1 November 2020
Penulis —  JohnyEdogawa

Siap, Laksanakan!

continuation

12.00

“Dhit? Dhito?”

“Iya apa, Van? Gak sekalian tidur sampe besok?”

“Kamu di mana?”

“Lah ini abis dari dapur.” Aku berjalan mendekati Vania dengan membawa segelas es kopi buatanku sendiri.

Aku menjatuhkan badanku di sofa. Vania langsung menyambutku dengan sebuah pelukan. Dia melingkarkan tangannya di perutku. Dia bermanja. Mukanya dibenamkan di perutku.

“Kenapa sih, Van?”

“Jalan yuk, Dhit. Atau gak nongkrong aja deh. Di tempat biasa kamu nongkrong.”

“Yaudah sana cuci muka.”

“Bentar”

“Ya terserah sih kalo mau berangkat nanti.” Aku menyeruput es dari gelasku.

“Iya, sih. Agak nanti aja deh, Dhit.”

Vania hanya memandangiku. Dia tersenyum. Senyumnya seakan mengisyaratkan sesuatu.

Aku tersentak dan sedikit menyemburkan minuman yang masih belum sampai di tenggorokan. Karena tanpa aba aba dia membuka bokserku, tanpa ada sedikitpun perlawanan dari ku.

“Van, orang orang tuh bangun tidur nyari minum. Ini kamu malah nyari adek.”

“Hihihihihi kan aku minum dari yang ini.”

Bokserku sudah terlepas. Adikku kini bebas.

Dia membangunkan adikku yang masih lemas. Dan bermain main dengannya hingga ia puas.

“Iiiih masih belum bangun. Lucu deh.” Vania mulai memijatnya. Membiarkan tangannya bergerak bebas naik dan ke bawah.

“Terserah kamu, Van.” Tanganku sudah berpindah ke rambutnya dan mulai mengelusnya.

“Adek, bangun, yuk. Tante mandiin.” Wanita cantik ini sudah tak jelas arahnya.

Adikku mulai mengeras. Tangan Vania mulai beringas.

Kecepatan tangannya tak beraturan. Sedang aku masih menahan segala kenikmatan.

“Van, Van. Bentar. Pake kacamata dong hehe.” Aku menghentikan Vania.

“Ngapain, Dhit?”

“Please, yaa? Nanti aku kasih tau.” Aku memelas.

Dia diam lalu berjalan menuju kamarku. Tak lama dia sudah kembali dengan kacamata yang sudah terpasang di wajahnya. Melihatnya, adikku makin terbangun.

“Duh, cantik banget sih.” Godaanku hanya dibalas dengan tatapan sinis.

“Dhit, basahin bibirku, dong.” Vania menatapku. Dia menawarkan bibirnya.

Tak perlu waktu lama bibir kami langsung bertemu.

Setelah cukup puas, bibirnya pun didekatkan ke adikku. Dikecupnya lembut. Tidak ada sedetik, adikku sudah berada di dalam mulutnya.

“Engh!” Gerakkan tiba tiba itu membuatku sedikit menjambak rambutnya.

“Ehnggg. Aaaaah. Bentar ya, Dhit.”

“Terserah, Van. Mau sampe besok juga gapapa.”

Vania melanjutkan aktifitasnya. Tangan kiriku masih mengelus elus rambutnya. Sedang tangan kananku mulai meraba raba punggungnya. Aku ingin bermain dengan bola bola kesayanganku.

Tapi belum sampai aku menyentuhnya, tangan Vania langsung menepisnya.

“Tangannya bisa diem, gak?” Dia setengah membentakku. Matanya melotot. Aku tak berkutik.

Meskipun dalam tempo yang tak beraturan, tapi kelembutan dan kehangatan rongga mulut itu membuat adikku nyaman.

Vania kadang bergerak cepat, kadang lambat, kadang mendiamkan mulutnya. Selamat lima menit dia melakukan kegiatannya. Dalam lima menit itu juga aku merasakan kenikmatan sesaat.

“Emmmmm. Sluuurp. Aaaah. Engnggggggg.”

Dengan menambah suara erangan, secara tak sadar Vania mempercepat aku ejakulasi.

“Van. Aaahhhhh. Aku keluarin, ya.”

“Hee ngh. Eehhh.”

Aku melepas adikku dari mulutnya dan mengarahkannya ke wajah Vania.

*crot*

Wajah seksi Vania kini kotor dengan spermaku. Beberapa masih menempel di kacamatanya.

Nafasku masih tak teratur, tapi lega. Karena akhirnya aku ada kesempatan untuk mengotori wajah berkacamata seorang perempuan dengan spermaku.

Vania mencari cari tisu lalu membersihkan wajahnya. Setelah dirasa bersih, dia duduk di sampingku.

“Aku cuci muka aja, ya. Gausah mandi. Kelamaan.”

“Iyaudah terserah.”

Aku beranjak dari sofa dan berjalan ke kamarku untuk bersiap siap. Tak perlu menunggu Vania selesai, aku langsung mempersiapkan mobilku.

12.30

Kami sudah berada di dalam mobil. Kali ini Vania memakai legging hitamnya yang ketat, tanktop hitam, yang akan menunjukkan belahan dadanya ketika dia menunduk, dan cardigan.

Lalu satu hal yang paling aku senangi: Kacamata. Di mataku, hari ini Vania nampak lebih sexy.

“Van,there is something you have to know

What?

“Fetishku itu cewek berkaca mata. Aku bakal gampang turn on kalo liat cewe berkaca mata.”

Vania menatapku keheranan, “Ah, itu dasarnya kamu gampang turn on aja.”

“Kamu juga godain terus.” Godaku dengan tiba tiba meremas payudaranya.

“UDAH FOKUS NYETIR!” Lagi lagi dia membentakku. Membuat aku kehilangan fokus untuk sesaat.

13.00

Kami sampai di sebuah café kecil di kotaku. Tempat untuk mencurahkan semua isi kepalaku. Dari ide ide pekerjaan, ide ide pembuatan lagu, tempat untuk menjadi penenang, serta tempat untuk ku mengadakan “reuni” dadakan dengan teman teman SMA ku. Terlebih lagi, pemilik café ini adalah Olive, seorang wanita imut, teman SMA ku sendiri, serta fuck buddy ku ketika jaman kuliah dulu.

Aku langsung mengajak Vania untuk memesan terlebih dahulu. Penjaga kasir yang sedang berjaga hari ini seorang pria muda normal. Darimana aku bisa tahu dia pria normal?

Karena dia tidak berkedip ketika Vania mendekati meja kasir. Dia masih tak bergerak meskipun aku dan Vania sudah di depannya.

Memang tak bisa dipungkiri. Pesona kecantikan Vania bisa membuat semua orang kehilangan fokusnya untuk sesaat.

“Mas?” Sapaanku mengembalikan pikirannya yang sempat hilang.

“Eh. Enggg. Iya, mas, mbak. Mau pesan apa?” Dia sekarang jadi salah tingkah.

“Van, pesen duluan.”

Aku mengamati gerak gerik dan mata anak ini ini. Dia keliatan gugup. Tapi, matanya, matanya tidak bisa berhenti melihat ke arah Vania.

Saat ini Vania sedang memesan. Untuk memilih pesanan, dia harus menunduk agar bisa membaca menu makanan yang sudah tertempel rapi di meja. Ditambah meja itu tidak terlalu tinggi.

Dengan sangat yakin, aku berasumsi bahwa pegawai ini sedang memperhatikan belahan dada Vania.

Vania tidak sadar, bahwa ada sepasang bola mata yang memperhatikan harta karunnya yang terpendam.

Sebagai sesama pria, aku paham bahwa anak ini tidak mau melewatkan rezeki yang berada di depan matanya. Tapi aku tak bisa tinggal diam.

“Eh, si Olive udah dateng?”

“Enggh. Itu, mbak Olive datengnya nanti sore.” Pertanyaan singkatku mengagetkannya.

Kulihat Vania sudah berdiri tegak kembali. Menyembunyikan lagi harta karunnya.

“Udah pesennya, Van?”

“Udah, Dhit.”

Café ini cukup ramai. Mengingat hari ini Minggu, dan besok masih tanggal merah. Kendati demikian, tidak sulit bagiku menemukan kursi bagi kami. Ada satu tempat yang masih kosong di balik rak buku di sudut café. Kulihat di sekitarnya banyak anak anak usia sekolah.

“Eh, btw tadi papa mama ngechat, Dhit. Katanya besok pagi mereka landing jam 6 pagi, trus langsung ke rumahmu.”

“Oh, yaudah syukur deh. Gak ada yang ngerepotin aku lagi.”

“Gak ada yang ngerepotin kamu atau gak ada yang ngerepotin adekmu hah?” Seketika perutku dicubit.

“Aduh, dua duanya!”

Kami melanjutkan obrolan kami. Obrolan obrolan tak penting, tapi sangat berarti. Dari obrolan ini kami bisa mengenal satu sama lain. Meskipun kami sudah kenal dari lama, tapi ketika beranjak dewasa kami sudah jarang bertemu.

Aku berusaha keras untuk tidak membahas kehidupannya ketika bertugas. Aku membiarkan Vania sendiri yang bercerita.

15.00

2 jam sudah berlalu. Segorombolan anak anak sekolah yang sedari tadi berisik sudah beranjak meninggalkan mejanya. Kini hanya kami berdua yang berada di sudut café ini.

Minuman dan makanan kecil kami sudah habis. Menyisakan gelas dan piring kotor di meja. Kami pun sudah kehabisan bahan pembicaraan. Aku bosan. Aku menendang nendang kakinya. Lalu dibalas tendangan yang lebih kencang lagi.

“Ngapain sih, Dhit.” Tukasnya ketus.

“Gabut, Van.”

Otak nakalku mulai aktif. Aku menggodanya lagi. Kali ini lebih extreme.

Tanganku mengarah ke bawah meja, lalu mendarat di paha Vania.

“Dhit. Berhenti.”

Aku tak menghiraukan. Tanganku bergerak sangat halus. Dengan menambah sedikit remasan remasan kecil di pahanya.

“Dhit. Jangan, dong.” Vania makin ketus. Tangannya berusaha membuang tanganku. Tapi tanganku tetap menjadi juaranya.

“Sshhh. Udah, tenang aja.” Senyumku penuh arti.

Tanganku mulai mendekat ke pangkal paha. Vania pasrah dan memainkan handphonenya.

Legging ketat Vania memudahkan rangsangan yang diberikan tanganku. Kini kakinya malah melebar.

Tanganku dengan mudah mengarah ke pangkal pahanya. Jari jariku bermain dengan harta karunnya yang lain. Vania langsung menaruh handphonenya. Mukanya mengadah ke atas. Matanya tertutup. Bibirnya digigit sendiri.

Gesekkan jari ku membuat Vania tak bisa bergerak banyak. Dia menahan kenikmatan itu.

Tak menunggu lama, tanganku mengarah masuk ke dalam leggingnya. Dengan niat membuat Vania jatuh ke lubang kenikmatan yang lebih dalam.

Sesaat tanganku akan masuk, tiba tiba ada teriakan yang mengagetkan kami.

“HAYOOOOO BERDUAN MOJOK MAU NGAPAIN?”

Teriakan Olive membuat tanganku mundur. Secepat kilas kukeluarkan lagi dari bawah meja.

“Bangsat, Liv. Bikin kaget aja.”

“Hahahaha. Kok gak bilang mau ke sini?”

“Ngapain. Lha kan aku udah sering ke sini.”

“Eh, siapa nih? Baru, Dhit?”

“Matamu. Ini sepupuku.”

Mereka pun berkenalan. Lalu Olive ikut duduk di meja kami.

“Kamu mau punya sepupu kaya gini, Van? Cowok brengsek kaya gini. Udah berapa cewek yang ‘disikat’ sama dia.”

“Hehe ya gimana lagi, kak.”

Aku membayangkan reaksi Olive jika dia tahu kalau aku juga sudah “menyikat” sepupuku ini.

Kami melanjutkan obrolan kami lagi. Hingga akhirnya memesan makanan dan minuman lagi. Tapi kali ini gratis, Olive yang membayar.

Setelah satu jam kami mengobrol. Olive meminta tolong ke aku.

“Dhit, kamu pinter komputer, kan? Aku minta tolong dong. Ini komputer di dalem dari kemarin agak aneh.”

“Aneh kenapa?”

“Ya makanya liat dulu.”

“Iya iya ah ngerepotin aja nih.”

“Van, bentar, ya. Kamu santai aja dulu. Pinjem abang mu”

“Iya, kak.”

Olive melangkah di depanku. Aku mengikutinya dari belakang. Mengamati setiap lekuk tubuh temanku ini. Dan masih tidak berubah. Tetap indah sedari dulu.

Kami masuk ke ruangannya yang kecil. Aku kagum. Olive tidak hanya membuat tempat ini sebagai Cafénya, tapi juga sebagai kantornya. Dia mengatur segala urusan administrasi, marketing, dan keuangan di sini.

Aku duduk mengamati komputernya lalu kunyalakan. Sedang Olive berdiri di sampingku.

Ku cek satu persatu. Tidak ada yang aneh. Semuanya nampak normal.

“Mana yang aneh, Liv?”

“Gak ada yang aneh emang.”

“Ah tai, Liv. Terus ngapain kamu minta tolong aku buat ngecek.” Aku berdiri sambil sedikit memarahi Olive.

“Yang aneh itu aku, Dhit. Kok kayaknya kangen main sama kamu.” Suaranya melembut. Matanya sayu. Tangannya berjalan jalan di dadaku hingga berhenti di pangkal pahaku. “Bentar aja yuk, Dhit.”

Olive berusaha membuka celanaku. Aku hanya tersenyum.

“Mentang mentang kamu yang punya Café ini ya, Liv. Jadi seenaknya kamu mau ngapain di sini.”

Celanaku sudah terlepas. Payudara Olive yang imut itu aku remas remas.

Adikku masih belum sepenunya terbangun dari tidurnya. Olive berusaha membangunkannya dengan sentuhan sentuhan lembut. Setelah sudah terbangun, kini Olive sudah mengocoknya dengan pelan. Aku tak mau diam saja. Bibir imutnya aku lahap.

“Quickie aja ya, Liv.”

“Iya, Dhit.”

“Yaudah kamu duduk sini.”

Olive duduk di kursi komputernya. Aku tak tahu sejak kapan celananya terbuka. Kami berciuman lagi. Vagina yang berbulu jarang itu langsung aku mainkan dengan jariku. Menggeseknya dengan tempo yang teratur.

Adikku yang sedari tadi masih berada di genggaman Olive kini kuarahkan ke arah mulut Olive. Dengan senang hati dia melahapnya. Bibir mungil itu seakan berusaha keras untuk memasukkan adikku. Tapi hal itu yang membuat nyaman.

“Hngghh. Emhhmghhhhhhh.” Erangan Olive menjadi tidak jelas karena gesekkan jariku, juga karena mulutnya sedang tersumpal.

Saat kurasa sudah basah semua, Olive mengeluarkan adikku. Kakinya melebar menunjukkan gundukkan mungilnya.

Dia menggenggam adikku. Ujung kepalanya digesekkan ke bibir Vaginanya. Aku yang tak mau berlama lama meninggalkan Vania langsung memasukkannya tanpa aba aba.

“Ehg! Angghhhhhhhh.” Raut muka Olive berubah menjadi raut muka kenikmatan.

Adikku masuk ke taman bermainnya. Taman bermain yang sudah lama tidak ia kunjungi. Vaginanya yang basah membuat adikku mudah untuk berjalan jalan.

Kini giliran adikku memuaskan nafsu sesaat Olive, setelah beberapa hari ini memuaskan Vania.

Payudara Olive yang masih terbungkus baju tetap aku mainkan. Payudara mungil dan imut itu. Selalu membuatku jatuh cinta.

Dari awal aku sudah mengatur cepat tempo gerakkan adikku. Pikirku agar cepat selesai juga aktifitas kami ini.

“Enghh. Dhit. Emhhhhhh.” Olive mulai mengerang pelan. Bibirnya digigit sendiri.

Erangan Olive mulai mengerang keras ketika adikku sudah berada di tempo maksimal. Di kondisi seperti ini, aku tak membiarkan dia mengerang keras. Mulutnya langsung aku sumpal dengan bibirku. Berharap akan meredam segala erangan Olive.

Vagina Olive mulai berkedut. Adikku makin terjepit. Dalam 5 menit itu kami beradu. Mengobati sedikit rasa rindu yang ada.

Gerakanku makin cepat, dan bibir kami masih beradu lidah. Hingga akhirnya Olive kencing.

“ENGHHHHH!!! Aaahhhhh. Dhit, keluar.”

“Aah. Bent- Bentar, Liv. Hnggh.” Aku tak peduli Olive sudah keluar. Aku masih saja menggenjotnya.

“Ah. Ah. AH. AAHHHH. HNGGGH.”

Adikku sudah berada di puncak kenikmatan. Sebentar lagi dia menyemburkan muntahannya. Segera kujabut dia dari dalam badan Olive.

Olive lantas turun dari kursi dan berjongkok di depanku. Sebuah kebiasaan lama yang tidak pernah ditinggalkan. Adikku langsung diurut dengan kasar. Tak butuh lama untuk adikku mengeluarkan muntahannya.

Kini muka Olive kotor karena spermaku. Wajah manisnya tidak berubah. Hanya saja bertambah menjadi wajah binal.

“Udah gak aneh sekarang, Liv?”

“Enggak, Dhit. Udah normal, kok.” Wajahnya tersenyum binal.

Segera kami membereskan semua ini. Aku memakai celanaku kembali, dan Olive masih membersihkan mukanya dengan tissue basah. Setelah selesai, kami langsung kembali menuju mejaku. Menghampiri Vania yang asik dengan handphonenya.

Aku mengecek jam tangan, dan ternyata permainan ku dengan Olive hanya memakan waktu sekitar 20 menit saja.

Waktu yang normal untuk sebuah quickie.

“Sorry lama ya, Van. Baru selesai tadi Dhito benerin komputerku.”

“Ah iya gapapa, kak.”

Aku yang kelelahan langsung duduk dan meminum minumanku. Lalu kami berbincang bincang lagi.

18.00

Aku dan Vania sudah beranjak pulang ke rumah. Sebelum kami berpamitan, Olive mengirimkan sebuah pesan ke WhatsApp.

“Kapan kapan lagi ya, Dhit. Tadi gak puas haha.”

Setelah kubaca, kubiarkan Vania berjalan di depanku. Lalu aku berbbisik ke Olive.

“Besok aja. Mumpung Vania besok udah dijemput dan rumahku masih kosong.”

Olive hanya tersenyum. Lalu kami berpamitan. Tidak lupa sebuah cipika cipiki dilakukan oleh Vania dan Olive.

Aku dan Vania sudah berada di mobil. Kami sebenarnya tidak ingin langsung pulang. Tapi kami bingung mau ke mana lagi.

“Mau ke mana, Dhit?”

“Gak tau. Bingung. Kamu mau ke mana? Langsung pulang?”

“Iya sama bingungnya, Dhit. Tapi ya males pulang.”

Kuputuskan untuk berputar putar saja saja kami bosan. Kami mampir membeli jajanan kecil di pinggir jalan. Sekedar untuk menemani perjalanan malam yang tak tentu arah ini.

Di sepanjang perjalanan ini kami hanya makan dan berkaraoke ria. Kami berteriak sesuka hati kami. Saling bersautan satu sama lain. Lalu ada kalanya kami berebut untuk memilih lagu.

“Bentar bentar. Ih. Dhito. Lagu ini aja.” Vania kekeuh. Dia tak mau kalah.

“Gantian, Van. Sekarang laguku.”

“Diem atau aku bentak lagi nih?!” Bentakan kecil itu membuatku menciut. Aku pasrah.

“_Love of my life, you’ve hurt me

You’ve broken my heart and now you leave me

Love of my life, can’t you see?

Bring it back, bring it back

Don’t take it away from me, because you don’t know

What it means to me_”

Aku menyesal tadi melarang Vania. Ternyata Vania memilih lagu yang pas. Lantunan lagu milik Queen itu membuat kami terhanyut.

Mobilku sekarang seakan menjadi panggung yang megah bagi kami. Kami bagaikan sepasang duo vocal yang sedang naik daun dan sedang tampil di depan para penggemarnya.

Setelah puas dengan Queen, kini gilaran aku yang memilih lagu. Dengan suasana seperti ini, aku memilih lagu andalanku

“_Jabat tanganku mungkin untuk yang terakhir kali

Kita berbincang tentang memori di masa itu_

_Peluk tubuhku usapkan juga air mataku

Kita terharu seakan tidak bertemu lagi_

_

Bersenang-senanglah

Karna hari ini yang kan kita rindukan

Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan

Bersenang-senanglah

Karna waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua

_”

Mengingat besok Vania sudah harus pulang, aku memilih lagu perpisahan ini. Mengherankan juga. Hanya 3 hari kami bersama. Tapi cerita dan kenangannya seakan kami selalu bersama.

Vania terdiam mendengarkan lagu ini. Tapi dia tersenyum. Tangannya menggenggam tanganku yang sedang memegang tuas perseneling. Dia menoleh ke arahku. Memandangiku yang sedang fokus mengemudi.

Kemudian bibirnya mendarat di pipiku.

Thanks, Dhit.”

Kubalas semua itu dengan senyuman kecil.

21.00

Mobil sudah terparkir rapi di garasi. Setelah puas berkaraoke dan menghabiskan jajanan yang sangat melimpah. Kami berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lupa aku mengunci pagar dan pintu depan.

Meskipun tadi berada di ruang ber AC, tapi hasrat untuk mandi tak bisa ditolak.

“Mandi dulu sana, Van.”

“Iya, Dhit. Jangan ngintip, ya.”

“Ngapain ngintip, mending langsung masuk.”

Aku berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil air dingin, lalu berjalan ke taman. Sesampainya di sana, kunyalakan rokok yang sedari tadi menganggur. Kuhempaskan asapnya ke langit. Kunikmati setiap nikotin yang merasuki tubuhku.

Seketika rasa sedih menyelimuti. Teringat ini hari terakhirku dengan Vania, karena besok dia sudah dijemput orang tuanya dan kembali pulang.

Tapi tak mengapa. Tak ada hal yang bisa aku lakukan. Tak mungkin juga aku mencegah mereka.

21.30

Di penghujung rokok ke duaku, kudengar Vania sudah berjalan keluar dari kamar mandi. Segera kumatikan rokokku dan berjalan ke kamar mandi. Aku mampir sebentar ke kamar untuk melepaskan celana dan menaruh kaosku. Kulihat Vania sudah di dalam kamarku memakai handuk kimononya.

Hanya butuh waktu 10 menit untukku menyelesaikan mandi malamku. Aku berjalan ke kamar untuk mengambil kaos. Tak lama Vania memanggilku dari ruang tengah. Segera kuhampiri sepupuku itu.

Kulihat dia masih menggunakan handuknya.

“Sini duduk dulu. Ini kopinya.”

“Weeeee ada apa nih kok tiba tiba bikinin kopi?” Aku keheranan, tapi senang senang saja karena dibuatkan kopi.

“Minum dulu. Kalo bisa langsung abisin.”

“Ya mana bisa langsung abis. Aneh aneh aja kamu inil.”

“Hihihihi. Coba sekarang tutup mata deh.”

“Halah aneh aneh aja.” Aku tak menggubris permintaannya. Kulanjutkan meminum kopiku.

“TUTUP MATA SEKARANG.” Bentakkan itu langsung meluncur dari mulutnya. Aku yang menciut langsung mengikuti perintahnya.

Aku menaruh gelas di meja, lalu menutup mataku.

*beg*

Mataku terbuka. Vania mengagetkanku dengan langsung duduk di pangkuanku. Tanpa sehelai pakaian.

Handuknya yang ia pakai tadi sudah berada di lantai.

Today is our last day, Dhit.I want to make you as mine, for the last time.” Vania berbisik lembut. Payudaranya yang menantang berada tepat di depan mukaku.

Do whatever you want.

Vania berdiri dari pangkuanku. Dia meloloskan boxerku. Sekali lagi membebaskan adikku dari belenggu boxer dan CD ku.

*Sluurp*

Bibir binal itu langsung membasahi adikku. Kurasakan lagi kehangatan di dalam mulut itu. Membuat adikku langsung berdiri tegak. Kepala Vania bergerak ke atas dan ke bawah. Aku pasrah saja. Pikirku ini hari terakhir. Tak akan aku sia siakan.

Payudara yang sedari tadi bebas menjadi sasaranku. Kumainkan sepuas hati. Memberikan remasan remasan dari halus hingga kasar. Serta bermain main dengan putingnya.

Permainan tanganku membuat Vania makin meliar. Gerakannya yang tadi pelan, kini mulai bergerak cepat. Vania makin membuatku kewalahan.

Aku menyimpan tenaga dan spermaku. Kepala Vania aku lepaskan.

“Udah, Van. Berhenti dulu.”

“Hihihihi. Iya, Dhit.” Vania tertawa kecil sambil tetap meremas adikku.

“Aku ada permintaan, Van.”

“Apa?”

“Pake kacamata dong.” Aku mengeluarkan senyum penuh arti ke arahnya.

“Boleh. Kacamatanya di kamar. Aku males jalan ke sana.”

Tanpa ba bi bu, aku berdiri dan menggendong Vania ke kamar. Vania melingkarkan lengannya di leherku. Sepanjang perjalanan singkat itu kami berciuman.

Sesampainya di kamar, aku menurunkan Vania. Membiarkan ia memakai kacamatanya. Lalu aku memilih playlist

Jazz Instrument di Spotify.

Kini ia nampak makin seksi di mataku. Paduan antara rona wajahnya yang cantik, dan kacamata yang membuat ia makin seksi, membuat aku tak tahan. Tubuh Vania kupeluk lagi. Bibirnya menjadi sasaranku. Kami berciuman. Manis dan romantis sekali. Kami terbawa suasana. Suasana haru karena kami harus berpisah, serta ditambah dengan nuansa yang diberikan oleh lagu lagu yang aku putar.

Aku membawa Vania ke kasur. Kurebahkan dia di atas kasur. Lalu aku menciuminya lagi.

Tidak ada sentuhan sentuhan yang kami rasakan. Kami hanya fokus beradu lidah. Sedang tangan Vania melingkar di leherku sambil mengelus elus rambutku. Tak lama tangannya dilepas. Dia mencari cari adikku di bawah sana. Setelah ketemu, dia langsung mengocoknya dengan halus.

Aku tak mau kalah. Vagina yang sedari tadi menganggur, langsung aku sambar dengan jari jariku. Erangan Vania kini mulai muncul karena rangsangan yang kuberikan. Tak hanya erangan, kini kocokkan ke adikku juga makin cepat.

“Hmmmm. Enghhhhh. Ehhhh. Aaaaaaaah.”

Semakin cepat gesekkan jariku, maka semakin keras juga erangan yang muncul dari mulut Vania.

Jari jariku terasa pegal. Aku melepas bibirku dari bibirnya. Membiarkan dia berjalan jalan dari bibir, ke leher, hingga berhenti sebentar di payudaranya. Putingnya yang sudah tegang langsung aku lahap. Menyedot nyedotnya hingga membuat Vania berguncang hebat.

Bibirku kembali berjalan jalan lagi. Dari payudara, kini mengarah ke perut, lalu berhenti di vagina Vania.

Kukecup lembut, lalu kumainkan dengan lidahku. Vania makin tak karuan.

“ENGHHHH. AAAAAAAH. DHiT, DHITO. AHNHHHNGNGHHHHH.”

“Sabar ya, Van.” Lidahku beraksi kembali. Kini seranganku bertambah seiring dengan permainan tanganku di payudaranya.

“Dhit, udah. Jangan. Jang- Emhhhhhh. Jangan ampe keluar. Ahnhggg. Dhit.”

Aku berhenti lalu menarik Vania untuk bangun. Setelah itu aku memposisikan diriku untuk duduk bersandar ujung kasur. Vania langsung paham. Kini dia yang beraksi. Adikku dijepit dengan payudaranya.

Benda kenyal itu menghimpit adikku. Membuat dia kesempitan. Vania tanpa ampun mengocok adikku dengan payudaranya. Mulai dari kocokan lembut, hingga kocokan yang sangat brutal. Wajah berkacamata itu membuatku melayang. Kupandangi lama dan aku terhipnotis dengan pesona seksi aparat binal ini.

Cukup puas bermain main dengan payudaranya, Vania lalu duduk di pangkuanku lagi. Mengarahkan adikku agar masuk ke vaginanya.

*bles*

“Ahh, Van. Udah licin banget kamu.”

“Enghhhh. He eh. Aaaaah.” Vania mulai menggerakkan pinggulnya. Suasana romantic ini membuatnya bergerak secara perlahan. Tidak terburu buru.

Dia menciumiku dengan gemas. Rambut, dahi, dan pipi, semua menjadi sasaran bibirnya. Aku yang tak berkutik hanya bisa memainkan payudaranya dengan tanganku.

Lalu kami berciuman lagi. Romantis sekali.

Ciuman itu membuat kami melayang. Alunan musik yang sangat kalem membuat Vania bergerak seirama dengan musiknya. Sangat pelan. Sangat halus.

Tapi hal itu berubah ketika mulutku menyambar payudaranya. Vania langsung bergerak cepat karena rangsanganku. Aku menahan satu payudaranya dengan mulutku, satunya lagi aku tahan menggunakan tanganku.

“Enghh. Aghhhhhhh. Hnghh.” Kini erangan Vania mulai muncul kembali. Menambah suasana panas malam ini.

Vania bersemangat sekali. Gerakannya makin dipercepat. Sekitar 5 menit kemudian kurasakan pahaku basah.

“AAAAAAAH. HNGHHHHH. DHIT. AKU. KELUAAAR. Aaaahhhh.” Vania mengerang lega.

Dia ambruk di pelukanku. Membuat wajahku terbenam di payudaranya. Aku mengangkatnya lagi. Dia langsung bangun dan merebahkan badannya di kasur. Dia nampak kelelahan. Nafasnya masih ia atur.

Aku yang belum puas mengelus perut Vania. Membiarkan dia mengatur nafasnya. Setelah itu aku bangun dan berjongkok di depan wajah Vania.

“Dhit.”

“Van, kamu aja yang keluar, aku belum.”

“Ahhh, Dhito.”

Dengan sukarela Vania membangunkan adikku yang sedikit terlelap dengan mulutnya. Sentuhan hangat bibirnya membuat adikku bangun. Terlebih ketika adikku sudah memasuki rongga mulutnya.

“Aaaaaah. Gitu dong, Van. Ahng.” Tak sadar eranganku ikut keluar.

Vania tak peduli. Dia masih membasahi adikku dengan air liurnya. Dia mengoral adikku dengan penuh kelembutan. Setelah kurasa sudah cukup basah, aku langsung mencabutnya. Lalu beralih ke bibir yang satunya. Sepupuku ini hanya pasrah.

Aku mempermainkannya sebentar. Adikku tidak langsung masuk, tapi bermain main di bibir vaginanya. Hampir lama kami dalam posisi itu. Vania nampak tak tahan.

“DHITO. BURUAN MAS- AAAAAAAH.”

Sebelum aku dibentak lagi, aku langsung mengagetkannya. Kini adikku sudah masuk ke dalam tubuh Vania. Memberikan aku dan Vania sensasi kehangatan lagi.

Gerakkan pinggulku aku samakan dengan tempo musik. Sangat pelan. Dan sangat halus. Aku ingin menikmati malam ini. Aku mencium Vania lagi. Bibir kami beradu. Saling memberikan air liur satu sama lain.

“Engnhhhhh. Mhhhhhhh.” Vania mengerang halus. Membuatku makin bergairah.

Aku tidak mempercepat gerakanku. Kuikuti irama musik yang sedang kami dengar.

Aktifitasku aku tambah dengan permainan tanganku di payudaranya. Membuat Vania makin kewalahan.

Dengan tempo yang pelan ini, adikku akan lama juga muntahnya. Tak mengapa. Karena kami juga tidak buru buru.

Hampir lama kami dalam posisi itu. Sudah berulang kali erangan yang dikeluarkan Vania. Sudah berulang kali juga Vania menjambak halus rambutku. Tubuh kami juga sudah basah oleh keringat. Adikku sudah tak tahan lagi.

Aku mempercepat gerakkanku. Remasan tanganku di payudara Vania makin tak karuan. Gerakkan tiba tiba itu membuat Vania menjambak rambutku.

Matanya terpejam menahan rasa nikmat yang sedang ia rasakan. Aku menciumnya lagi.

“Ah. Van. Gak tahan.”

“Yaudah, Dhit. Hnghhhh. Ehmmmmmm. Keluarin. Aja. Aaaaahhhhhhh.”

Adikku sudah bekerja dengan tempo maksimal. Dia sudah bersiap siap untuk muntah.

*crot*

Kurasakan adikku kembali basah. Campuran antara muntahannya sendiri dan cairan kenikmatan milik Vania.

Dengan menyedot putingnya, aku membuang anak anakku di dalam tubuh Vania. Lalu aku ambruk di atas dada Vania.

“Ahhh. Dhit. Mentang mentang tau aku gak bisa hamil, kamu jadi seenaknya keluar di dalem.”

“Ah. Ah. Ah. Aaaaah. Gapapa, Van. Biar spesial.Since this is our last night.”

Vania hanya tersenyum. Dia masih memainkan rambutku. Lalu kami berciuman lagi. Peraduan bibir yang mungkin untuk terakhir kalinya.

Ciuman kami kali ini terasa berbeda. Entah kenapa aku merasakan hawa kesedihan yang menyelimuti kami.

Nampaknya Vania juga merasakan hal yang sama. Pelukannya erat sekali. Seakan tak mau kehilangan aku.

“Udah yuk, Dhit. Sana pake CD dan boxer lagi.” Vania tersenyum manja ke arahku.

“Yah, gak mau_naked cuddling_lagi?” Aku sedikit kecewa.

“Jaga jaga aja kalo tiba tiba besok pagi Papa udah di sini. Kita biar gak keribetan.”

Ada benarnya juga. Dengan sedikit rasa kecewa, aku bangun dan memakai kembali bawahanku. Vania juga melakukan hal yang sama.

Setelah itu. Aku mematikan lampu, dan bersiap untuk tidur.

“Eh, Dhit. Jangan tidur dulu, dong. Kamu punya film apa di komputer?”

“Enggg. Di komputer sih gak ada, adanya di laptop.”

“Yaudah lebih enak, kan. Jadi kita gak perlu miring nonton filmnya. Tinggal taruh meja di sebelah sana.” Tukas Vania sambil menunjuk sebelah ujung kasur.

“Yaudah mau nonton apa? Kamu aja yang milih, ya.”

Aku menyalakan laptopku. Setelah menyala, kubiarkan Vania memilih film.

“Ini aja deh, Dhit.”

Vania memilih 21 Jump Street, sebuah film komedi yang sudah berulang kali aku tonton.

Kami mulai menonton filmnya. Lalu Vania bersandar di dadaku. Aku bereaksi dengan melingkarkan lenganku di lehernya.

30 menit berlalu, kurasakan Vania tak bergerak. Rupanya dia sudah tertidur.

“Walah malah tidur. Gimana sih.”

Aku beranjak dari kasur dan mematikan laptopku. Ketika akan merebahkan diriku, aku memandangi sebentar wajah Vania. Wajahnya memamerkan sebuah senyuman kecil. Dalam hatiku berharap, semoga hati dan perasaannya juga tersenyum selalu. Meski sedang memikul beban berat di dalam kesehariannya, terutama di urusan asmara dan keluarga.

Aku mengecup lembut keningnya. Diapun terbangun. Matanya terbuka sedikit. Kini senyumnya melebar.

Dia mencium bibirku sebentar.

Goodnight, Dhit.See you soon.”

Tak lama kamipun terlelap. Vania tidur dalam pelukanku. Sedang aku dihinggapi kesedihan karena harus berpisah dengan sepupuku ini. Meskipun tidak selamanya. Tapi, perasaan ini begitu mengganggu.

Aku berusaha menguatkan diriku sendiri. Kutanamkan dalam dalam status sepupu di antara kami. Hingga akhirnya aku lelah dan terbang menyusul Vania di langit mimpi.

Senin,06.00

“Dhit, Dhito. Bangun, Dhit”

Mataku terbuka, tapi tidak bisa terbuka penuh karna ada cahaya terang dari jendela. Cahaya matahari bersiap mengetuk kaca dan membangunkanku.

Kulihat mamaku sudah berdiri di sampingku. Beliau menangis. Aku heran. Kapan mama dan papa pulang dari Bali?

Mama langsung memeluk Papa. Beliau menangis sejadi jadinya. Sedang Papa memandangiku dengan wajah haru. Rasa syukur berulang kali dia keluarkan dari mulutnya.

Lalu ada suara lantang yang sangat aku kenal.

“YA AMPUN AKHIRNYA. AKHIRNYA MAS DHITO BANGUN.” Teriakan Cindy mengagetkanku. Setelah itu dia langsung menangis.

Aku makin kebingungan. Kenapa Cindy pagi pagi berada di kamarku?

Tapi ada yang aneh. Aku melihat sekelilingku. Aneh. Sangat aneh.

Kamarku berubah. Mulai dari kasur, warna cat, hingga ukuran. Satu hal yang membuatku sadar adalah selang infus yang berada di urat nadiku.

Aku berada di rumah sakit.

Aku tak ingat apa apa. Seingatku, kemarin malam aku masih tidur memeluk Vania. Aku tak tahu kenapa tiba tiba sekarang aku berada di rumah sakit.

“Ma, pa, Vania mana?” Tanyaku lemas.

“Vania? Gak ada Vania di sini, Dhit. Dia kan masih tugas di Makassar.” Papa menjawab dengan kebingungan.

“Ma, pa, kemarin Vania ada di rumah. Dia yang nemenin aku. Dia sekarang di- Coba deh mana handphoneku?”

Mama merogoh rogoh tasnya. Lalu menyodorkan handphoneku. Kulihat layarnya retak sedikit. Baterainya juga sudah tinggal 10%.

Aku membuka folder contacts. Kuketik nama Vania. Hasilnya pun nihil. Aku membuka WhatsApp. Di sana juga tidak ada chat dari Vania. Yang kulihat hanyalah chat dari teman temanku.

Aku makin kebingungan. Sedangkan mama dan papa masih mengekspresikan rasa syukur mereka.

“Ma, Pa, Cin. Aku kenapa? Vania mana?” Aku panik bercampur sedih.

Mama, Papa, dan Cindy, semua nampak kebingungan karena aku mencari Vania. Terlebih Cindy yang tidak tahu Vania itu siapa.

“Ma, Pa, Cin. Jawab.” Aku tambah panik, tapi mama papa tidak menjawab. Akhirnya Cindy yang angkat bicara.

“Mas Dhito, hari Kamis kemarin itu abis pulang kantor kita mampir makan bentar. Abis itu kamu nganter aku pulang. Lah pas kamu nyebrang dari depan kosku, kamu ketabrak mobil. Mobilnya ngebut banget pas itu. Kamu langsung jatoh. Aku yang belum sempet nutup pintu pager kosan langsung lari ke kamu, mas.

Air mataku kini mengalir deras.

“Jadi aku ‘koma’ dari Kamis dan sekarang baru bangun?!”

This story ends where it began

The End

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu