3 November 2020
Penulis —  perverts

ASI-ku untuk Mas Rio

Kusandarkan punggungku ke sandaran kursi kerjaku. Kulepaskan kacamataku, kemudian kuusap lensanya dengan kain pembersih lensa. Penat sudah mataku melihat susunan angka-angka yang masih terpampang di layar komputer di atas meja kerjaku.

Jam dua belas kurang sepuluh menit, itu yang ditunjukan oleh jam tanganku. Pantas saja ruangan tempat aku kerja sudah terasa sepi. Ruangan ukuran sekitar seratus meter persegi yang dihuni sebelas pekerja ini tinggal menyisakan tiga orang saja termasuk aku. Lainnya pasti sudah berhamburan untuk makan siang di luar kantor atau menuju tempat ibadah.

“Ran, elo makan siang dimana? ”, suara Mbak Dewi yang duduk jeda dua meja sebelah kiriku. Mbak Dewi ini usianya lebih tua tiga tahun dariku. Kami seangkatan masuk kerja, dan sama-sama ditempatkan di unit anggaran kantor pusat sebuah BUMN bidang jasa transportasi. “Kayanya makan di rumah nyokap deh Mbak.

Kupakai kembali kacamataku. Kemudian kusiapkan barang-barang seperlunya yang akan aku bawa. Dompet, handphone, dan kunci mobil. Ya, cukup ini aja yang perlu aku bawa. Akupun sengaja tidak mematikan komputer kerjaku karena aku tidak bermaksud belama-lama keluar kantor.

Aku bangkit dari tempat dudukku. “Gue jalan dulu ya Mbak,” pamitku ke Mbak Dewi. “Ok,” jawab Mbak Dewi singkat.

Kulangkahkan kakiku ke luar ruangan menuju lift. Ruangan tempatku kerja ada di lantai empat dari keseluruhan enam lantai gedung ini. Kulihat ada tiga orang menunggu di depan lift. Mereka semua teman-temanku tapi dari unit yang berbeda, walaupun masih dalam satu direktorat yaitu keuangan. Tampak pintu lift pun terbuka, kupercepat langkah kakiku, karena jarak ke pintu lift masih sekitar lima meter.

Setelah berbasa basi ringan dengan teman-temanku di lift, kami pun tiba di lantai dasar dan pintu lift pun terbuka.

Cuaca sepertinya sedang sangat panas, ini terasa begitu pintu lobby gedung terbuka. Dengan langkah cepat aku langsung menuju parkiran sambil mengingat di mana mobilku tadi pagi aku parkir. Kututupi atas kepalaku dengan tangan kiri, lumayan mengurangi teriknya matahari langsung menghujam kepalaku.

Akupun buru-buru masuk ke mobilku. Segera kunyalakan mobil dan memposisikan tombol AC ke yang paling tinggi. Sambil menunggu mobilku siap dijalankan, aku sempatkan menelepon suamiku, Doni, hanya sekedar menanyakan kabarnya dan memberitahukannya kalau aku akan ke rumah orangtuaku. Tidak lupa juga kutelepon rumahku untuk menanyakan kepada baby sitter keadaan anakku.

Rumah orangtuaku tidak jauh lokasinya dari kantor tempatku kerja. Hanya sekitar delapan ratus meter. Orangtuaku menempati rumah dinas milik kantor dan sudah kami tempati sejak sebelum aku lahir. Papahku seorang pensiunan dari perusahaan yang sama denganku. Rumah yang ditempati orangtuaku ini sudah berganti atas namaku, sehingga mereka masih dengan leluasa tinggal di rumah itu, padahal orangtuaku ini juga mempunyai rumah yang cukup besar di perumahan mewah di kotaku, tapi mereka beranggapan rumah dinas ini mempunyai nilai historis mereka selama lebih dari dua puluh lima tahun tinggal di sana.

Sedangkan aku sendiri telah tiga bulan ini pindah ke rumah sendiri yang lokasinya sekitar lima kilometer dari tempat kerjaku. Awalnya kedua orangtuaku keberatan rencana aku pindah, karena aku sebagai anak bungsu dan kedua kakakku yang sudah tinggal di rumahnya masing-masing, maka saat ini praktis hanya tinggal kedua orangtuaku dan asisten rumah tangga bernama Mpok Ela.

Namaku Rani, usiaku saat ini dua puluh empat tahun. Aku bungsu dari tiga bersaudara yang seluruhnya perempuan. Kedua kakakku sudah menikah dan masing-masing-masing mempunyai dua anak. Sedangkan aku sendiri baru diberi anak satu dari satu setengah tahun usia pernikahanku dengan Doni. Anakku bernama Ari, masih berusia tujuh bulan.

Diantara kakak-kakakku, aku yang paling tinggi. Tinggiku seratus enam puluh delapan centimeter, beratku saat ini lima puluh tujuh kilogram, delapan kilogram lebih berat dari sebelum aku hamil anakku. Kulitku kuning langsat agak kecoklatan. Kami bertiga mempunyai wajah yang mirip satu sama lain. Kakakku yang kedua, Mbak Risa, yang paling cantik dengan kulitnya yang putih bersih.

Setibanya di rumah orangtuaku, kuparkirkan mobilku di depan pagar. Sengaja aku parkir di luar pagar, karena memang aku tidak berniat lama-lama di sini.

Aku lihat dari balik pagar ada mobil keluarganya Mbak Risa terparkir di garasi, tapi yang ini biasanya dipakai Mas Rio, suaminya Mbak Risa, karena Mbak Risa ke kantor menggunakan mobil lainnya yang lebih kecil. “Eh Mbak Rani,” tiba-tiba ada suara dari dalam pagar. Tidak lama kemudian pintu pagar terbuka, muncul sang pemilik suara yaitu Mpok Ela.

“Ada siapa aja di dalem Mpok?”, tanyaku.

“Ada Mamah lagi di kamar, Mbak. Kayanya sih lagi tidur. Kalo Papah lagi pergi main golf”, jawab Mpok Ela.

“Ngga ada Mbak Risa? Itu ada mobilnya?”, tanyaku lagi.

“Itu bukan Mbak Risa, Mbak. Tapi Mas Rio, itu ada di kamar atas”, jawab Mpok Ela lagi.

“Ooo kirain Mbak Risa”, sahutku.

“Mobilnya ngga dimasukin garasi aja Mba?”, tanya Mpok Ela.

“Ngga usahlah, cuma sebentar kok”, jawabku sambil tersenyum.

“Laundry-an aku udah ada belum Mpok? Kalau udah ada, tolong siapin ya Mpok. Mau aku bawa”, ucapku lagi.

“Udah ada Mbak, nanti Mpok siapin. Ngomong-ngomong Mbak Rani mau sekalian makan di sini ngga? Kalau mau, Mpok siapin makanan sekarang”, ucap Mpok Ela.

“Iya Mpok. Aku ke kamar Mamah bentar”, jawabku.

Akupun segera masuk ke rumah dan menuju kamar Mamahku yang ada di lantai bawah. Rumah ini ada enam kamar. Tiga kamar di atas merupakan kamar aku dan kakak-kakakku sebelum kami semua berkeluarga. Saat ini tetap tidak ditempati siapapun, karena memang sengaja sebagai tempat jika aku dan kedua kakakku main ke sini.

Kubuka pintu kamar secara perlahan, takut membangunkan Mamahku. Tampak di tempat tidur Mamahku tertidur lelap. Aku urungkan niat untuk masuk kamar Mamahku.

Akupun menuju ruang makan, terlihat Mpok Ela sibuk menyiapkan makanan untukku. “Silahkan Mbak Rani makan. Mpok tinggal dulu ya. Mau nyetrika. Kalau butuh apa-apa panggil aja ya Mbak,” ucapnya lalu Mpok Ela berjalan menuju bagian belakang rumah. “Ok Mpok, terima kasih,” jawabku.

Akupun mulai menyantap makan siangku sambil memainkan handphone melihat perkembangan-perkembangan di media sosial.

Selesai makan, aku masih berdiam sejenak di meja makan. Tiba-tiba aku teringat kalau ada Mas Rio di kamar atas. Akupun berniat untuk menemuinya sekedar bertanya kabarnya. Kubereskan piring bekas aku makan dan menempatkannya ke tempat cuci piring. Setelah mencuci tanganku, aku pun langsung menuju tangga dan menaikinya menuju kamar Mbak Risa dulu.

Kamar Mba Risa ini tepat sebelahan dengan kamarku. Dulunya kamar kami ini kamar yang besar, akan tetapi seiring pertumbuhan kami, maka orangtuaku membagi dua kamar ini dengan disekat menggunakan material gypsum.

Kuketuk pintu kamar Mbak Risa dulu, sambil memanggil Mas Rio pelan. Tidak ada jawaban. Aku buka pintu perlahan. Kulihat Mas Rio tidur terlentang sedikit di sisi kanan tempat tidur dengan posisi tangan dan kaki agak direntangkan ke samping.

“Mas Rio”, kupanggil namanya sekali lagi.

“Mmmm”, jawab Mas Rio pelan dengan mata masih tertutup.

“Lagi ngapain Mas?”, tanyaku.

“Ngewe”, jawabnya asal.

“Yeee orang ditanyain bener juga?!”, sahutku.

“Lagian elo pake nanya lagi, udah tau lagi tidur gini”, balasnya.

“Kalau tidur kok masih ngomong? Ngigo ya? Hehehe”, candaku sambil menghempaskan pantatku ke tempat tidur dengan posisi sembilan puluh derajat dari posisi sebelah kiri Mas Rio. Kuambil bantal dan kujadikan tempat sandaran di tembok kamar dengan kaki aku luruskan di tempat tidur.

“Seriusan Mas, ngapain di sini? Kok ngga kerja?”, tanyaku sambil kembali memainkan handphoneku.

“Kaga, lagi izin gue. Badan gue pegel-pegel. Udah seminggu lebih lembur terus. Mau istirahat di rumah ngga bisa. Ini juga Risa yang nyuruh gue ke sini”, jawabnya kulihat tetap dengan mata tertutup.

“Nah elo sendiri ngapain ke sini? Nyari makan gratisan ya?”, tanyanya ngeselin.

“Siaul, mau ambil laundry-an. Tapi yaa sekalian juga makan gratisan sih. Hehehe”, jawabku.

“Udah kebaca”, tanggapnya enteng.

Mas Rio pun merubah posisi kaki kirinya dengan menekuknya ke atas. Sehingga membuat ujung celana pendek berbahan parasut hitam yang dipakainya dengan mudahnya turun sampai pangkal pahanya. Dan ini membuat terlihat “makhluk” yang tinggal di selangkangan Mas Rio. Memang kakak iparku sering aku perhatikan tidak pernah pakai celana dalam kalau memang niat perginya hanya ke rumah orangtuaku ini, karena rumah dia dengan rumah orang tuaku tidak lebih dari satu kilometer.

Terlihat jelas makhluk itu masih dalam keadaan tidur, dengan kepalanya sedikit serong ke kiri bersandar di kantong telurnya. Degh, jantungku langsung berdegub kencang, darahku pun berdesir, karena secara otomatis memori kenikmatan itu berputar di kepalaku teringat kejadian satu setengah tahun lalu. Pikiranku melayang mengingat kembali bagaimana kenikmatan yang pernah diberikan makhluk itu kepadaku pada saat dia mengamuk dan marah mengoyak-ngoyak sarang kenikmatanku.

Masih teringat jelas di otakku bentuk penis Mas Rio. Secara ukuran memang tidak berbeda dengan milik Doni, suamiku. Tetapi bentuknya yang unik membuat indera kenikmatanku tidak akan melupakannya. Pada saat ereksi kepala penisnya yang besar dan mengembang seperti kapala jamur, mengecil dan seperti ada sekat di leher penis, membesar di batang penis, dan mengecil kembali di pangkal penis.

Ukh, mengingatnya aja udah membuat vaginaku basah saat ini. Keinginanku untuk menikmati penis Mas Rio timbul kembali. Tapi bagaimana caranya? Aku malu kalau harus memulai lebih dahulu. Sedangkan menurutku saat ini situasi yang mendukung untuk melampiaskan kerinduanku pada penis Mas Rio.

“Gimana kabar Ari? Udah bisa ngapain aja?”, tanya Mas Rio membuyarkan lamunanku.

“Baik-baik aja Mas. Yaa standar bayi umur tujuh bulan lah, udah bisa duduk sama ngoceh-ngoceh gitu”, jawabku.

“Trus elo sendiri gimana? Udah ngga pernah kumat lagi?”, tanya Mas Rio kembali.

“Kadang-kadang aja sih Mas tapi masih bisa aku kontrol kok. Mungkin karena sibuk ngurusin Ari, jadi ngga ada waktu buat mikir yang aneh-aneh lagi hehehe”, jawabku.

“Sibuk ngurusin anak, bisa jadi lupa ngurusin laki lo deh hehehe,” candanya.

“Nggalah Mas, tetep kalo itu mah, kan kebutuhan. Hehehe”, sahutku sambil tersenyum penuh arti.

“Masih sering emang? Paling banter juga sebulan sekali. Apalagi punya bayi”, lanjut Mas Rio.

“Curhat ya Mas?”, godaku.

“Hahaha”, tawanya menanggapi komentarku. “Kaya elo ngga aja. Kalo gue sih minimal seminggu sekali,” lanjut Mas Rio.

“Iya sih hehehe”, jawabku sambil nyengir.

“Emang udah berapa lama ngga?”, selidik Mas Rio.

“Kalo itu mah hampir tiap minggu Mas. Tapi ya ituu..”, jawabku menggantung.

“Itu apa?”, tanyanya penasaran.

“Udah ngga pernah ngerasain sampe orgasme lagi sejak ngelahirin, Mas hehehe”, jawabku malu.

“Udah dol kali meki lo, dokternya lupa jahit”, sahutnya ngeselin. Aku balas melempar bantal di dekatku ke arah mukanya. Diapun tertawa lepas sambil menepis bantal yang aku lempar.

“Pantesan aja daritadi elo ngeliatin selangkangan gue terus hehehe”, sahutnya sambil cengar cengir.

“Yee enak aja, ngga dilihatin juga udah nongol sendiri. Tuh udah bangun, jadi ketauan kan Mas kepengen”, balasku.

“Walaah, iya ya hehehe”, sahutnya santai.

Penis Mas Rio sudah berdiri tegak, menyeruak dari ujung celana pendeknya, tegak sejajar dengan paha kiri Mas Rio yang masih ditekuk ke atas.

“Trus kalo udah gini enaknya diapain ya?”, godanya.

“Disuruh duduk aja Mas, kasian berdiri terus”, jawabku pura-pura tak acuh.

“Yuk lah”, sahut Mas Rio.

Kulirik jam di tangan kiriku. Jam satu kurang lima menit. Masih ada cukup waktu. “Quickie aja ya Mas,” jawabku.

Segera kugeser posisi duduk ke samping kiri Mas Rio. Langsung kubelai penis Mas Rio memakai sisi luar jari telunjuk kiri mulai dari kepala penis sampai pangkalnya. Penis Mas Rio berkedut-kedut bereaksi terhadap belaianku. Kulihat nafas Mas Rio mulai memburu menikmati aktifitasku memainkan penisnya. Sekitar penis dan buah zakar Mas Rio ditumbuhi rambut.

Tidak terlalu lebat, tampaknya Mas Rio rajin merawat rambut kemaluannya. Sedangkan panjangnya sekitar empat belas sentimeter, dengan diameter sekitar tiga sentimeter di bagian kepala, membengkak menjadi tiga setengah sentimeter di tengah batang penisnya, dan mengecil di pangkal penisnya sekitar dua setengah sentimeter.

Kemudian aku memposisikan diriku di antara kedua kaki Mas Rio yang sudah dalam posisi membuka lebih lebar siap menerima pelayanan dariku. Aku berbaring telungkup dengan menopang tangan kiriku untuk menjaga kepalaku tetap berada di atas dekat penisnya. Tangan kananku mulai mengocok perlahan penis Mas Rio.

Kudekatkan kepalaku ke penis Mas Rio. Kujulurkan lidahku ke lubang kencingnya. Kumainkan lidahku di sana sambil tangan kananku tetap mengocok penisnya. Keluar dari lubang penisnya cairan kental bening pertanda penis Mas Rio siap untuk membuahi, lalu kusapu cairan itu dengan lidahku. Perlahan mulai kujilati kepala penis Mas Rio, kusapu seluruh kepala penisnya yang sudah mulai merah merekah.

Setelah puas bermain dengan kepala penisnya, lidahku mulai menjilati area bawah batang penis Mas Rio. Kujilat dari pangkal penis bagian bawah sampai kepala penis bawah, terus berulang bagaikan menjilati es krim kesukaanku, sambil tangan kananku memainkan buah zakarnya.

Beralih ke buah zakarnya, kusapu seluruh kulit pembungkus buah zakarnya yang sudah mengkerut kencang, kemudian aku kulum dan kuhisap salah satu buah zakarnya, membuat Mas Rio mendesah. Terus kukulum dan kumainkan dengan lidahku buah zakar Mas Rio.

Tak sampai di situ, aku mulai perlahan menjilati ruang antara kantung buah zakar dengan lubang anusnya. Lalu kumainkan lidahku menyapu lubang anusnya. Serangan ini sukses membuat Mas Rio kelojotan sambil memekik pelan, “aach gila, belajar dimana lo?! Aku pun tersenyum nakal kepadanya. Kulanjutkan seranganku itu sambil tangan kananku tetap mengocok badan penisnya.

Kuposisikan kembali mulutku di kepala penisnya. Kumasukkan sebatas kepala penis ke mulutku sambil kugenggam pangkal penisnya. Kumainkan lidahku di kepala penisnya. Kemudian mulai kumasukkan batang penis Mas Rio sampai mentok di tenggorokanku membuatku hampir tersedak. Agak susah payah aku pada saat mencapai setengah batang penisnya, karena ukurannya yang lebih besar dari kepalanya, berusaha supaya gigiku tidak mengenai batang penisnya.

Dengan posisi seperti itu, air liurku pun keluar dari mulutku tanpa bisa kubendung. Kumulai mengocok penis Mas Rio dengan mulutku. Kuatur ritme mengocokku dan semakin terasa keras dan membesar penis Mas Rio. Kuhisap dengan ganas, kemudian kumainkan lidahku dengan tetap kepala penisnya berada di dalam mulutku.

“Jago juga ya si Doni ngedidik elo sampe jago nyepong gini”, sahutnya sambil mendesah tak karuan. Akupun membalas dengan tatapan nakal kepadanya sambil kucubit bagian dalam paha kanannya.

“Udah udah, kalo gini terus bisa jebol pertahanan gue”, sahutnya sambil sedikit menarik kepalaku untuk melepaskan penisnya dari mulutku. Aku terkekeh mendengarnya, merasa senang bisa membuat Mas Rio kelojotan.

Kemudian aku pun bangkit, menyingkap rok warna biiru tua seragam kantorku ke atas dan melepaskan celana dalamku yang sudah basah oleh cairan kenikmatan dari vaginaku. Kulempar celana dalamku ke wajahnya, dia pun terkejut melihat aksi nakalku. Langsung kutimpa badannya dan kusergap bibirnya dengan ganas tanpa memberi kesempatan padanya untuk menghilangkan keterkejutannya.

Disambutnya seranganku di bibirnya. Kami pun saling berpagutan ganas. Lidah kami bermain bebas di rongga mulut bergantian.

Penis Mas Rio dan bibir vaginaku pun saling bersentuhan. Saling bergesekan liar mengikuti irama goyangan tubuh masing-masing. Diremas-remasnya payudaraku tanpa membuka bajuku dan bra-ku dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memeluk diriku sambil mengusap-udap punggungku.

Tangan kananku melesat ke bawah mencari batang kenikmatan yang sudah berdiri tegak menantang. Tangan kanan Mas Rio pun tak mau ketinggalan, dia mulai memainkan klitorisku dengan jari tengahnya dengan sesekali menusuk ke dalam bibir vaginaku membuat gairahku semakin liar. Ditusuknya berulang-ulang dengan jarinya, vaginaku pun semakin basah oleh cairan kenikmatanku.

Aku tuntun penis Mas Rio menuju bibir vaginaku yang sudah terbuka akibat tusukkan jari Mas Rio. Terasa hangat saat kepala penis Mas Rio menempel di bibir vaginaku. Perlahan-lahan kumasukan batang kenikamatan itu ke lubang senggamaku. Namun kuhentikan saat sudah setengah penis Mas Rio masuk ke dalam vaginaku, karena sudah terasa sesak bibir vaginaku oleh pertengahan batang penisnya.

“Sakit?”, tanyanya. “Ngga Mas, lemes aja ini penuh banget,” jawabku terengah-engah.

Kuatur nafasku sebelum menerima hujaman penuh penis Mas Rio. Dengan menggunakan gaya berat tubuhku, kudorong penis Mas Rio masuk sepenuhnya ke dalam liang senggamaku. “Aach,” pekik ku dan aku terkulai lemas di atas tubuh Mas Rio saat batang gemuk penisnya menerobos bibir vaginaku dan kepala penisnya menubruk mulut rahimku.

Kami pun diam sejenak untuk menunggu vaginaku terbiasa oleh penis Mas Rio. Ini dimanfaatkan Mas Rio untuk kembali menciumku dengan nafsunya, sambil tangan kanannya mengelus-elus punggungku. Ini yang aku suka dari Mas Rio, dia selalu berusaha membuat aku nyaman dan memperlakukanku dengan kasih sayang pada saat melakukan aktifitas seksual.

Perlahan-lahan Mas Rio menggoyangkan pinggulnya, membuat gesekan-gesekan kecil antara batang penisnya dengan dinding senggamaku, alhasil cairan vaginaku pun kembali banyak keluar.

Makin lama goyangan dan ayunannya semakin keras dan jauh. Aku pun mengimbangi dengan goyangan pinggulku mengikuti irama goyangannya, membuat vaginaku semakin gatal dan nafsuku semakin mengganas.

Aku pun bangkit dan menduduki pangkal paha Mas Rio. Aku goyangkan pinggulku ke depan dan ke belakang sambil sesekali mengayun ke atas dan ke bawah mengikuti irama nafsuku yang makin memuncak. Kedua tangan Mas Rio mulai meremas-remas kedua payudaraku yang berukuran tiga empat b. Kubuka tiga kancing teratas baju seragam putihku.

Bagian depan bra sudah basah oleh cairan ASI-ku, akibat diremas-remas Mas Rio dan karena isinya belum aku pompa untuk anakku. Diusap-usapnya putingku yang mengeras tanpa melepas tutup bra. Kemudian dibukanya kait penutup depan bra, dan terlihatlah puting payudaraku yang berwarna coklat dan sedikit menonjol, dengan tetesan ASI yang siap jatuh.

Tiba-tiba Mas Rio bangkit dan langsung menghisap putingku sebelah kanan, sambil dimainkannya putingku yang sebelah kiri dengan jari kanannya. Dimainkannya putingku dengan ujung lidahnya, dan dihisapnya putingku sampai keluar ASI seperti bayi besar yang haus, haus akan seks tentunya. Suamiku pun tidak pernah seperti ini.

“Ooh ooh terus Mas”, desahku yang tak bisa kubendung lagi. Serangan atas bawah ini praktis membuat desahanku semakin keras. Mendengar desahanku yang semakin menjadi, Kedua tangan Mas Rio pun mulai berada di bongkahan pantatku, membantuku menggoyangkan vaginaku di atas penisnya.

Semangat menggebu-gebu untuk merasakan nikmat ini menghabiskan energiku dan membuatku lemas tak berdaya. Aku pun menghentikan goyanganku dan kepalaku tertunduk lemas di bahu kiri Mas Rio.

“Capek Mas”, sahutku.

“Yaudah gantian. Doggy aja yuk. Kayanya kita belum pernah deh. Tapi jangan dilepas ya”, pinta Mas Rio.

“Iya Mas”, jawabku.

Badan Mas Rio langsung agak mundur sedikit, memberikan aku ruang untuk memutar badanku ke posisi reverse cowboy dengan penis Mas Rio masih menancap di vaginaku. Sungguh sensasi yang luar biasa di vaginaku pada saat melakukan gerakan itu. karena saat memutar, aku kehilangan tumpuanku di lututku sehingga aku langsung menduduki pangkal paha Mas Rio dan otomatis membuat penisnya menusuk semakin dalam mendesak mulut rahimku.

Setelah dalam posisi reverse cowboy, perlahan aku membungkukkan badanku untuk menuju posisi doggy, diikuti gerakan Mas Rio yang menyesuaikan gerakanku. Aku bertumpu pada kedua lenganku dan kedua lututku, sehingga posisi pantatku lebih tinggi dari kepalaku. Kulihat Mas Rio mengatur posisi dengan bertumpu pada lutut kiri dan kaki kanannya ditekuk berada di samping kananku.

Mas Rio mulai mengayunkan penis perlahan ke dalam vaginaku. Gerakannya semakin lama semakin cepat. Cairan vaginaku pun semakin banyak keluar. Gesekkan dinding vaginaku dengan batas batang penisnya yang berurat membuat desahanku semakin menjadi. Aku merasa seluruh dinding vaginaku seperti digaruk-garuk oleh benda besar dan hangat.

Bunyi pangkal paha Mas Rio beradu dengan pantatku semakin kencang terdengar. Tangan kiri Mas Rio meremas-remas payudara kiriku yang mengayun mengikuti efek goyangan yang ditimbulkan tusukan-tusukan penis Mas Rio.

Tiba-tiba aku merasa ada sentuhan menggelitik di sekitar lubang anusku. Rupanya Mas Rio memainkan jempol kanannya mengusap-usap area lubang anusku. Perlahan tapi pasti, usapan-usapan itu berubah menjadi tusukan-tusukan kecil di luar lubang anusku. Dan tidak menunggu lama, satu ruas jempol kanan Mas Rio sudah berada di dalam lobang anusku.

Mas Rio kembali mempercepat irama goyangannya, diiringi permainan tangan kirinya di putingku, dan satu ruas jempol kanannya berada di dalam anusku. Mendapat serangan bertubi-tubi seperti itu, pertahananku akhirnya kandas sudah. Aku mendesah semakin kencang dan sampailah aku di kenikmatan puncak dunia.

Aku sudah tidak kuat lagi bertumpu pada kedua lenganku, kepalaku pun ikut menopang berat tubuh atasku saking lemasnya. Melihat hal ini, Mas Rio bukannya berhenti malah membuat goyangannya semakin jadi. Aku merasa Mas Rio sebentar lagi akan orgasme, sangat terasa penisnya yang makin kaku dan berkedut-kedut.

Benar saja, tidak lama kemudian terasa semprotan sperma Mas Rio menghujam mulut rahimku. Semprotan cairan hangat itu terasa sekitar lima sampai enam kali semprotan didahului dengan kedutan di batang penis Mas Rio. Mas Rio pun mengejang dan mengerang kenikmatan, sampai-sampai membuat remasan tangan kirinya sangat kencang di payudara kiriku.

Tubuh Mas Rio pun ambruk di punggungku. Kemudian dia menciumku dan memainkan lidahnya di mulutku. Aku membalas ciumannya. Aku merebahkan tubuhku dalam posisi tengkurap dengan tubuh Mas Rio masih di punggungku dan penisnya masih menancap di vaginaku.

Tangan kanan Mas Rio membelai lembut rambutku, sambil sesekali bibirnya menciumi leher dan punggungku, digenggamnya tangan kiriku dengan tangan kirinya. Kurasakan penis Mas Rio melemas perlahan-lahan di dalam vaginaku. Aku sangat menikmati momen seperti ini. Momen seperti inilah yang membuat diriku sangat spesial, momen dimana kurasakan kasih sayang sesungguhnya, merasakan diperlakukan seperti wanita seutuhnya.

“Enak?”, tanya Mas Rio menggodaku.

“Akhirnya aku bisa ngerasain kaya gini lagi”, sahutku.

“Maksudnya bisa orgasme lagi atau bisa ngewe sama gue lagi?”, godanya lagi.

“Dua-duanya Mas”, jawabku tersenyum.

“Kira-kira bisa ngga Mas aku orgasme lagi kalo ngeseks sama Doni?”, tanyaku.

“Bisa kok. Ini masalah dipikiran elo aja. Ngga rileks. Pasti waktu elo ngewe, kepikiran nnti anak lo bangunlah, itu lah, ini lah. Makanya kl mau, sediain waktu elo berdua khusus buat ngewe. Misal sesekali elo berdua booking hotel cuma buat ngewe aja. Kan ada tuh hotel yang jam-jaman hehehe”, jawab Mas Rio.

“Kalo ke hotel mah mending sama Mas Rio aja hehehe”, sahutku.

“Bener yaa? Asyiiik”, jawabnya dengan logat anak kecil.

“Udah ah Mas, udah jam setengah dua kurang. Takut dicariin orang kantor. Aku bersih-bersih dulu ya”, sahutku.

Mas Rio pun bangkit dari punggungku dan merebahkan tubuhnya disamping kiriku. “Aduh, pelan-pelan Mas,” protesku saat tercabutnya penisnya dari vaginaku. “Maaf maaf, ngga ngeh kalo masih nyangkut hehehe,” jawabnya.

Aku bangkit, dan mencari celana dalamku. Bisa bahaya kalo ditemuin ada celana dalam bekas aku pakai ada di kamar ini.

Sebelum keluar kamar, kusempetkan mencium mesra bibir Mas Rio. “Terima kasih ya Mas,” ucapku. “You’r welcome,” jawabnya tersenyum.

Aku pun keluar kamar menuju kamar mandi di lantai ini. Selesai dari kamar mandi, aku menuju kamar yang dulu aku tempati, untuk mencari celana dalam yang akan aku pakai, karena celana dalam yang aku pakai sudah aku bilas tadi di kamar mandi. Di kamar ini pun aku merapikan kembali penampilanku seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Kemudian aku ke lantai bawah. Kulihat di bawah masih sepi. Aku menuju ruang belakang untuk menaruh celana dalam bekas kupakai ke dalam keranjang cucian, dan telihat Mpok Ela sedang membereskan baju yang telah disetrikanya.

“Itu Mba Rani laundry-annya ada di ruang tamu tinggal bawa aja”, sahut Mpok Ela.

“Ok terima kasih Mpok”, jawabku.

Aku sempatkan untuk melihat apakah Mamahku sudah bangun atau belum. Kubuka pintu kamar orang tuaku dan terlihat Mamah masih tertidur lelap. Aku pun memutuskan untuk langsung ke kantor. Toh kalau ada apa-apa juga Mamahku bisa langsung telepon aku dan aku bisa langsung ke rumah ini lagi.

**

Dengan bersenandung kecil, aku menuju gedung gedung kantorku. Di lobby, aku berpapasan dengan Mba Dewi.

“Abis dapet apaan nih Rani, kayanya ceria amat? Beda dari sebelum berangkat tadi”, sapa Mba Dewi.

“Addaa deehh. Abis dapet sesuatu yang spesial pokoknya deh”, jawabku sambil tersenyum.

***

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu