1 November 2020
Penulis — perverts
Penisku terasa hangat sekali. Kehangatan yang terasa familier yang sering aku rasakan. Batang penisku seperti diurut-urut oles sesuatu yang hangat dan basah. Kehangatan yang begitu nikmat. Kubuka perlahan kedua mataku.
“Eh buset”, sahutku kaget diiringi posisi setengah bangkit dengan bertumpu pada kedua sikuku. Di hadapanku saat ini terlihat sosok Mbak Dita yang sedang meremas-remas kedua payudaranya, dengan posisi setengah duduk dengan bertumpu pada kedua lututnya mengangkangi tubuhku, sementara badannya berayun naik turun membuat batang penisku timbul tenggelam oleh lubang vaginanya.
“Shh udh dah bangun Rio? Sshh sorry, kontol lo udah bangun duluan makanya gue horny.. sshh hahh”, sahutnya mendesah. Memang batang penisku hampir selalu mengeras apabila di pagi hari, kekerasannya tergantung kondisi tubuhku pada saat itu.
Aku masih mengumpulkan nyawaku dulu, coba memahami apa yang tengah terjadi. Pijatan vagina Mbak Dita di penisku membuatku semakin terjaga, seiring gairah seksualku semakin tinggi. Aku coba bangkit dari tidurku, berusaha ikut dalam permainan panas Mbak Dita.
Tapi yang kudapat sungguh membuatku terkejut. “Don’t! ”, sahut Mbak Dita sambil mendorong tubuhku untuk berbaring kembali. “Gue cuma mau pinjem kontol lo! ”, sahutnya lagi. Aku pun cuma pasrah mendapati perlakuan seperti itu. Toh aku tetap bisa merasa nikmat penisku keluar masuk vagina Mbak Dita tanpa harus mengeluarkan energi berlebih.
Mbak Dita terus menaik turunkan tubuhnya, lalu digoyangkan pinggulnya maju mundur. “Ach ach oh god. Mentok banget”, racau Mbak Dita sambil tetap meremas-remas payudaranya dan memilin-milin putingnya. Penisku terasa menggaruk-garuk dinding vaginanya, kepala penisku seperti membentur sesuatu di dalam vaginanya saat Mbak Dita bergoyang memundurkan pantatnya.
Lalu Mbak Dita mempercepat goyangannya dan intervalnya semakin pendek, dan akhirnya “ach ach i got it, i got iiit”, jerit Mbak Dita disertai dilepasnya penisku dari vaginanya seiring muncratnya cairan dari vaginanya mengguyur penisku dan perut bawahku, lalu tubuhnya pun condong ke arahku dengan tumpuan kedua tangannya di samping badanku, dengan badannya tetap masih mengejang disertai semprotan cairan vaginanya, seirama dengan tubuhnya yang mengejang.
Payudara Mbak Dita kurang dari lima sentimeter dari dadaku, menggantung indah dengan gerakan naik turun mengikuti irama nafasnya yang tersenggal. Aku pun tidak bisa menahan untuk tidak menyentunya. Kugerakkan tangan kananku berusaha meremas payudara kiri Mbak Dita, tapi segera ditepisnya tanganku, “don’t!
Lalu dibalikkan tubuhnya menghadap ke bagian bawah tubuhku, dengan kakinya mengangkangi tubuhku. Tangan kanannya mulai mengurut dan mengocok penisku. Dengan sedikit membalikkan badannya ke kiri ke arahku sambil mengacungkan jari telunjuk kirinya, Mbak Dita berucap “awas macem-macem! ”, seperti layaknya seorang ibu yang mengancam anaknya.
Kemudian Mbak Dita menundukkan badannya mendekatkan wajahnya ke arah penisku. Terasa hangat penisku saat Mbak Dita memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Dihisapnya kepala penisku sambil lidahnya bermain di lubang kencingku. Saat bersamaan lubang anus dan vaginanya hanya berjarak tidak sampai sepuluh sentimeter dari wajahku akan tetapi aku tidak dibolehkan menyentuhnya sama sekali, sungguh membuatku tersiksa sekali melihatnya.
Aku sudah hampir merasakan puncak kenikmatan, penisku mulai berkedut-kedut. Hasratku sudah tidak bisa ditahan lagi, langsung aku remas pantat Mbak Dita dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku meremas-remas payudara kiri Mbak Dita. Sadar kalau aku akan mencapai klimaks, Mbak Dita lalu mempercepat kocokannya terhadap penisku dengan mulutnya.
“Aaacchh.. ”, aku pun melenguh panjang saat orgasme ku tiba disertai semprotan spermaku beberapa kali di dalam mulut Mbak Dita. Mulut Mbak Dita belum beranjak dari penisku. Mulutnya berada di kepala penisku, menghisap-hisap kecil sisa-sisa spermaku yang masih keluar dari lubang kencingku, sambil tangan kanannya mengocok halus batang penisku.
Aku tidak melihat Mbak Dita mengeluarkan atau memuntahkan spermaku dari mulutnya. Tampaknya dia menelan habis seluruh sperma yang keluar dari penisku. Kemudian dia pun bangkit lalu memutarkan tubuhnya kembali menghadapku, dan Mbak Dita merebahkan tubuhnya di badanku dengan kepala mendangak menatap wajahku sambil tersenyum.
Lalu Mbak Dita menyandarkan kepalanya di dadaku dengan menghadap ke arah kananku. Dimainkannya lengan kananku dengan ujung jari kirinya. Kami pun membisu untuk beberapa saat.
“Maaf ya Rio… maafin gue Risa”, sahutnya lirih. Aku merasakan ada tetesan hangat di dada kananku. Aku menduga itu keluar dari matanya. Aku pun membelai kepalanya dengan lembut. “Ngga ada yang perlu dimaafin kok Mbak”, sahutku. “Selama Mbak menikmatinya, gue juga menikmatinya kok”, sahutku lagi.
“Gue udah lama ngga bisa kaya gini. Sejak laki gue nganggur, dia jadi minder ama gue. Dia merasa kebanggaan dia sebagai kepala rumah tangga yang harus memberi nafkah keluarganya, udah ngga ada lagi. Padahal dengan kondisi sekarang malah gue bersyukur. Anak-anak gue jadi dijaga sama bokapnya langsung.
“Efeknya jadi ke kehidupan seks gue ama laki gue. Memang dia tetep mau ngeseks ama gue, tapi kaya cuma ala kadarnya aja. Padahal gue juga kan pengen sampe guenya klimaks juga. Pengen kaya dulu lagi”, lanjut Mbak Dita. Aku pun coba mendengarkan curhatannya.
“Sejak nikah, baru kali ini ngeseks sama cowo selain laki gue”, lanjutnya lagi, kali ini dengan suara terisak. “Gue milih elo karena elo masih keluarga gue dan gue yakin elo bisa dipercaya”.
“Gue tau ini salah, tapi gue ngga bisa nahan hasrat gue lebih lama lagi”, tangisnya pun pecah. Kucoba menenangkannya dengan mengusap-usap punggungnya. Aku bingung harus bagaimana menanggapinya. “Kalo niatnya buat kebaikan rumah tangga Mbak berdua, menurut gue sih ngga apa-apa Mbak, asal jangan keluarga yang dikorbanin nantinya”, ucapku berusaha mencari pembenaran bagi dirinya.
“Udah Mbak tenang aja, gue niatnya bantu Mbak kok. Lagian kalo enak kaya gini, siapa sih yang bakal nolak? Hehehe”, ucapku lagi disusul cubitan lembut di pinggang kiriku.
“Gue balik hotel dulu ya Mbak, udah jam segini. Gue ada rapat soalnya. Mbak ngga mandi?”, tanyaku.
“Elo duluan aja. Acara gue masih agak siangan”, jawabnya sambil berguling ke kanan tubuhku.
Aku pun bangkit dari tempat tidur dan mencari di mana saja pakaianku yang tersebar sisa pertempuran panas semalam.
“Elo balik ke rumah kapan?, tanya Mbak Dita sambil menyusun bantal di kepala tempat tidur kemudian dijadikan sandarannya setengah duduk, dimasukkan tubuhnya ke dalam selimut kemudian ditariknya selimut sampai sebatas payudaranya.
“Nanti sore kayanya Mbak. Belum beli tiket pesawat sih”, jawabku. “Udah besok aja baliknya. Nanti nginepnya bareng gue aja di sini. Sekalian temenin gue”, ucap Mbak Dita. “Temenin apa temeniiinn? ”, candaku. Dilemparkannya bantal kecil yang ada di tempat tidur ke arahku, untung aku sempat menghindar sambil cengengesan.
“Tolong sekalian ambilin tanktop gue yang warna putih di koper donk, Rio? ”, pintanya. Aku menuju ke kopernya. “Di mananya? ”, tanyaku. “Itu di bawah tumpukan baju-baju buat main”, jawabnya. “Yang ini? ”, tanyaku sambil mengangkat g-string warna hitam milik Mbak Dita dengan ujung telunjuk kananku. “Simpen!
Terlihat tanktop yang dimaksud Mbak Dita di antara tumpukan bajunya dengan posisi agak di bawah. Kuangkat terlebih dahulu baju-baju yang ada di atasnya dan kuletakkan di sofa. Kemudian aku ambil tanktop dengan tangan kiriku dan mataku menangkap sebuah benda yang berada di bawah tangtop Mbak Dita. Benda lonjong memanjang berwarna hitam.
“Laahh? Ini apaan Mbak? ”, tanyaku. Sekarang di tangan kananku terpampang jelas sebuah tiruan alat kelamin laki-laki dengan panjang sekitar dua puluh sentimeter, berdiameter tidak jauh berbeda dengan penisku, dengan guratan-guratan seperti tonjolan urat pada batangnya, dan terbuat dari bahan seperti lateks.
“Shit! ”, teriaknya. Mbak Dita pun langsung cepat bereaksi dengan sedikit melompat turun dari tempat tidur langsung menuju ke arahku, kemudian dirampasnya dildo itu dari tanganku kemudian menyimpannya kembali ke dalam koper, tetapi kali ini disimpan lebih bawah lagi di bawah tumpukan baju-bajunya. “Apaan sih lo.
“Udah sana cepetan keluar, nnati telat loh”, sahut Mbak Dita sambil mendorong badanku menuju pintu kamar. “Iya iya. Tapi nanti kalo tuh dildo mau dipake, kasih tau gue ya. Gue kan pengen tau cara makenya gimana hahaha. Aduh!”, candaku yang berakibat cubitan kencang di pinggang kananku.
“Daah Mbak”, pamitku. Kulangkahkan kakiku di lorong di atara kamar-kamar menuju keluar hotel untuk melakukan apa yang menjadi agenda-agenda aku hari ini.