding pass dan ktp milikku.

Di pesawat, aku duduk di bangku nomor empat puluh enam k, bangku paling belakang di ujung dekat jendela kanan pesawat. Bangku itu merupakan bangku favoritku. Karena menurut statistik, penumpang yang duduk di bagian belakang pesawat mempunyai tingkat keselamatan lebih tinggi daripada penumpang yang duduk di bagian depan atau tengah apabila terjadi kecelakaan.

Selain itu juga, bagian belakang ini sering kosong jarang peminatnya, sehingga para pramugari dapat ikut duduk di deret bangku belakang pada saat istirahat sebelum menjalankan tugasnya lagi melayani penumpang. Hal ini dapat aku manfaatkan untuk sekedar mengobrol dan berkenalan dengan mereka, iseng-iseng siapa tahu ada yang nyangkut hehehe.

Tampaknya harapanku hari ini belum bisa terkabul, karena terlihat bangku sebelah kiriku sudah ditempati penumpang lainnya.

Setelah selesai memasang sabuk pengaman, aku kabari Risa, istriku, kalau pesawat yang aku tumpangi akan segera lepas landas, tidak lupa juga kuceritakan kalau tadi aku sempat bertemu dengan kakaknya, Mbak Dita. Selanjutnya segera aku non aktifkan ponselku.

**

Kurebahkan diriku di kasur kamar hotel setelah seharian berkutat dengan rapat dan rapat. Kepejamkan mata sejenak sambil menikmati empuknya kasur ini. Kamar masih terasa hangat, karena belum beberapa lama pendingin udaranya dinyalakan.

Kuraih ponselku untuk melihat kembali beberapa pesan yang belum sempat aku baca karena kesibukanku seharian ini. Ada satu pesan ternyata dari Mbak Dita. Terlihat dilayar ponsel pesan itu diterima jam lima belas lewat tiga puluh enam menit. Sudah hampir tiga jam yang lalu. Kubuka pesan itu dan tertulis, “Malam ini nginap di mana Rio?

“Jadinya nginap di hotel X, Mbak. Mbak Dita sendiri nginap di mana? Sorry Mbak telat bales, sibuk rapat seharian tadi”, tulisku dan segera kupencet tombol ‘kirim’ di ponselku.

Aku pun melanjutkan kembali membaca pesan-pesan lainnya yang belum aku baca, lalu mengirimkan kabar ke istriku kalau aku sudah berada di hotel. Tak lama kemudian ponselku bergetar, menandakan ada pesan baru yang masuk.

“Wah ngga begitu jauh donk dari hotel gue. Gue di hotel Y. Elo udah acara belum malam ini? Kalo belum, temenin gue makan yuk? Laper nih”, bunyi pesan dari Mbak Dita.

Aku cukup bingung juga menjawab pesan dari Mbak Dita. Karena sejujurnya aku merencanakan untuk istirahat aja di kamar hotel malam ini, mempersiapkan energi untuk kegiatan besok. Yapi tidak enak juga menolak ajakan kakak iparku. Yasudahlah iyakan aja, toh jarang juga aku bisa ketemu berdua gini dengan Mbak Dita.

“Boleh Mbak. Mau di mana makannya? Tapi traktir gue yaa? Hehehe”, bunyi pesan balasanku ke Mbak Dita.

“Traktir mah gampang. Di Ice Cream Z aja. Gue lagi pengen es krim. Jam delapan ya? Gue langsung tunggu di sana”, tulis pesannya.

“Ok Mbak”, balasku singkat. Aku pun bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi, untuk segera membersihkan diri, karena waktuku tidak lebih dari dua puluh menit untuk datang ke lokasi yang ditentukan.

**

Setibanya di Ice Cream Z, terlihat dari jauh Mbak Dita melampaikan tangannya sambil berdiri, memberi isyarat kepadaku untuk menuju ke tempatnya. Dia memakai pakain casual, rok ketat warna krem selutut yang membuat pinggul dan bongkahan pantatnya semakin jelas terlihat, dipadu dengan kaos ketat warna hitam dengan kerah v, sehingga terlihat belahan payudaranya yang kira-kira berukuran tiga empat c.

Mbak Dita ini memang cantik, tapi memang bukan tipeku. Dengan rambut sebahu, kulit kecoklatan. Wajahnya mirip dengan istriku, Risa. Tapi yang ini versi kulit lebih gelap, postur lebih pendek, payudara yang lebih besar tentunya. Payudara besar milik Mbak Dita ini sudah terlihat sejak dia SMP, ini salah satu daya tarik dirinya.

Banyak teman-temanku dulu yang bersaing berusaha mendapatkannya. Dia pernah menjadi presenter kemudian menjadi pembawa berita di salah satu tv nasional kepunyaan taipan negeri ini. Aku sudah mengenalnya sejak kecil, termasuk Risa, istriku. Rumah orang tuaku dulu dan rumah mertuaku masih satu perumahan dan masih dalam satu RW tetapi beda RT.

Mbak Dita menikah dengan salah satu sahabatku, Hari. Hari merupakan sahabatku sejak kecil. Umurku dengan Hari selisih satu tahun di bawahku. Sedangkan dengan Mbak Dita selisihnya denganku hanya tiga tahun lebih muda. Aku memanggilnya Mbak, sebagai penghormatanku karena aku menikahi adiknya.

Rumahku dengan rumah Hari hanya terpaut dua rumah. Banyak kenakalan-kenakalan masa anak-anak dan remaja kami lakukan bersama. Mulai dari bermain petasan, mencuri mangga milik tetangga, bermain kartu, bahkan minum minuman beralkohol.

Saat ini Mbak Dita dan Hari sudah diberi dua orang anak yang masing-masing berumur lima dan tiga tahun, dan tinggal di rumah sendiri sekitar lima belas kilometer dari rumahku saat ini.

Mbak Dita mengambil tempat di sudut kanan bagian luar teras bangunan. Malam ini Ice Cream Z tidak terlalu ramai, masih terlihat beberapa meja yang masih kosong. Sehingga dari tempat kami berada ke tempat pengunjung lainnya masih terpisahkan satu meja lagi.

“Udah dari tadi Mbak?”, sapaku duluan. “Ngga kok, paling sepuluh menitan lah”, jawabnya. “Elo mau pesen apa? Gue udah pesen duluan tadi. Udah kelaperan soalnya hehehe”, lanjutnya. Kemudian dia pun memberikan isyarat ke arah pelayan untuk meminta menu.

Setelah melihat-lihat menu, aku memutuskan memesan pizza dan es krim stroberi, dan meminta supaya pesananku tidak terlalu lama datangnya, karena perutku juga sudah cukup lapar.

“Kok sendirian aja Mbak? Orang kantor yang lain ngga ikut?”, tanyaku.

“Iya nih, harusnya sih sama boss gue. Tapi boss guenya mendadak ada acara lain hari ini, jadi baru bisa ke sini besok pagi. Nah elo sendiri kok ngga ada yang nemenin?”, tanyanya balik kepadaku.

“Oo gitu. Kalo gue emang kemana-mana jarang ngajak temen. Biar lebih leluasa dan bebas mau ngapain aja hehehe”, jawabku.

“Hayooo bebas ngapain emangnya nih, gue bilangin Risa ya”, sahutnya.

“Yaa bebas, kan udah gede ini hehehe”, jawabku sambil nyengir.

Tiba-tiba ponsel di kantong kanan celanaku bergetar. Aku keluarkan dari kantong, dan terlihat nama istriku muncul di ponselku. “Wah panjang umur nih, baru juga diomongin”, sahutku ke Mbak Dita, sambil ku geser layar sentuh ponsel untuk menerima telepon dari istriku.

“Mana sini biar gue yang jawab”, tiba-tiba Mbak Dita menyahut sambil tangannya meraih ponselku kemudian didekatkan ke telinganya.

“Halo, laki lo gue pinjem dulu ya”, itu kalimat pertama yang terucap dari bibir Mbak Dita. Selanjutnya aku tak mengerti lagi apa yang sedang mereka bicarakan di telepon. Satu dua kali, namaku disebut dalam obrolannya.

Sambil menunggu Mbak Dita teleponan dengan istriku dan pesanan makanan datang, aku ambil ponselku yang satu lagi dari kantong kiri celanaku. Kubuka aplikasi permainan favoritku, yaitu permainan kartu capsa susun. Tidak lama kemudian pesanan Mbak Dita datang disusul dengan pesananku.

“Nih, udah”, tiba-tiba Mbak Dita menyodorkan ponselku kepadaku. Langsung kuraih ponselku dan mendekatkannya ke telinga kiriku. “Halo, halo, lah udah dimatiin handphone-nya?”, sahutku.

“Hehehe iya”, jawabnya tanpa berdosa. “Trus ngapain donk Risa telepon kalo ngga ngobrol ama gue?! Hadeeuuhh”, sahutku.

“Udaah, gampang nelpon mah. Makan dulu. Udah laper gue”, ucap Mbak Dita.

Kemudian aku kembali memasukkan kedua ponselku ke kantong celanaku, setelah sebelumnya aku keluar dari aplikasi permainan capsa susun di ponselku yang satunya.

Kami pun mulai memakan makanan yang kami pesan. Di sela-sela aktifitas kami makan, kami mengobrol ngalor ngidul tentang perkembangan dinamika kantor kami masing-masing, dan juga tentang berita-berita terhangat yang sedang trend saat ini. Sambil mengobrol, sesekali aku curi-curi pandang ke arah bongkahan padat yang menyembul dari bajunya, yang terlihat jelas sedikit belahan payudaranya, sehingga sedikit banyak membuat diriku ingin meremasnya dan menghisap payudaranya.

“Elo abis ini mau kemana?”, tanya Mbak Dita tiba-tiba membuyarkan pikiran kotorku.

“Ngga kemana-mana Mbak, paling langsung ke hotel”, jawabku.

“Lanjutin ngobrol di hotel gue aja yuk? Di sini banyak nyamuk nih”, sahut Mbak Dita disertai tepukan tangan kirinya ke kakinya. “Ngga jauh kok hotelnya, sekitar dua ratus meteran lah. Kita jalan kaki aja”’ lanjutnya lagi.

“Mm.. bolehlah. Ngga jauh kan? lagi lemes nih gue”, sahutku.

“Kaya abis ngapain aja lo lemes hehehe”, tanggapnya disertai senyum yang penuh arti. “Bentar gue bayar dulu”, sahutnya disertai lambaian tangan ke pelayan untuk meminta tagihan makanan yang telah kami makan.

Tidak lama kemudian, pelayan membawakan tagihan dan disodorkannya tagihan itu ke Mbak Dita. Sebelum Mbak Dita sempat mengambil tagihan itu, aku langsung menyambar mengambilnya dari tangan pelayan. Karena bagiku, pantangan untuk dibayarin makan oleh wanita, walaupun wanita itu sudah berjanji akan menraktirku.

“Udaah santai aja Mbak, kan sekali-sekali ini bayarin Mbak hehehe”, sahutku. “Duh jadi gue yang ngga enak nih. Tau gitu gue cari tempat makan yang mahalan hehehe”, sahut Mbak Dita.

“Nah justru itu, gue cuma mampunya bayarin yang di sini”, jawabku sambil nyengir kuda.

Aku pun mengambil tiga lembar uang limah puluh ribuan dari dompetku dan menyerahkannya kepada pelayan. “Nih Mas, nanti ambil aja kembaliannya”, sahutku kepada pelayan. “Terima kasih Pak”, jawab pelayan itu.

“Yuk Mbak”, ajakku ke Mbak Dita, aku bangkit dari dudukku. Kami pun melangkah keluar Kedai Ice Cream Z.

Kami berjalan menuju hotel tempat Mbak Dita menginap, sambil berbincang ringan disertai senda gurau menikmati suasana malam kota terbesar di wilayah Jawa Timur ini.

Tidak sampai lima belas menit, kami sudah sampai di depan pintu kamar. Mbak Dita mengeluarkan kunci elektronik dari dompetnya dan menempelkannya di atas gagang pintu kamar. Setelah lampu warna hijau menyala, Mbak Dita pun membuka pintu dan masuk terlebih dahulu. “Masuk Rio”, sahutnya.

Aku pun segera untuk menyusulnya masuk ke dalam kamar. “Tolong sekalian tutup pintunya ya”, pinta Mbak Dita.

Ruangan kamarnya cukup luas, sekitar enam meter kali enam meter. Begitu masuk kamar, langsung terlihat sofa yang cukup untuk diduduki tiga orang, menghadap langsung ke arah pintu, dan di dinding sebelah kiri terpasang televisi ukuran empat puluh dua inchi yang di bawahnya menempel meja ukuran setengah meter kali tiga meter yang terdapat beberapa cangkir, water heater dan makanan ringan lainnya.

Di sebelah kiri pintu, terdapat lemari untuk menggantung pakaian dan terdapat kotak penyimpanan barang berharga. Sedangkan kamar mandinya di sebelah kanan pintu masuk, tepat berhadapan dengan lemari terdapat kamar mandi ukuran dua setengah meter kali empat meter. Tempat tidurnya ada di sisi kanan kamar setelah kamar mandi, dengan ukuran queen size dengan nakas (meja kecil) di sisi kanan dan kirinya.

“Sebentar gue ke toilet dulu. Udah kebelet”, ujarnya sambil meringis. “Elo duduk aja dulu”, ujarnya lagi.

Aku langsung menuju sofa, mengambil posisi duduk di tengah-tengah sofa, karena di sisi kanan sofa terdapat tas koper Mbak Dita yang dalam posisi terbuka, sedangkan kalau duduk di sisi kiri, aku akan kesulitan menonton televisi.

Posisi koper sekarang ada di sisi kiriku. Terlihat dari dalam koper susunan pakaiannya sudah tidak rapih lagi. Rupanya isinya sebagian sudah dikeluarkan dan memang terlihat di lemari terdapat beberapa baju seragam Mbak Dita yang sudah dalam posisi tergantung rapih. Yang membuat aku penasaran, di dalam koper itu terdapat pakaian dalam, baik itu celana dalam maupun bra milik Mbak Dita.

Aku pun iseng melihat dan mengambil bra yang berwarna hitam untuk mencari berapa ukurannya. Dan memang benar dugaanku, ukuran bra Mbak Dita tiga empat c. Bra dan celana dalam yang dibawa Mbak Dita mayoritas berwarna hitam, sesuai dengan sifatnya yang berani dan ambisius. Kemudian aku melihat-lihat celana dalam yang ada di koper.

Ceklek, pintu kamar mandi terbuka. Buru-buru aku letakkan kembali g-string Mbak Dita ke tempat semula. “Rio, kalau mau minum ambil sendiri ya. Itu ada teh sama kopi kalo mau bikin”, ucapnya dengan posisi masih di depan pintu kamar mandi. “Iya Mbak, gampang”, jawabku pura-pura sedang memainkan ponselku dengan tangan kanan, sambil sedikit menggeser posisi dudukku ke kanan menjauhi koper.

Mbak Dita berjalan menghampiri sofa yang aku duduki. Aku tidak terlalu memperhatikan sikapnya karena aku pura-pura sibuk bermain ponsel dengan menyandarkan kepalaku di sandaran sofa. Semula aku berpikir Mbak Dita mau mengambil pakaiannya yang ada di koper.

Alangkah kagetnya aku tiba-tiba Mbak Dita sudah berada di depanku. Tindakan dia selanjutnya yang membuat aku gugup gelagapan. Ditepisnya sedikit tangan kanan ku ke arah kanan, ditariknya sedikit roknya ke atas, lalu ditempatkan lututnya di samping kanan dan kiri pahaku, kemudian menempatkan pantatnya yang hangat di pahaku.

“Kenapa? Kaget ya?”, tanya Mbak Dita diiringi senyuman menggodanya. “I, i, iya Mbak”, jawabku gugup.

“Gue tau dari tadi elo penasaran sama ini kan? ”, sahutnya sembari mengambil tangan kiriku dengan tangan kanannya dan menempatkannya di payudara kanannya. Rupanya dia memperhatikanku curi-curi pandang ke payudaranya. Namun saat ini tubuhku masih kaku, bingung untuk berbuat apa. Posisi jidatnya sekarang sudah bersentuhan jidatku.

“Cium gue”, perintah Mbak Dita disertai bibirnya menyasar bibirku. Aku perlahan-lahan bisa menguasai tubuhku. Ciuman Mbak Dita pun mulai aku tanggapi. Dimulai dengan kecupan-kecupan ringan dan dilanjutkan dengan pagutan-pagutan bibirnya dengan bibirku.

Tanganku pun tidak mau ketinggalan. Keletakan ponselku yang daritadi aku genggam. Kemudian tangan kananku mulai meremas-remas payudara kiri Mbak Dita yang masih ditutupi bra dan bajunya. Sedangkan tangan kiriku memeluk punggungnya dengan mengusap-usap punggung Mbak Dita. Remasan pertamaku di payudara kirinya cukup membuat Mbak Dita tersentak keenakan.

Tangan kananku terus meremas-remas payudara kirinya. Tampaknya Mbak Dita memakai bra yang tipis khusus untuk tidur, karena terasa di telapak tangan kananku kalau putingnya sudah mulai mengeras. Remasan tanganku pun berganti menjadi usapan-usapan di sekitar putingnya yang masih terlindungi baju dan bra-nya.

Puas bermain dengan payudaranya, kedua tanganku pun turun ke bongkahan pantatnya. Aku sedikit kaget, karena pada saat tanganku turun dari punggung ke arah pantatnya, aku tidak menemukan adanya tonjolan garis kain celana dalamnya. “Nyari celana dalam gue ya? Udah gue copot kok. Basah”, sahutnya dengan nafas tidak teratur, menjawab kebingunganku.

Mendapat jawaban seperti itu, nafsu birahiku pun semakin tinggi. Aku angkat sedikit bongkahan pantatnya sambil kuremas. Kemudian aku tarik ujung bawah rok Mbak Dita sampai dengan pinggulnya, sehingga kulit pantatnya sekarang langsung bersentuhan dengan celanaku.

Plak.. aku tampar pantatnya dengan tangan kananku. Kemudian aku remas-remas kedua bongkahan pantatnya dengan kedua tanganku. Kuusap-usap pantat mulusnya. Perlahan-lahan jari tengah tangan kananku mulai bermain di sekitar dan di permukaan lubang anusnya. Mendapat sentuhan seperti itu, pantatnya mulai bergerak-gerak, bulu-bulu halus di pahanya pun mulai meremang.

“Geli, Rio. Sshh hhahh”, desahnya. Tidak sampai di situ, jari tengahku merambah ke area vaginanya. Kuusap-usap dengan sentuhan ringan ke paha bagian dalam Mbak Dita. Kumainkan jari tengahku ke ruang antara lubang vagina dan lubang anusnya. Di area itu kurasakan sudah basah, bukan basah karena air akibat Mbak Dita cebok tadi, tapi basah oleh cairan lendir sedikit lengket yang keluar dari lubang vaginanya.

Kulanjutkan aktifitasku dengan menusukkan satu ruas jari tengahku ke dalam lubang vaginanya yang sudah basah dan licin. Efeknya cukup membuat Mbak Dita kembali tersentak dan memekik tertahan serta menghentikan ciumannya ke bibirku. Perlahan-lahan aku mulai menggerakkan jari tengah ku keluar masuk lubang vaginanya tapi hanya sebatas satu ruas jari dengan tempo yang bervariasi.

Aku lumat bibir Mbak Dita yang masih menganga. Kutempatkan tangan kiriku di lehernya, menahan agar wajahnya tidak menjauhiku sehingga aku bisa tetap melumat bibirnya. Mbak Dita juga tidak tinggal diam, tangan kirinya mulai meremas-remas batang kenikmatanku yang sudah mengeras tapi masih diselimuti celanaku dan celana dalamku.

Kemudian jari jemarinya mulai berusaha untuk membuka kancing dan resleting celanaku. Usahanya pun berhasil, kancing dan resliting telah terbuka sehingga tangan kiri Mbak Dita dapat masuk ke dalam celana dalamku. Tangannya pun dengan bebasnya melanjutkan aktifitas meremas-remas batang penisku, tapi kali ini jarinya yang lembut langsung menyentuh batang penisku.

Jari tengah tangan kananku masih setia bermain di lubang vagina Mbak Dita. Kali ini jariku juga mencari klitoris Mbak Dita. Kudorongkan jariku ke arah klitorisnya dengan posisi satu ruas jari masih di dalam vagina. Dorongan jariku berakhir di klitoris Mbak Dita, lalu kumainkan klitorisnya yang sudah mengeras itu dengan ujung jariku.

Tangan kiriku membelai dan mengusap punggung Mbak Dita, tapi dalam posisi menelusup ke dalam bajunya, berusaha untuk mencari dan melepaskan kait penyangga payudaranya. Mengerti akan maksud dan tujuanku, Mbak Dita mengangkat kedua tangannya ke atas. Kuhentikan sementara aktifitas tangan kananku di vaginanya, dan ikut membantu tangan kiriku untuk melepaskan baju dan sekaligus bra yang masih dikenakan Mbak Dita.

“Wow”, refleks bibirku berbicara sebagai apresiasi kekagumanku atas payudara Mbak Dita. “Udah pasti gedean punya gue daripada si Risa lah ya”, tanggapannya sambil mengedipkan mata kirinya.

Terpampang jelas di hadapanku dua bongkahan bulat besar berukuran tiga puluh empat c berwarna kecoklatan, dihiasi bulu-bulu halus dengan areola berwarna coklat gelap dan puting seukuran ujung jari kelingkingku.

Kusergap kembali bibir Mbak Dita dan kucium dengan ganas diiringi permainan tangan kananku yang meremas-remas dan memilin-milin puting kirinya. Ciumanku bergeser menuju pipi kirinya, kemudian ke arah bawah telinga kirinya, berlanjut ke leher bagian kirinya. Tangan kiriku berada di punggungnya menahan tubuhnya agar tidak terdorong jatuh ke belakang, sementara tangan kananku masih dengan asyiknya memilin dan meremas payudara kiri Mbak Dita.

Posisi duduknya sudah tidak di atas pahaku lagi, melainkan sudah di pangkal pahaku. Vaginanya tepat berada di penisku yang masih terbalut celana dalam dengan kepala penis sudah sedikit keluar dari bungkusnya. Pinggul Mbak Dita mulai bergoyang untuk menggesek-gesekkan vaginanya pada batang penisku. Cairan vaginanya membasahi celana dalamku dan kepala penisku.

Mbak Dita mengerang saat puting kanannya kukulum dengan ganasnya. Jari tengah tangan kananku pun beraksi lagi menusuk-nusuk lubang kenikmatannya, membuat gesekannya semakin cepat dan liar. “Terus Rio, teruussh…”, racaunya.

“Aach aach aach”, desahan Mbak Dita diiringi gerakan pinggulnya semakin cepat. Kupercepat tusukan jari tengahku. Dan “aaacchh… ”, jerit Mbak Dita tertahan. Badannya pun mengejang, tangan kanannya menjambak rambutku membenamkan kepalaku dalam payudaranya, tangan kirinya menarik tangan kananku dari area vaginanya.

“Gile, bisa squirts elo Mbak”, tanyaku takjub. Mbak Dita hanya tersenyum, menikmati orgasmenya. Tubuhnya masih kaku mengejang dengan tangan kanannya masih tetap menjambak tambutku.

Tubuh Mbak Dita perlahan mulai melemas. Disentuhnya kedua pipiku dengan kedua tangannya. Diciumnya bibirku. “Jago juga tangan elo ya”, sahutnya. “Buka baju elo, gantian”, sahutnya lagi. Tangan kanan Mbak Dita kemudian mengusap-usap perutku. Aku pun melepaskan kaos yang kupakai dan melemparkannya ke tempat tidur.

Mbak Dita mencium bibirku kembali. Melumat bibir atas dan bawahku berulang kali. Perlahan ciumannya berubah menjadi kecupan. Kecupannya bergeser ke pipi kiriku, beralih ke leherku. Seiring aktifitas Mbak Dita itu, posisi duduknya juga mulai bergeser dengan menempatkan bokongnya di ujung kedua pahaku dekat lutut.

Kuarahkan kepalanya dengan tangan kananku ke arah dadaku sebelah kanan. Putingku sebelah kanan merupakan titik yang paling sensitif di bandingkan puting kiriku. Mbak Dita pun memperlakukan puting kananku seperti halnya terhadap puting kiriku, memainkan ujung lidahnya di putingku dan mengulumnya lembut.

Mendapat perlakuan seperti itu, nafsu birahiku semakin bergejolak. Kumainkan payudara kanan Mbak Dita dengan tangan kiriku. Keremas-remas dan kupilin-pilin puting kanan Mak Dita. Sementara itu, tangan kananku tetap berada di tengkuknya.

Rangsangan demi rangsangan yang diberikan Mbak Dita kepadaku terus dilakukan. Kecupannya juga menjalar ke arah perutku. Lalu Mbak Dita menurunkan kaki kirinya dari sofa dan meletakannya di antara kedua kakiku. Dibukanya kaki kanan dan kiriku, kemudian diturunkan kaki kanannya, sehingga sekarang kedua kakinya berada di lantai di antara kedua kaki dengan menjadikan kedua lututnya sebagai tumpuan badannya.

Dilorotkannya celanaku sekaligus celana dalamku sampai sebatas pahaku dengan kedua tangannya. Batang kemaluanku yang telah mengeras kaku pun langsung mencuat menunjuk tegak ke atas begitu terbebas dari himpitan celana dalamku. “Lumayan juga ya kontol lo”, sahutnya mengusik harga diriku. “Jangan lihat ukurannya, tapi lihat kemampuannya”, sahutku tidak mau kalah.

Dipegangnya batang kemaluanku dengan kedua tangannya yang halus. Dikocoknya perlahan-lahan batang penisku. Matanya terlihat sayu melihat penisku. Ukuran penisku memang tidak berbeda dengan pria Indonesia pada umumnya. Tetapi bentuknya yang unik telah sukses membuat para wanita yang pernah merasakannya menjadi tergila-gila.

Pada saat ereksi kepala penisku yang besar dan mengembang seperti kapala jamur, mengecil dan seperti ada sekat di leher penis, kemudian membesar di batang penis, dan mengecil kembali di pangkal penis. Tapi yang menjadi istimewa adalah urat-urat menonjol pada batang penisku yang membuat para wanita menggelinjang nikmat.

Mbak Dita mendekatkan wajahnya ke penisku. Melirik ke arahku sebelum akhirnya ujung lidahnya mulai menjilati lubang kencingku. Dimainkan ujung lidahnya di kepala penisku. Dimasukkannya kepala kemaluanku ke dalam mulutnya. Dihisapnya dengan kuat. Lalu Mbak Dita memainkan kepala penisku dengan lidahnya sambil tetap kepala penisku berada dalam mulutnya.

Dia melanjutkan dengan menjilati seluruh batang penisku. Menjilati pangkal penisku. Lalu didorongkannya penisku hingga menyentuh perutku. Dijilatinya permukaan bawah penisku, kemudian turun ke bawah dan dijilatinya buah zakar. Dihisap dan dikulumnya buah zakarku satu per satu. Dimainkannya pangkal buah zakarku dengan ujung lidahnya.

Mbak Dita mencoba mengangkat kedua kakiku dengan memgang bagian belakang lututku dengan kedua tangannya. Aku pun ikut membantunya dengan mengangkat kedua kakiku dan menekuknya seperti posisi setengah jongkok. Kemudian dimainkannya lubang anusku dengan ujung lidahnya. Disapunya seluruh permukaan lubang anusku.

Kutempatkan tangan kananku di kepala Mbak Dita. Sambil ku usap rambutnya yang lurus sebatas bahu. Mulutnya mulai menelan penisku. Tidak sampai seluruhnya, mulutnya terlihat kesulitan saat mencapai pertengahan batang kemaluanku yang menggemuk. Terus dia berulang kali memasukkan dan mengeluarkan penisku dalam mulutnya.

Aku ingin sedikit memberikan pelajaran kepadanya. Kutahan kepalanya pada saat dia akan mengeluarkan penisku dari mulutnya. Kutekan kepalanya sampai batas maksimal tenggorokkannya. “Grokh grokh grokh”, terdengar dari mulutnya dan matanya pun melirik ke arahku seolah-olah berkata “anjir, diapain nih gue”.

Kulonggarkan tekanan tanganku di kepalanya, dia pun kembali mengocok penisku dengan mulutnya. Semakin cepat dia mengocok penisku. Hingga aku merasakan penisku mulai berkedut, menandakan sebentar lagi aku akan mencapai klimaks. Segera kuangkat kepala Mbak Dita untuk melepaskan mulutnya dari penisku. Lalu kutarik tubuhnya untuk kembali berada di pangkuanku.

Tangan kanannya mencoba mengarahkan penisku ke vaginanya. Kutahan badannya agar tidak mendekati batang kemaluanku. “Nanti dulu, gue pengen ngerasain meki lo”, sahutku. Selanjutnya aku mendudukkan Mbak Dita ke samping kiriku. Aku pun bangkit dari dudukku. Mengerti apa yang akan aku lakukan, Mbak Dita membuka lebar-lebar selangkangannya.

Sekarang terlihat jelas pemandangan indah dari tubuh Mbak Dita. Payudaranya yang besar dan perutnya yang mulus dan hampir rata, ditambah dengan bekas jahitan akibat operasi melahirkan kedua anaknya. Vagina Mbak Dita yang berwarna coklat sedikit gelap itu nyaris gundul seluruhnya, hanya ada bulu kemaluan yang sedikit lebat di bagian atas vaginanya, sedangkan kanan kiri bibir vaginanya bersih dari bulu, pantas saja aku tadi tidak merasakan adanya rambut-rambut halus pada saat memainkan vaginanya dari belakang.

Aku memposisikan diri di depan vaginanya dengan berdiri dengan kedua lututku, kemudian duduk di ataa kedua tumitku. Mulai kuciumi paha bagian dalam paha kirinya menuju pangkal pahanya. Kucium dan kukecup perlahan-lahan hingga rambut-rambut halus pahanya berdiri merinding. Sudah tercium bau khas milik kemaluan seorang vanita.

Kujilati pangkal paha sebelah kiri Mbak Dita. Kumainkan dengan ujung lidahku. Terlihat vagina Mbak Dita yang kembali basah oleh cairan kenikmatannya. Desahannya pun kembali terdengar jelas. “Cepet Rio, jilat meki gue, gue udah ngga tahan”, ucapnya sambil mengarahkan kepalaku dengan tangan kanannya menuju vaginanya.

Aku tidak langsung menuruti permintaannya. Kali ini kumainkan pangkal pahanya sebelah kanan dengan ujung lidahku. Aku sengaja membuatnya sedikit penasaran sehingga nafsunya akan semakin meledak. Kembali kukecup dan kucium paha kanannya bagian dalam, kujilati garis-garis halus selulit Mbak Dita dan balik perlahan mengecup pangkal pahanya sebelah kanan.

Kulingkarkan kedua tanganku melewati kedua pahanya, sehingga kedua paha Mbak Dita berada di atas lenganku dan kedua tanganku bisa dengan leluasa memainkan kedua payudara Mbak Dita. Kutarik pantat Mbak Dita supaya lebih mendekati wajahku. Kumainkan klitorisnya dengan ujung lidahku. Kutekan-tekan dan kusapu dengan ujung lidah.

Terlihat sedikit mulut vagina Mbak Dita yang telah terbuka berwarna merah sedikit kecoklatan. Kumasukkan lidahku ke dalam lubang kenikmatannya yang sudah basah kuyup itu disertai remasan dan pilinan kedua tanganku di kedua payudaranya. Dia pun meremang sedikit mengangkat pantatnya. Tangan kanannya menjambak rambutku, menahan agar kepalaku tetap berada di vaginanya, tidak mengizinkanku untuk mengehentikan aktifitasku di vaginanya.

Terus dan terus kusapu bagian dalam lubang vaginanya dengan sesekali kuhisap bibir vaginanya dan sedikit kutarik keluar dengan menggunakan mulutku. Kumainkan juga ujung hidungku menekan-tekan klitorisnnya mengikuti irama permainan lidahku, hingga membuat Vagina Mbak Dita semakin basah. Kuhisap cairan kenimatan yang keluar dari vaginanya.

“Udah Rio, meki gue makin gatel, masukin kontol lo.. sshhh haahh”, pintanya. Aku menuruti permintaannya, karena aku pun sudah tidak tahan ingin merasakan penisku di dalam lubang kenikmatannya.

Aku kembali berdiri dengan kedua lututku, dan mendekatkan penisku ke vagina Mbak Dita. Aku pegang penisku dengan tangan kananku, lalu aku usap-usap bibir vagina dan klitoris Mbak Dita dengan kepala penisku. Perlahan kudorong penisku untuk masuk ke dalam liang kenikmatannya. Kepala penisku pun berhasil masuk seluruhnya.

Semakin lama semakin dalam kudorong batang kemaluanku ke lubang vaginanya, yang saat ini sudah setengah batang penisku ditelan vagina Mbak Dita. Aku masih sedikit kesulitan memasukkan seluruh batang penisku, karena bentuk penisku yang menggemuk di tengah batangnya. Tangan kanan Mbak Dita berada di bawah perutku, menahan goyanganku supaya penisku tidak masuk lebih dalam lagi.

Kulakukan terus goyanganku yang mendorong dan menarik penisku ke vagina Mbak Dita yang semakin lama dinding vaginanya semakin licin. Dengan satu dorongan kuat, kumasukkan seluruh penisku ke dalam liang vaginanya. Duk, kepala penisku terasa menubruk sesuatu, diiringi jeritan dari mulut Mbak Dita. “Aacchh..

Kudiamkan dulu posisi ini, biar vaginanya terbiasa dengan penisku. Penisku tidak seluruhnya ditelan vaginanya, masih sekitar tiga sentimeter lagi dari pangkal penis yang berada di luar vaginanya. Setelah beberapa saat, kugoyangkan perlahan maju mundur penisku. Vagina Mbak Dita menjepit rapat penisku.

Kupercepat tempo goyanganku dengan kecepatan sedang, dan desahannya pun menjadi semakin kencang. “Ach ach ach.. Rio, itu ada apaan di kontol lo? ”, racaunya saat merasakan pangkal kepala penisku dan tonjolan urat-urat di batang penisku menggaruk-garuk dinding dan bibir vaginanya. Matanya menatapku sayu, menikmati tusukkan demi tusukkan penisku di lubang kenikmatannya.

Kulingkarkan tangan kananku melalui bawah lututnya kemudian kuremas-remas payudara kirinya dan kupilin-pilin puting kiri Mbak Dita. Lalu kutundukkan badanku dan kedekatkan wajahku ke wajahnya untuk mencium bibirnya dengan tumpuan tangan kiriku di sofa samping kanan tubuhnya. Terus kucium bibirnya, kumainkan payudara kirinya, kutusuk vaginanya bertubi-tubi.

“Gantian, gue yang di atas”, pintanya. Kami pun berganti posisi. Aku yang duduk di sofa, Mbak Dita di pangkuanku dengan melipat kakinya di kanan kiri pahaku. Di arahkannya penisku ke bibir lubang kenikmatannya dengan tangan kirinya. Kubantu dia dengan memegang pangkal penisku. Dengan hati-hati Mbak Dita memasukkan penisku ke vaginanya.

Sudah seperdelapan penisku amblas ditelan vaginanya. Digerak-gerakkan pantatnya mencari posisi yang paling nyaman bagi dirinya. “Duuh.. mentok nih”, sahutnya. Dia pun menahan agar penisku tidak masuk seluruhnya dengan menopang pantatnya di kedua tumitnya. Dirangkulnya leherku dengan kedua tangannya.

“Sshh haahh”, suara desahannya kembali terdengar, seiring goyangannya yang tidak lagi naik turun melainkan menjadi kombinasi maju mundur disertai memutarkan pinggulnya, membuat penisku terasa seperti mengaduk-aduk liang kenikmatannya yang semakin lama kembali licin oleh cairan vaginanya.

Kulepaskan ciumanku, dan beralih ke arah payudara kirinya. Kuhisap dan kukulum puting kiri Mbak Dita. “Ach ach ach”, desahannya tidak terputus dari mulutnya. Goyangan Mbak Dita semakin liar, kecepatannya pun semakin bertambah, dan semakin lama interval goyangannya semakin pendek. Vaginanya terasa semakin basah dan berkedut-berkedut.

Jepitan vaginanya pun semakin kencang. Dan kemudian “aaacchhh.. ”, pekiknya keras seiring badannya yang mengejang, dijambaknya rambutku sambil didekapnya kepalaku ke payudaranya dengan posisi setengah duduk sehingga penisku terlepas dari lubang vaginanya, disertai semprotan cairan vaginanya yang menyiram penisku yang masih tegak kokoh berdiri.

“Got it. I got it”, racaunya sambil tetap tidak membiarkanku lepas dari dekapannya. Aku menikmati momen seperti ini, suatu kesuksesan dalam bercinta bila bisa membuat pasangan kita mencapai klimaksnya.

“Udah belum Mbak? Ngga bisa nafas nih hehehe”, ucapku. Dilepaskannya aku dari dekapannya. Dia pun kembali duduk di pangkuanku dengan vaginanya menempel pada bagian bawah batang penisku. Digesek-gesekkannya perlahan-lahan vaginanya, diciumnya berkali-kali bibirku.

“Sekarang giliran gue Mbak. Doggy ya”, pintaku padanya. Dia pun bangkit dari pangkuanku, disusul aku pun berdiri dari sofa. Lalu Mbak Dita mengambil posisi nungging ke arah sofa bagian kanan, dengan bertumpu dengan kedua lututnya dan kedua tangannya berada di lengan sofa bagian kanan. Terlihat bongkahan pantatnya yang bohai dengan lobang anus dan vaginanya yang basah kuyup oleh cairan vaginanya.

Aku memposisikan diri di belakangnya. Kunaikkan kaki kananku di sofa di sebelah paha kanannya dengan kaki kiriku tetap berada di lantai. Kuarahkan batang penisku ke vaginanya. “Jangan dalem-dalem Rio. Enak tapi sakit”, pinta Mbak Dita. Aku pun menuruti kemauan Mbak Dita, kumasukkan penisku tujuh per delapan panjang penisku.

Lalu mulai kugoyangkan pinggulku maju mundur dibantu kedua tanganku yang berada di pinggulnya, dan sesekali kutampar dan kuremas bongkahan pantatnya. Kupercepat tusukkan penisku ke vaginanya. Payudaranya yang besar pun turut bergelayutan ke sana kemari sesuai irama goyanganku. Membuatku semakin bernafsu untuk terus mengocok vaginanya dengan penisku.

Penisku sudah berkedut-kedut, sebentar lagi aku akan mencapai klimaks. Kupercepat ayunan pinggulku. “Uuch enak banget meki lo Mbak”, sahutku. Dan aku pun mendapatkan orgasmeku. Kutusuk dalam-dalam penisku di vaginanya, Mbak Dita sedikit tersentak. Kusemprotkan cairan spermaku dalam-dalam di lubang vaginanya.

“Banyak banget kayanya”, ucap Mbak Dita. “Iya Mbak, biar punya keponakan baru”, candaku dibalas dengan cubitan tangan kirinya di pinggangku.

Aku cabut penisku dari vagina Mbak Dita, lalu aku pun duduk bersandar kelelahan di sofa. Mbak Dita mengambil posisi duduk di pangkuanku dengan membelakangiku. Dia mengambil kedua kananku dan melingkarkannya di pinggangnya, sementara kepalanya direbahkan di bahu kiriku.

“Elo nginep di sini kan? ”, tanya Mbak Dita. “Emang kalo gue nginep, gue dapet apaan? ”, godaku. “Dapet ini nih”, sahutnya sambil menekan keras pantatnya ke penisku yang melemas. “Aduh duh Mbak, jangan, nanti patah. Kalo patah kan nanti yang rugi Mbak sendiri hehehe”, jawabku meringis kesakitan. Dibalasnya dengan cubitan-cubitan di pinggangku.

“Ke kamar mandi yuk, abis itu kita tidur. Udah ngantuk gue”, ajak Mbak Dita sambil bangkit dan menarik tanganku untuk bersamanya menuju kamar mandi. Setelah bersih-bersih kami pun pergi ke tempat tidur dan tidur dalam keadaan sama-sama telanjang, dan Mbak Dita meminta untuk tidur dengan dipeluk dari belakang olehku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu