1 November 2020
Penulis —  perverts

Three Sisters

“Besok jadinya berangkat jam berapa? ”, tanya Risa kepadaku yang sedang melepas pakaian kerjaku di kamar kami. “Yaa biasa, jam enam-an”, jawabku. “Bukan, berangkat ke pantainya”, sahut Risa lagi. “Pantai?? ”, tanyaku disambut dengan lemparan bantal ke arah kepalaku. “Blugh”, bantal itu sukses mendarat di wajahku.

“Tuh kaan kamu lupa lagi. Itu acara ultahnya dede. Kamu tuh ya, acara ulang tahun anaknya sendiri kok bisa lupa?! Padahal aku udah pesen itu resort dari lima bulan yang lalu. Heeehhh”, cerocos Risa.

“Oo itu, aku inget kok, cuma belum konek aja tadi hehehe”, sahutku berkilah. “Aku nyusul aja nanti. Ngga dapet cuti. Ada rapat yang ngga bisa aku tinggal. Kamu mau nunggu aku atau bawa mobil sendiri?”, sahutku.

“Emang selesainya jam berapa?”, tanya Risa. “Agak malem sih”, jawabku. “Yaah jangan malem-malem dong”, sahut Risa lagi.

“Kalo mau, kamu bareng papa mama kamu aja. Nanti barang-barang aku yang bawa”, saranku.

“Ngga bisa, penuh. Mbak Dita bareng papa. Soalnya Hari ngga bisa ikut, pulang ke Sumatera jenguk bapaknya masuk rumah sakit”, jawab Risa.

“Kalo sama papa mama aku aja gimana? Biar nanti aku yang telepon”, sahutku lagi. “Yaudah, tapi kamu besok jangan sampe malem banget ya” ucap Risa.

“Iya iya”, sahutku. “Trus nasib pipi gimana ini?”, tanyaku sambil menggoyang-goyangkan badan ku sehingga penisku yang masih layu ikut bergoyang ke kanan dan ke kiri.

“Nasib buruk. Mimi masih dapet”, sahutnya acuh tak acuh sambil berkutat dengan ponselnya.

“Apes dah. Sabar ya nak”, sahutku sambil mengelus-elus kepala penisku diringi lirikan Risa yang cekikikan.

Pipi dan mimi adalah nama panggilan kami kepada alat kelamin kami masing-masing. Kami menamainya saat masa pacaran dulu, terinspirasi dari panggilan sayang pasangan selebritis tanah air yang saat ini sudah bercerai.

Mungkin para suhu akan bertanya, mengapa tidak dilanjut dengan oral seks saja? Tapi inilah kami, kehidupan seks kami seperti itu. Untuk urusan seks, Risa sangatlah konvensional. Dalam kehidupan seks kami yang sudah lebih dari dua belas tahun, bisa dihitung dengan jari tangan kami melakukan oral seks.

Dia merasa risih kalau aku memberikan oral seks di vaginanya. Sedangkan Risa berhenti mengoral penisku sejak aku tak bisa menahan ejakulasiku di dalam mulutnya tanpa memberitahunya terlebih dahulu, sehingga membuat dia tersedak sampai mengeluarkan air mata. Sejak saat itu, dia tetap menolak mengoral penisku walaupun aku rayu dengan cara apapun.

Keesokan harinya, aku baru bisa sampai di rumahku sekitar jam dua belas malam. Maklum, keadaan lalu lintas saat Jumat malam memang sungguh ajaib. Kemacetan dimana-mana, bahkan sampai hampir tengah malam sekalipun.

Aku segera ke kamar mandi untuk bersih-bersih tubuhku. Selesai mandi, kumasukkan tas-tas dan barang lainnya yang sudah disiapkan Risa untuk aku bawa.

Sekitar jam tiga dini hari aku sampai di resort tujuanku. Lokasinya di salah satu pantai wilayah Jawa bagian Barat.

Resort ini milik perusahaan tempat istriku bekerja. Para karyawannya dapat meminjam resort tanpa dikenakan biaya, kecuali untuk makanan yang disiapkan oleh pengelola resort ini. Ada sekitar 8 vila yang cukup besar di sini. Bagiku sangat lengkap fasilitasnya. Ada kolam renang, lapangan tenis, dan arena bermain anak-anak, yang semuanya berada di dekat pantai tidak jauh dari resort tempat kami menginap.

Masing-masing bangunan resort terdiri dari dua tingkat. Empat bangunan saling berjajar dan empat bangunan lainnya berdiri berhadapan tepat di seberangnya dipisahkan dengan jalan selebar delapan meter. Jarak antar resort yang berdampingan agak jauh, sekitar dua puluh meter. Sedangkan untuk bangunan pengelola resort ini yang juga dipakai sebagai tempat memasak makanan yang pengunjung pesan berada di dekat pintu masuk komplek resort ini.

Kami mendapatkan resort yang letaknya paling dekat dengan pantai. Bangunan dengan luas sekitar dua ratus meter persegi ini terdiri dari empat kamar. Dua kamar di atas, dan dua kamar di bawah yang tiap-tiap kamar terdapat kamar mandi di dalamnya. Ruang keluarga di bawah cukup luas, sekitar tiga puluh enam meter persegi.

Terdapat sofa besar yang dapat dimuati delapan orang dengan televisi di depannya. Di sampingnya merupakan ruang makan menyatu dengan dapur yang terdapat meja makan dengan kursi sebanyak delapan juga. Antara ruang keluarga dan ruang makan tanpa sekat, pemisahnya hanya undakan kecil setinggi lima belas sentimeter.

Aku masuk resort yang tidak dikunci, karena resort ini memang keamanannya terjamin. Kulihat dua orang asisten rumah tanggaku dan seorang asisten rumah tangga Mbak Dita tidur di ruangan keluarga. Salah satu asisten rumah tanggaku terjaga begitu aku masuk ke dalam resort. Dia ikut membantuku menurunkan barang-barang dari mobilku.

Sesampainya di atas, kubuka pintu kamar dan terlihat istri dan anak-anakku sedang tertidur di atas salah satu tempat tidur.

Kamar ini cukup luas sekitar empat kali tujuh meter. Terdapat dua tempat tidur ukuran ‘queen size’ yang dihimpitkan satu sama lain. Di atas tempat tidur itu terdapat dua pasang jendela yang menghadap langsung ke tempat bermain anak dan arah pantai. Sedangkan kamar mandinya berhadapan dengan pintu kamar agak ke kanan sedikit sejajar dengan posisi tempat tidur, dan dari pintu kamar ke kanan terdapat lorong yang menuju balkon kamar yang berada bagian depan resort.

Risa terbangun karena aktivitasku yang meletakkan barang-barang di lantai kamar.

“Kok malem amat Yang?”, tanya Risa. “Iya, tadi macet banget mau ke rumahnya”, jawabku.

“Kok dapetnya di kamer ini?”, tanyaku. “Kita sekamer sama Rani. Soalnya masih pada punya bayi. Anak-anaknya Mbak Dita kan udah pada gedean, kalo campur sama bayi malah repot nantinya. Jadinya Mbak Dita di kamar seberang. Papa mama semuanya di kamar bawah”, jawab Risa.

“Trus Rani sekeluarga kapan datengnya? ”, tanyaku lagi. “Rani besok subuh baru berangkat dari rumahnya”, jawab Risa lagi. “Udah sana kamu bersih-bersih dulu trus bobo”. Lantas aku ke kamar mandi dan mengganti pakaian untuk tidur. Lalu aku mengambil posisi tidur di samping Risa, dan tidur sambil memeluk dirinya.

Pagi harinya sekitar pukul tujuh, aku terbangun oleh suara tangisan bayi. Kubuka mataku dan kulihat Rani yang saat ini memutuskan untuk berhijab, sedang menimang-nimang Ari, anaknya, berusaha untuk meredakan tangis Ari.

“Hai Mas”, sapa Rani. “Tuh ada Pakde Rio, Ari salim. Gimana salimnya?”, lanjut Rani kepada anaknya tetap mencoba menenangkannya.

“Eh elo Ran. Sini Ari, sini salim sama pakde”, sahutku sambil bangkit dari tidurku. Tapi Ari tetap menangis digendongan ibunya. “Ari kenapa, Ran?”, tanyaku. “Kayanya haus Mas, mau nenen”, jawab Rani.

“Assalamualaikum”, terdengar suara dari arah pintu kamar. “Wa’alaikumsalam”, jawabku dan Rani berbarengan. Rupanya Doni, suami Rani, masuk ke kamar sambil membawa beberapa tas, diikuti di belakangnya ada asisten rumah tangga Rani dengan membawa beberapa tentengan juga.

“Sehat, Don?”, tanyaku basa-basi disertai uluran tangan untuk berjabat tangan.

“Alhamdulillah sehat Mas”, sahut Doni sambil menyambut jabat tanganku. “Yowis gue turun dulu. Itu si Ari haus mau nenen”, sahutku. “Ok Mas”, sahut Doni. “Maaf Mas, jadi gangguin tidurnya”, tambah Rani. “Gapapa kok”, jawabku.

Aku bergegas keluar kamar dan menuju ruang makan di lantai bawah. Kulihat di ruang makan dan ruang keluarga sudah ramai dengan aktifitas keluargaku. Kulihat Risa sedang sarapan di meja makan bersama ibuku, ibu mertuaku, dan Mbak Dita. Sedangkan ayahku dan ayah mertuaku sedang ngobrol di ruang keluarga.

Risa menyuruhku untuk ikut gabung dengannya. Lalu dia pun mengambilkan makanan untuk sarapanku.

Pagi ini kami habiskan waktu dengan bermain bersama di tepi pantai. Menikmati deburan ombak dan pemandangan gunung anak krakatau. Kemudian dilanjutkan dengan berenang di kolam renang yang tidak jauh dari pantai.

Kami selesai berenang sekitar pukul sepuluh pagi. Sesampainya di resort, Risa dan kedua asisten rumah tanggaku memandikan kedua anakku. Aku menunggu antrian mandi di ruang televisi samping kamar yang ditempati Mbak Dita, seberang kamar yang aku tempati. Di sini terdapat sofa yang bisa diduduki oleh tiga orang dan dua kasur tambahan ukuran nomor empat untuk tempat tidur aku dan Doni saat malam tiba, karena tidak memungkinkan untuk kami berdua tidur bersama istri dan anak-anak kami.

Luas lantai di lantai atas ini tidak penuh sampai luas seluruh bangunan, karena tidak sampai menutupi ruang keluarga di bawah. Sebagai pembatas, terdapat pagar pengaman dari besi setinggi satu meter. Sehingga dari lantai atas ini bisa melihat langsung ke ruang keluarga di bawah dengan bebasnya.

Kumainkan remote televisi mencari tayangan tivi kabel yang menarik. Saat asik menikmati tayangan televisi, kedua anakku lari berhamburan dari arah kamar yang mereka tempati menuju ke arahku. “Ayah ayah ayah”, sahut mereka berdua. Kusambut mereka dengan pelukan dan kuciumi kepala mereka. “Udah jangan lama-lama meluknya, ayah masih bau belum mandi”, terdengar suara Risa dari arah pintu kamar.

Kubuka pintu kamar mandi dan kulihat sudah ada istriku yang melepas pakaian dalamnya yang basah setelah berenang tadi. Risa sedikit terkejut saat aku masuk. “Kaget, kirain siapa”, sahutnya.

Terlihat tubuh putih sedikit berbulu halus milik Risa. Ada sedikit selulit di bagian luar kedua pahanya dan di bagian bawah bongkahan pantatnya yang montok. Tinggi badannya sekitar seratus lima puluh tujuh sentimeter, dengan berat sekitar lima puluh dua kilogram. Tidak seramping dahulu saat menikah yang sekitar empat puluh satu kilogram.

Maklum, badannya sudah pernah dua kali berisi anak-anakku. Rambutnya lurus sedikit bergelombang dan berwarna hitam kemerahan. Seperti yang pernah disebutkan pada cerita sebelumnya, Risa ini yang paling cantik dari saudari-saudarinya. Semasa kuliah, entah ini suatu pujian atau ejekkan, Risa sempat dipanggil Miyabi oleh teman-temannya.

Kamar mandinya cukup besar dengan ukuran dua meter kali dua setengah meter. Ada bathtube dengan shower di bagian atas salah satu ujung panjang bathtube, dan closet berjarak setengah meter di dekatnya.

Aku pun membuka seluruh pakaianku dan menggantungkan di gantungan pakaian di balik pintu. Risa menuju bathtube terlebih dahulu. Dia pun menggeser keran air ke atas dan shower mengeluarkan air yang langsung membasahi tubuhnya. Risa mengambil sikat gigi dan pasta gigi dari tas perlengkapan mandi yang digantungkan disamping pipa shower.

Aku menyusulnya menuju bathtube dan mengambil posisi di belakang tubuhnya. Siraman air dari shower turut membasahi tubuhku. Langsung kupeluk tubuh Risa dari belakang. Sengaja kutempelkan batang penisku yang mulai mengeras ke belahan pantat Risa. “Mau mimii”, sahutku merajuk.

“Di sini?”, tanya Risa. “Yaiyalah, masa di taman”, jawabku asal. “Hehehe bentar sikat gigi dulu”, sahut Risa lagi.

Sambil menunggu Risa menggosok giginya, jari tangan kananku ikut menggosok belahan vagina Risa, sementara tangan kiriku meremas-remas kedua payudara Risa dan memilin putingnya.

Hembusan nafas Risa menjadi semakin berat. Vaginanya terasa basah okeh lendir kenikmatannya. Kusandarkan tubuh Risa ke dinding, lalu kuciumi lehernya sebelah kiri, terus turun ke bawah ke arah payudaranya yang berukuran tiga puluh empat b. Putingnya yang sebesar ujung kelingkingku dan berwarna cokelat tua, sudah mengeras.

Setelah puas bermain dengan putingnya, kulanjutkan kecupanku ke bagian bawah payudara Risa. Kukecup perlahan-lahan perutnya yang sedikit membuncit, terus ke bawah ke pusarnya, kemudian ke arah bekas jahitan sisa melahirkan kedua anakku, dan sampai lah aku pada rambut-rambut halus di atas vaginanya. Tidak ada penolakkan dari Risa sampai saat ini.

Terlihat vagina Risa yang ditumbuhi rambut-rambut yang tercukur rapih. Bibir vaginanya sudah sedikit terbuka bekas permainan jari tanganku tadi. Langsung lidahku menyeruak labia minora vaginanya dan menyapu klitorisnya. Dilanjutkan dengan hisapan mulutku terhadap klitoris Risa yang sudah mengeras. “Klotak”, bunyi benturan pinggiran bathtube dengan sikat gigi yang tadi Risa pakai.

Melihat Risa yang semakin terangsang, kaki kirinya kunaikkan ke pinggir bathtube yang menempel pada dinding, sehingga aku semakin leluasa untuk menikmati vagina Risa yang sudah lama tidak aku lakukan. Disertai guyuran air dari shower, lidahku semakin liar bermain di mulut vagina Risa. Ujung lidahku mengacak-acak bagian dalam vaginanya diselingi dengan hisapan-hisapan kuat di klitorisnya.

Rintihan Risa semakin lama semakin keras, dan tak lama kemudian badannya mulai mengejang-ngejang disertai semburan cairan hangat dari dalam vaginanya. Tidak banyak memang, tapi cukup membuat lidahku merasakan rasanya yang gurih. Ini yang aku lupakan, ternyata Risa seorang squirter juga, sama seperti dua saudarinya.

“Kamu apain mimi Yang? Enak banget”, sahut Risa. “Enak kan? Kamu sih ngga mau mimi aku jilatin”, jawabku sambil bangkit untuk mencium bibirnya.

Kami pun berciuman dibawah siraman air dari shower. Tangan kanan Risa memainkan batang penisku yang sudah sangat siap untuk melaksanakan tugasnya. “Mimi mau pipi”, pinta Risa.

Lalu kupinta Risa untuk menghadap dinding tempat shower berada dan kusuruh dia menunduk sementara tangan kanannya berpegangan pada dinding shower, dan tangan kananku sedikit menekan punggungnya agar menekuk ke bawah, sehingga pantatnya yang montok semakin menungging dan posisi lubang kenikmatannya semakin jelas kulihat.

Kunaikkan kaki kananku ke pinggiran bathtube di samping kaki kanan Risa. Lalu kuposisikan batang penisku ke bibir lubang kenikmatannya yang sudah penuh lendir. Kumainkan sebentar kepala penisku ke bibir vaginanya. Kemudian perlahan-lahan kumasukkan kepala penisku ke lubang vagina Risa. Mili demi mili kunikmati masuknya batang penisku ke dalam lubang kenikmatan yang hangat ini.

Posisi kedua tanganku memgang pinggul kanan dan kiri Risa, lalu kugerakkan pinggulku sehingga membuat batang penisku beranjak keluar dari vagina Risa, disertai menyeruaknya bibir vagina Risa yang sempat melesak ke dalam akibat hujaman penisku. Tidak sampai setengah batang penisku keluar, kuhujamkan kembali batang penisku ke dalam lubang kenikmatan Risa.

Risa memang sedikit berisik kala bercinta, apalagi menjelang dia mendapatkan orgasme. Kadang kala jika kami bercinta di rumahku dan sedang ada keluarga yang menginap, aku pun kewalahan membekap mulutnya dengan bibirku atau dengan tanganku agar suaranya tidak mengganggu mereka.

“Plak plak plak”, bunyi pangkal pahaku beradu dengan pantatnya dipadu dengan siraman air dari shower menambah erotisme dalam bercinta. Tangan kananku tidak tinggal diam, sambil tetap menggoyangkan pinggulku, kusap-usap kulit punggung Risa yang ditumbuhi sedikit bulu, lalu menjalar ke arah payudara kanan Risa yang ikut bergoyang seirama dengan hujaman-hujaman penisku ke dalam vaginanya.

Kuremas-remas payudara kanannya, kupilin-pilin putingnya yang sudah mengeras, dilanjutkan renasan kembali di payudaranya. Puas bermain di payudaranya, kembali tanganku mengusap punggungnya kemudian beralih ke arah pantat kanannya dan kuremas pantatnya yang montok, lalu “plak” kuberikan tamparan di pantat kanan Risa.

Tidak sampai disitu, kuusap-usap pantat kanannya, kutempatkan ibu jari kananku di permukaan anus Risa. Kumainkan ibu jari kananku dengan mengusap berputar di permukaan anusnya, sementara tangan kiriku masih setia berada di pinggul kiri Risa, ikut membantu hujaman-hujaman batang penisku ke dalam lubang kenikmatan Risa.

Batang penisku terus mengaduk-aduk lubang vaginanya. “Oooch oooch oooch”, desahan Risa semakin kencang dan panjang, dia mendekati titik klimaks kenikamatan dunia.

Tiba-tiba, tok tok tok “Mba masih lama ngga?”, terdengar suara Rani dari balik pintu luar kamar mandi. “Mba.. Mba.. masih lama ngga?”, Rani kembali memanggil istriku.

“Be.. bentar la.. gi Raan”, teriak Risa sedikit terbata-bata dilanjut dengan tubuhnya yang mengejang-ngejang. “i got it, i got it”, racau Risa yang menjadi semakin menunduk karena lemas.

Terasa vaginanya semakin licin oleh cairan yang keluar dari lubang vaginanya. Aku mempercepat ayunan pinggulku, karena terasa aku pun akan mencapai klimaks. Penisku berkedut-kedut dan terasa semakin gatal di kepala penis dan batang penisku. Dengan satu tusukan yang dalam, kusemprotkan spermaku ke dalam lubang kenikmatan Risa.

“Banyak amat Yang?”, sahutnya. “Menurut lo?!”, jawabku asal. “Hehehhe”, Risa terkekeh.

“Kamu teriak kenceng amat. Kedengeran Rani ngga ya?”, ucapku. “Kalo kedengeran juga gapapa. Dia udah punya laki juga hehehe”, jawab Risa.

Perlahan kucabut penisku dari dalam vaginanya. “Aach”, desahnya saat seluruh batang penisku keluar dari mulut vaginanya.

“Yuk ah mandi. Udah ada yang ngantri”, sahutku. Risa pun membalikkan badannya menghadap ke arahku. Kemudian dipeluknya tubuhku masih di bawah guyuran air dari shower. Disandarkan kepalanya di dadaku sambil mengucap “aku sayang kamu”. “Aku juga”, jawabku sambil mengusap-usap punggungnya.

Lalu kami pun mengambil wudhu untuk mandi besar.

Setelah mandi dan berpakaian lengkap, kami pun keluar kamar mandi. Terlihat Rani dan Doni sedang duduk di tepi tempat tidur sambil menonton telivisi yang ada di kamar. Rani pun langsung bangkit dari duduknya saat melihat aku dan Risa keluar kamar mandi. Terlihat wajahnya yang sedikit kesal, mungkin sudah terlalu lama mereka menunggu.

“Ayo gantian gantian”, sahutku sambil cengengesan. “Macam love hotel aja hahaha”, celetuk Doni. Mereka berdua pun masuk ke dalam kamar mandi.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu